Dev melirik kearah lubang pintu yang terbuka itu. Yang kemudian diikuti oleh Yudi dan juga Nia. Seketika mereka paham apa maksud Dev barusan.
"Lubang pintu itu mungkin bisa jadi jalan keluar kita," ucap Dev dengan seringaiannya.Dahi Yudi menyerngit tak yakin. "Tapi, bukankah lubang itu tidak terlalu besar? Mungkin itu hanya akan bisa dilewati oleh Nia saja."Lubang pintu itu memang tidak begitu besar. Dengan panjang dan lebar sekitar 70 senti. Sedangkan tinggi Dev dan Yudi hampir menyentuh dua meter. Nia yang punya badan kecil dan hanya setinggi semeter lebih itu mungkin masih bisa melewati pintu tersebut."Tidak. Kita bisa melewatinya." Dev menjawab dengan sangat yakin.Yudi menggeram. Kesal dengan Dev yang sepertinya tidak mengerti ucapannya tadi. "Apa kamu nggak denger omonganku barusan? Lubang pintu itu cuma cukup untuk--""Kita nggak akan tahu kalau kita nggak mencoba! Jadi berhenti mengeluh sebelum kamu mSekarang mari beralih ke Devlin dan rencananya untuk keluar dari lorong bawah laut. "Bagaimana? Apa kalian sudah paham rencana yang kujelaskan tadi?" tanya Dev kepada Yudi dan Nia. Yudi mengangguk. "Aku mengerti. Tapi mungkin ini agak sedikit sulit. Karena aku belum pernah melakukan itu sebelumnya," ucapnya seraya menggaruk belakang kepalanya kikuk. "Tidak masalah. Kalau kau kesulitan, biar aku yang mengajari bagaimana caranya--" "Tidak perlu!" Yudi yang dengan lagak angkuhnya memotong ucapan Dev. "Biar aku dulu yang keluar! Kalau kau yang keluar duluan, aku tidak bisa menjamin kalau kau tidak akan kabur sendiri!" Dev melengos malas sembari memutar bola matanya. "Kau ini ... masih saja memikirkan hal seperti itu! Aku heran, apa sih yang 'mereka' lakukan ke kamu, sampai-sampai kau gila hormat seperti itu? Bukankah sudah jelas kalau mereka sekarang hendak membunuhmu bersamaku--" "Tidak perlu kau jelaskan soal itu!
Berenang di kedalaman bawah laut tanpa peralatan, itu sama saja meresikokan nyawa. Bisa dibayangkan bagaimana tekanan air laut dalam mungkin bisa membunuh mereka. Lorong bawah laut berada di kedalaman hampir 50 meter. Tekanan di kedalaman tersebut tentunya membuat Devlin dan Yudi kesulitan. Nyaris menyerah, tapi Devlin berusaha untuk melawan perasaan itu. Dia tidak mau mati sia-sia. Dia harus selamat bagaimanapun caranya. Sambil menarik tubuh Yudi untuk membantunya berenang, Dev berusaha berenang naik secara perlahan. Agar tekanan air bawah laut tidak membuat tubuhnya sakit. Namun saat Dev melihat permukaan, dia melihat bayangan-bayangan hitam disana. Kemungkinan itu adalah kapal-kapal yang berpatroli atau semacamnya. Atau bisa saja kapal-kapal itu datang untuk memastikan apakah Dev masih hidup atau tidak. Untuk mengatasi masalah itu, Dev berinisiatif bersembunyi di bawah salah satu kapal. Mengikuti pergerakan kapal, sembari memegangi lambung kapal ba
Disaat semua orang sedang heboh dan geram dengan bukti fakta yang terpampang pada layar video itu, disitulah Dev dan Yudi mendapatkan kesempatan untuk lari dari kejaran mereka. "Sekarang apa rencanamu?" tanya Yudi kepada Dev. "Aku ingin mencari dua temanku! Mereka tidak menjawab panggilanku sedari tadi. Aku khawatir terjadi sesuatu pada mereka!" jawab Dev kemudian. "Apa kau tahu kira-kira dimana mereka? Atau tempat dimana kalian biasa menyekap orang atau semacamnya?" Yudi mengangguk mantap. Lalu menarik satu lengan Dev. "Ikut aku! Kutunjukkan tempat dimana mereka kemungkinan berada! Tempat ini punya semacam penjara untuk orang-orang yang membangkang!" "Bagus! Antarkan aku kesana!" sahut Dev semangat. Mereka keluar dari pelabuhan, menuju satu lorong yang diyakini menjadi jalan menuju penjara. "Tapi ... Sepertinya tidak akan mudah untuk pergi kesana. Kalau memang dua temanmu ada disana, tempat itu pasti akan dijag
Sejauh ini tidak ada yang mencurigai keberadaan Dev di kapal ini. Hanya si nomor dua itu yang sempat bertemu dengan Dev, dan langsung percaya kalau Dev adalah rekan sesama petinggi yang bernama samaran Zero. Memang postur serta tinggi tubuh, dan garis wajah Dev dengan si nomor nol itu disinyalir hampir sama. Oleh sebabnya para sekutu yang membantu Dev menyarankan untuk menyamar sebagai petinggi Zero itu. Dan berkat penyamaran ini, Dev jadi memiliki banyak akses untuk masuk ke semua ruangan. Itu sangat menguntungkan, tapi dari sekian banyak ruangan di kapal ini, Dev agak kesulitan mencari ruang tempat Yongkie, Eve, dan Budiman berada. "Nomor diatas 5 dipanggil Dion tuh! Buruan sono!" Dev mendengar suara percakapan dua orang pria berseragam kode nomor itu dari balik bilik toilet. Kebetulan Dev memang ingin buang air sebentar, dan pas sekali ada dua petinggi disana sedang mengobrol. Barangkali Dev bisa mendapatkan info keberadaan Yongkie, Eve, dan ju
Semua nomor diatas lima sudah melaporkan progress kerjanya. Kini tinggal si nomor sepuluh. Dalam kondisi yang genting, Dev punya beberapa rencana untuk menghindar dan pergi dari rapat itu. Karena jika Dev sampai ketahuan, bisa gawat. Rekaman bukti kejahatan Yongkie memang sudah terekam dan langsung di transfer otomatis ke markas pusat. Tapi jika Dev ketahuan menyamar sebagai si nomor sepuluh lalu ditangkap disini, maka tidak menutup kemungkinan Yongkie bakal menggeledah dan menyita semua perlengkapan alat mata-mata di tubuh Dev. Termasuk jam tangan canggih Dev yang digunakan untuk merekam percakapan dalam rapat ini. Dan kalau sampai jam tangan itu diambil Yongkie, tentu akan gawat. Yongkie bisa saja memiliki beberapa orang pintar untuk melacak keberadaan markas pusat agen intel. Lalu cepat atau lambat, Yongkie bakal mengirimkan pasukan untuk menghancurkan markas pusat. 'Aku sudah berhasil merekam percakapan disini. Dan sekarang, priori
"Sekarang kita harus pergi kemana, Bram?" Dev yang sedang melihat peta perairan utara pulau JW itu tidak menjawab. Tampak fokus sekali, seperti sedang mencari dan berpikir dengan dalam. Lihat saja, kerutan di keningnya bertambah. Yudi jengkel juga lama-lama kalau pertanyaannya tidak kunjung dijawab. Padahal yang ditanyakannya tadi adalah sesuatu yang penting saat ini. Masa iya mereka kabur tanpa arah? "Jangan bilang kalau kau akan mengarahkan kami ke pulau JW! Itu terlalu jauh, Bram! Kau lihat pacarmu ini harus segera ditolong--" "Aku tahu, bodoh!" Sekarang Christ baru menyahut. "Aku juga sedang mencari pulau terdekat yang aman dari kejaran mereka! Jadi diamlah!" "Bram ..." Salah seorang teman Yudi tiba-tiba saja menyodorkan Dev ponselnya. "Kupikir kau butuh ini untuk menelpon atasanmu. Jam tanganmu rusak, kan? Telpon sekarang untuk meminta bantuan!" Dev menggeleng. "Tidak. Sebaiknya jangan pakai telekomunikasi kalian sekarang. Yongkie
"Si nomor sembilan masih belum mengatakan apapun tentang lokasi pabrik itu, ya?" Dev menggeleng. Kembali duduk dengan malas di depan si nomor sembilan. Dev dan si nomor sembilan. Keduanya duduk berhadapan. Di ruang yang remang. Dengan si nomor sembilan yang kini diikat kaki tangannua dan disorot cahaya lampu interogasi. "Sudah kau periksa alat telekomunikasinya?" tanya Pak Marco lagi, sembari berjalan mendekat ke kursi Dev. Dev menjawab. "Alat telekomunikasinya disandi ketat sekali. Aku sudah menghubungi dan mengirimkan sandi itu ke agen cyber di markas. Sampai sekarang masih dalam proses pemecahan sandi." Pak Marco mengangguk. "Baiklah. Sekarang kau ikut denganku sebentar. Tinggalkan saja dia selagi menunggu sandinya terbuka!" Dev menurut saja, mengekori Pak Marco hingga sampai di tempat tujuan. Tepat di salah satu bukit tersembunyi dekat maskas sementara persembunyian mereka. "Saya sempat melihat luka di perutmu itu saat dokt
Pada akhirnya Dev setuju untuk dilatih ilmu kanuragan. Lagipula untuk sementara mereka masih punya waktu sedikit, sebelum bertempur melawan kelompok Yongkie dan mebcari keberadaan Mr. X yang konon dikabarkan berada di pulau BW. "Sebelumnya, saya cukup penasaran. Bagaimana mulanya Anda tahu kalau ada perdagangan persenjataan illegal disini? Dan Mr. X itu ... kita masih belum memastikan apakah Mr. X yang melakukan jual beli senjata illegal itu betulan orang yang sama dengan Mr. X yang menjadi ketua komplotan Yongkie, kan?" Pak Marco terkekeh. "Kamu pikir saya cuma duduk leha-leha di kantor pusat aja, gitu?" candanya. "Saya, meski pemimpin senior, saya juga bertugas diluar. Sama seperti kamu, Dev. Saya memberi perintah pada bawahan, itu bukan karena saya menyerahkan semua pekerjaan pada bawahan. Saya dan kamu, juga semua anggota disini semuanya bekerja dengan satu misi yang sama!" Dev tersenyum takjub. "Oh ... begitu, ya ... Saya kira Bapak memantau di markas aj
Eve memang sering dengar Dev menyinggung soal atasannya, tapi Eve tidak pernah menyangka kalau atasan Dev itu adalah seorang pria tua yang sangat mirip dengan wajah Ayahnya. Dan tidak sampai disitu. Tadi Eve juga sempat mendengar perawat perempuan yang menjaga Bianca di bilik sebelah itu juga memanggil nama 'Pak Marco'. Yang mana nama itu juga nama yang sama dengan nama mendiang ayahnya. Kalau ini adalah kebetulan, jelas ini kebetulan yang keterlaluan. Tidak pernah Eve menemui kasus wajah dan nama orang yang sama persis. Tidak ada. Pun ada yang pernah bilang kalau manusia itu punya tujuh kembaran berbeda dan tersebar di muka bumi, tetap saja ini terlalu mirip! Tidak pernah ada wajah dan nama yang sama. Terkecuali kalau memang dia ... adalah orang yang sama. Tapi ... 'Nggak mungkin nenek bohong sama aku. Jelas-jelas nenek bilang kalau Ayah dan Ibu meninggal setelah kecelakaan itu. Hanya aku yang selamat. Lagipula untuk apa juga nenek menyembunyikan kalau misal ayah masih hidup?' "
Sesuai dugaan Eve. Ada agen pengkhianat yang masih tersebar di beberapa tempat di markas. Ada saja yang ingin menjatuhkan Devlin maupun Pak Marco. "Dari situlah kemudian aku coba mengikuti para pengkhianat itu, Bram. Aku masuk ke mobil mereka. Lalu ketika sampai di kasino, aku benar-benar melihat mereka meletakkan bom koper itu di mobil yang kamu pakai." Dev manggut-manggut mengerti. "Jadi begitu ceritanya kamu pada akhirnya bisa sampai ke kasino ... Kamu benar-benar nekat!" Eve memutar bola matanya. "Bisa tidak kamu hanya bilang 'terimakasih' saja? Bagaimanapun aku sudah menyelamatkan nyawamu dengan mencegahmu masuk ke mobil, lho. Kalau tidak, kamu pasti sudah jadi sapi panggang!" "Cih!" Dev mendecih. "Aku ada niatan untuk tidak ke mobil kok tadi! Kamu saja tadi yang tiba-tiba menghadang saat aku mau menyergap temanmu!" Percuma saja kalau menyuruh Dev minta maaf. Gengsinya selangit nirwana, mana sudi dia mau bilang begitu? Apalagi kali ini yang menolong si Eve. Perempuan. "Nah
Jet Mini didatangkan langsung dari markas pusat. Mendarat di titik lokasi tersembunyi di salah satu resort yang ada di pulau itu. Penjagaan sekitar resort dikerahkan, demi menjaga keamanan pendaratan Jet Mini tersebut. Seluruh resort juga sampai dikosongkan dari pengunjung, dan kini hanya diisi oleh satuan keamanan yang bertugas untuk mengawal pemimpin agen rahasia utama mereka--Pak Marco. "Kalian ini terlalu berlebihan deh ... Saya sungguh nggak apa, lho!" Sudah berapa kali Pak Marco bicara begitu. Beliau bilang tidak kenapa-kenapa, tapi sekujur tubuhnya kini tengah mengalami luka-luka dan sedang dalam penanganan berjalan di dalam Jet Mini. Kondisi Pak Marco memang harus segera ditangani, jadi tim ahli medis dikerahkan untuk melakukan penanganan medis langsung, sembari Jet Mini itu terbang memulangkan kembali Pak Marco ke markas pusat di pulau JW. Tidak perlu khawatir dengan kemampuan tenaga medis dan peralatannya, karena memang Jet Mini itu
Bukan hanya menghadang. Eve juga menahan perempuan berambut perak yang masih berusaha untuk melepaskan diri dari borgol itu. Mengambil cepat borgol Dev yang lainnya dan memakaikannya di dua pergelangan kaki si perempuan rambut perak. Gerakan yang begitu cepat, sehingga Dev sendiri sampai agak tertegun melihat bagaimana Eve meringkus perempuan rambut perak itu. Padahal mulanya Dev pikir Eve hendak menyelamatkan si rambut perak. Tapi tidak menyangka kalau Eve ternyata justru membekuk rambut perak. Itu artinya Eve masih ada di pihak Dev. Tapi yang menjadi tanda tanya sekarang, mengapa Eve menyerang Dev juga? "Eve, kau--" "Jangan menyerang temanku! Dan sebaiknya kau menjauh!" DEG! "Apa?? Jadi dia rekanmu??" "Pergi!" Dev benar-benar bingung sekarang. Tidak disangka Eve adalah teman si rambut perak. Mengejutkan, tapi dari ucapan Eve dan bagaimana Eve melindungi Dev agar menjauh dari si rambut perak, besar kemungkinan kalau Ev
Meja nomor tujuh. Senjata M. Dua informasi bagus yang sangat penting. Dengan begini terbukti sudah dugaan Pak Marco, kalau memang benar ada transaksi senjata gelap disini. Senjata-senjata tipe M, semestinya orang-orang seperti mereka tidak diperuntukkan untuk menjual belikannya. Karena itu senjata militer yang cukup vital dan bisa dibilang berbahaya jika orang awam dan tidak cukup pengalaman menggunakannya. Ada dua tipe senjata di dunia ini. W dan M. Keduanya sama-sama tidak boleh diperjual belikan, apapun alasannya. Karena memang senjata apapun tidak boleh dijual bebas dan serta merta dari kalangan apapun terkecuali pihak militer atau pihak yang berkaitan dengan penegak hukum. W tidak sebegitu bahaya dibanding M. Dan untuk katagori bom rakitan yang dibuat Yongkie dkk itu juga masuk katagori M yang berbahaya. Penggolongan ini berdasarkan tingkat bahayanya. Biasanya ada pihak tertentu yang mengelompokkan senjata-senjata temuan yang dipakai penja
Ternyata memang tidak mudah menemukan peluang waktu agar Dev bisa belajar ilmu kanuragan. Baru saja pria itu akan belajar selagi punya jeda waktu. Tapi memang sepertinya hal itu ditunda dulu sampai misi penyelidikan kali ini selesai. Bagaimanapun, Dev harus menjadi bertambah kuat. Musuh yang ia hadapi bukan yang serta merta bisa dikalahkan dengan serangan fisik biasa. Tapi membutuhkan 'tenaga lebih' untuk bisa mendongkrak pertahanan musuh. Memang sejak dulu, yang namanya penjahat dengan ilmu tenaga dalam menjadi masalah serius yang merepotkan dan tentu tidak bisa dianggap remeh. Dan Yongkie, dia ternyata menggunakan ilmu kuno itu dan membuat Dev menjadi cukup kuwalahan. Sejauh ini Dev tidak pernah kalah dengan siapapun, dan batu dikalahkan dengan orang pemilik ilmu kanuragan. Dan untuk bisa mengalahkan Yongkie, kekuatan fisik yang bagus saja ternyata tidak cukup. Dev butuh kekuatan lebih. Dengan kekuatan fisik yang mumpuni dan ditambah latihan kanuragan, Dev
Pada akhirnya Dev setuju untuk dilatih ilmu kanuragan. Lagipula untuk sementara mereka masih punya waktu sedikit, sebelum bertempur melawan kelompok Yongkie dan mebcari keberadaan Mr. X yang konon dikabarkan berada di pulau BW. "Sebelumnya, saya cukup penasaran. Bagaimana mulanya Anda tahu kalau ada perdagangan persenjataan illegal disini? Dan Mr. X itu ... kita masih belum memastikan apakah Mr. X yang melakukan jual beli senjata illegal itu betulan orang yang sama dengan Mr. X yang menjadi ketua komplotan Yongkie, kan?" Pak Marco terkekeh. "Kamu pikir saya cuma duduk leha-leha di kantor pusat aja, gitu?" candanya. "Saya, meski pemimpin senior, saya juga bertugas diluar. Sama seperti kamu, Dev. Saya memberi perintah pada bawahan, itu bukan karena saya menyerahkan semua pekerjaan pada bawahan. Saya dan kamu, juga semua anggota disini semuanya bekerja dengan satu misi yang sama!" Dev tersenyum takjub. "Oh ... begitu, ya ... Saya kira Bapak memantau di markas aj
"Si nomor sembilan masih belum mengatakan apapun tentang lokasi pabrik itu, ya?" Dev menggeleng. Kembali duduk dengan malas di depan si nomor sembilan. Dev dan si nomor sembilan. Keduanya duduk berhadapan. Di ruang yang remang. Dengan si nomor sembilan yang kini diikat kaki tangannua dan disorot cahaya lampu interogasi. "Sudah kau periksa alat telekomunikasinya?" tanya Pak Marco lagi, sembari berjalan mendekat ke kursi Dev. Dev menjawab. "Alat telekomunikasinya disandi ketat sekali. Aku sudah menghubungi dan mengirimkan sandi itu ke agen cyber di markas. Sampai sekarang masih dalam proses pemecahan sandi." Pak Marco mengangguk. "Baiklah. Sekarang kau ikut denganku sebentar. Tinggalkan saja dia selagi menunggu sandinya terbuka!" Dev menurut saja, mengekori Pak Marco hingga sampai di tempat tujuan. Tepat di salah satu bukit tersembunyi dekat maskas sementara persembunyian mereka. "Saya sempat melihat luka di perutmu itu saat dokt
"Sekarang kita harus pergi kemana, Bram?" Dev yang sedang melihat peta perairan utara pulau JW itu tidak menjawab. Tampak fokus sekali, seperti sedang mencari dan berpikir dengan dalam. Lihat saja, kerutan di keningnya bertambah. Yudi jengkel juga lama-lama kalau pertanyaannya tidak kunjung dijawab. Padahal yang ditanyakannya tadi adalah sesuatu yang penting saat ini. Masa iya mereka kabur tanpa arah? "Jangan bilang kalau kau akan mengarahkan kami ke pulau JW! Itu terlalu jauh, Bram! Kau lihat pacarmu ini harus segera ditolong--" "Aku tahu, bodoh!" Sekarang Christ baru menyahut. "Aku juga sedang mencari pulau terdekat yang aman dari kejaran mereka! Jadi diamlah!" "Bram ..." Salah seorang teman Yudi tiba-tiba saja menyodorkan Dev ponselnya. "Kupikir kau butuh ini untuk menelpon atasanmu. Jam tanganmu rusak, kan? Telpon sekarang untuk meminta bantuan!" Dev menggeleng. "Tidak. Sebaiknya jangan pakai telekomunikasi kalian sekarang. Yongkie