Elina terus berjalan sambil memikirkan mengenai kejadian yang baru saja terjadi. Dia masih tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau sampai Ivana menyaksikan kejadian tadi. Pasti wanita itu akan sangat terluka melihatnya. Aku sudah melakukan hal yang benar. Dengan begini, setidaknya aku bisa merasa lega karena sudah membalas Andy. Walaupun sebenarnya masih kurang… kenapa aku hanya menamparnya satu kali tadi? Coba kalau aku tampar dua sampai tiga kali lagi, aku akan benar-benar merasa puas. Angin sepoi-sepoi menyapanya, tetapi pikirannya terus melayang pada sesuatu yang mengusik ketenangannya. Keningnya berkerut, dan matanya nampak kehilangan fokus menyebabkan langkah kakinya semakin tak teratur. Elina terus berjalan tanpa sadar bahwa dirinya sudah berada di tepi jalan, dan siap menyeberang. Karena tidak fokus, Elina jadi sama sekali tidak menoleh ke kanan dan kiri saat dia hendak menyeberang. Elina hampir saja mengalami kecelakaan karena terlalu terlena dengan pemikirannya. Sebu
"Siapa sangka kita bisa bertemu di sini setelah insiden kemarin?" "Ya, benar-benar kebetulan.” “Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" "Baru saja berbelanja. Hendak kembali ke apartemen.” Elina mengangkat kantong belanjaannya. "Jadi, kau tinggal di sekitar sini?" "Iya, apartemenku tidak jauh dari sini." "Oh.., pantas saja kau ada di sekitar sini. Omong-omong sepertinya kamu membawa banyak barang. Perlu aku bantu? Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang?” Dariel mengalihkan pembicaraan ketika dia melihat Elina yang tampak bersusah payah membawa semua barang belanjaannya. "Tidak perlu repot-repot. Aku bisa pulang sendiri." Elina menggelengkan kepalanya. "Tidak masalah, aku senang membantu. Lagipula, aku sedang tidak terlalu sibuk saat ini." "Baiklah, kalau begitu terima kasih, Dariel." Dariel dengan segera mengambil barang belanjaan di tangan Elina guna membantunya. “Kau tahu, orang bilang kalau dua orang bertemu secara kebetulan sebanyak tiga kali, itu artinya mereka memang sud
“Apa yang ingin kau tanyakan?” Elina menatap penuh penasaran pada Dariel yang sekarang memasang wajah serius. “Di apartemen mana kau tinggal? Aku harus tahu agar bisa mengantarkanmu, kan?” “Oh! Benar. Aku lupa memberitahumu…” Elina terkekeh. Dia baru ingat bahwa sejak tadi dia sama sekali belum menjelaskan dimana dirinya tinggal. Elina lalu bergerak di samping Dariel. Mendampinginya sambil kembali mengobrol. Saat mereka melanjutkan perjalanan, Elina tidak bisa menghapus senyuman dari wajahnya. Dariel, si polisi yang tampan dan berwibawa telah memberinya pengalaman yang tak terlupakan untuknya. "Ternyata jadi polisi itu menarik juga, ya?" ucap Elina sambil mengalihkan pembicaraan. "Terkadang memang begitu. Tapi tentu saja tidak semua hari seindah ini." Dariel tertawa menanggapi kalimatnya. “Kau benar-benar pahlawan sejati." "Jangan memujiku berlebihan. Aku hanya melakukan tugasku.” “Tapi kau sungguh keren, tadi!” “Benarkah? Terima kasih atas pujianmu.” Pertemuan dengan Dariel e
Dariel menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke arah apartemen tempat Elina tinggal; memperhatikan bangunan itu dengan seksama. Tak lama kemudian perhatiannya beralih pada buku catatan kecil yang baru saja dia keluarkan dari dalam kantongnya. Dariel membuka halaman yang sudah diberikan tanda olehnya. Di catatan itu tertulis sebuah kalimat penuh misteri yang sampai sekarang masih mencoba untuk dia selidiki. ‘26-10-22. 01.32 PM Sebuah kebakaran terjadi di gedung utama E-tech. 145 korban meninggal, 70 korban luka-luka, dan 10 diantaranya mengalami gangguan pernapasan parah akibat terlalu banyak menghirup asap. Korban utama dalam insiden ini adalah Jaxon Emberglow, 29 tahun. CEO perusahaan E-Tech. Menurut laporan kepolisian, sebelum meninggal, Jaxon sempat mengalami penganiayaan di kantornya hingga mengalami pendarahan cukup parah. Setelah dilakukan otopsi, dan olah TKP, ada banyak luka pada tubuh korban. Hal ini menyebabkan dugaan polisi terhadap penganiayaan yang dialaminya semakin ku
Beberapa bulan yang lalu… Dariel menggeser perlahan mobil patroli di sudut gelap pinggir kota, mengawasi sebuah pertemuan gelap yang berlangsung di luar pandangan umum. Di bawah sorotan lampu jalanan yang remang-remang, sekelompok orang berkumpul, membaur dengan bayang-bayang yang mencurigakan. Dariel memandang dengan serius, tangan kanannya sudah siap memegang pistolnya yang tersembunyi di balik jaket. "Tidak ada ruang untuk kesalahan," bisik Dariel kepada rekan setimnya, Alex, yang duduk di sebelahnya. Mereka berdua sudah merencanakan penangkapan ini selama berminggu-minggu. Saat mereka bersiap-siap melangkah keluar dari mobil, cahaya bulan penuh menerangi jalanan dan menyelimuti kota dalam keheningan malam. Mereka mendekati kelompok tersebut dengan langkah hati-hati. Mereka bisa merasakan detak jantung mereka yang semakin intens. Berpacu dengan begitu cepatnya. Merasakan adrenalin yang begitu menantang ketika atmosfer di sekitar terasa begitu mencekam. Namun kelompok tersebut leb
Dariel memandang tajam ke arah tersangka yang duduk di hadapannya, ruangan interogasi penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan. "Katakan yang sejujurnya, dimana anak buahmu yang lain!" ujar Dariel dengan penuh keyakinan. Tersangka, yang tampak lesu namun tetap membentengi dirinya, menjawab dengan tajam, "Aku sudah katakan, tidak ada yang tersisa. Semua sudah tertangkap. Aku berkata jujur." Dariel tersenyum tipis, mengambil sebuah buku catatan dari meja di depannya. "Apa kau yakin bahwa tidak ada yang kau sembunyikan? Aku menemukan ini di lokasi tempat kau beroperasi, dan aku tidak sengaja melihat bayangan seseorang yang melintas ketika kami sedang menangkapmu. Tapi begitu aku mengejarnya, sosok itu sudah menghilang, dan hanya meninggalkan buku ini di tanah. Sepertinya ini terjatuh," kata Dariel sambil meletakkan buku itu di antara mereka. Tersangka menggeleng mantap. "Aku tidak tahu apa-apa tentang buku itu. Mungkin milik orang lain yang lewat di sana. Aku tidak punya waktu untuk
Saat ini… Dariel masih diam termangu sambil memandang keluar jendela. Pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaan yang terus bermunculan mengenai siapa sosok pemilik buku yang ditemukannya saat itu. Bahkan sejak kejadian itu, segala sesuatu yang tertulis di buku catatan itu menjadi nyata, dan pada akhirnya Dariel serta rekan anggotanya yang lain menggunakan buku itu sebagai pegangan mereka agar mereka bisa mencoba menghentikan setiap bencana di masa depan terjadi. “Sudah sangat lama kita mencari tapi kita tidak pernah sekalipun menemukan petunjuk mengenai pemilik buku itu. Bahkan kita sudah mendatangi setiap orang yang tertulis di sana, namun hasilnya tetap sama. Tidak ada seorangpun dari mereka yang tahu tentang pemiliknya, kan? Bahkan kita juga mencoba mengecek keterlibatan antara tersangka yang satu dan yang lain, dan mereka sama sekali tidak memiliki hubungan atau keterlibatan apapun. Bisa dikatakan orang-orang pelaku kejahatan di buku itu tertulis secara acak.” Gr
Barbara melangkah keluar dari dalam kafe tempat terakhir dia meninggalkan buku catatannya. Senyuman terukir di wajahnya. Dia sungguh senang karena buku catatan berisi seluruh idenya tidak hilang, dan sekarang dia bisa kembali ke rumah untuk melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai. “Untungnya aku bisa menemukan buku ini. Kalau sampai hilang lagi, maka aku tidak tahu apa yang akan terjadi.” Barbara memandangi buku di tangannya. Dia terus melangkah menyusuri trotoar dan mencoba untuk mencari taksi untuk pulang. Namun baru saja Barbara berhenti, matanya secara tidak sengaja melihat Dariel yang saat ini sedang berdiri di depan salah satu gedung perkantoran yang terletak tepat tidak jauh dari tempat Barbara berada saat ini. Carla yang merasa penasaran dengan apa yang sedang dilakukannya lantas menghampiri Dariel di sana. “Dariel!” panggilnya yang dalam sekejap membuat lamunan pria itu buyar. Dariel menoleh ke arah Barbara yang kini berhenti di hadapannya. “Barbara? Hai!” “Sedang berp
Dariel menghampiri mayat tersebut, dan setelah di cek, ternyata mayat lelaki yang mereka temukan benar-benar Jax yang selama ini di carinya. “Ini…” Tubuh Dariel langsung mambatu setelah melihat sosok lelaki yang ada di hadapannya. “Dari yang aku periksa, dia bukanlah korban dari kejahatan mister predator. Tidak ada simbol di tubuhnya. Biasanya kalau mister predator yang melakukannya, dia akan meninggalkan jejak di tubuh korban,” jelas Zane. Mister predator adalah salah satu penjahat yang kasusnya saat ini dipegang oleh Zane dan Taylor. Dia adalah sosok seorang pembunuh bayaran yang akhir-akhir ini membuat keresahan di Future City. Selain membunuh, mister predator juga dikenal sebagai seorang maniak seksual. Sejak tiga tahun terakhir, sudah ada ratusan mayat yang ditemukan, dan diidentifikasi sebagai korban dari mister predator. Kasus ini sudah berjalan tiga tahun lamanya. Namun baik Zane maupun anggota polisi lain sampai sekarang masih kesulitan untuk menemukan tersangka utamanya kar
Dariel terdiam sambil terus memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Dia masih tidak mengerti kenapa semua realitas di dunia nyata bisa tiba-tiba berubah dan tidak sama dengan yang tertulis di buku. Padahal, sebelumnya segala yang tertulis di buku sungguh menjadi nyata. Ini adalah pertama kalinya ramalan di buku itu berubah. Aku masih tidak mengerti kenapa semua ini bisa terjadi lebih cepat. Kenapa Marcus tiba-tiba pindah lebih awal? Dariel terus memandangi buku catatan dalam genggamannya. Sekarang yang menjadi misteri bukan hanya kepindahan Marcus yang mendadak, tapi juga hilangnya Jax secara misterius. Dariel sekarang ini sibuk menyelidiki kedua hal itu. Sejak terakhir kali Dariel menanyakan mengenai Jax dan Marcus ke kantor E-Tech, pada awalnya yang membuat Dariel kebingungan hanyalah kepindahan Marcus yang lebih awal. Namun beberapa hari setelah itu, ada orang yang melaporkan bahwa Jax menghilang dan tidak pulang sama sekali sejak terakhir kali pergi ke kantor. Bukan hanya itu, le
Waktu berlalu, dan sudah beberapa hari Alvin dirawat di rumah sakit. Sejak lelaki itu di rawat, Elina terus datang dan pergi ke rumah sakit untuk membantu merawatnya. Saat ini, Elina terus berjalan menyusuri koridor menuju ruang rawat Alvin. Sesampainya di ruang rawat Alvin, Elina melihat pria itu sedang bersama dengan dokter. Elina yang menyadari hal itu lantas segera masuk. Dia ingin tahu bagaimana hasil pemeriksaan Alvin secara langsung dari dokter. Begitu dia masuk, fokus semua orang langsung tertuju padanya yang baru saja tiba. “Kebetulan sekali anda datang di saat yang tepat.” Dokter tersenyum ke arahnya begitu sadar Elina datang di saat yang tepat. “Ada apa, dok?” “Saya ingin memberi kabar bahwa suami anda sudah bisa keluar dari rumah sakit,” ujar dokter. Untuk sesaat Elina merasa tidak nyaman dengan panggilan dokter padanya yang masih mengira dia adalah istrinya Alvin. Namun mendengar bahwa Alvin sudah bisa keluar dari rumah sakit sudah cukup untuk mengubah moodnya. Elina be
“Kau tidak perlu tahu siapa orang yang sudah meminta kami untuk membantumu, yang jelas apakah kau ingin membalas dendam atau tidak?” tanya Erick. Marcus terdiam sambil merenungkan kalimatnya barusan. Entah kenapa, tapi dia merasa bahwa Erick dan Calvert memang berniat untuk membantunya. “Aku menerima tawaran kalian!” Marcus bisa melihat senyuman terbit di wajah Erick yang kini duduk di samping kemudi. Wajahnya terlihat dengan jelas karena Marcus bisa melihat refleksi wajahnya di kaca spion. Setelah mendengar ucapannya barusan. Perjalanan terus berlanjut tanpa kalimat apa-apa sampai kemudian mereka berhenti di sebuah bangunan tua kosong yang letaknya di pinggiran Future City. “Kau bisa menentukan hukuman yang pantas untuknya.” Erick menyodorkan sebuah amplop baru pada Marcus. Lelaki itu terdiam dengan wajah kebingungan. Dia sama sekali tidak mengerti dengan apa maksud ucapannya barusan, dan Marcus juga tidak mengerti kenapa mereka menurunkannya di tempat seperti ini. Erick mengambil
“Marcus Waverly yang pindah?” tanya Dariel, memastikan bahwa dia tidak salah dengar. Elina menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. “Apakah kau tahu kemana dia akan pindah?” Elina terdiam sejenak, mencoba untuk mengingat-ingat lagi. “Tadi aku tidak sengaja mendengar pembicaraan orang-orang yang membantu mereka pindah. Katanya mereka akan pindah ke apartemen Baker’s Grove Apartments, di jalan 45 Riverside di Meadowside City.” Tubuh Dariel membatu seketika begitu mendengar ucapan dari Elina barusan. Dia sungguh tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Bagaimana bisa? Ini… berubah? Dariel mencoba untuk tetap tenang. Perhatiannya langsung kembali beralih pada Elina begitu wanita itu berpamitan untuk pergi karena dia sudah hampir terlambat untuk pergi ke kantor. Setelah berpisah dengan Elina, Dariel segera membuka buku catatannya, mengecek kembali alamat yang tertera di sana. ‘Baker’s Grove Apartments Jl. 45 Riverside, unit Apt 202 Meadowside City MD1AA 2AA Sciencetopia.
“Ini masih sangat pagi, dan kita harus patroli. Bukankah ini menyebalkan?” gerutu Greg pada lelaki yang kini duduk di samping kemudi. Dariel terlalu sibuk memperhatikan buku yang ada di dalam genggamannya. Membaca beberapa lembar catatan lain yang tertulis di sana. “Jangan menggerutu dan lebih baik kau fokus pada jalanan yang ada di depan. Kalau kau menabrak akan sangat berbahaya,” jawabnya sambil membuka lembaran lain bukunya. “Aku lapar, dan tadi aku belum sempat sarapan apa-apa. Bagaimana kalau kita mampir ke restoran atau minimarket dulu?” “Bagus, kalau begitu sekalian saja kita mampir ke minimarket di dekat jalan 915 Willow Lane. Kita sekalian mengintai Marcus.” “Okay! Kita berangkat!” Greg melajukan mobilnya menuju tempat yang dimaksud. Mereka pergi ke jalan 915 Willow Lane untuk mampir ke minimarket terdekat, sekaligus mengintai Marcus. Dariel harus tetap memastikan bagaimana kondisinya. Karena jujur saja sampai sekarang baik Dariel maupun polisi lain yang memiliki tugas yan
Barbara duduk di bangku yang ada di halte bus. Rasa lelah menggelayut di tubuhnya. Barbara sungguh merasa usahanya pergi keluar seperti ini sama sekali sia-sia, karena dia bahkan tidak bisa mencapai apa yang dia perjuangkan. Wanita itu merenung sambil memikirkan ucapan lelaki misterius yang sebelumnya dia temui. “Mungkin ucapan pria itu ada benarnya. Pada akhirnya aku tidak akan bisa mengubah apapun. Sepertinya aku memang harus fokus untuk menyelamatkan orang yang paling penting dalam hidupku.” Barbara menghela napas. Dia sungguh frustasi dengan apa yang dialaminya semalaman ini. Setelah merasa malam semakin larut, Barbara memutuskan untuk segera mencari taksi agar dia bisa pulang sebelum jam operasi taksinya berakhir. Beruntung dia menemukan satu taksi kosong, dan dengan segera, Barbara meminta si supir untuk mengantarkannya pulang. * Elina melangkah keluar dari apartemennya, dan mengunci pintu dengan benar sebelum akhirnya berangkat ke kantor. Tapi baru saja Elina hendak pergi me
“Kenapa kau menolongku?” “Saya hanya merasa anda membutuhkan bantuan. Maka dari itu saya membantu anda.” Barbara tersenyum simpul ke arahnya. Lelaki itu hanya diam sambil mencoba mencerna kalimatnya. Namun karena tidak ingin membuatnya terlalu memikirkan ucapannya, Barbara meminta Marcus untuk tidak memikirkan itu dan memintanya untuk fokus pulang ke rumahnya. Barbara akhirnya berpisah dengan Marcus, dan taksi yang ditumpangi lelaki itu perlahan beranjak meninggalkan Barbara yang kini terdiam seorang diri di tempatnya sambil menatap taksi yang terus bergerak menjauh itu. Sepeninggalan Marcus, Barbara kembali melanjutkan perjalanannya. * Marcus terdiam sembari memikirkan ucapan Barbara tadi. Dia masih terus saja kepikiran dengan kalimatnya, dan dia sungguh tidak menyangka Barbara akan mengatakan hal seperti itu. Sepanjang perjalanan, lelaki itu terus memikirkan kebaikan Barbara. Berkatnya, sekarang dia bisa pergi. Marcus tersadar dari lamunannya begitu dia menyadari taksi yang dit
Barbara melangkah keluar dari dalam taksi. Namun baru saja dia keluar, seorang pria mendadak muncul di hadapannya dan membuat Barbara terkejut. Barbara nyaris berteriak saking kagetnya. “Kau tidak akan bisa mengubah apa-apa, Barbara!” ujar pria itu dengan wajah serius. Barbara termangu di tempatnya begitu mendengar kalimatnya. Dia sungguh bingung dengan apa yang dia katakan, selain itu Barbara juga terkejut karena ternyata lelaki itu tahu namanya. “K-kau siapa? Bagaimana kau tahu namaku?” Alih-alih menjawab, lelaki itu malah mendekat lalu memegangi pundak Barbara. Begitu pundaknya dipegang, Barbara langsung meringis kesakitan. “Arghh…” Barbara memegangi kepalanya yang terasa begitu sakit, dan bersamaan dengan begitu, berbagai adegan tiba-tiba saja bermunculan di benaknya; membuat kepala Barbara terasa semakin sakit. Namun rasa sakitnya berhenti begitu lelaki itu menjauhkan tangannya dari Barbara. Barbara beradu tatap dengan lelaki di hadapannya dengan mata yang berkaca-kaca. Dia s