Bab 20.BKepalaku terasa berat, semua orang membuatku kesal hari ini. Uangku sudah mau habis bagaimana caranya untuk membayar biaya Rumahsakit."Aduh kok bisa kepeleset sih, Bu makanya kamar mandi tuh harus rajin di sikat biar ga licin," sindirku kesal."Kamu tuh ya malah nyalah-nyalahin ibu ... yang salah tuh kamu ngapain pake ngehamilin anak saya ... jangan banyak omong cepetan kesini," jawab ibu ketus.Baru kali ini Ibu mertua memarahiku, biasanya ia selalu bersikap hormat ketika aku dan Sarah mengunjungi rumahnya."Iya, tungguin aja nanti malam nyampe," balasku kemudian telpon kumatikan.Mobil kulajukan, sembari menyetir otakku terus berputar bagaimana caranya agar mendapatkan uang untuk biaya Rumahsakit Sonia, aku sangat yakin Ibu tak akan mau membayar biaya Rumahsakit Sonia , apalagi Bapak ia terang-terangan tak menyukai Sonia, karena menurutnya Sonia adalah anak hasil dari selingkuhan istrinya.Aku mendapat ide untuk mengambil perhiasan milik Sarah, aku sangat tahu betul dimana
Bab 21.A(Pov Sarah)Pagi-pagi sekali Bang Surya bertandang ke Kantor, kukira ada hal penting yang ingin ia sampaikan tapi ternyata ia hanya mencari-cari perhatianku saja.Brownies cokelat yang dibawa oleh Surya nampaknya enak, kebetulan juga perutku belum terisi sejak pagi."Bu, ada pengacara yang mau ketemu ibu," ujar Sekretarisku."Suruh masuk aja."Kue brownies kembali aku tutup kemasannya."Selamat Pagi, Bu Sarah," sapa Pengacara yang bernama Bu Novia"Pagi, Bu, oh ya ini berkas-berkas penceraiannya, saya percayakan semuanya pada Ibu, saya ga akan hadir di persidangan nanti.""Saya cek dulu ya." Ia mengecek satu persatu berkas yang kuberikan."Semuanya lengkap ya, Bu Sarah, kalau Ibu ga mau hadir gapapa, itu akan mempercepat proses perceraiannya," ujarnya seraya membetulkan kacamata.Aku menganggukan kepala seraya menyunggingkan senyum."Kalau gitu saya permisi ya, Bu."Bu Novia keluar dari ruang kerjaku, entah mengapa jiwaku berontak ingin segera memakan kue brownies pemberian B
Bab 21. B"Tunggu, Zy! ... kamu cinta Surya? sejak kapan?" aku bertanya seraya menelisik wajahnya kembali."Se-sejak ... aku ga tau pokoknya aku cinta Surya, kamu jangan pernah mencoba menyakitinya atau pun memisahkan kami berdua," jawabnya tegas kemudian beranjak kembali ke ruangannya.Aku menggaruk kepala yang tertutup hijab seraya menatapnya tubuhnya yang sudah menjauh, ada apa dengan Zylan?."Rah!"Terperanjat, Daniel menepuk pundakku."Zylan kenapa sih, kok aneh gitu? yang bener aja masa cinta sama Surya," ungkapnya sembari cengengesan.Daniel pun sama herannya denganku."Kita samperin ke ruangannya yuk," ajak DanielKami berdua melangkah menuju ruang kerja Zylan, lalu mengintipnya dibalik pintu, memang tak ada yang aneh ia sedang sibuk bergelut dengan laptopnya, dan aku memutuskan untuk masuk seorang diri."Ada apa, Rah?" ia bertanya."Gapapa, aku masih bingung emang bener kamu cinta Surya?" tanyaku sembari duduk dihadapan meja kerjanya.Ia diam lalu menghembuskan nafasnya."Aku
Bab 22.A(Pov Sonia)"Sarah, kata Ibu, kamu mau mendonorkan darah buat Sonia, bener ga?" tanya bapak"Engga jadi, Pak.""Syukurlah, Bapak ga rela kamu mendonorkan darahmu walau setetes pun pada Sonia."Samar kudengar suara riuhnya orang mengobrol, perlahan kelopak mata ini kubuka, masih sedikit terasa pusing tapi yang membuatku resah ialah janin yang ada dalam rahimku.Kutatap wajah orang yang mengelilingiku satu persatu. Ibu, bapak, bang Surya juga Sarah.Untuk apa wanita itu ada disini? apa ia ingin menertawakan nasibku?"Kamu udah sadar, Sayang?" tanya Bang Surya.Bagaikan terbang di udara raga ini mendengarnya memanggilku 'Sayang' di hadapan Sarah. Syukurin dia pasti terbakar cemburu!."He-em."Aku mengaggukkan kepala tanda jawaban."Anak kita gimana?" tanyaku lesu."Anak kita gapapa, dia kuat kok," jawabnya seraya tersenyum.Ah, aku jadi makin cinta. Apalagi Bang Surya berjanji akan membelikanku sebuah rumah dan juga mau buka usaha sendiri. Lengkap sudah kebahagiaanku."Kalu anak
Bab 22.BDua Hari kemudian Dokter membolehkanku untuk pulang, Bang Surya dan ibu begitu semangat menyambut kepulanganku, tetapi ada saja yang membuatku kesal, rupanya Sarah menginap di rumah ibu.Saat hendak memasuki kamar tiba-tiba"Eh jangan masuk, di kamar itu ada Sarah," ucap Bapak mencegahku.Aku menghentakkan kaki saking kesalnya, padahal tubuhku masih lemah butuh istirahat, selalu saja dia membela Sarah si anak emas itu. "Udah gapapa kamu ngalah aja, kita duduk di kursi yuk," ajak Bang Surya, sambil menuntunku duduk di ruang tengah Tiba-tiba ada segerombolan ibu-ibu tetanggaku bertandang ke rumah, entah apa tujuan mereka datang kemari."Eh Ibu-ibu, mau jenguk Sonia ya?" tanya ibu seraya menghampiri."Engga kami mau ketemu Sarah, dia belum balik 'kan?"Amarahku mulai menguap mendengar nama itu, mengapa selalu Sarah dan Sarah yang di banggakan orang-orang."Eh ada apa ya cari-cari aku?" tiba-tiba Sarah keluar dari kamar.So kecentilan!Kemudian mereka masuk ke rumah tanpa disur
(Pov Sarah)"Sarah, tunggu!"Terdengar suara bang Surya memanggil."Sudah biarkan saja lelaki brengsek itu," ucap bapak."Sarah!"Kembali ia berteriak, kali ini ia sudah berada tepat di hadapanku dengan nafas terengah-engah, dengan tatapan nyalang bapak memarahinya."Ngapain kamu nyusul-nyusul anak saya? urusin tuh selingkuhan kamu sama calon bayinya," cetus bapak."Ayok, Sarah jangan diladenin."Bapak menarik pergelangan tanganku, tapi seketika Bang Surya menahannya."Tunggu, Sarah, aku mau bicara sebentar," ungkapnya mengiba."Ya sudah cepat!"Kali ini bapak mengalah dan mempersilakan bang Surya berbicara."Aku ingin bicara berdua saja, bolehkan?""Tak boleh!"Secepat kilat bapak menjawab, Bang Surya menghela nafas ia terlihat putus asa."A-aku ga punya uang buat bayar biaya rumah sakit, aku boleh emm, minjam uang dulu ga?" ia bertanya dengan gugup.Ingin sekali aku menertawakannya, tapi terlebih dulu bapak menyela dengan kata-kata pedasnya."Dasar ga tahu malu, selama ini sudah num
"Kurang ajar kamu anak h*ram!, berani-beraninya kamu melemparkan sesuatu ke wajah Sarah ... dasar wanita ga tau malu, ga tau diuntung sudah merusak rumah tangga anakku sekarang kamu sakiti dirinya," teriak Bapak dengan nyalang. Semua ibu-ibu menghampiriku untuk mengetahui apa yang terjadi, mereka semua merasa kasihan terhadapku. "Bapaak," lirih Sonia seraya memegang pipinya. "Ya Allah, Sonia kenapa kamu berbuat kasar sama kakakmu sendiri, lihat Sarah keningnya sampe biru begini." Ibu pun merasa iba setelah melihat keningku yang membiru dan sedikit menonjol. "Lebih baik kamu pergi dari rumah ini! ... kamu menyakiti Sarah maka kamu juga menyakitiku!, selama ini aku mendiamkanmu tapi tetep aja kamu kurang ajar," teriak bapak seraya menunjuk-nunjuk wajah Sonia. "A-aku ga maksud ngelempar ka Sarah, Pak," jawab Sonia membela dirinya. "Aku sudah muak melihatmu disini, lebih baik kamu pergii!" Amarah bapak begitu menggelora, ia memang sangat menyayangiku bahkan bisa dikatakan jika aku
Bab 24.A HU"Sarah, aku mohon. Kamu jangan egois, selama lima tahun aku mengurus perusahaan kamu, tolong kali ini saja bantu aku."*"Kamu bisa jual mobil itu, tanpa harus merendahkan diri dihadapan orang yang kamu sakiti!" tegasku dengan tubuh bergetar.Mata ini menatapnya penuh kebencian, jika ini bukan di rumah sakit sudah pasti aku akan berteriak sekencang mungkin."Sarah, jual mobil itu ga kaya jual gorengan yang langsung laku seketika," jawabnya memelas.Tanpa mengucap kata, aku beranjak dari hadapannya, tapi wajah menjijikan itu terus saja mengikutiku hingga parkiran mobil."Sarah! Sarah! buka pintunya!"Ia terus mengetuk-ngetuk pintu, tapi netraku tak sedetik pun menatapnya, secepat mungkin mobil melaju meninggalkan Bang Surya yang sedang termenung putus asa.*"Sarah mau pulang sekarang, Pak."Aku berkata seraya mengemas barang-barang."Yang sabar, Sarah, Bapak juga pernah di posisimu, cuman waktu itu Bapak memilih bertahan dan bersabar karena memikirkan nasib kalian."Bapak
Aku dan Daniel berpandangan lalu tersenyum haru."Benarkah, Dok, kalau istri saya hamil?" Daniel takjub tak percaya."Benar, Pak, tuh kantung janinnya sudah kelihatan, usianya baru lima minggu," ucap Dokter Ratih.Aku dan Daniel mengucap hamdalah sebagai bentuk rasa syukur, setelah enam bulan menanti akhirnya janin itu hadir di rahimku, membawa kebahagiaan baru.Apalagi Carla, sudah sejak lama ia merindukan seorang adik,tak kubayangkan bagaimana reaksinya jika ia mengetahui jika adik kecil yang didambakan akan hadir dalam waktu beberapa bulan ke depan.*"Sayang, terima kasih ya, sudah menghadirkan malaikat kecil untukku," ucapnya bahagia, kali ini aku sedang di dalam mobil menuju perjalanan pulang."Iya, sama-sama Alhamdulillah ya, Mas, akhirnya Allah mengabulkan doa kita.""Iya, Sayang, oh ya kita ke rumah kamu dulu yuk, keluarga besar kamu harus tahu tentang kabar gembira ini," ucap Daniel antusias.Mobil pun berbelok menuju rumahku yang sekarang di tempati oleh keluarga besarku.T
Enam bulan berlalu, mahligai rumah tanggaku berjalan sempurna, kami bahagia walau belum kunjung memiliki buah hati.Ada Carla yang selalu menemani rasa sepi di relung hati suamiku, ia amat menyayangi anak tirinya bagaikan anak kandung, putriku juga merasa nyaman seolah Daniel adalah ayah kandungnya."Aku mau berangkat ya, Sayang, kamu ke kantor ga?" tanya Daniel duduk di tepi ranjang sedangkan aku masih terbaring di atas pembaringan karena sakit kepala yang berdenyut."Engga kayanya, aku pusing banget ini.""Ya sudah istirahat di rumah saja ya, 'kan di kantor ada Shanaz masa udah enam bulan belum faham juga."Ia begitu pengertian padaku, walau terkadang seluruh waktuku di habiskan di kantor menemani Kak Shanaz dan membimbingnya memimpin perusahaan.Semenjak perceraiannya dengan Kak Hadi, entah mengapa ia selalu menutup diri terhadap laki-laki, padahal di luar sana masih banyak yang mengantri meminangnya termasuk Izwan--pria yang pernah melabuhkan cintanya padaku--"Pusing kenapa emang
"Kok aku sih, menyentuhmu saja aku tak pernah, sudah jelas-jelas Joe yang sudah menyentuhmu, walaupun satu kali ya bisa saja langsung jadi, jangan ngaco kamu ya, sekarang cepat pergi dari sini." Nampaknya suamiku mulai meradang, jangankan Daniel akupun sama jengahnya menyaksikan sikap Safira yang tak bijak."Ayo kita pulang." Joe menarik paksa tangan Safira, beberapa kali wanita itu meronta, tapi tetap tak dihiraukannya.Setelah kepergian mereka Daniel nampak bernapas lega, ia menatapku dengan tersenyum."Terbukti 'kan, Sayang, kalau aku ini buka ayah dari bayi yang dikandung Safira," ungkapnya meyakinkanku."Iya aku percaya, tapi kok kamu bisa kenal Joe." pertanyaan ini yang begitu mengganjal sejak tadi.Ia terkikik. "Joe itu temenku, Sayang," jawabnya dengan santai."Jadii ... waktu itu Safira selingkuh sama temen kamu," jawabku lalu terkekeh, karena merasa lucu sekaligus kasihan.Ia nampak menghela napas pelan. "Ya gitu, coba kamu bayangkan Safira yang waktu itu masih kekasihku be
"Terus apa hubungannya dengan suamiku?" dengan mulut bergetar aku menanyakan hal itu."Ini anaknya Daniel, dia harus tanggung jawab," jawab Safira dengan isak tangis.Entah itu tangis sungguhan atau hanya kepura-puraan."Enak aja, aku tuh ga pernah menyentuhmu, jangan ngaku-ngaku ya," sanggah Daniel tak menerima.Aku diam membisu merasakan hati yang sakit bagai di tusuk pisau belati, mereka saling bersitegang saling mempertahankan argumennya."Tapi malam itu, apa kamu sudah lupa, Daniel," ucap Safira, yang membuat hatiku semakin sakit."Malam itu aku ga ingat apapun, Safira, mana mungkin bisa men**aulimu." Daniel masih bersikeras enggan mengakui benih yang tumbuh di rahim Safira.Sesak rasanya dada ini, baru saja kemarin kami berbahagia lalu sekarang, kebahagiaan itu harus terkoyak oleh seseorang yang pernah mengisi masa lalunya."Sayang, percaya sama aku, anak ini bukan benihku." Daniel menyentuh pergelangan tanganku, dan mencoba meraihnya. Namun, secepat kilat kutepis.Aku tak tahu
"Gini saja, pokoknya untuk sementara kalian di sini sampe Sonia sembuh, gimana? lagian aku sih ga masalah kalau tinggal di sini, justru bagus rumah ini ada yang nempatin.""Iya, Rah, Kakak setuju usul kamu kita di rumah ini sampe Sonia sembuh, oh ya soal tawaran kerja di kantor kamu Kakak menyanggupi," ujar Kak Shanaz yang membuatku merasa lega.Akhirnya perusahaanku berada di tangan yang tepat."Alhamdulillah, terima kasih ya, Kak, sudah mau bantu jangan khawatir nanti sesekali aku akan ke kantor kok bantu kakak," jawabku."Iya, pokoknya kita kelola usaha kamu bareng-bareng."Keputusan telah di tetapkan, dan semua barang telah terkemas rapi, Daniel dan Bapak membantu menaikkan barang-barangku ke dalam bagasi, setelah kami berpamitan akhirnya mobil Daniel membawaku dan Carla menuju rumahnya."Hati-hati ya, Kak," ucap Sonia dengan raut wajah kecewa.Entahlah apakah prasangka buruk ini benar atau salah, jika Sonia merasa kecewa karena berjauhan dengan suamiku, semoga saja ini hanya seke
"Sayang, Mas bantuin Sonia tadi jatoh dari kursi roda," ujar Daniel meyakinkan.Aku mengucapkan istighfar dalam hati, mata ini terpejam beberapa saat, lalu mencerna setiap prasangka buruk ini, tak seharusnya aku bersikap berlebihan."Sayang." Sapaan Daniel membuyarkan lamunan."I-iya, emang Sonia kenapa? kok bisa jatuh?" entahlah, logikaku sulit mencerna alasannya.Mengapa bisa jatuh? tak dapat dipungkiri hati ini memanas melihat mereka."Katanya mau ambil makanan di atas bupet itu, Sayang, dia berusaha berdiri terus jatoh," jawab Daniel dengan tenang, aku menelisik wajahnya memang tak nampak raut kebohongan.Mataku bergulir menatap Sonia ia nampak biasa saja tanpa menunjukkan rasa bersalah, apa mungkin aku saja yang terlalu berlebihan karena takut kejadian masa lampau aka terulang kembali?.Oh Tuhan, tolong yakinkan hati ini jika pernikahan kami akan baik-baik saja, kuharap rumah tangga kami takkan diuji oleh hadirnya orang ketiga, karena aku takkan sanggup bersabar ataupun bertahan.
Entah mengapa aku merasa risih dengan tingkahnya, ia tersenyum begitu hangatnya kepada Daniel, seolah bayang masa lalu kembali merasuk memoriku.Sonia tertunduk sekejap lalu kembali memamerkan senyumannya.Aku menyinduk nasi ke dalam piring beserta lauk pauknya. "Habisin ya," ujarku pada Daniel."Terima kasih istriku." Tanpa rasa malu ia ucapkan itu di hadapan seluruh keluargaku.Lagi-lagi pandanganku tertuju pada Sonia, ia mencebik kala Daniel berkata mesra kepadaku. Namun, dalam sekejap ia mampu menyembunyikan itu dari hadapan kami semua."Sarah, Daniel, kapan kalian bulan madu?" tanya Kak Shanaz.Beberapa detik kemudian Sonia nampak tersedak, tangannya dengan cepat meraih satu gelas air minum."Lho itu 'kan air minum suamiku," sanggahku tak terima karena ia mengambil gelas air minum yang tinggal setengah itu."Oh maaf-maaf, Kak, aku ga lihat dulu," jawabnya masih terbatuk.Seketika rasa kesal menyeruak ke dalam dada. Namun, tangan Daniel menggenggam erat jemariku memberikan sedikit
"Sayang kamu ok, 'kan?" tanya Daniel khawatir.Aku menganggukan kepala seraya tersenyum, senyum palsu tentunya, karena dalam hati merasa merana, ingin sekali menghajar perempuan itu habis-habisan."Nanti kita temui ya, Sayang, apa maunya dia kita tanya, kaya ga ada cowo lain aja masih tergila-gila sama aku." Ia mengempaskan dirinya ke atas pembaringan.Kemudian menarik tanganku hingga ke pelukannya. "Sabar ya, Sayang, ini ujian pernikahan kita, di depan sana masih ada ujian-ujian lainnya yang menanti, kita harus kuat, ok." Ia membisikkan itu ke telinga.Mendengarnya hati yang sebelumnya memanas kini berubah menjadi sejuk, betul apa katanya setiap biduk rumah tangga takkan lepas dari ujian, tinggal bagaimana kita menghadapinya apakah akan bersabar ataukah sebaliknya."Semoga kita di berikan kekuatan ya, untuk menjalani semuanya," jawabku seraya mengelus pipinya.Ia meraih tanganku lalu mengecupnya, lepas itu ia tersenyum sambil memandang wajahku mesra."Aku mau kamu jadi istriku seutuh
Sarapan telah usai, aku sibuk merapikan barang-barang karena hendak pulang ke rumah, rasanya segan untuk menginap lama-lama, aku takut jika Carla sedang menanti kedatanganku di rumah sana."Jadi kita mau pulang sekarang?" Daniel seolah masih ingin berlama-lama di tempat ini."Iya, Sayang, kita pulang dulu setelah itu kamu bebas mengajak aku ke manapun." Ia membawa tubuh ini ke dalam dekapannya."Serius?" "Duarius, kita temui Carla dulu ya, takut dia lagi nungguin." Dalam hati aku tak ingin terlena sendiri dalam merasakan kebahagiaan ini, karena di sana ada seorang putri yang menanti kasih sayang kami.Jika aku bahagia maka putri kecilku harus merasa bahagia, jangan sampai ia merasa terabaikan karena kami terlalu sibuk memadu kasih.Beberapa menit kemudian mobil milik Daniel melaju membelah jalanan, tangannya tak pernah lepas menggenggam jemariku, sedangakan sebelah tangannya di gunakan untuk menyetir."Horee Mama dan Papa sudah pulang," teriak bocah kecil itu dengan girangnya, lalu s