Lima
Prosesi pemakaman di tengah malam“Allahuakbar!, ada apa Yu?”Aku terkejut dengan pengereman mendadak yang Wahyu lakukan, karena itu pula kami jadi nyaris jatuh dari motor.Wahyu tidak menjawab, namun jari tangannya menunjuk ke depan, ke rumah kami yang sudah berjarak sekitar tiga puluh meter di hadapan. Aku langsung melempar pandangan ke arah yang dia maksud.Masih tetap dalam posisi duduk di atas motor, dengan bantuan cahaya lampu motor yang masih menyala tidak terlalu terang, aku melihat pemandangan aneh dan menyeramkan yang terjadi tepat di depan rumah. Awalnya tidak dapat melihat dengan jelas apa gerangan yang sedang terjadi, tapi ketika mata sudah mulai terbiasa melihat dengan cahaya minimal, barulah aku dapat melihat semuanya.Ternyata rombongan pembawa keranda mayat berhenti dan berkumpul tepat di halaman rumah kami, mereka semua berdiri diam menghadap pintu depan, beberapa sosok yang berdiri di depan tetap memanggulantunan lagu keroncongTidak terasa, sudah hampir enam bulan lamanya aku menjalani hidup dan bekerja di tempat terpencil ini, tempat yang mau tidak mau kami harus terbiasa dengan suasana dan keadaannya. Wahyu pun sama, dia berusaha untuk menjalaninya dengan ikhlas dan gembira, di samping harus melakukan kewajiban sebagai pekerja perkebunan.Oleh karena itu, kami membentuk rumah dan lingkungannya senyaman mungkin sebagai tempat tinggal, agar semakin betah tinggal di sini.Tidak ada pagar sama sekali, menjadikannya tiada sekat pemisah antara rumah dan perkebunan karet. Halaman depan kami tumbuhi rumput jepang yang bagus dan terawat, di sela-selanya tertanam berbagai tanaman hias yang sedap dipandang mata. Sebelah kanan ada pohon singkong dan tanaman cabai juga. Bagian sebelah kiri kami bangun kandang ternak yang tidak terlalu besar, beberapa ekor ayam dan bebek menjadi penghuni tetapnya.Yang agak sedikit “seru” adalah bagian belakang. Bagian paling bel
"Nath, gue mau tanya sama lu, emangnya lu gak ngerasa aneh?, tiap orang yang pake susuk atau punya ilmu hitam gak berani salaman sama lu?," ucapku sebelum menyalakan rokokku."Gue sih bodo amat ya Yik, toh bukan gue yang ngerasain. lagian gue tanya ayah sama mama, jawabnya kompak, kalo itu cuma perasaan gue. Lagian ya Yik, hampir semua keluarga gue itu peka, kecuali gue, dan mereka semi kejawen, sama kayak lu modelannya," ucap Nath."Yakin lu?, gue sih yakin lu beda Nath," lanjutku.Memang saya sih yang akhirnya mendorong Nath untuk lebih peka lagi. Sebutlah saya jahat, tapi ada satu peristiwa yang mengharuskan saya menjadi jahat ke Nath untuk membuka penutup dirinya."Yik, gue sebenernya ngerti yang lu maksud, cuma gue belom yakin aja, gue tau kenapa mereka gak mau jabat tangan sama gue alasannya apa, almarhum kakek gue udah pernah cerita, cuma gue gak nyangka imbasnya bakalan kayak gini, dimana gue dianggep aneh. Bayangin aja Yik, semua diajakin salaman, gili
Tau kali, lagian dia udah gede, dia bilang juga mau tanggung jawab, udahlah ngapain dipusingkan," jelasku."Gak segampang itu Yik," katanya sambil membersihkan kacamatanya."Mas, nanti kalau dia butuh bantuan, dia bakal nyanyi, sementara ini, biarin aja dulu, anggaplah ini proses dia menuju kedewasaan, gue tau lu naksir Shinta, tapi bukan berarti dengan itu gue bakal ngebiari lu jadi bego," selorohku."Iya, iya, ayo makan, mau sushi gak?," tanyanya lagi.Dari awal aku tahu akan ada malapetaka, bukan aku tidak mau mencegah itu terjadi, akan tetapi ketika aku cegah hal itu maka tatanan semesta akan berubah.Dan pastinya akan ada orang lain yang akan mengalami hal yang Shinta akan alami nantinya. Hari demi hari berjalan sebagaimana mestinya. Sampai aku sadari bahwa penjaga Shinta sudah tidak pada tempatnya lagi."Nath, lu mending tepok punggung Shinta deh, siapa tau dia jadi sadar," ucapku siang itu kepada Nath."Ngaco lu Yik, lu mau Shinta ngamuk apa
"Gue harus apa?, paman gue minta gue buat nurutin apa kata lu Yik," kata pak Brata."Gue gak bisa berbuat apapun kalau itu nggak datang dari diri lu sendiri, lu ke sini atas suruhan paman lu, bukan kemauan dan kesadaran lu sendiri," ucapku."Ya gimana ya pak, kalau bapak muslim, silahkan bapak solat, kalau bapak non muslim, silahkan berdoa sesuai kepercayaan bapak, siapa tahu Tuhan membukakan hati bapak, dan kami bisa membantu bapak," ucap Nath.HeningHingga tak lama kemudian pak Brata berjalan ke arah mushola kecil di rumah. Kemudian disusul mas Wisnu, mereka berdua solat berjamaah. Entah apa yang mereka minta, yang jelas malam itu tiba-tiba hujan turun sangat deras, seolah-olah semesta mendukung apa yang akan kami lakukan.Aku dan Nath hanya terdiam diantara rinai hujan, kopi, dan kepulan asap. Tak ada satupun dari kami berdua membuka suara, seolah-olah kami sedang bercengkerama dengan ketiganya. Hanya rinai hujan yang sesekali mengenai wajah kami berdu
Lu bisa gak diem!," bentaknya."Enggak," kataku kemudian."Udah tenang dulu, mending kita makan dulu, biar bisa mikir, jujur gue kelaperan dari tadi," ucap Nath."Beli bakso sajalah apa nasgor, yang gak ribet, gue males yang ribet-ribet," kataku.Ayah Shinta pun keluar, dan berkata "Maaf ya kami lupa memberi kalian makan dan minum, maaf,""Gak apa-apa pak, lagian ada bapaknya si dede bayi yang siap nanggung pengeluaran kita kok, bapak tenang aja," ucapku.Yang disambut gelak tawa mereka semua, kecuali pak Brata. Sementara kami semua makan, pak Brata masih sibuk dengan gawainya. Masih menimbang-nimbang akan menghubungi istrinya atau tidak.Di satu sisi dia sudah jatuh hati dengan bayinya, di sisi lain ada hati yang dia sakiti. Yang namanya perselingkuhan, pasti akan ada hati yang tersakiti."Makanya, lu jadi laki jangan culametan," celetukku.Pak Brata melempar batu ke arahku dan berhasil mengenai kepalaku, sakit sih tapi ya gimana ya, d
Perkenalkan namaku Basuki. Sekitar pertengahan tahun 2006, aku melanjutkan SMP di salah satu pesantren modern. Sebenarnya aku tidak mau masuk pesantren, tapi ibulah yang bersikeras agar aku belajar ilmu agama di sana. Oya, perkenalkan juga teman SD-ku namanya Hadi. Dia juga akan masuk pesantren yang sama denganku.Pagi sekali, mobil travel berhenti di depan rumahku. Ibu dari semalam sudah mengemas semua barang-barangku. Hanya ibu yang akan mengantar ke pesantren karena bapak sedang kerja di kota."Jadi mondok juga kau, hah?" Mang Damin, si sopir menyeringai ke arahku."Jadilah Mang." ibu yang menjawab. Dia tergopoh-gopoh membawa koper yang berisi pakaianku.Seorang kondektur dengan sigap membantu ibu, lalu memasukkan koper itu ke dalam bagasi mobil.Di dalam mobil tampak Hadi sedang duduk dengan wajahnya yang kecut. Mungkin ia juga dipaksa untuk masuk pesantren. Sepanjang perjalanan, aku coba membayangkan seperti apa kehidupan di pesa
Akibat Mengencingi Pohon Angker“Siapa namamu?” tanya ayah Sandi.“Ba… Basuki, Pak,” jawabku terbata-bata dan masih dalam posisi telentang.“Berdiri,” pintanya.Kuturuti perintahnya. Ragu-ragu aku berdiri sambil tertunduk. Aku tidak berani menatap wajah ayah Sandi yang mengerikan itu.“Pegang lenganku!”Dia menjulurkan lengan kanannya. Perlahan kupegang lengannya itu.“Ada denyut nadi?” tanyanya.Aku mengangguk, padahal aku tidak merasakan sedikit pun denyut nadi di pergelangan tangannya.“Aku masih hidup. Jangan menakut-nakuti temanmu. Kasihan Sandi,” lanjutnya.“Baik, Pak. Maafkan saya.”Aku minta maaf. Padahal aku sama sekali tidak merasa bersalah. Dia lalu beranjak dari kamar, sedangkan aku sempat pipis sedikit di celana saking takutnya. Aku tidak akan pernah lupa kejadian mengerikan itu.
Siapa nama kamu?Gina, lu serius berani sendiri?"Fika mengarahkan cahaya senter ke gedung sekolah tiga lantai. Tak ada lampu yang menyala di gedung itu, mungkin listriknya sedang mati."Iya Fik. Itu jam tangan pemberian almarhum nyokap gua. Takut ilang kalau nggak diambil sekarang.""Lagian lu ada-ada aja pake lupa segala. Eh, gua nggak berani nganter lu masuk ke kelas, ya. Gua nunggu di sini.""Iya nggak apa-apa. Lu jagain motor gua.""Eh, tapi gua juga takut sendirian di sini gimana dong?" Fika merengek."Lu tenang aja. Gua pasti nggak akan lama-lama."Gina membuka gerbang sekolah yang kebetulan tidak dikunci. Sekolah SMA Setia Bakti memang tidak ada satpamnya. Pihak sekolah sudah membuka lowongan, tapi tidak ada orang yang berani melamar. Banyak cerita horor yang beredar dari mulut ke mulut tentang sekolah itu."Gin, tunggu. Lu yakin mau masuk," Fika menarik lengan bajunya Gina."Eh, gua kan udah bilang kalau gua yakin mau masuk.