“Lo kenapa diem aja? Cepat beli kopi buat atasan lo! Beliin gue juga!” ucap wanita itu beralih pada Trisha.
Trisha hanya bisa mengangguk dengan senyuman paksa, dia sudah menggerutu dari dalam hatinya. Rasanya ingin cepat-cepat mengakhiri semua ini, namun semua itu sangat mustahil. Ini baru hari pertamanya, tapi kenapa terasa sangat melelahkan?
Bukan lelah fisik, melainkan batin. Dia benar-benar lelah menahan diri untuk tetap tersenyum saat ingin marah.
Tak lama Trisha pergi, Sev yang masih dirangkul itu sudah tidak tahan pada wanita ini. Lelaki itu tidak bisa marah pada wanita yang satu ini karena dia termasuk seniornya.
“Lepas, Zihan,” ucap Sev pada wanita yang merangkulnya.
“Lo enggak kangen sama gue, Sev? Padahal gue baru aja pulang dari Singapura dan ikut pemotretan ini demi ketemu lo,” ujar wanita itu melepas rangkulannya dengan memasang wajah sedihnya melihat ke arah Sev.
Zihan Rauhel, aktris senior yang sedang naik daun. Dia sudah banyak memainkan film dan beberapa series drama. Dia bahkan pernah main film Hollywood beberapa bulan lalu. Dia beda agensi dengan Severino, tapi mereka berteman dekat. Zihan dan Sev hanya selisih satu tahun.
“Make up sekarang, biar cepat selesai,” ucap Sev pada pegawai yang bertugas merias wajah.
Zhui menahan tawanya saat melihat Zihan yang diabaikan oleh Sev untuk pertama kali. Selama ini memang Sev meladeni dan bermain-main dengan Zihan, tapi kini sudah berbeda. Bahkan, Sev terlihat sudah muak.
Selesai merias wajah, Sev langsung berlalu begitu saja tanpa pamit pada Zihan yang sedang di make up juga. Zhui tersenyum pada Zihan, lalu berjalan menyusul lelaki itu untuk melihat proses pemotretan.
Tak lama kepergian Sev, Trisha datang dengan membawa dua kopi di tangannya. Saat hendak meletakan gelas itu di meja Sev, Zihan langsung menahan wanita itu.
“Itu kopi apa?”
Trisha menoleh dan tersenyum tipis pada Zihan. “Cappucino, Kak,” jawab Trisha seraya mengulurkan tangannya memberikan satu gelas kopi yang ada di tangan kirinya. “Ini kopi pesenan kakak.”
Zihan menatap kopi itu dengan menautkan kedua alisnya. “Sejak kapan Sev juga cappuccino? Gue juga enggak suka cappuccino,” ucap Zihan yang membuat Trisha memutar otaknya.
Bukannya di biodata yang dikirim oleh Vanda kemarin mengatakan kalau Sev suka cappuccino? Pikir Trisha.
“Ganti. Dia lebih suka yang Americano,” ujar Zihan menepiskan tangan Trisha pelan.
Trisha menganggukkan kepalanya dan mengambil kembali gelas yang ada di meja Sev. Kalau saja wanita itu bukan artis, Trisha sudah menolak mentah-mentah permintaan wanita itu karena dia sudah merasa sangat lelah berjalan mondar-mandir.
“Kalau saja dia bukan artis, udah gue lawan dah. Gue ini asisten Sev, bukan asisten dia!” gerutu Trisha dari dalam hatinya.
Saat Trisha sudah pergi, Zihan tersenyum menyeringai dan berbicara pada asistennya yang baru saja datang membahas pekerjaan. Beberapa menit kemudian, Trisha kembali dengan membawa dua kopi di tangannya. Dia meletakkan kopi milih Sev di mejanya, lalu memberikan kopi satunya ke Zihan.
“Ini, Kak Zihan,” ucap Trisha memberikan gelas ke Zihan.
Zihan menoleh ke Trisha dan mengambil gelas itu, raut wajahnya berubah menjadi tatapan kesal. “Panas? Siapa yang minta kopi panas?”
“Kak Zihan tadi bilang mau dibelikan juga, Kak Sev lebih suka kopi panas, jadi aku pikir Kak Zihan juga mau kopi panas,” jawab Trisha.
Zihan tertawa remeh. “Apa lo enggak bisa nanya ke gue, wanita gemuk? Punya mulut, kan? Gunakan mulut lo buat bertanya!”
“Ma-maaf,” ujar Trisha berpura-pura menyesal.
“Sudah lah, ganti yang dingin,” ucap Zihan memberikan gelas kopinya ke Trisha.
Trisha mengangguk. “Baiklah,” ucapnya mengambil gelas itu, lalu berjalan meninggalkan ruangan itu dengan malas. Kesabaran Trisha masih tersisa sedikit, itu pun berkat permen yang dia bawa. Kini permen itu tersisa dua, padahal tadi dia membawa sangat banyak. Menandakan kalau Trisha sudah sangat kesal sejak tadi, tapi dia berusaha untuk menahannya.
“Kalau dia bukan temen Sev, gue juga enggak mau beliin dia kopi. Emang gue pembantunya? Gemuk-gemuk gini juga gue …” Dia menghentikan ucapannya, lalu menarik napas panjang dan mengembuskan dengan perlahan. Trisha tidak mau emosinya kembali muncul karena dia menggerutu tidak jelas.
Tujuh menit kemudian dia kembali dengan satu gelas kopi yang sesuai dengan pesanan Zihan. Americano yang dingin. Trisha meletakan gelas kopi itu di meja. “Ini, Kak.”
“Terima kasih,” ucap Zihan mengambil kopi itu lalu meminumnya sedikit, raut wajahnya berubah kembali dan melihat ke arah Trisha.
“Pahit, ganti latte,” ucap Zihan memberikan gelas itu pada Trisha.
“Tap-tapi, Kak, aku ini asisten Sev, bukan—“
“Lo siapa berani lawan gue?”
Trisha yang tak mau mempunyai masalah dengan aktris yang terkenal ini, akhirnya dia mengambil kopi itu dengan malas. “Ternyata artis yang menyebalkan itu bukan cuma Sev? Gue pikir cuma Sev yang beda tapi ternyata temennya juga?” gerutu Trisha pelan dengan berjalan sedikit menundukkan kepala.
Dia tidak melihat depan dan terus menggerutu, sehingga dia tidak sengaja menabrak Sev yang baru saja selesai pemotretan. Spontan Trisha mengangkat kepalanya dengan mengucapkan maaf. Matanya membelalak lebar saat mengetahui kalau lelaki yang dia tabrak itu adalah Sev.
“Ma-maaf, maaf, gue enggak sengaja,” ucap Trisha mundur satu langkah ke belakang.
Sev menatapnya tajam dengan berdecak pelan. “Kalo jalan lihat depan!” ketus Sev yang membuat Trisha hanya menjawab dengan senyuman.
“Mau ke mana? Oh, gue tau. Lo pasti mau kelayapan, kan? Lo niat kerja nggak?!” tanyanya.
Trisha yang mendengar itu langsung menggeleng cepat. “Mana mungkin, gue mau ke bawah buat beli kopi.”
Sev menaikkan satu alisnya. “Itu di tangan lo apaan? Bakso?”
Trisha memutar bola matanya malas, dia benar-benar lelah berhadapan dengan dua orang menyebalkan sekaligus. “Ini kopi, tapi salah. Kak Zihan minta tukar.”
“Hah? Gue nggak ngerti maksud lo.”
“Gue tadi beli kopi cappuccino, dia mau yang americano. Gue beli yang americano panas, dia minta yang dingin. Gue beli yang dingin, tapi dia bilang kalau kopinya terlalu pahit. Terus minta tukar yang latte,” jelas Trisha panjang lebar.
Sev yang mendengar itu hanya menghela napas dan mengulurkan tangannya. “Berikan kopi itu,” ujar Sev mengambil gelas kopi itu dari tangan Trisha, lalu berjalan mendekati Zihan yang sedang memakai make up. Trisha berjalan mengikuti Sev dari belakang.
“Ji, tanya atasan lo, dia mau yang dingin atau panas, pahit atau manis. Kalau perlu kasih dia air comberan!” ucap Sev pada asisten Zihan dengan meletakan gelas kopi itu di meja dengan kasar, bahkan kopi itu sedikit tumpah.
“Ji, tanya atasan lo, dia mau yang dingin atau panas, pahit atau manis. Kalau perlu kasih dia air comberan!” ucap Sev pada asisten Zihan dengan meletakan gelas kopi itu di meja dengan kasar, bahkan kopi itu sedikit tumpah.Sev langsung membalikkan tubuhnya dan hendak pergi, namun tangan Zihan menahan lengan lelaki itu.“Sev,” panggilnya dari belakang. Sev diam, dia tidak menjawab panggilan Zihan.“Lo kenapa bela dia? Bukannya tadi lo bentak-bentak dia?” tanya Zihan menunjuk ke arah Trisha.Sev menghela napas, dia menyingkirkan tangan Zihan dari lengannya, lalu membalikkan tubuhnya dengan senyuman paksa. “Trisha itu asisten gue, dia enggak ada kewajiban buat membeli dan mengganti kopi lo. Yang berhak menyuruh dan membentak dia itu gue, bukan lo! Ngerti?”Zihan yang mendengar itu langsung mendengus dan kembali duduk di kursinya, sedangkan Trisha yang dibela oleh Sev pun merasa sedikit senang. Dia tersen
Lima menit berlalu, bus yang ditunggu Trisha pun datang. Dia beranjak dari duduknya dan berjalan dua langkah untuk menunggu orang yang keluar dari bus itu. Setelah tidak ada yang keluar dari bus itu lagi, Trisha langsung masuk ke dalam dan duduk di kursi yang kosong. Kepalanya menyandar dengan mata menatap keluar jendela.Entah kenapa dia sangat menyukai langit senja.Tak membutuhkan waktu lama, bus yang dinaiki Trisha sampai di halte depan studio. Saat dia keluar dari bus, wanita itu tersenyum ketika melihat Vanda yang sudah menunggu kedatangannya.Vanda beranjak dari duduknya dan tersenyum pada Trisha. “Gimana? Lancar? Apa hari lo menjadi menyenangkan? Lebih berwarna? Kepala lo udah enggak mikir adegan membunuh atau berantem, kan?” tanya Vanda dengan rentetan pertanyaannya.Bukannya mendapatkan jawaban, wanita itu justru mendapat pukulan pelan di lengannya. Trisha langsung berjalan keluar dari halte dan masuk ke studio meninggalkan Vanda yang terus memanggi
Sedangkan gadis yang dilihat oleh Sev tidak menyadari tatapan Sev, dia masih asyik mengelus kepala kucing itu. Dia mulai menggambar dengan iPad, dan memakan satu suapan mi instannya. Dengan mata yang sesekali menatap langit malam. dia mulai masuk ke imajinasinya. Tangannya bergerak dengan lihai menggambar di layar iPad dengan bantuan pen yang dia pegang.Pergerakan tangannya terhenti ketika mendengar ponselnya yang berdering, dengan cepat dia mengambil ponselnya. Matanya sedikit terbelalak saat melihat nama sang mama terpampang di layar ponsel. Trisha berdeham dengan menghela napas panjang. Lalu, mengusap tombol hijau ke atas.“Halo, Ma. Kenapa?” tanya Trisha saat menempelkan ponsel ke telinga.“Halo, kamu lagi di mana? Udah sampai rumah? Udah makan? Makan apa kamu hari ini,” tanya sang mama dari seberang telpon.Trisha tersenyum tipis saat mendengar pertanyaan sang mama, dia sudah tau kalau mamanya akan bertanya seperti ini. &ldqu
Pesan terakhir yang Zhui kirim membuat Trisha langsung bergegas keluar rumah, dan berlari. Dia celingukan mencari taksi, karena sudah larut, tidak mungkin ada bus yang datang. Satu-satunya harapan adalah taksi.Jarak yang dikirim Zhui pun lumayan jauh, jadi tidak mungkin dia berlari ke sana. Dia sangat cemas, karena Zhui juga tidak bisa menolong Sev. Sedari tadi dia terus berdoa dalam hati agar menemukan taksi.Trisha tersenyum saat melihat taksi dari kejauhan yang melaju ke arahnya. Dia melambaikan tangannya guna memanggil taksi itu. Dua lampu jauh pada taksi itu berkedip, menandakan kalau dia akan segera datang.Setelah taksi berhenti di hadapan Trisha, dengan cepat wanita itu masuk ke dalam. Dia memberikan ponsel itu pada sang sopir untuk menunjukan alamat yang di kirim oleh Zhui.“Malam-malam ke bar, Mbak? Enggak takut? Mbaknya bukan—““Bukan, Pak. Saya mau jemput …”“Pacar ya, Mbak? Anak muda jaman sekarang, tuh, pasti
Lin memasukkan Sev ke dalam mobil dengan perlahan dibantu oleh Trisha, lalu pria itu menatap Trisha dengan tatapan tak enak. Karena ini sudah malam, dia takut kalau terjadi apa-apa dengannya.“Ada apa?” tanya Trisha.Lin menggeleng. “Kau yakin tidak mau saya antar ke rumah?” tanyanya memastikan lagi.“Iy—maaf, saya angkat telpon dulu,” ujar Trisha seraya mengambil ponselnya yang ada di saku.Satu panggilan masuk dari Vanda membuat dia langsung mengangkat telepon itu. “Halo, Van. Lo di mana?”“Gue ada di dekat bar, lo di mana? Gue susul.”Bibir Trisha perlahan membentuk senyuman mendengar ucapan Vanda, dia merasa beruntung mempunyai teman yang selalu ada di saat seperti ini.“Halo! Lo di mana, Sha! Jangan bikin gue panik dong!”“Gue di … depan bar, dekat tiang.”“Oke, gue tutup, ya!” ujar Vanda yang langsung memati
"Gue mau izin Zhui dulu, lo istirahat--" Ucapannya terhenti saat Trisha menggelengkan kepalanya cepat. "Kenapa?" tanya Vanda yang tidak mengerti maksudnya."Lo tau Sev, kan? Bisa dipecat gue kalau hari ini izin. Sekarang jam berapa?" tanya Trisha celingukan mencari jam dinding. Matanya terbelalak ketika melihat jam yang menunjukan pukul tujuh pagi. Dia teringat pada ucapan Sev yang akan memecatnya kalau ia terlambat."Lo kenapa, sih?""Van, panggil perawat. Kita harus pulang!" ujar Trisha dengan nada cemas.Vanda mengangguk dan langsung pergi memanggil perawat. Sedangkan Trisha, dia meraih ponselnya untuk mengecek apakah lelaki itu mengirimkan pesan. Namun, seketika dia teringat kalau lelaki itu tak mungkin menyimpan nomornya. Secara dia aktor, mana mungkin menyimpan nomor telepon sembarangan.Saat hendak meletakan kembali ke atas nakas, satu pesan masuk membuatnya mengurungkan niatnya, lalu kembali melihat ke layar ponselnya. Trisha menautkan kedu
Trisha langsung masuk ke mobil, dia duduk di samping Sev karena kursi paling belakang sudah penuh dengan barang.Mobil itu pun melaju meninggalkan rumah sakit, dan bergabung dengan kendaraan lainnya di jalan raya. Trisha mendadak canggung dengan Sev, karena mengingat kejadian tadi malam di bar. Meskipun tidak berbuat apa-apa, tapi entah kenapa jantung wanita gemuk itu berdegup kencang saat duduk sebelahan dengan Sev.“Sha, kita langsung menuju lokasi syuting. Itu udah gue bawakan minuman dan camilan untuk Sev,” ujar Zhui memecahkan keheningan.Trisha mengangguk paham. “Baik, Kak. Terima kasih, maaf merepotkan,” ucap Trisha yang merasa tidak enak. Padahal seharusnya semua ini menjadi tugasnya, bukan Zhui.“Sama sekali tidak merepotkan. Justru gue mau berterima kasih sama lo, karena tadi malam lo udah datang tepat waktu. Sev ini tidak kuat minum, tapi selalu saja pergi ke bar. Apa tadi malam dia bikin repot?” tanya Zhui s
Yang masih menjadi pertanyaan di pikiran Trisha adalah, kenapa dia membenci komik dan mangaka? Apakah dulu dia pernah dikhianati oleh mangaka? Benar-benar membuatnya penasaran.“Jangan sering-sering natap gue! Nanti lo suka lagi sama gue!” ketusnya seraya berjalan meninggalkan Trisha yang baru saja tersadar dari lamunannya. Dia berdecak kesal, lalu menoleh dan menatap punggung Sev yang sudah jauh itu.Menyukai Sev? Hanya orang buta yang menyukai Sev. Menjadi asistennya saja sudah menjadi hari tersialnya, apalagi pacaran? Bisa mati di tempat wanita gemuk itu.“Jangan ditatap terus, nanti suka lagi!” Ucapan seseorang dari belakang membuat Trisha terlonjak kaget dan langsung membalikkan tubuhnya. Spontan tangannya itu memukul pelan lengan Vanda yang baru saja datang.“Bikin kaget lo! Cepet banget perasaan?”Vanda terkekeh pelan ketika mendengar suara omelan dari Trisha, dia meletakkan tasnya di meja, lalu duduk deng
Trisha berjalan di tepi pantai yang sudah tidak ada pengunjung sama sekali. Tiga tahun ini dia selalu datang ke pantai, tempat pertama kali dia bertemu dengan Sev. Dengan harapan lelaki itu datang menghampirinya.Wanita itu kembali menangis ketika teringat pada masa lalunya. Dia benar-benar merindukan lelaki itu. Dia adalah orang yang membuatnya berdiri sampai sekarang, tanpa dia mungkin Trisha tidak akan menjadi mangaka.Tiba-tiba saja ada seseorang yang berdiri di hadapannya. “Jangan nangis, nanti make-up lo luntur.”Trisha yang mendengar perkataan itu merasa tidak asing dan langsung mengangkat kepalanya, matanya menatap lelaki itu dengan tatapan tidak percaya.Severino berdiri di hadapannya dengan tersenyum lebar dan membentangkan tangannya. Trisha pun langsung berdiri dengan memeluknya erat.“Kenapa lo nggak kasih tau gue kalo udah balik?!” tanya Trisha dengan menangis sesenggukan.Sev mengelus punggung Trisha den
Tanpa dirasa tiga tahun berlalu dengan sangat cepat. Trisha melewati banyak rintangan dan sukses menjadi mangaka yang memiliki banyak penggemar. Tidak hanya dari Indonesia, tapi dari berbagai negara menyukai komik yang dibuat oleh wanita gemuk itu. Ralat, wanita yang sangat cantik dengan tubuh ideal.Trisha berhasil diet dengan cara memperbaiki pola hidupnya. Tidak ada panggilan wanita gemuk lagi untuknya.Trisha sudah sangat sukses di dunia komik, dia mendapatkan banyak penghargaan dan tawaran dari penerbit. Tidak hanya itu, satu komik yang sudah terjual jutaan eksemplar akan dijadikan film oleh salah satu sutradara terkenal. Benar-benar perkembangan yang pesat.Hanya saja, Trisha masih merasakan ada yang kurang dari semua pencapaian ini. Ya, kehadiran seseorang yang sudah dia tunggu selama tiga tahun.Tanpa di rasa wanita itu menunggu Sev selama tiga tahun. Dia sangat merindukan sosok lelaki itu yang menghilang tanpa kabar.Dua hari yang lalu, Tr
Tiga hari berlalu dengan sangat cepat, tidak bagi Trisha yang merasa kalau hari sangatlah lambat. Selama tiga hari dia tidak keluar dari apartemen, tidak membuka ponsel dan tidak melihat televisi. Semua itu dia lakukan hanya untuk tidak melihat wajah Sev.Trisha berhasil melakukan itu, tapi tidak berhasil melupakan lelaki itu dalam ingatannya. Entah kenapa setiap ingin melupakan, justru dia semakin ingat akan perhatian Sev yang dilakukan diam-diam. Apa kabar dengan lelaki itu? Apa dia semakin menerima banyak tawaran film?Tidak hanya Sev yang dia pikirkan, melainkan memikirkan cara agar komiknya kembali lagi dari platform dan membersihkan namanya itu. Vanda selalu menyuruhnya untuk menenangkan pikiran dan istirahat satu minggu.Namun, baru lima hari dia sudah merasa bosan dan ingin kembali bekerja seperti biasanya. Dia ingin melihat Sev meski dari kejauhan. Ia juga sudah menghitung total tabungan yang dimiliki. Uangnya hanya bisa membayar setengah dari jumlah to
Langkah Sev terhenti di tepi pantai, dia menatap tempat pertama kali bertemu dengan Trisha. Pertemuan yang pada saat itu Trisha tidak tahu kalau Sev adalah aktor. Lelaki itu duduk tanpa menggunakan alas apapun, pandangannya lurus ke depan.Entah kenapa, wanita itu membuat perubahan terbesar dalam hidupnya. Sev belum bisa melupakan Trisha, tapi dia ingin melupakan dia agar bisa pergi meninggalkan Indonesia dengan mudah. Yang ada di pikirannya adalah ‘apa dia mau menunggunya?’Sev merasa kalau Trisha sudah membenci dan tidak ingin bertemu lagi. Lelaki itu melirik ke kanan, dia mendapati wanita gemuk yang duduk seorang diri di tepi pantai dengan memakan burger. Bukankah itu sama seperti Trisha dulu? Bibir Sev perlahan tersenyum.Lelaki tampan itu mulai menyadari perasaannya. Dia tidak menyukai Tiana, yang dia sukai adalah Trisha. Hanya wanita itu yang membuatnya nyaman. Namun, sekarang sudah terlambat. Sev ingin mengulang semuanya, dia ingin lebih dekat
Tok … tok … tok …“Kak, ada yang cari lo,” ucap Beni dari luar ruangan yang sedikit berteriak.Zhui yang mendengar ucapan Beni kembali membuka matanya perlahan dengan menarik napas panjang dan mengembuskan dengan perlahan. “Ya, tunggu!” teriaknya seraya membenarkan posisi duduknya, lalu menoleh ke arah Sev yang masih memejamkan mata.“Gue harap, lo nggak melakukan hal buat gue marah! Jangan klarifikasi kalo lo nggak mau kehilangan pekerjaan lo!” perintah Zhui berdiri dari duduknya.“Gue nggak janji,” jawab Sev yang membuat Zhui mendengus dan melangkahkan kakinya keluar dari ruangan meninggalkan Sev.Saat mendengar suara pintu tertutup, Sev membuka matanya perlahan seraya mengeluarkan ponselnya dari saku. Dia menatap seisi ruangan dengan senyuman samar. “Maaf, Zhui. Gue harus melakukan sesuatu. Gue nggak mau jadi pengecut yang selalu bersembunyi setiap ada masalah,” gum
“Ada apa?” tanya Sev seraya masuk ke ruangannya dan duduk di hadapan Zhui dengan raut wajah bingung.Zhui memijat pelipis untuk sedikit menghilangkan rasa pening, banyak direktur yang menelponnya setelah melihat berita di artikel. Sang manager menyuruh temannya untuk mencari tau siapa yang membuat berita tidak jelas itu. Dia juga menyuruh security untuk memperketat orang yang masuk ke perusahaan untuk mengantisipasi agar tidak ada wartawan yang masuk.Wanita itu memutar laptopnya untuk memperlihatkan kabar yang menjadi trending. Banyak yang bertanya tentang kebenaran hubungannya dengan Tiana, ada juga yang tidak percaya kalau perusak hubungan Tiana adalah Sev.Sev yang membaca isi artikel itu mengepalkan tangannya, dia sangat marah pada orang yang membuat berita tidak benar itu.“Kita harus—““Direktur dan sutradara membatalkan kontrak setelah membaca skandal ini. Masalah lo kali ini sulit untuk diselesaikan, Sev
Sev yang tengah menunggu pesanannya di restoran hanya diam dengan menatap luar jendela. Dia memikirkan ucapan Zhui. Apa dia sudah keterlaluan pada Trisha?Dia mengamati beberapa pengunjung yang bermesraan dan saling mengobrol, tiba-tiba saja dia teringat pada Trisha saat makan berdua di restoran, dia juga ingat saat dia sering mengajaknya berbicara dan bermain game.Sev mengeluarkan ponselnya dan mengabaikan panggilan telepon dari Zhui. Dia membuka platform dan mencari komik milik wanita gemuk itu. Melihat banyak chapter yang sudah diterbitkan membuat perkataan Zhui terngiang di dalam pikirannya.“Dia udah banyak berkorban sama pekerjaan ini. Pagi dia jadi asisten lo, malam dia buat komik.”Apa benar yang diucapkan oleh Zhui? Itu artinya dia hanya tidur satu jam setiap harinya? Pikir Sev yang melihat waktu penerbitan komik itu. Banyak chapter yang diterbitkan antara pukul tiga atau empat subuh. Sev tau kalau wanita gemuk itu selalu ba
Trisha sementara waktu tinggal di apartemen Vanda karena rumah dan studio sudah dikerubungi oleh wartawan untuk meminta kejelasan. Wanita gemuk itu juga terus menghubungi Sev meski pesan tidak ada yang dijawab satu pun. Jangankan dibalas, dibaca pun tidak.Wanita itu hanya bisa melihat Sev dari televisi. Dia tidak diperbolehkan keluar rumah sampai wartawan pergi dengan sendirinya. Sev pun tidak memberikan tanggapan lagi, dia hanya bilang kalau akan menuntutnya. Benar ucapan Lio. Sev tidak akan tinggal diam.Yang wanita gemuk itu pikirkan sekarang adalah cara membayar uang kompensasi untuk penerbit dan tuntutan Sev. Uang tabungan Trisha tidak cukup, dia juga tidak mau merepotkan orang di sekitarnya. Trisha merasa kalau ini adalah masalahnya sendiri.Seharusnya Trisha tidak menjadi asisten Sev dan memilih untuk mencari referensi lain. Namun, sudah terlambat untuk menyesali.Trisha merebahkan tubuhnya di kasur dengan menatap langit dari jendela, entah kenapa
Trisha sedari tadi melihat ke layar ponsel dengan harapan kalau Sev membalas pesannya. Namun, nihil. Sudah dua jam tidak ada balasan darinya. Hati wanita gemuk itu gusar dan bingung harus berbuat apa. Hanya satu yang diinginkan olehnya, Sev memaafkannya.Vanda yang melihat Trisha tampak gelisah pun hanya bisa menghela napas panjang sambil memakan cheese cake strawberry yang baru saja datang. Dia juga bingung harus membantu sahabatnya itu bagaimana.“Sha, udah dua jam lo lihat ke ponsel, tapi tetep aja nggak ada balesan. Sev butuh waktu buat maafin lo,” ucap Vanda dengan wajah datarnya.Trisha meletakan ponsel di meja dengan melihat ke arah Vanda. “Menurut lo … Sev bakal maafin gue nggak?” tanya Trisha.Vanda mengangkat kedua bahunya pertanda tidak tau. Namun, melihat tingkah Trisha yang berbeda sebelumnya membuat ia curiga. “Kenapa lo khawatir banget soal Sev maafin lo apa nggak? Jangan bilang lo … suka