Share

Bab 2

Penulis: Kiah Nyla
Ketiga kakakku sangat menyayangi adik perempuanku, sedangkan mereka selalu menjauhiku. Bahkan pelayan di rumah pun memperlakukanku dengan setengah hati.

Aku sering tidur dalam keadaan lapar, tapi aku tetap bertahan hingga umurku delapan belas tahun.

Kak Samuel sering berkata orang jahat sepertiku pasti akan hidup lama.

Aku pun mulai berpikir, apakah karena aku terlalu jahat, sehingga aku terus hidup dan sulit untuk mati?

Aku bangkit dari kasur, menyeret sandal, lalu berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka.

Rambut kusut dan wajah yang tampak kurus, siapa pun yang melihatku tidak akan menyangka aku adalah putri sulung dari keluargaku.

Namun, aku tidak peduli dengan semua itu, karena aku melihat hitungan mundur di atas kepalaku.

Melalui cermin, angka merah itu jelas terlihat jelas di atas kepalaku.

Akhirnya, hari itu tiba juga.

Aku ingin tertawa, tapi hanya bisa tersenyum tipis.

Aku meletakkan gelas di tanganku, memandangi bayanganku di cermin dan larut dalam pikiranku.

Aku tidak punya teman, orang yang biasanya berinteraksi denganku sangat sedikit. Jadi, bagaimana aku harus melewati hari terakhir ini?

Setelah berpikir cukup lama, aku perlahan bersiap-siap dan turun dari kamar kecilku di lantai atas.

Kamar asliku sudah lama dijadikan ruang ganti untuk adik perempuanku sejak dia lahir.

Dulu, aku sering berdiri di jendela kecil lantai atas, memperhatikan adikku bermain di taman. Dia begitu ceria dan tertawa tanpa beban.

Sedangkan aku hanya bisa bersembunyi dalam kegelapan, mengintip kebahagiaan mereka.

Aku tak menyangka kakak kedua dan adikku masih ada di rumah sekarang.

Saat menuruni tangga, aku mendengar suara tawa riang Selina, adikku.

Dia memegang dasi dan berkata dengan semangat, "Kak Stephen, biar aku yang bantu pasangkan dasimu."

Stephen, kakak keduaku menundukkan kepalanya, membiarkan adikku memasangkan dasi di lehernya. Dia menatap adikku dengan penuh kasih sayang, meskipun dasi itu dipasangkan dengan cara yang salah.

Selina mundur beberapa langkah dan melihat hasilnya, lalu berkata dengan nada agak kesal, "Sepertinya miring, bagaimana kalau kakak pasang sendiri saja?"

Namun, Stephen tidak melepas dasinya. Sebaliknya, dia tersenyum dan mengusap kepala adikku.

"Nggak apa-apa, ini pertama kalinya Selina memasang dasi kakak, ini sudah sangat bagus!"

"Yuk, kakak antar kamu ke sekolah."

Mendengar itu, Selina dengan gembira menggandeng Kak Stephen.

Hatiku terasa perih.

Mengingat masa kecilku, dulu aku pernah membuat syal untuk pertama kalinya. Aku menghabiskan beberapa hari untuk merajut syal itu, meski hasilnya tidak sempurna.

Dengan gugup, aku memberikan syal itu pada Kak Stephen, berharap mendapat pujian darinya. Aku ingin dia mengusap kepalaku seperti dulu.

Namun, dia tidak menerimanya. Wajahnya tampak tidak senang dan berkata, "Jangan-jangan setelah pakai syal ini malah mendapat kutukan darimu."

Akhirnya, aku memberikan syal itu untuk anjing kecil kami yang bernama Mochi, agar ia bisa lebih hangat di tempat tidurnya.

Namun keesokan harinya, aku menemukan syal itu di tempat sampah. Syal itu sudah digunting menjadi beberapa bagian yang tak bisa disatukan lagi.

Tak peduli dengan kotornya tempat sampah, aku memungut syal itu dengan hati-hati, mencuci dan menyimpannya di dalam kotak. Sejak itu, aku tidak pernah mengeluarkannya lagi.

Ketika pintu depan terbuka dan mereka hendak pergi, aku memutuskan untuk mencoba memanggil mereka,

"Kak Stephen, Selina."

Saat mereka melihatku, reaksi mereka sangat berbeda. Selina terlihat senang dan langsung memanggilku, "Kak Samantha!"

Sedangkan Stephen memasang wajah muram, seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia menahan diri karena ada Selina.

"Bolehkah kita makan malam bersama malam ini? Hanya sekali ini saja."

Ujarku dengan susah payah, menunggu jawaban mereka dengan cemas.

"Boleh!" "Nggak!"

Dua jawaban yang bertolak belakang terdengar bersamaan. Selina menoleh pada Stephen dengan bingung dan bertanya,

"Kenapa nggak?"

Iya, kenapa tidak?

"Bukannya kamu sudah janji dengan Kak Sherwin untuk menemaninya ke acara lelang malam ini?" tanya Stephen.

"Acara lelang?" jawab Selina.

Dengan tatapan Stephen yang penuh keyakinan, Selina tampak tersadar. Dia lalu melihatku dengan wajah penuh rasa bersalah.

"Maaf, Kak Samantha, aku nggak bisa makan malam denganmu malam ini."

Setelah berpikir sejenak, dia kembali tersenyum dan berkata, "Bagaimana kalau besok saja? Besok kita makan bersama sekeluarga."

Sekeluarga? Aku tersenyum getir, senyuman yang menyimpan banyak kepedihan. Rasa pahit di hatiku hampir menenggelamkanku.

Aku sudah tidak punya hari esok.

Namun, aku tetap mengiyakannya, lalu memandang mereka pergi.

Sebelum pergi, Stephen menatapku dengan tatapan tajam, seperti sebuah peringatan. Tatapan itu dingin seperti sebilah pisau, seolah ingin mencabikku perlahan.

"Samantha, jangan sampai aku tahu kalau kamu merencanakan sesuatu lagi."

"Kami nggak akan memaafkanmu kalau kamu sampai menyakiti Selina."

"Jauhi dia!"

Bab terkait

  • Hitungan Mundur Di Atas Kepala   Bab 3

    Aku melihat bayangan mereka yang semakin jauh, perasaan bahagia sekaligus gugup yang sempat kurasakan mendadak hancur, seperti terjatuh ke dalam lubang es yang dingin.Apa aku benar-benar begitu buruk di mata mereka? Seorang penjahat dan juga pembunuh?Jantungku terasa sakit, begitu juga perutku. Aku berjalan ke dapur, berharap bisa makan sesuatu, tapi tidak ada apa-apa di sana. Hanya ada setengah potong roti kukus yang sudah keras di atas meja.Aku mengambil roti itu dan memecahkan dua butir kenari untuk dimakan, tetapi itu tidak cukup untuk menghilangkan rasa laparku.Saat aku makan, salah satu pelayan lewat. Dia melirikku dengan tatapan merendahkan, seolah-olah aku tidak melihatnya.Saat melihat roti di tanganku, dia pura-pura terkejut dan berkata, "Aduh! Nona, jangan bilang kamu makan roti itu? Itu sudah harusnya dibuang!""Kami membuatnya lebih awal karena Pak Stephen dan Nona Selina bangun pagi. Kalau kamu mau makan, aku bisa masak untukmu sekarang."Ekspresi pelayan itu terliha

  • Hitungan Mundur Di Atas Kepala   Bab 4

    Seketika, tubuhku langsung membeku, lagi-lagi Selina.Aku sudah bisa menebak siapa yang meneleponnya, pasti Stephen.Wajar saja, sejak kecil aku dianggap sebagai pembawa sial. Jika bukan karena diriku, mana mungkin keluargaku meninggal satu per satu?Mengingat ancaman Samuel, tubuhku gemetaran tak terkendali.Dulu, saat ibu baru saja meninggal, aku pernah diantar pulang oleh seorang dokter wanita yang baik hati.Tiga hari penuh, aku dikunci di gudang kecil rumah oleh Samuel. Tak ada yang memberiku makan dan minum.Pengalaman itu menjadi trauma masa kecil yang sulit kulupakan hingga saat ini.Pada hari ketiga, saat aku merasa hidupku akan segera berakhir, kakak pertamaku, Sherwin tiba-tiba muncul seperti malaikat penyelamat.Dia melepasku keluar.Meskipun setelah itu, dia tak pernah benar-benar peduli padaku, setidaknya dia adalah orang yang paling baik padaku di rumah ini.Aku yakin kabar tentang permintaanku tadi pagi sudah sampai ke telinganya.Melihatku hanya diam, Samuel mengira di

  • Hitungan Mundur Di Atas Kepala   Bab 5

    Kata-kata yang selama ini kupendam akhirnya terucap dan aku bisa mendengar jelas detak jantungku sendiri.Dulu, aku selalu merasa bisa menerima kematian dengan tenang. Tapi saat ini, tiba-tiba aku merasa ingin melihat dunia ini sekali lagi.Ruangan menjadi sunyi, hanya suara napasku yang terdengar sedikit tersengal.Ketika aku berpikir dia tak akan menjawab, suara dari balik telepon justru mematahkan harapanku, langsung menjatuhkanku ke neraka."Samantha, kamu pikir dengan berbohong seperti ini kami akan merasa kasihan padamu?""Kamu benar-benar bisa menggunakan segala cara agar kami pulang. Kamu pikir kami masih sebodoh saat masih kecil dan mudah tertipu olehmu?""Jangan lupa bagaimana ayah, ibu dan kakek meninggal."Hatiku jatuh ke dasar jurang. Bukan ... bukan seperti itu!Aku berteriak dalam hati dengan penuh keputusasaan, tapi tidak ada satu pun kata yang bisa keluar dari mulutku.Air mata mengalir di pipiku, menetes ke lantai.Seperti boneka yang kehilangan kendali, aku hanya bis

  • Hitungan Mundur Di Atas Kepala   Bab 6

    Saat jiwaku mulai melayang, aku masih berpikir, kenapa diriku masih bisa melihat sekeliling?Baru ketika melihat tubuhku yang tergeletak di meja dan tidak bernapas lagi, aku pun menyadari sesuatu.Oh, ternyata aku sudah mati.Suara dari arah pintu menarik perhatianku. Aku menoleh, ternyata hanya pelayan yang pulang.Harapan terakhirku pun lenyap, mereka tidak kembali.Pelayan itu terkejut saat melihat tubuhku yang tergeletak di meja dengan foto pemakaman berdiri di sampingnya.Perlahan pelayan itu mendekatiku dan mengulurkan jarinya ke hidungku, setelah memastikan aku tidak bernapas lagi, wajahnya pucat dan dia pun menjerit.Dia mengambil ponselnya dan dengan suara gemetar, dia menelepon seseorang, suaranya menunjukkan betapa panik dirinya."Halo! Maaf, ada yang meninggal di sini ... ya benar, alamatnya di ... "Setelah menutup telepon, dia tampak berusaha menenangkan dirinya dengan menepuk dadanya. Namun tiba-tiba, dia menoleh melihatku.Tiba-tiba, ekspresinya berubah ragu.Seolah men

  • Hitungan Mundur Di Atas Kepala   Bab 7

    Bu Dokter, kakak resepsionis di studio foto dan penjual bakpao, mereka semua pernah memberi sedikit kehangatan padaku.Saat aku larut dalam pikiranku, semua saudaraku pun mulai datang satu per satu. Mendengar suara mereka, ekspresi dingin Sherwin kembali seperti biasanya.Selina menutup mulutnya, terkejut dan tak lama kemudian matanya bergenang air mata."Kakak ... kakak, kenapa bisa begini?"Isak tangisnya membuat orang sekitarnya merasa kasihan.Samuel memeluknya dan dengan lembut menenangkan, "Selina, jangan menangis, semua orang sudah ada takdirnya!"Takdir?! Gampang sekali dia mengatakannya?!Aku tidak percaya dengan takdir, tapi terkadang takdir memang suka mempermainkanku, menjadikanku orang yang berbeda ini.Aku melihat senyuman terselip di sudut bibir Samuel. Dia tersenyum, sepertinya senang akan kematianku.Mereka mengelilingi tubuhku, mungkin karena melihat fotoku dan kotak abu, mereka terdiam cukup lama.Dengan suara berat, Sherwin berkata, "Samantha baru saja menghubungik

  • Hitungan Mundur Di Atas Kepala   Bab 8

    Stephen menundukkan wajahnya ke dalam syal, tubuhnya gemetar pelan. Dia ingat saat melihatku mengambil potongan-potongan syal itu dari tempat sampah. Saat itu, dia berdiri di belakang dan mengejekku."Bagaimanapun kamu menyatukannya, dia tetap sudah hancur dan nggak akan kembali seperti semula."Kata-katanya itu penuh makna. Aku mengerti maksudnya, tanganku yang memegang syal pun terhenti. Namun pada akhirnya, aku tetap keras kepala membawanya pergi.Dari dalam kamar terdengar suara tangis Stephen yang terpendam. Sherwin dan Samuel bersandar di pintu, memandangi apa yang ada di dalam.Sepertinya ini pertama kalinya mereka melihat isi kamarku yang kecil dan gelap.Samuel tampak terkejut, dia belum pernah menginjakkan kaki di kamarku.Dia mendekati lemari pakaianku. Lemari kecil dan agak tua yang menyimpan semua pakaianku di berbagai musim.Semua benda di sini sudah berumur, kecuali ranjang kecil di tengah kamar.Itu diganti karena ranjangku pernah runtuh di suatu malam dan serpihan kay

  • Hitungan Mundur Di Atas Kepala   Bab 9

    Keesokan harinya, mereka membawaku ke krematorium sesuai keinginanku, tungku kremasiku juga mewah. Aku mengikuti jasadku memasuki tungku pembakaran, melihat jasadku perlahan dilahap api, berubah menjadi abu sedikit demi sedikit.Di tengah pembakaran, samar-samar aku mendengar suara tangisan dari luar.Aku tak terlalu memedulikan, yang jelas aku berhasil menempati kotak abu yang kupiliih semasa hidup.Awalnya, aku berpikir jika mereka tidak memahami keinginanku, aku akan masuk ke mimpi dan menghantui mereka.Untungnya, semuanya berjalan lancar. Lagipula, aku tidak terlalu ingin memiliki hubungan lebih lanjut dengan mereka.Sherwin mengangkat kotak abuku, mengantarnya ke pemakaman. Aku melihat sekeliling, tempat ini cukup bagus, bahkan ada pemandangan gunung dan air yang indah.Dia membelai fotoku, bibirnya bergerak dan saat mendekatinya, aku mendengar dia berbisik pelan, "Maaf."Maaf? Apa gunanya minta maaf sekarang? Aku bahkan sudah tak punya harapan apapun terhadap mereka.Lagipula,

  • Hitungan Mundur Di Atas Kepala   Bab 1

    Sejak kecil, aku bisa melihat hitungan mundur kematian di atas kepala orang lain.Ketika pertama kali aku melihat angka di atas kepala kakek, aku memberitahu orang tuaku.Mereka hanya tersenyum kecil, menganggapnya sebagai omongan anak kecil dan tidak memedulikannya.Namun sehari kemudian, saat aku melihat kakek lagi, dia sudah terbaring di ranjang dengan tubuh ditutupi kain putih.Banyak orang menangis sedih, tapi aku tidak benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi.Tak lama setelah itu, aku melihat hitungan mundur di atas kepala ayahku.Ketika aku memberitahunya, senyuman ayah sempat kaku sejenak sebelum kembali seperti biasa.Malam itu, aku tidak melihat ayah pulang kerja seperti biasanya.Yang terdengar hanyalah deringan telepon yang mendadak nyaring.Ketika ibu mengangkat telepon, wajahnya langsung berubah menjadi sangat pucat.Perut ibu sudah besar karena hamil, tetapi dia tetap berlari terburu-buru hingga terjatuh di tangga depan rumah.Saat itu juga, aku melihat hitungan mun

Bab terbaru

  • Hitungan Mundur Di Atas Kepala   Bab 9

    Keesokan harinya, mereka membawaku ke krematorium sesuai keinginanku, tungku kremasiku juga mewah. Aku mengikuti jasadku memasuki tungku pembakaran, melihat jasadku perlahan dilahap api, berubah menjadi abu sedikit demi sedikit.Di tengah pembakaran, samar-samar aku mendengar suara tangisan dari luar.Aku tak terlalu memedulikan, yang jelas aku berhasil menempati kotak abu yang kupiliih semasa hidup.Awalnya, aku berpikir jika mereka tidak memahami keinginanku, aku akan masuk ke mimpi dan menghantui mereka.Untungnya, semuanya berjalan lancar. Lagipula, aku tidak terlalu ingin memiliki hubungan lebih lanjut dengan mereka.Sherwin mengangkat kotak abuku, mengantarnya ke pemakaman. Aku melihat sekeliling, tempat ini cukup bagus, bahkan ada pemandangan gunung dan air yang indah.Dia membelai fotoku, bibirnya bergerak dan saat mendekatinya, aku mendengar dia berbisik pelan, "Maaf."Maaf? Apa gunanya minta maaf sekarang? Aku bahkan sudah tak punya harapan apapun terhadap mereka.Lagipula,

  • Hitungan Mundur Di Atas Kepala   Bab 8

    Stephen menundukkan wajahnya ke dalam syal, tubuhnya gemetar pelan. Dia ingat saat melihatku mengambil potongan-potongan syal itu dari tempat sampah. Saat itu, dia berdiri di belakang dan mengejekku."Bagaimanapun kamu menyatukannya, dia tetap sudah hancur dan nggak akan kembali seperti semula."Kata-katanya itu penuh makna. Aku mengerti maksudnya, tanganku yang memegang syal pun terhenti. Namun pada akhirnya, aku tetap keras kepala membawanya pergi.Dari dalam kamar terdengar suara tangis Stephen yang terpendam. Sherwin dan Samuel bersandar di pintu, memandangi apa yang ada di dalam.Sepertinya ini pertama kalinya mereka melihat isi kamarku yang kecil dan gelap.Samuel tampak terkejut, dia belum pernah menginjakkan kaki di kamarku.Dia mendekati lemari pakaianku. Lemari kecil dan agak tua yang menyimpan semua pakaianku di berbagai musim.Semua benda di sini sudah berumur, kecuali ranjang kecil di tengah kamar.Itu diganti karena ranjangku pernah runtuh di suatu malam dan serpihan kay

  • Hitungan Mundur Di Atas Kepala   Bab 7

    Bu Dokter, kakak resepsionis di studio foto dan penjual bakpao, mereka semua pernah memberi sedikit kehangatan padaku.Saat aku larut dalam pikiranku, semua saudaraku pun mulai datang satu per satu. Mendengar suara mereka, ekspresi dingin Sherwin kembali seperti biasanya.Selina menutup mulutnya, terkejut dan tak lama kemudian matanya bergenang air mata."Kakak ... kakak, kenapa bisa begini?"Isak tangisnya membuat orang sekitarnya merasa kasihan.Samuel memeluknya dan dengan lembut menenangkan, "Selina, jangan menangis, semua orang sudah ada takdirnya!"Takdir?! Gampang sekali dia mengatakannya?!Aku tidak percaya dengan takdir, tapi terkadang takdir memang suka mempermainkanku, menjadikanku orang yang berbeda ini.Aku melihat senyuman terselip di sudut bibir Samuel. Dia tersenyum, sepertinya senang akan kematianku.Mereka mengelilingi tubuhku, mungkin karena melihat fotoku dan kotak abu, mereka terdiam cukup lama.Dengan suara berat, Sherwin berkata, "Samantha baru saja menghubungik

  • Hitungan Mundur Di Atas Kepala   Bab 6

    Saat jiwaku mulai melayang, aku masih berpikir, kenapa diriku masih bisa melihat sekeliling?Baru ketika melihat tubuhku yang tergeletak di meja dan tidak bernapas lagi, aku pun menyadari sesuatu.Oh, ternyata aku sudah mati.Suara dari arah pintu menarik perhatianku. Aku menoleh, ternyata hanya pelayan yang pulang.Harapan terakhirku pun lenyap, mereka tidak kembali.Pelayan itu terkejut saat melihat tubuhku yang tergeletak di meja dengan foto pemakaman berdiri di sampingnya.Perlahan pelayan itu mendekatiku dan mengulurkan jarinya ke hidungku, setelah memastikan aku tidak bernapas lagi, wajahnya pucat dan dia pun menjerit.Dia mengambil ponselnya dan dengan suara gemetar, dia menelepon seseorang, suaranya menunjukkan betapa panik dirinya."Halo! Maaf, ada yang meninggal di sini ... ya benar, alamatnya di ... "Setelah menutup telepon, dia tampak berusaha menenangkan dirinya dengan menepuk dadanya. Namun tiba-tiba, dia menoleh melihatku.Tiba-tiba, ekspresinya berubah ragu.Seolah men

  • Hitungan Mundur Di Atas Kepala   Bab 5

    Kata-kata yang selama ini kupendam akhirnya terucap dan aku bisa mendengar jelas detak jantungku sendiri.Dulu, aku selalu merasa bisa menerima kematian dengan tenang. Tapi saat ini, tiba-tiba aku merasa ingin melihat dunia ini sekali lagi.Ruangan menjadi sunyi, hanya suara napasku yang terdengar sedikit tersengal.Ketika aku berpikir dia tak akan menjawab, suara dari balik telepon justru mematahkan harapanku, langsung menjatuhkanku ke neraka."Samantha, kamu pikir dengan berbohong seperti ini kami akan merasa kasihan padamu?""Kamu benar-benar bisa menggunakan segala cara agar kami pulang. Kamu pikir kami masih sebodoh saat masih kecil dan mudah tertipu olehmu?""Jangan lupa bagaimana ayah, ibu dan kakek meninggal."Hatiku jatuh ke dasar jurang. Bukan ... bukan seperti itu!Aku berteriak dalam hati dengan penuh keputusasaan, tapi tidak ada satu pun kata yang bisa keluar dari mulutku.Air mata mengalir di pipiku, menetes ke lantai.Seperti boneka yang kehilangan kendali, aku hanya bis

  • Hitungan Mundur Di Atas Kepala   Bab 4

    Seketika, tubuhku langsung membeku, lagi-lagi Selina.Aku sudah bisa menebak siapa yang meneleponnya, pasti Stephen.Wajar saja, sejak kecil aku dianggap sebagai pembawa sial. Jika bukan karena diriku, mana mungkin keluargaku meninggal satu per satu?Mengingat ancaman Samuel, tubuhku gemetaran tak terkendali.Dulu, saat ibu baru saja meninggal, aku pernah diantar pulang oleh seorang dokter wanita yang baik hati.Tiga hari penuh, aku dikunci di gudang kecil rumah oleh Samuel. Tak ada yang memberiku makan dan minum.Pengalaman itu menjadi trauma masa kecil yang sulit kulupakan hingga saat ini.Pada hari ketiga, saat aku merasa hidupku akan segera berakhir, kakak pertamaku, Sherwin tiba-tiba muncul seperti malaikat penyelamat.Dia melepasku keluar.Meskipun setelah itu, dia tak pernah benar-benar peduli padaku, setidaknya dia adalah orang yang paling baik padaku di rumah ini.Aku yakin kabar tentang permintaanku tadi pagi sudah sampai ke telinganya.Melihatku hanya diam, Samuel mengira di

  • Hitungan Mundur Di Atas Kepala   Bab 3

    Aku melihat bayangan mereka yang semakin jauh, perasaan bahagia sekaligus gugup yang sempat kurasakan mendadak hancur, seperti terjatuh ke dalam lubang es yang dingin.Apa aku benar-benar begitu buruk di mata mereka? Seorang penjahat dan juga pembunuh?Jantungku terasa sakit, begitu juga perutku. Aku berjalan ke dapur, berharap bisa makan sesuatu, tapi tidak ada apa-apa di sana. Hanya ada setengah potong roti kukus yang sudah keras di atas meja.Aku mengambil roti itu dan memecahkan dua butir kenari untuk dimakan, tetapi itu tidak cukup untuk menghilangkan rasa laparku.Saat aku makan, salah satu pelayan lewat. Dia melirikku dengan tatapan merendahkan, seolah-olah aku tidak melihatnya.Saat melihat roti di tanganku, dia pura-pura terkejut dan berkata, "Aduh! Nona, jangan bilang kamu makan roti itu? Itu sudah harusnya dibuang!""Kami membuatnya lebih awal karena Pak Stephen dan Nona Selina bangun pagi. Kalau kamu mau makan, aku bisa masak untukmu sekarang."Ekspresi pelayan itu terliha

  • Hitungan Mundur Di Atas Kepala   Bab 2

    Ketiga kakakku sangat menyayangi adik perempuanku, sedangkan mereka selalu menjauhiku. Bahkan pelayan di rumah pun memperlakukanku dengan setengah hati. Aku sering tidur dalam keadaan lapar, tapi aku tetap bertahan hingga umurku delapan belas tahun.Kak Samuel sering berkata orang jahat sepertiku pasti akan hidup lama.Aku pun mulai berpikir, apakah karena aku terlalu jahat, sehingga aku terus hidup dan sulit untuk mati?Aku bangkit dari kasur, menyeret sandal, lalu berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka.Rambut kusut dan wajah yang tampak kurus, siapa pun yang melihatku tidak akan menyangka aku adalah putri sulung dari keluargaku.Namun, aku tidak peduli dengan semua itu, karena aku melihat hitungan mundur di atas kepalaku.Melalui cermin, angka merah itu jelas terlihat jelas di atas kepalaku.Akhirnya, hari itu tiba juga.Aku ingin tertawa, tapi hanya bisa tersenyum tipis.Aku meletakkan gelas di tanganku, memandangi bayanganku di cermin dan larut dalam pikiranku.Aku tidak pun

  • Hitungan Mundur Di Atas Kepala   Bab 1

    Sejak kecil, aku bisa melihat hitungan mundur kematian di atas kepala orang lain.Ketika pertama kali aku melihat angka di atas kepala kakek, aku memberitahu orang tuaku.Mereka hanya tersenyum kecil, menganggapnya sebagai omongan anak kecil dan tidak memedulikannya.Namun sehari kemudian, saat aku melihat kakek lagi, dia sudah terbaring di ranjang dengan tubuh ditutupi kain putih.Banyak orang menangis sedih, tapi aku tidak benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi.Tak lama setelah itu, aku melihat hitungan mundur di atas kepala ayahku.Ketika aku memberitahunya, senyuman ayah sempat kaku sejenak sebelum kembali seperti biasa.Malam itu, aku tidak melihat ayah pulang kerja seperti biasanya.Yang terdengar hanyalah deringan telepon yang mendadak nyaring.Ketika ibu mengangkat telepon, wajahnya langsung berubah menjadi sangat pucat.Perut ibu sudah besar karena hamil, tetapi dia tetap berlari terburu-buru hingga terjatuh di tangga depan rumah.Saat itu juga, aku melihat hitungan mun

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status