“Apa ada yang salah, mengantarkan karyawanku pulang ke rumahnya saat kondisinya sedang tidak baik, Nona Hazel Skylar?”
“Nggak. Justru aku minta maaf karena sudah mengorbankan waktu Anda yang berharga, Manajer.”
“Aku sama sekali nggak merasa repot, kok.”
Sampai kapan mereka akan terus berdebat di depan gedung apartemen? Ia mulai gelisah. Bagaimana tidak, lima belas menit berlalu sejak Edward mengantarkannya pulang dengan taksi dan tiba di depan gedung apartemennya, di mana ia mendapati Hazel berdiri di depan pintu masuk gedung apartemen sambil menggosok kedua tangannya untuk menghalau hawa dingin. Lalu begitu wanita itu melihat ia pulang bersama Edwa
Raymond menutup berkas terakhir yang diberikan Thyme padanya sambil merenggangkan tubuhnya yang kaku karena terus duduk di kursi selama hampir enam jam. Matanya terasa perih akibat terus membagi konsentrasinya membaca berkas cetak dengan layar komputer di meja kerjanya. Ia menoleh, mendapati atasannya tampak sedang menikmati permen lolipopnya yang ukurannya sudah mengecil seperti anak balita sambil memandangi layar komputernya dengan antusias, seakan anak itu bukan sedang mengerjakan pekerjaannya, namun asyik bermain gim. Ia beranjak dari kursinya, menghampiri meja Thyme.“Sudah selesai?” tanya Thyme, kembali menikmati permennya.Raymond mengangguk.
Raymond mendongak, duduk di sandaran taman kota sambil memandang langit kota Cirillo yang dipenuhi awan putih. Butiran-butiran salju turun perlahan seperti kapas-kapas kecil, menutupi jalanan kota Cirillo. Matanya lalu tertuju pada seorang petugas yang setiap tiga jam sekali akan muncul untuk membersihkan sisa-sisa salju itu agar tidak mengganggu pengguna jalan, menggunakan alat pengangkut salju yang ukurannya setinggi orang dewasa. Ia tidak tahu bagaimana cara kerja alat itu, karena ukurannya yang ramping itu sanggup menelan banyak salju setiap kali hisap. Seperti lubang hitam di antariksa. Pria petugas kebersihan yang ia lihat sekarang memasang wajah datar sambil bersenandung saat menggerakkan alat itu untuk menghisap salju, tampak tidak peduli bahwa ia tengah mengamatinya. Kemunculan pria itu membuatnya sadar bahwa ia sudah menghabiskan waktunya di taman kota yang sepi itu selama enam jam.
Iya.Kemarin malam ia memang mengatakannya dengan lantang, meminta izin pada Edward agar membiarkan tinggal di apartemen pria itu. Ia butuh distraksi, setidaknya agar perasaannya pada Hazel benar-benar lenyap. Melupakan sejenak alasan kedatangannya ke kota Cirillo. Dan ia pikir, Edward bisa membantunya untuk membuat pikirannya teralih. Lalu keesokan harinya ia akan kembali menjalani aktivitasnya seperti biasa dengan beban masalahnya yang separuhnya terangkat. Walaupun Edward setuju membiarkannya menginap, namun pria itu sama sekali tidak berusaha untuk melakukan apa pun padanya, karena begitu mereka tiba di apartemen Edward, pria itu terus diam. Berbicara singkat padanya, lalu membuka matras cadangan yang disimpan di dalam lemari pakaian dan membiarkan ia tidur di tempat tidur Edward sementara pria itu tidur di matras. La
Raymond menjejalkan ponselnya ke dalam saku mantelnya setelah menerima pesan dari Thyme yang memberinya kesempatan untuk libur hari ini karena Verdict sudah mengurus segalanya. Di saat ia menginginkan distraksi, orang-orang di sekitarnya malah tidak memberinya kesempatan. Menyuruhnya untuk beristirahat—sesuatu yang dulu ia suka tapi kini ia benci. Justru di saat seperti ini, yang ia butuhkan itu kesibukan, agar pikirannya teralih walau hanya sesaat. Raymond mendesah panjang, lalu menutup lemari pakaiannya dan berjalan keluar dari ruang karyawan di kafe tempatnya bekerja. Jam kerjanya di tempat ini juga sudah selesai. Tidak mungkin ia meminta Edward untuk menambah jam kerjanya, karena sudah ada beberapa orang baru yang dipekerjakan oleh Edward, sehingga pilihan itu mustahil baginya.Sempat ia mengajak Mike yang biasa
Raymond menghisap rokoknya dalam-dalam, hingga memenuhi rongga paru-parunya, lalu mengembuskan asap rokok itu ke udara, yang segera menyatu dengan udara dingin kota Cirillo. Dari tempatnya berada saat ini—di balkon tempat ia biasa merokok, tampak gunungan salju yang menumpuk menutupi atap rumah penduduk dan beberapa fasilitas umum, sementara gedung perkantoran sama sekali tidak terganggu oleh salju karena memiliki fitur pembersih salju otomatis yang juga tidak ia ketahui bagaimana cara kerjanya. Ia hanya mendengarnya dari Rachel kemarin, saat ia terpaksa mengajak Rachel dan teman-temannya untuk makan di restoran setelah ia meninggalkan Martha. Di luar dugaan, Rachel tipe yang sangat tertarik dengan arsitektur dan teknologi, sehingga wanita itu menjelaskannya penuh antusias, dengan bahasa yang sederhana namun tetap sulit ia mengerti.
Sepanjang perjalanan pulang setelah makan siang, ia mengacuhkan Hazel yang berulang kali mencoba mengajaknya mengobrol, memasang earphone di telinganya dan memutar koleksi lagu di ponselnya agar Hazel menyerah. Usahanya berhasil, karena setelah itu Hazel tidak lagi mengajaknya berbicara. Ia terus mengacuhkan Hazel sesampainya di apartemen, memutuskan untuk mengurung diri di kamar. Hanya keluar untuk makan atau ke kamar mandi.Ia tidak tahu apakah tindakannya ini tepat atau tidak. Yang ia tahu, hanya ini pilihan yang bisa ia lakukan untuk sekarang. Lebih baik ia fokus mencari tahu tentang Simon Clive. Informasi yang ia dapatkan sangat sedikit. Martha hanya memberi sedi
“Suruh dia keluar sekarang, Kak Ray.”Verdict melemparkan tatapan tajam ke arah Edward yang berdiri di samping Raymond begitu ia menuruti permintaan Verdict untuk membawa Edward masuk ke dalam kamar Verdict. Ingin rasanya ia menjitak kepala pria yang duduk di atas tempat tidurnya dengan selang infus yang terpasang di tangan kirinya sementara tangan kanannya masih dibebat.“Nggak apa, Raymond. Aku di luar dulu. Bilang kalau sudah selesai,” Edward menepuk pundak Raymond, tampak tenang menghadapi sikap kurang ajar Verdict.“Maaf, Edward. Dia selalu seperti ini sejak dulu.’
TUTUP KARENA HARI PERAWATAN RUTINPalang hologram dengan font Helvetica kembali menyambut mereka. Di belakang palang itu, gerbang yang menjadi pintu masuk menuju taman nasional kota Cirillo yang baru ia ketahui keberadaannya hari ini kalau bukan karena Edward yang mengajaknya ke tempat ini juga tutup, sama seperti lima belas tempat yang mereka kunjungi. Bibirnya mengerucut, menahan dongkol, merutuki siapa pun orang yang sudah menciptakan hari perawatan rutin sialan itu. Setelah rencananya untuk menghabiskan waktu di arena ice skating gagal karena mereka tidak melakukan reservasi sebelum mendatangi arena (dan ia lupa jika harus melakukannya), Edward berinisiatif mengajaknya
Thyme Umberbridge memandang bayangan dirinya di kaca mobil, merapikan penampilannya. Hari ini ia sudah memberanikan diri mengajak Priska Cirillo—perempuan yang sudah ia suka sejak ia tahun pertamanya di SMA St. Ignatius. Perempuan kuat yang berhasil mengalihkan dunianya yang selama ini hanya berkutat pada belajar dan latihan mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin organisasi mafia Umberbridge, menggantikan ayahnya. Dari Priska, ia mengenal Amanda Chloe—teman satu angkatannya yang dikenal jenius dalam bermain piano (dan belakangan ia baru tahu bahwa temannya itu adalah adik perempuan dari Arnold Walter, pembunuh bayaran dari keluarga Walter yang ia kagumi sejak lama sampai ia mengikuti jejaknya dengan mengasah kemampuannya menembak secara akurat), dan Gerald Tan—teman sejak kecil Amanda Chloe yang memiliki kepribadian seperti ibu rumah tangga, dan sekarang tengah bersamanya di dalam mobil setelah ia meminta temannya itu untuk menemaninya. Ia terlalu gugup, sampai tidak menyadari ke
Suara lima anak-anak yang berlari di lorong membuat Raymond tanpa sadar tersenyum kecil memandangi mereka semua. Keceriaan anak-anak itu seolah memberikan suasana yang jauh lebih menyenangkan di tengah kumpulan para pasien rumah sakit yang rata-rata dihuni oleh orang tua. Hanya sedikit pasien yang seumuran dengannya, itu pun tidak menghabiskan waktu lama sepertinya. Anak-anak itu tertawa keras sebelum akhirnya terdiam saat seorang perawat wanita menegur mereka yang ribut. Wajah bahagia mereka memudar, disusul kepala mereka yang menunduk lesu. Ia yang baru saja menyelesaikan proses administrasi rumah sakit hanya menggeleng pelan, menghampiri anak-anak tadi dan juga perawat wanita yang masih sibuk mengomeli mereka dengan perkataan yang terus diulang-ulang. “Biarkan saja,” tangan kiri Raymond bergerak mengelus salah satu kepala anak-anak berambut panjang lurus berwarna cokelat tua yang digerai. Anak itu mendongak
Verdict meletakkan karangan bunga di atas batu nisan kakak angkatnya, memejamkan matanya sambil membentuk tanda salib di depan dada. Di sampingnya, Amanda berdiri terpaku, memandangi batu nisan dengan ukiran nama Arnold Walter. Tidak ada kata-kata khusus yang terukir di batu nisan itu selain nama dan tanggal kematian. Tangannya mencari tangan Amanda dan menggenggamnya erat, menenangkan pacarnya yang mulai menangis.“Kak. Aku nggak tahu Kakak bisa mendengarku atau nggak, tapi aku ingin mengenalkan orang paling spesial dalam hidupku sekarang,” ujarnya sambil melirik ke arah Amanda yang tengah mengusap air matanya sambil sesenggukan. “Ini Amanda Chloe, adik kandungnya Kakak dan juga pacarku. Aku tahu apa yang akan Kakak katakan jika Kakak masih hidup. Kakak pasti tidak akan suka jika tahu ini. Kalau Kakak masih hidup dan bisa bert
Dua minggu lebih ia habiskan waktunya untuk berbaring di ranjang rumah sakit yang sangat tidak nyaman, memandangi pemandangan di luar jendela. Terdengar suara decit burung-burung yang bertengger di salah satu jendela kamarnya, seperti tengah mencoba menyapanya dengan wajah polos mereka. Ia terus mengamati burung-burung itu sampai akhirnya burung-burung itu pergi dari jendela itu, menyusul kawanan mereka. Di samping tempat tidurnya, ia mendapati sosok Hazel yang tengah mengiris apel untuknya walaupun ia sudah menolak berkali-kali karena kehilangan selera makan. Begitu selesai mengupas, wanita itu menyuapkan apel itu ke mulutnya. Agak enggan, ia melahap apel itu, mengunyahnya dalam diam.“Aku hormati keputusanmu, Raymond.”Ia mengernyit kebingungan mendengar perkataan Hazel yang tiba-tiba. Sambil mengunyah apelnya, ia
Sepertinya, belum saatnya ia mati.Hanya itu kesimpulan yang bisa ia pikirkan begitu ia membuka kedua matanya, memandangi langit-langit kamar yang putih sepenuhnya. Sinar mataharinya yang memasuki ruangan itu melalui jendela kamarnya membuat matanya silau. Ada banyak alat penopang kehidupan terpasang di tubuhnya, menyulitkannya untuk bergerak leluasa. Napasnya sedikit sesak akibat alat bantu pernapasan yang dipasang untuk membantunya bernapas. Matanya tertuju pada seorang wanita berpakaian perawat yang tengah memeriksa selang infusnya.“Tuan Cooper? Sudah siuman?” Wanita itu memutar tubuhnya, menarik napas lega begitu melihatnya. Matanya hanya tertuju pada seragam yang begitu ketat membungkus tubuh wanita itu, memperlihatkan lekuk tubuh w
Raymond memandangi Thyme dan Verdict yang masih tetap berada di tempat mereka. Thyme tetap bersikap tenang, walaupun ia menangkap sedikit guratan kegelisahan di wajah kekanakan anak itu. Sementara Verdict sudah kehilangan kendali emosinya setelah melihat salah satu anggotanya dibunuh Simon, meronta sambil terus merutuki Simon yang tampak tidak mempedulikan kemarahan pria itu.Tangannya yang tidak memegang revolver itu mengepal, berusaha tetap tenang menghadapi pria yang masih menunggu jawabannya.“Apa jaminannya?”“Kamu bergabung denganku, semua orang yang ada di tempat ini akan kubebaskan.”
“Ed, aku nggak apa. Serius. Jadi bisa nggak, kamu berhenti mengkhawatirkanku?”Edward tidak menghiraukan pertanyaannya, masih terus mengamati seksama seluruh tubuhnya yang sukses membuatnya canggung setengah mati.“Ini salahku. Memang harusnya aku nggak biarin kamu melawan orang itu sendirian,” Edward kini menjauhkan tubuhnya dari Raymond, mengeluarkan tablet hologramnya, lalu menatap layar tablet hologramnya sambil menggumam pada dirinya sendiri.“Boleh aku bertanya sedikit?”“Tentu.”
Begitu efek gasnya menghilang, Raymond memberi aba-aba untuk masuk ke dalam, berlari sambil menghindari tembakan orang-orang Simon yang berjaga di sekitar lorong koridor tempat mereka berada saat ini, bersama Edward dan Lucas. Sementara sisanya telah berpencar, mengikuti arahannya. Masing-masing dari orang yang ia tunjuk sebagai pemimpin sudah membawa alat yang diberikan Hazel tadi sebagai tindakan preventif, dan memberi arahan pada mereka untuk mencari anak-anak yang ditawan di ruang bawah tanah sementara ia, Lucas, dan Edward bergerak menuju lantai dua.“Raymond?” Edward berbisik di dekatnya, tampak cemas, begitu mereka tiba di lantai dua, bersembunyi di balik dinding seraya mengisi ulang amunisi senjata mereka yang habis.“Apa?”
Raymond mematikan mesin mobilnya, mengawasi Thyme dan Verdict yang sudah masuk ke dalam bangunan itu dari jauh. Thyme memintanya untuk memarkirkan mobilnya agak jauh markas Simon Clive yang kini dipenuhi oleh orang-orang berpakaian mewah yang berbondong masuk ke dalam bangunan tersebut, disambut oleh beberapa orang berpakaian serba hitam dengan aura menakutkan di sekeliling mereka. Ia mengenali beberapa dari mereka yang mengepungnya waktu ia bersama Edward. Berulang kali ia mengetuk jemarinya, merasa frustrasi karena tidak mengetahui rencana anak itu.“Mau?” Hazel yang duduk di belakangnya menyodorkan snack bar yang sedari tadi dikonsumsi wanita itu padanya. “Buatanku sendiri. Rendah kalori, tapi cukup untuk mengisi tenagamu.”“Nggak. Aku