"Iya, aku takut Mas masih mencintai perempuan itu, kalau sekarang dia jadi janda gimana? apa Mas masih tetep mau sama dia?" tanyaku sambil menatapnya.Mas Lutfi malah terbahak, padahal tak ada yang lucu."Ya enggalah, ogah amat harus balikan sama dia, dulu kemana aja pas Mas mohon-mohon, mentang-mentang Mas miskin ga punya kerjaan dia maen terima aja lamaran orang lain, padahal 'kan di perutnya ada anakku." Mas Lutfi bergidik.Kutelisik, memang wajahnya itu tak menampakkan raut kebohongan, malah terlihat seperti jijik saat menyebut nama Sabrina."Ya iya jangan, awas aja kalau Mas tergoda lagi sama dia, aku akan bawa pergi anak ini dan Mas ga akan pernah lagi ketemu sama dia." Aku mengancam."Jangan dong, iya Mas ga akan tergoda sama dia, ngapain tergoda sama istri orang, istri sendiri saja sudah cantik seperti bidadari." Mas Lutfi mencolek daguku.Aku pura-pura mual, hanya dia yang memujiku seperti itu, baiklah mulai besok aku akan pakai skincare dan perawatan di salon, demi dirinya a
(POV Lutfi)Flashback enam tahun yang lalu."Fi, aku hamil," bisik Sabrina waktu kami janjian di warung kopi, untung saja di sini tak ada siapa-siapa, pemiliknya pun sedang di dalam tak mungkin bisa mendengarkan.Jelas saja aku menganga, masa baru satu kali melakukan langsung jadi? fikirku."Gimana ini, Fi? kalau ayahku tahu habislah aku." Sabrina nampak sedih.Awalnya aku dan Sabrina berpacaran secara sehat. Namun, karena ia sering nyamperin ke rumah dengan pakaian agak terbuka, sejak itulah aku tergoda.Ayahku bekerja di sebuah pabrik penggilingan batu, sedangkan ibu sehari-hari ngurus sawah, pulang jam satu siang.Laila kuliah, dan adikku yang tengah sudah menikah. Kalau kata orang Sunda aku itu dirunghal, alias dilangkahi karena adikku Lusi nikah duluan.Karena di rumah tak ada siapa-siapa dan Sabrina sering datang ke rumah, jadilah kami tergoda rayuan setan, hingga melakukan itu sampai kebablasan.Waktu itu aku minta maaf pada Sabrina, tapi ia bilang tak apa-apa, karena kami sama
"Sudah kubilang anak itu akan lahir sebagai anak Juna, bukan anakmu! Kamu mana sanggup membiayai hidupnya!" Untuk kesekian kalinya harga diriku sebagai lelaki seperti diinjak-injak. Biarpun miskin tapi aku bertekad takkan menyusahkan istri dan anak."Kalau Juna tahu aku hamil dia pasti marah, dan Ayah juga akan dibuat malu, sudahlah mending aku nikah sama Lutfi saja." Sabrina merengek lagi."Ya makanya kamu harus main cantik jangan sampai Juna tahu kamu sudah hamil. Ayah ga mau tahu pokoknya kamu harus terima lamaran Juna sebelum dia ngelamar gadis lain!" tegas Ayah Sabrina.Kami sama-sama menangis dan memohon, tapi Ayah Sabrina tak menggubrisnya, ia malah mengancam dan mengusirku dari rumahnya."Lutfi, sekarang kamu pergi dari rumah saya, awas kalau kamu berani membuat berantakan rencana saya, akan kupastikan bapakmu celaka saat bekerja, dan ibumu akan kupastikan kehilangan sawahnya yang tak seberapa itu."Aku merinding mendengar ancaman ayah Sabrina, pasalnya dia adalah pemilik pab
Aku bisa bernapas lega saat ibu dan bapak nampak pulang dengan Mas Lutfi."Haduhh, capeknya." Mertuaku berkeluh kesah."Ibu sama bapak tadi ke mana? nyasar?" tanyaku sambil duduk bersama mereka."Iya bisa dikatakan nyasar, tapi Alhamdulillah cepet ketemu sama Lutfi, kalau engga tulang lutut kita udah patah kali ya, Bu." Kedua orang tua itu tertawa."Aku 'kan udah bilang jangan jauh-jauh," sahut Mas Lutfi."Ya maaf, abis kita keenakan lihat rumah-rumah bagus," ujar bapak sambil meneguk air minum.Keesokan harinya, ibu dan bapak pergi lagi hendak menginap di rumah Laila, kali ini oleh-oleh yang dibawa mereka tak banyak.Usai Mas Lutfi ke pabrik, aku pergi ke rumah salah satu tetangga, dia mengundang kami makan-makan di rumahnya, katanya suaminya baru naik jabatan, selain syukuran sekaligus ajang silaturahmi ibu-ibu komplek sini.Tentu saja Kirana juga ada di sana, dan aku pun berpapasan dengannya."Gimana sekarang keadaannya Mbak Kirana?" tanya Bu Rahma alias yang punya rumah."Sekaran
"Aku emang ga punya bukti, tapi aku punya saksi." Untung otakku pintar, tak mau kalah perdebatan."Woww, gila ya kamu Kirana, ternyata pelakor!" sahut Bu silmi memaki."Aku juga punya saksi kalau aku ini bukan pelakor." Kirana tak mau kalah, licik juga dia ternyata."Ah sudah ya, ibu-ibu kita ke sini 'kan mau silaturahmi juga makan-makan. Sudah ya mending kita berdamai, ya Mbak Kirana? Mbak Risti?" sahut Bu Rahma yang punya rumah.Aku mencebik saja, ngapain berdamai dengan orang begitu, besok-besok pasti bakal nyinyir lagi, percuma."Iya bener, kamu juga Kirana jangan bilang Mbak Risti itu mandul, sebagai perempuan pasti sakit rasanya." Bu Anita memberi nasihat."Orang itu kenyataan kok, dokter yang ngomong bukan aku." Kirana bicara lagi.Lama-lama jengah juga dengan mulut ember Kirana, gegas aku merogoh sesuatu di tas, kebetulan poto hasil USG kemarin masih tersimpan di dalam tas."Aku ga mandul ya ibu-ibu. Nih buktinya." Aku memperlihatkan cetakan hasil USG di depan ibu-ibu.Bu Sis
"Ah jangan becanda, Mas. Dipikir hotel di Singapura itu murah, belum tiket pesawat. Sudahlah kita liburan ke pantai Sawarna saja," usulku.Pantai Sawarna adalah pantai yang terletak di desa Sawarna, kecamatan Bayah, kabupaten Lebak, provinsi Banten.Pantai itu kini sedang naik daun di kalangan wisatawan domestik dan mancanegara, Sawarna memiliki daya tarik karena banyak aneka ragam wisata."Ah Mas udah pernah ke sana, Yang," jawab Mas Lutfi sambil rebahan di sofa.Iya juga sih, karena aku pun pernah ke sana dulu saat awal nikah bersama Mas Hanif."Kalau ke pantai Geopark Ciletuh gimana, Mas?" tanyaku lagi.Bukan tak mau liburan ke luar negri, tapi aku kasian dengan suami, karena sekarang pasti dia lagi butuh uang banyak untung mengembangkan cabang pabrik barunya.Soal ejekan Kirana aku tak masalah, panas sih iya tapi kalau iri tidak, jalan-jalan juga percuma kalau pas pulang duit kita habis karenanya."Apalagi pantai Geopark, Mas juga udah pernah, Yang," jawab Mas Lutfi lagi."Ya suda
"Alaah bisa aja Aa ini, gimana kalau dikenalkan dengan anak-anak tetanggaku ya, nama mereka bahkan lebih susah." Lasmi menyahut."Kalau dibawa ke kampung gimana coba, pasti orang-orang akan memanggilnya Klir. Kaya merek shampo," sahut Mas Lutfi, kami pun terbahak lagi."Sebentar lagi Aa juga bakal punya anak 'kan, kasih dia nama yang keren juga," ujar Lasmi."Pastinya aku kasih nama keren dan mudah diucapkan, ga kaya nama anakmu, udah kaya anak bule aja, bapaknya sih bule lah ibunya, bulepotan." Kami terbahak lagi bersamaan.Puas mengobrol Lasmi pun menunjukkan kamar untuk kami tinggali beberapa hari ini, setelah itu ia mengajak makan.Makanan yang disajikan Lasmi banyak sekali ada makanan khas Singapura ada juga makanan khas nusantara."Kamu itu kaya yang mau hajatan aja, Las, masak segini banyak," sahut Mas Lutfi memandang takjub makanan di meja."Oh itu tidak masalah, kami sengaja persiapkan ini untuk kalian," sahut Lucas suaminya Lasmi, ternyata dia bisa bahasa Indonesia, hanya sa
Aku masih menatap layar ponsel dengan tangan yang melemah, Sabrina jadi janda? ini bisa jadi ancaman baru untuk kelangsungan rumah tangga kami.Bagaimana ini? haruskah kuhapus pesan Sabrina ini? tapi rasanya cukup kejam, kasihan Rafka. Tapi jika kuperlihatkan takut Mas Lutfi jatuh cinta lagi sama Sabrina?Kacau, padahal sedang enak-enaknya menikmati liburan, eh Sabrina malah mengirim pesan yang meresahkan.Aku jadi curiga tahu dari mana dia aku liburan ke Singapura? jangan-jangan dia selalu kepoin akun efbe-ku.Kalau begini aku harus lihat akun efbe suami, siapa tahu mereka sering berbalas pesan di belakangku. Dan ternyata?Tak ada satu pun pesan dari Sabrina, kemudian aku mengetik nama Sabrina di tombol pencarian, memang sih mereka berteman.Kulihat wall pribadi Mas Lutfi pun sepertinya sudah lama tak dibuka, terlihat dari status yang ia buat yaitu enam bulan yang lalu.Aku beralih ke hape sendiri dan langsung membuka aplikasi efbe, setelah dicari tenyata akun Sabrina sudah bertema
Menjelang sore kami pulang kembali ke Jakarta hingga matahari tenggelam barulah kami bisa menginjakan kaki di rumah bercampur lelah."Mbak Ris, Ibu pulang ya. Itu di luar kayanya ada tamu," ucap asistenku, ia terbiasa pulang sore dan berangkat pagi."Oh suruh masuk aja.""Biar Emak yang bawain barang-barang ke dalam sekalian mau istirahat." Emak mengangkat paper bag dan beberapa kantong kresek, oleh-oleh dari Teh Naya dan sebagiannya kubeli di perjalanan tadi.Yang datang ternyata Sabrina bersama Rafka, aku menghela napas jangan sampai ia membuat tubuhku semakin lelah.Wanita itu tersenyum. "Assalamualaikum.""Wa'alaikumus'salam," jawabku dan Mas Lutfi serentak.Ia duduk di sofa bersebrangan denganku dan Mas Lutfi."Kayaknya kalian lagi pada capek ya, sebelumnya mohon maaf aku udah ganggu waktu istirahat kalian," ucap Sabrina.Wajah cantik dan segar itu menatap kami satu persatu, bodohnya aku selalu saja tersimpan cemburu ketika ia memandang suamiku."Ga apa-apa, santai aja. Rafka kan
"Oh, jadi kamu istri keduanya ya?" tanyaku sambil maju satu langkah.Kulihat Bapak tampak khawatir memandang kami bertiga."Maksudnya?" tanya wanita itu terkejut."Dia ini ibu saya, istri pertamanya lelaki ini, fix selama ini Emak dibohongi sama Bapak, ada untungnya juga ya kita kemari." Aku menyeringai sinis.Wanita yang terlihat lebih muda dari emak itu nampak terkejut, sejurus kemudian matanya mulai berkaca-kaca, lalu menatap bapak penuh kecewa"Jadi ... jadi Akang punya istri selain aku?" tanya wanita itu dengan mata berkaca-kaca.Bibir bapak bergetar, tubuhnya terlihat sangat kurus dengan wajah yang semakin menua."Halimah, Akang bisa jelaskan," ucap Bapak sambil berusaha meraih tangannya."Akang udah bohong! Selama sepuluh tahun Akang bohongi aku! Keterlaluan!" Wanita itu berteriak.Sontak saja pasien yang lain saling melirik, karena ini kamar nomor dua, jadinya satu ruangan ditempati oleh beberapa orang."Maaf, Halimah, Maaf," ucap bapak dengan suara bergetar.Aku maju lagi sat
"Mbak, sekarang aku benar-benar merasa di posisimu dulu, ditinggalkan dan dicampakkan. Hanya bedanya aku bersama anakku, ada tanggung jawab besar yang harus kupikul." Lagi-lagi Kirana terisak."Aku udah ngerasain karmanya akibat ngerebut suami orang, kamu benar, Mbak, kalau akhirnya Mas Hanif suatu saat akan direbut juga sama orang lain, sekali lagi aku minta maaf," ujar Kirana dengan suara bergetar."Kirana, aku udah maafin kamu." Tenggorokanku tercekat mendengar suara tangisannya."Terima kasih, terima kasih, Mbak. Aku berharap masa depanku nanti akan bahagia bersama anakku, aku harap karma ini hanya berlaku untukku tidak untuk keturunanku." Kirana bicara lagi."Syukurlah kalau kamu udah menyadari semuanya, aku seneng, Kirana."Hening, aku merasa terharu dengan semua yang terjadi, tak dapat dipungkiri ada rasa puas yang menjalar dalam hati, rasanya semua sakitku di masa lalu telah terbayar lunas."Tapi, kamu tinggal di mana sekarang?" tanyaku, agak khawatir juga karena setahuku oran
"Aku ga ada urusan ya, Rin, dia itu bapak kamu, ya urus lah." Aku berucap sinis.Gantian, karena biasanya dia yang akan bicara ketus seperti itu padaku."Nyebelin! Cepat bilangin ke Emak tentang keadaan bapak, suruh dia pulang urusin suaminya, aku capek tahu nyuciin baju bapak yang bau pesing." Ririn membentak.Aku menahan tawa, akhirnya kena karma juga tuh anak sombong, baru beberapa hari ngurusin bapaknya saja sudah lelah, bagaiman emak yang berpuluh-puluh tahun mengurusnya, tak pernah dihargai lagi."Gugatan ke pengadilan sebentar lagi akan diajukan, Ririn anak manja, jadi bapakmu itu bukan lagi suami emakku, tapi mantan!" tegasku dengan suara pelan."Oh ya, emangnya bapakmu sudah ga kuat jalan ke kamar mandi ya? sampai pipis aja harus di celana?" Aku menahan tawa"Kamu tuh ya bener-bener ngeselin, masa iya nyuruh Emak sendiri bercerai, anak durhaka!" Ririn murka."Bodo amat, dari pada menikah tapi dibuat susah dan ngebatin, ya mending suruh cerai, di rumahku Emak kujadikan ratu, b
Mas Lutfi mangut-mangut sambil terus menenangkan Maryam yang masih merengek."Ya sudah kalau gitu siap-siap, kita akan berangkat sekarang. Ris, motor udah dikasih?" Mas Lutfi melirikku.Aku mengangguk. "Udah Mas.""Oh ya, Mak, ga usah bawa baju banyak-banyak, bawa keperluan Emak yang penting aja, soal pakaian kita bisa beli di Jakarta."Emak mengangguk lalu memintaku untuk ditemani berkemas di kamarnya, ketakutan jelas masih tercipta di wajah tuanya."Temani Emak, Maryam biar sama aku." Kata Mas Lutfi seraya keluar bersama Teh Naya, dari kejauhan kudengar mereka mengobrol.Di dalam kamar Emak melipat baju-baju dan memasukkan beberapa buah perhiasan yang selalu ia sembunyikan dari Ririn dan bapak."Terima kasih ya, Ris, tapi beneran ga apa-apa 'kan kalau Emak tinggal sama kamu?" tanya Emak sambil menatapku.Aku mengangguk serius. "Ga apa-apa, Mak, Mas Lutfi juga menerima dengan senang hati, jangan mikir macem-macem ya." Aku tersenyum yakin."Oh, jadi kamu beneran mau pergi, Heti? mau t
"Nih, Pak, mereka berdua yang udah hasut Emak buat minta cerai sama Bapak, anak macam apa kalian nyuruh orang tua cerai." Ririn si anak songong itu menunjuk wajah kami.Seketika suasana jadi tegang, Mas Lutfi dan Kang Ruswan berhamburan datang mengerumuni kami di dapur."Ada apa ini, Ris?" tanya Mas Lutfi."Heti! Apa bener anak-anak kamu mau kita pisah?" tanya bapak sambil melotot.Heti adalah nama emakku sedangkan nama bapak tiriku yang nyebelin itu Rusdi.Tangan emak dingin dan bergetar, wajahnya menunduk dalam. Lalu kugenggam erat tangan keriput itu dan kuelus punggungnya untuk menenangkan."Jawab, Heti!" tegas bapak dengan mimik wajah menyeramkan.Lelaki tua itu membanting kopiah yang ada di kepalanya ke lantai hingga tubuh emak terguncang ketakutan."Iya," jawabku dengan wajah menantang."Saya ga nanya kamu!" Bapak menunjuk wajahku."Cukup ya selama ini Emakku disiksa batinnya sama kamu! Sekarang tolong ceraikan dia dan tinggalkan rumah ini," cetus kakakku memasang tampang bengi
"Setiap orang punya takdir, Ris, dan mungkin ini udah takdir Emak. Dengan melihat kalian sama suami kalian hidup bahagia aja Emak udah bahagia," jawab Emak sambil menyeka air mata."Kata siapa aku bahagia?!" Kupandangi wajah Emak dengan kubangan air mata."Aku ga bahagia kalau lihat ibu sendiri disakiti setiap harinya, harus kerja keras kerja di sawah milik orang, sementara aku setiap hari hidup enak dan nyaman, Emak pikir aku bahagia?!" Kupukul dada dengan linangan air mata.Akhirnya tangis kami bertiga pecah kami sama-sama menangis di ruangan sempit dan banyak perabotan lusuh ini.Kami saling merangkul dan menguatkan satu sama lain, dari sini aku menilai jika emakku ini memang sudah rapuh, hati dan dan juga jiwanya."Emak harus kaya gimana, Risti? Emak juga udah ga tahan, tapi kalau minta cerai Emak takut disantet." Emak sesenggukan hingga tubuh kurusnya tergoncang.Aku menyentuh pundak Emak yang hanya tinggal tulang, menatap yakin kalau semua akan baik-baik saja."Ga usah takut kit
"Alaah, si Ririn sama bapaknya sebelas dua belas, bisanya bikin Emak repot, kamu harus tahu ya penghasil warung itu semua dimakan oleh bapak dan si Ririn, sedangkan emak, buat beli kebutuhannya tetap harus kerja di kebun dan di sawah."Tanganku mengepal erat mendengar hal itu, dasar tua Bangka licik, kukira warung itu akan membuat emakku sejahtera, nyatanya ia tetap saja kesusahan."Teteh ga bohong 'kan?" ucapku dengan nada jengkel."Engga, Risti, ngapain bohong. Rumahku ini berdekatan, pastinya aku tahu apapun yang terjadi sama Emak," jawab Teh Risti masih berbisik pula."Kita harus buat emak sama lelaki tua itu pisah, Teh, aku ga rela Emak disakiti." Aku emosi bukan main."Sudah sering Teteh bilang gitu tapi Emaknya aja yang belum siap, katanya takut nyusahin anak kalau jadi janda, lah punya suami aja susah." Teh Naya geleng-geleng kepala."Modal warung itu 'kan dapet pinjem dari suami kamu, coba sekarang tagih, aku yakin lelaki tua itu ga bakal mau balikin, pasti ada aja alasannya
bab 40.B hd"Enak aja dipikir aku ini bangke tikus." Aku mendelik kesal lalu meninggalkannya.Malam hari aku dan Mas Lutfi diskusi, rencananya motor yang selalu aku gunakan ingin disedekahkan, tapi pada siapa? aku ingin orang itu orang yang tepat."Gimana kalau dari keluarga kamu aja, misal Teh Naya, motornya itu udah sering mogok 'kan?" ujar Mas Lutfi.Betul juga, kalau di keluarganya semua pada mapan, punya usaha dan ada pula yang bekerja di sebuah perusahaan besar seperti Laila."Betul juga ide kamu, Mas, kira-kira kapan kita ke kampung ya, kamu atur jadwal deh.""Emm, sekarang-sekarang juga ga masalah sih kalau aku, tapi fisik kamu kuat ga? ke kampung itu perjalanan lama dan jalannya jelek, emang kuat? 'kan abis lahiran," ujar Mas Lutfi lagi."Kuat lah, 'kan naik mobil bagus." Aku menarik turunkan sebelah alis."Masa? berarti itu juga bakal kuat dong ga takut lagi." Mas Lutfi menggodaku.Pasti ujung-ujungnya ke sana."Itu apaan?!" Aku melotot."Itu ntar malem," jawabnya sambil mes