Eight berhasil menyeret Seven masuk ke dalam lift. Ia menampar-nampar wajah rupawan itu, “Sev, wake up! Jika kau pingsan, aku akan meninggalkanmu disini.”
Seven tetap tidak bergerak, Eight terpaksa menyuntikkan cairan ajaib ke dalam tubuhnya. Seven terbangun dengan mata terbuka lebar.
Eight dan Seven berhasil masuk ke dalam mobil yang terparkir di halaman depan gedung.
Berbagai suara sirine berdengung dan peringatan menghantui jalan berkelok-kelok yang memutari pegunungan itu.
Helikopter tentara menyoroti buggati hitam mereka dari atas dan mobil polisi mengejar mereka dari belakang. Sementara, Black Cat diam-diam mencari jalan pintas untuk menghadang mobil mereka dari depan.
“Eight~ aku~ sudah lebih~baik~sekarang. Aku bisa~menyetir,” pinta Seven.
“Aduh, kau diamlah sialan! Tolong berdoa saja sampai kita selamat,” pinta Eight menahan emosi.
Tadi sudah berbicara tentang kekurangan Eight, sekarang saatnya show off.
Eight adalah mantan pembalap mobil skala internasional dan ia juga memiliki banyak akal. Eight melempar segenggam paku payung ke belakang yang membuat beberapa mobil polisi terhenti karena ban bocor.
Saat kendaraan barisan pertama tiba-tiba terhenti, maka kendaran barisan selanjutnya akan menabraknya. Dua mobil polisi barisan depan meledak dengan api berkobar. Namun, beberapa mobil masih berani mengejarnya dengan percaya diri.
Helikopter mulai menembakkan peluru dari atas yang menghujam atap mobil hitam mewah itu.
“Tes… tes.. Tolong hentikan mobilnya atau kami akan terus menembak!” peringatan dari polisi mulai terdengar.
Eight merasa kesal karena mobil barunya akan hancur sehingga ia tidak bisa berhenti mengumpat di dalam. Sementara, Seven tidak bisa berhenti menertawai nasib malang partner-nya itu.
Mobil Black Cat akhirnya muncul di depan, mereka menembakkan peluru menghujam kaca depan mobil Eight.
“You motherfucker!” teriak Eight yang membuat Seven tertawa semakin liar.
Eight menginjak gas dan menabrak bagian tengah mobil yang menghadangnya itu hingga terlempar ke samping.
“Seven, jalankan Plan B!” perintah Eight. Seven segera mengeluarkan sedotan pipa pendek dari sepatu kulitnya dan membakar ujungnya, melempar keluar benda itu dari kaca jendela mobil.
Ssshhh….shhh….(suara berdesis)
Sedotan pipa meletuskan cahaya api ke atas dan meledak.
Buaammm!
Buam!
Seven melempar lebih banyak sedotan lagi hingga ada yang mengenai baling-baling helikopter. Transportasi udara itu jatuh dan meledak.
Ledakan api ada dimana-mana.
Eight menginjak gas semakin dalam hingga jarum jam kapasitas kecepatan bergoyang-goyang.
Tiba-tiba, sebuah tank hijau menghadang mereka dari depan.
“Tentara! Tentara! Tank! Tank!” seru Eight yang kewalahan menemukan injakan rem.
“Fuck! Kita akan mati,” teriak Seven dengan lantang. Listrik dalam dirinya sudah menghilang sepenuhnya.
Ckirrttttttttttt!
Eight berhasil menginjak rem, memutar stir menciptakan u-turn ekstrim dan mobil dipaksa berhenti setelah berputar 3 kali.
“Hands Up! FBI is here!” seru petugas dari alat pengeras suara, bunyi sirine begitu menusuk telinga.
Seven dan Eight terpaksa keluar dari mobil sambil mengangkat tangannya di atas kepala.
Semuanya mengacungkan pistol ke arah dua agen mafia itu.
"Okay, calm down. Aku akan menyerahkan barang curiannya," tegas Seven sembari mengeluarkan cincin permata biru itu dari saku celananya.
"Kau gila? Aku pikir kau menyimpannya di tempat aman," gerutu Eight. Tanpa aba-aba, Seven langsung melempar cincin itu ke tanah dan polisi segera mengamankan harta pusaka langka itu.
Di sisi lain Eight mengomel tanpa henti, "Seven, bagaimana kau bisa menjadi sebodoh ini? Kau serius menyerahkannya begitu saja? Apa kau tidak tahu berapa harga satu karat permata itu ha? Aku tidak akan mau menjadi partner-mu lagi."
Dor!
Polisi melepaskan satu peluru ke udara.
"Tutup mulutmu! Tamat sudah riwayat hidupku. Aku akan memberitahumu dimana letak brankas emasku,” ucap Seven sambil menahan tangis.
“Seharusnya kau beritahu aku dari awal. Dasar pelit!” balas Eight sambil mendengus kesal.
“Eight, kau melihat jurang di ujung sana?” tanya Seven.
“Tidak tahu, jangan bicara padaku,” sahut Eight.
Seven segera menekan tombol hitam pada jam tangannya dan enam roda muncul di bawah tapak sepatunya.
“Hiyaaaaaaattt!” teriaknya sambil melesat kencang secara jigjag untuk menghindari serangan pistol.
Saat Seven terbang melompat ke jurang, ia tertembak di punggungnya.
Dor!
“Dia melompat ke jurang!”
“Bunuh diri!”
Buammmm!
Mobil yang ditumpangi Eight untuk kabur juga meledak tak bersisa.
“911, 911, 911! Kirimkan bantuan medis."
Semua orang sibuk dengan panggilan masing-masing, dan dibalik peristiwa naas ini—ada seorang pria tersenyum puas.
“Halo 66994, keduanya tewas dalam misi Blue Moon. Pass!” lapor mata-mata kepada Denado Wilde melalui walkie-talkienya.
***
[To be Continued...]
(Lima tahun kemudian) Midsummer Collection, San Francisco. “Selamat malam para hadirin, selamat datang di Midsummer Collection 2023. Kami harap koleksi baru dari Lady Vittoria Joa Shue selaku designer utama dapat memberikan kepuasan bagi anda semua. New mode brighten day!” Sesi pembuka diawali dengan kata sambutan dan musik disco klasik. Satu persatu model mulai berjalan di atas panggung catwalk. Para hadirin membelalakkan mata karena takjub dengan koleksi unisex season ini. Aku sangat menyukai momen ini, ingin rasanya kupotret untuk dipajang di seluruh dinding kamar tidurku. Sesi penutup acara pun tiba, saatnya bagiku tampil untuk menyambut kesediaan para partisipan malam ini. “Mari kita sambut, Vittoria~ Joa~ Shue!”
Waiting room “Sialan! Ambilkan aku tissue basah!” bentakku sambil menendang pintu masuk. Asisten pribadi sekaligus bodyguardku bernama Joke Leign, hanya dia yang tahan bekerja denganku selama 3 tahun belakangan. “Bersihkan bahuku,” ucapku dengan volume suara sedikit diturunkan. “Benar-benar membuat emosi, mood-ku kacau sekali. Biarkan aku sendiri,” terangku. Joke berdiri dan mengusir mereka satu persatu. Lalu, menutup pintu dan duduk di sofa seberangku. “Kau juga tidak ikut keluar?” bentakku sambil melempar setumpuk brosur ke samping. “Sudahi aktingmu, tidak ada orang disini. Tidak ada kamera pengintai j
“Jadwal hari ini adalah penerbangan ke USA untuk acara lelang Antique Chicago di Galeri Fine Arts,” ucap Joke pagi-pagi membuat mimpi indahku terputus, fuck! Aku tidak kuat membuka kedua mataku, “Jam—berapa?” rintihku. “Jangan mengedipkan sebelah matamu, kau terlalu mempesona,” goda Joke yang membuat mood-ku membagus. “Baiklah, princess akan bangun,” kataku. Lingerie satin berenda lepas dalam sekali lucutan. Aku memiliki sebuah kaca besar dalam kamar mandi untuk memeriksa setiap inci tubuhku. Apakah ada bagian yang membengkak atau goresan kecil saja sudah mengangguku. Aku gemar menjaga bentuk tubuh dan telah menghabiskan banyak uang dan waktu demi h
Aku keluar dari acara pelelangan dengan muka masam, tidak ada yang menarik selain lukisan favorit Papa. Aku teringat dengan ucapan Papa saat pertama datang ke galeri ini. “Lukisan langit malam tanpa warna hitam gelap, betapa indahnya bermalam di teras kafe ini.” Sayangnya, galeri Fine Arts milik keluarga Rossi telah dijual Bilson dengan harga tinggi dua bulan yang lalu demi menutupi kerugian perusahaannya. “Anjing pengkhianat Rossi.” “Siapa?” sahut pria kaya raya tadi. Aku terkesiap oleh suara bass-nya yang menggoda, “Bukan siapa-siapa.” Aku menjawab spontan tanpa menatapnya lama. Pria itu mengejar dan menahan lenganku, “Namaku Eric Cassano, beritahu aku
Hotel Royal Crown. “Letakkan disini saja, thankyou.” Eric menutup pintu setelah lukisan seharga puluhan miliaran itu diantar ke rumahnya. “Buddy, kau membeli barang?” tanya Mars yang baru selesai shower. Ia bergegas keluar dengan handuk putih melingkari pinggangnya. “Yesss,” jawab Eric sedikit panik. “Apa itu? Berapa harganya?” “Tidak mahal haha,” balas Eric sambil tertawa palsu. “Cepat pergi tidur. aku lelah.” “Bukankah ini lukisan antik?” tanya Mars yang sudah mengoyak setengah kertas minyak pembungkus lukisan. “Oh
“Joa memiliki seorang tunangan?” keluhku pada gadis tomboy berperawakan tampan yang sedang duduk menyilangkan kaki jangkungnya. “Apa lebih baik aku jujur saja padanya? Bahwa aku bukan Joa yang asli?” usulku. “Kau tidak tahu jelas siapa pria itu,” balasnya. “Benar, belum satupun dari kartunya terbuka. Besok, dia akan datang kesini untuk mengirimkan lukisannya. Kau bantulah aku untuk mengamatinya sebentar.” “Ha—baiklah,” jawab Joke dengan malas. “Namun, ada satu hal yang mencurigakan darinya,” ungkapku. “Aku sudah lama memperhatikannya, namun aku tidak cukup bukti.” “Apa itu?” &nbs
“Dimana Joa?” Aku dan Joke saling bertukar pandang, “Apa—maksudmu?” tidak biasanya aku tergagap. Aku sengaja menaikkan daguku dan menyilangkan kedua lenganku agar tetap terlihat arogan. “Dimana Joa yang kukenal?” Joke mengerutkan dahinya padaku dan kedua bodyguard sudah bersiap-siap untuk menahan segala serangan. Eric menunduk sejenak, “Joa sudah banyak berubah. Dulu kau tidak seceroboh ini.” Aku menghela napas sejenak dan mengipaskan tanganku untuk membiarkan kami ruang pribadi. “Tentu saja, sudah berapa tahun berlalu, apa kau sendiri juga masih sama?” tantangku sambil berjalan mengelilinginya. “Aku masih sama,” jawabn
Shue’s Company. Aku berada di ruang kerjaku sambil memijat kedua pelipis mataku yang berdenyut sedari tadi. Laporan kosong dari Joke membuat emosi dalam diriku tidak stabil. Sudah tiga bulan berlalu, namun tidak ada informasi sama sekali tentang Eric Cassano. “Aku hanya tahu namanya Eric Casssano, blasteran Korean-Italia. Tunangan kecil Joa, ia pernah tinggal di bawah jembatan perbatasan Prancis, dan yatim piatu. Joa adalah malaikat penyelamatnya,” sunggutku mendikte segala ingatan yang kumiliki tentangnya. “Aku sudah mengirim pegawaiku berkeliling dan menetap di wilayah perbatasan Prancis-Italia. Kami juga pergi ke kantor dinas untuk menelusuri daftar nama belakang Cassano dan menemukan sembilan pria bernama Eric Cassano. Namun, wajah dan usia mereka tidak sesuai
La Blonde adalah satu-satunya kafe bernuansa Asia di Italia. Aku tidak tahu mengapa kafe ini diberi nama kebarat-baratan. Yang jelas, semua pelayan disini menggunakan rambut palsu berwarna blonde. Kami memutuskan untuk mengawali hari dengan sarapan disini. "Simon, kau tidak sibuk hari ini?" tanyaku. "Praktekku buka mulai pukul sepuluh, jadi tidak usah terburu-buru. Santai saja," terangnya. "Apa yang ingin kau bicarakan? Katanya sangat penting?" "Joke memberitahuku bahwa kau mendapat surat ancaman, dan kau berusaha menyembunyikannya dari kami semua?" ungkap Simon. "Heol, apa-apaan anak itu? Hampir 90% ceritanya sudah diubah, Simon." Aku tidak berbohong. Toh, nyatanya aku memang tidak berusaha menyembunyikannya. Tapi, aku berpikir surat itu hanya keisengan seorang pengangguran atau haters yang ingin melihatku terpuruk. "Setelah kasus kakak beradik itu, kau tidak boleh menyepelekan hal apapun. Mungkin
Amplop merah muda dengan ukiran mawar emas itu masih terlentang bebas di atas meja kerjaku. Aku tidak bisa fokus menciptakan rancangan selanjutnya. Kendati menyingkirkan benda itu, aku malah jatuh dalam kekesalan dan amarah yang tak dapat diuraikan. Bilson brengsek! Apa ia sungguh-sungguh menganggap perselingkuhannya dengan Chloe adalah hal yang patut dibanggakan? Selain memikirkan berbagai cacian dan makian menjijikan, aku juga tak habis pikir tentang perasaan Bilson pada wanita itu. Apa Bilson benar-benar mencintai Chloe? Aku terlalu percaya diri meyakini bahwa Chloe akan mendapat karma instan, karena Bilson pasti hanya menganggapnya sebagai mainan menarik untuk sesaat. Tapi, sekarang situasinya berbeda. Bilson akan menikahi Chloe, seperti yang tertulis di kartu undangan amplop merah muda, waktunya bulan depan. Tring.. Tring.. Aku menatap layar ponsel menyala, sebuah kata 'Ges
"Jadi, surat ini sudah Anda terima sebelum kasus terjadi?" "Benar." "Ya ampun, kenapa baru bilang sekarang?" "Aku benar-benar tidak ada keinginan untuk merahasiakannya sama sekali. Tapi, lihatlah surat ini, seperti omong kosong tak bermodal. Lihat saja, kertas yang digunakannya. Lagipula, yang diancamnya juga adalah aku," terangku. Tak sadar, volume suaraku semakin tinggi, Mr. Foster memberi isyarat dengan menempelkan ujung jarinya ke bibir. "Ya, apapun itu. Hal sekecil apapun sangat berguna dalam penyelidikan. Biarkan pihak kepolisian yang menilainya." "Aku benar-benar tidak mengerti. Bagaimana mungkin orang yang mengancamku berhubungan dengan kasus kematian Sarah?" "Aku sendiri juga tidak tahu, tapi tidak menutup kemungkinan keduanya saling berhubungan. Aku akan membawa kedua surat ini menemui atasanku dan melakukan tes sidik jari. Kami juga akan mencari tahu hal lainnya. Untuk itu, izinkan kami mengambil re
Mr. Foster langsung bisa dikenali dalam sekali pandang, karena ia selalu memakai setelan jas abu-abu dan topi. Ditambah tongkat perunggu berkepala naga yang selalu dibawanya kemana-mana. Sherlock Holmes! Benar, serupa tapi tak sama. "Maaf merepotkanmu, Ms. Joa." "Tidak masalah," jawabku datar. "Saya ingin memberikan beberapa pertanyaan perihal kasus Sarah Deelin, model majalah utama dari perusahaanmu." "Ya, silahkan." "Apa mendiang Sarah pernah menceritakan bagaimana kondisi keuangan keluarganya pada Anda?" tanya Mr. Foster sembari bersiap-siap untuk menulis di catatan kecilnya. "Detektif, sudah berapa kali kau menanyakan hal yang sama padaku? Aku sampai sudah hapal jawabanku." "Per.. permisi, apa Tuan dan Nona mau pesan?" sela seorang pelayan wanita. "Tolong, satu gelas kopi susu dingin. Anda mau pesan apa, Ms. Joa?" tanya Mr. Foster. "Teh oolong panas saja." Setelah pelayan wanita berp
"Hei, sedang melamun apa?" Aku menatap Joke yang berwajah masam dengan alis menyeringai tajam ke arahku. "Singkirkan segala beban pikiran yang tidak berhubungan dengan pekerjaan dan rencana balas dendam." "Apa sih?" elakku. "Jangan-jangan kau masih kepikiran dengan sosok pria aneh yang berjanji akan menjagamu seumur hidupnya." Memang benar! "Joa, kau tidak pernah belajar dari kesalahan, ya? Aku sudah mengingatkanmu agar tidak terlalu terlibat dengan urusan luar. Sasaran kita hanya Bilson dan para pecundang itu." "Aku tahu, aku tahu." "Suruh kau merayu Bilson yang mata keranjang saja, kau tidak lulus," gerutu Joke sembari meneguk habis jus jeruk di gelasnya. "Siapa bilang tidak berhasil? Bahkan aku mendapatkan undangan perjamuan makan malam dari mereka." "Tapi, kau tidak pergi kan? Kau malah bersenang-senang dengan pria aneh itu sampai tidak tahu jalan pulang. Benar-benar keterlaluan." "Hei, kau
Kami bertiga sedang duduk di lounge hotel bernuansa klasik dengan lampu gantung di setiap sudut. Anehnya, cahaya lampu membuat suasana di pagi menjadi sedikit redup. "Maafkan aku," ungkap wanita yang memakai blouse merah pekat, senada dengan warna wine yang kami pesan. "Ucapanku terdengar seperti sedang menuduh seseorang berbuat hal yang tidak-tidak," jelasnya lagi. "Tidak masalah, santai aja," balasku. "Aku harap kesalahanku tidak mempengaruhi hasil kerja sama diantara kalian," terang Chloe masih memasang wajah penuh harap. "Ya, kau tenang saja. Aku ini cukup profesional." "Sungguh terima kasih," tutur Chloe sembari menunduk. Kenapa orang ini sangat mencemaskannya? Apa Bilson telah menemukan titik lemahnya? Apa ini yang namanya karma instan? "Kalau begitu, aku permisi dulu." "Tunggu, Ms. Joa. Kami ingin mengundangmu makan malam bersama akhir pekan ini, apa memungkink
Ckritttt! "Hei, ada apa?" protesku. "Maafkan saya, bu. Apa ada yang terluka?" sahut supir taksi dengan panik. "Sekelompok pria itu muncul tiba-tiba. Jadi, saya terpaksa rem mendadak." "Sayang, ada apa?" timpal Bilson yang sudah setengah sadar. Aku yakin kepalanya masih berputar hebat, namun ia memicingkan matanya untuk melihat penampakan di depan mobil. "Siapa mereka?" gumamnya. "KELUAR!!" Belum sempat memikirkan apa yang harus dilakukan, seseorang sudah memukul kaca mobil dengan tongkat kayu. "KELUAR KALIAN SEMUA!" teriaknya. Aku cukup takut tapi tidak setakut itu– lebih tepatnya, khawatir campur bingung. Aku melihat supir taksi perlahan keluar sambil bertanya apa yang sedang terjadi, sambil sesekali memohon ampun. "Hei, kalian berdua juga keluar!" perintahnya. "Mereka mau apa, sih!?" geram Bilson sambil membuka pintu mobil. "Lebih baik, jangan menyerang dulu. Mungkin mereka hanya peram
“Halo, Mr. Bilson. Apa kau punya waktu luang?” aku meneleponnya pagi-pagi dengan dalih membicarakan masalah pekerjaan. Informasi yang kudapatkan kemarin masih belum jelas.Bagaimana mungkin tragedi sebesar itu tidak masuk ke dalam surat kabar?“Kalau begitu, akan kukirimkan lokasinya,” ujarku. Aku sengaja memilih tempat yang letaknya cukup jauh dan sepi.Kami akan bertemu di De Moon Bar.“Silahkan masuk,” ujar Eric yang sudah menunggu di luar sedari pagi. Karena pagi ini sudah mendung, aku kehilangan semangat untuk bertengkar dengannya. “De moon Bar,” ucapku sembari masuk ke dalam mobil.Brak!Suara bantingan keras saat menutup pintu mobil. Sebenarnya, aku tidak perlu sekesal i
(FLASHBACK) Aku terbangun dalam kamar yang hangat dan seorang wanita sedang merawat luka yang memenuhi sekujur tubuhku. Aku berusaha memanggilnya, “Pe—Permisi.” Tenggorokanku kering dan seluruh badanku mati rasa, aku pikir aku sudah lumpuh. Aku harus duduk di atas kursi roda berbulan-bulan. Lady Anne dan Simon adalah orang yang selalu berada di sisiku, syukurlah aku dipertemukan dengan dua malaikat asing. Dalam pikiranku hanya satu, aku ingin menangkap Bilson Moretz dan menjebloskannya ke penjara seumur hidup. Aku menghubungi Marco, pengacara keluarga Rossi untuk membicarakannya—“Mrs. Carina, tolong jangan pernah menghubungiku lagi. Kami semua sudah menganggapmu mati di jurang hari itu.”