Beni menatap salah satu karyawannya itu dengan gamang. Hatinya galau saat Nadine mengajukan cuti satu hari dengan alasan fitting baju pengantin. Dia tak menyangka jika si cantik itu akan melepas lajang dengan orang lain. Padahal lelaki matang itu berharap agar dialah yang menjabat tangan ayah gadis itu untuk mengucapkan ijab kabul. "Apa fittingnya gak bisa dilakukan di hari libur?" tanya Beni sembari mengetuk jemari di meja."Saya punya hak curi 12 hari, Pak. Saya cuma mau ambil satu hari untuk minggu depan. Sama nanti pas acara nikahan."Nadine menjelaskan keinginannya dengan hati-hati. Sudah setengah jam dia duduk di sini untuk menunggu jawaban. Sejak tadi Beni mengulur waktu untuk menyetujuinya. Padahal sebagai atasan yang baik, lelaki itu harusnya mendukung keputusan bawahannya."Saya gak bisa--""Loh, memangnya kenapa, Pak? Saya hanya ingin mengambil hak. Lagi pula alasan cuti saya juga jelas. Saya mau menikah," lanjut Nadine."Saya gak rela," ucap Beni frustrasi. "Yang mau say
Raka menatap Anton dengan lekat. Kali ini mereka duduk berdua di sebuah cafe sembari menikmati segelas kopi dan alunan live music sebagai hiburannya.Mereka sepakat untuk bertemu dan membahas banyak hal sebelum acara lamaran resmi dilakukan. Anton berbesar hati menghubungi Raka dan meminta maaf atas sikapnya selama ini. Raka juga melakukan hal yang sama. Itu semua demi masa depan dan kebahagiaan putrinya. Memang benar bahwa kita tak boleh berlebihan dalam membenci sesuatu. Bisa jadi justeru itulah yang terbaik. Tuhan bisa dengan mudahnya membolak-balikkan hati manusia. "Jadi kita bakalan besanan, Pak Anton?" "Ya begitulah. Tapi Janu belum tau.""Loh kenapa begitu?" tanya Raka heran."Nanti kesenangan dia," jawab Anton cepat."Pak Anton ini sama sekali belum berubah. Masih suka mempersulit orang lain."Anton melotot menatap Raka, lalu gelak tawa mereka menggema. Perbincangan dilanjutkan dengan rencana masa depan putra-putri mereka. Untuk persiapan acara, kedua istri mereka yang aka
Prang!Gelas yang yang terletak di nakas terjatuh saat Nadine tak sengaja menyenggolnya. Dia menjadi salah tingkah ketika melihat Janu keluar dari kamar mandi hanya dengan memakai handuk."Kamu kenapa?" Janu ikut berjongkok dan membantu istrinya membersihkan pecahan kaca."Itu tadi gak sengaja."Wajah Nadine memerah apalagi tubuh mereka berdekatan sehingga aroma sabun yang dipakai lelaki itu menguar hingga ke inderanya."Hati-hati. Jangan buru-buru." Janu dengan cekatan memasukkan bekas pecahan kaca ke dalam plastik dan membuangnya di tempat sampah yang terletak di sudut kamar."Iya, Mas," jawab Nadine sembari mengambil tissue basah dan membersihkan lantai. Dia khawatir masih ada sisa pecahan dan bisa mengenai kaki. Mendengar Nadine memanggilnya 'mas', senyum melengkung di bibir Janu."Sana mandi. Gak gerah?" tanya Janu mencuri pandang. "Udah," jawab Nadine saat hendak berdiri. Bersamaan dengan itu Janu juga melakukan hal yang sama sehingga kepala mereka berbenturan. Nadine mering
Janu menatap wajah cantik yang masih terlelap di sampingnya. Semalam dia begitu bersemangat hingga membuat Nadine kelelahan. Lelaki itu sudah memesan kamar hotel selama tiga hari agar mereka lebih leluasa berduaan. Setelahnya, terserah Nadine mau tinggal di mana. Di rumah orang tuanya sendiri atau di tempat mertua.Sebagian tabungannya habis untuk biaya pernikahan. Lelaki itu berencana ingin membuka praktik malam, sehingga memerlukan banyak dana untuk mempersiapkannya. Janu tak tahu jika papanya sudah menyediakan satu rumah untuk mereka. "Bangun dong, Cantik. Udah jadi istri kok malas," goda Janu sembari mencubit pipi Nadine. Laki-laki itu tergelak ketika melihat sang istri menggeliat dan menepis tangannya."Ndin masih ngantuk. Jangan ganggu," ucap Nadine yang masih setengah sadar dengan mata terpejam.Tawa Janu menggema di kamar. Itu membuat Nadine terbangun dan mengucek matanya."Astagfirullah," ucap Nadine kaget ketika melihat kondisi mereka."Kamu kenapa?" tanya Janu heran."Kita
Nadine menguap berulang kali. Entah kenapa akhir-akhir ini dia sering mengantuk. Badannya terasa lemas dan gampang lelah. Bahkan di kantor dia tidak semangat bekerja."Bik, aku tidur dulu, ya," pamitnya kepada ART yang sejak tadi membersihkan ruang tamu. Wanita itu meregangkan kedua tangan lalu kembali menguap sembari mengucek mata."Non kenapa, sakit?" tanya wanita paruh baya itu.Sejak menempati kediaman sendiri, Janu memberikan istrinya ART. Lelaki itu tak mau istrinya terlalu lelah karena sedang program hamil. Lagipula wanita itu masih bekerja sehingga tidak mungkin mengurus rumah. "Gak tau, Bik. Badan pegel semua," jawabnya Nadine lemas."Mau datang bulan kali. Bibik juga biasanya gitu."Nadine tersentak ketika mendengar kata-kata itu. Wanita itu buru-buru berjalan menuju kamar, lalu mengambil ponsel dan melihat tanggal. Dia tidak pernah membuat catatan khusus, tetapi harusnya saat ini sudah mendapatkan tamu bulanan.Nadine benar-benar lupa bahwa ternyata dia sudah telat dua min
Janu membubuhkan tanda-tangannya di kertas itu. Hari ini, sertifikat rumah mereka selesai setelah menunggu cukup lama. Nadine duduk mendampingi suaminya saat proses itu berlangsung. Wanita itu terbelalak saat melihat nominalnya. Ternyata harganya cukupmahal mengigat luasanya yang tidak seberapa."Terima kasih." Mereka saling berjabat tangan dan berbincang sebentar. Lalu Janu mengambil ponsel mentransfer jasa notaris sesuai dengan kesepakatan. Di awal dia sudah membayar setengah harga sebagai tanda jadi. "Sudah ya,Pak," ucap Janu sembari menunjukkan resi. Nanti dia akan meminta bukti cetaknya kepada pihak bank."Kok lebih, Pak?" tanya si notaris. Dia tidak menyangka klien-nya yang satu ini murah hati. Kelebihan biaya ini cukup banyak untuknya."Bonus untuk karyawan," Janu berbisik sebelum berpamitan.Setelah semua clear, mereka meninggalkan tempat itu sembari bergandengan tangan. Nadine berjalan pelan karena merasakan mual pada perutnya. "Mau makan di mana?" tanya Janu menawarkan. L
Janu mondar-mandir di depan ruang operasi dengan gelisah. Sudah dua jam dan belum ada tanda-tanda akan selesai. Mereka memang terbiasa dengan kejadian seperti ini sejak awal kuliah bahkan mungkin hingga menutup mata nanti. Namun, ketika itu terjadi kepada orang terdekat, rasanya tetap berbeda."Keluarga Dokter Rani?" tanya Andreas, dokter bedah yang menangani tindakan Rani. "Cuma ada gue sebagai perwakilan. Keluarganya baru bisa datang besok. Paling cepat nanti malam," jawab Janu."Dia kritis. Masuk ruang instensif sampai pulih."Janu tertegun dan mengusap wajah, tak dapat membayangkan bagaimana kondisi Rani sekarang. Lalu dia menarik napas lega. Lelaki itu mengucap syukur bahwa nyawa gadis itu bisa diselamatkan, sekalipun kemungkinan akan cacat. "Lu mau pulang atau nunggu di sini?" Andreas memijat kepalanya yang tegang. Dia juga syok saat menegtahui siapa korban tabrakan kali ini. Apalagi dia yang harus memimpin operasi. Rani adalah wanita yang lelaki itu sukai diam-diam. Namun, l
Lima hari sudah berlalu. Belum ada tanda-tanda perkembangan dari Rani. Wanita itu masih tak sadarkan diri di ruang intensif. Berbagai selang menempel di tubuhnya. Janu dan Andreas bergantian menjenguknya. nadine ingin ikut serta, tapi dilarang. Jadi, dia hanya mendengarkan apa yang diceritakan suaminya setiap pulang dari sana."Mau ke rumah sakit lagi?" Nadine merapikan kerah baju suaminya yang tampak berantakan. Sejak kejadian itu, Janu jarang ada di rumah. Sepulang dari rumahs akit, dia akan mandi dan mengganti pakaian. Lalu makan jika lapar dan langsung pergi lagi ke rumah sakit.Orang tua Rani akan meneleponnya jika belum memberikan kabar. Janu akan buru-buru datang tanpa menghiraukan istrinya. Rasa kasihan karena Rahmat tak memiliki keluarga di Jakarta dan kondisi keuangan yang terbatas, membuat lelaki itu tak tega.Melihat sikap Janu yang seperti itu, nadine menjadi sedikit kecewa. Ada rasa sedih yang menyusup dalam hatinya. Perlahan menjalar bahkan mulai berakar. Dia tahu bahw
Sedari tadi Janu merasa gelisah. Mondar mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan. Lelaki itu ingin mendampingi istrinya, tetapi dilarang masuk. Janu berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah. Lelaki itu juga sesekali meremas rambut, mirip seperti seseorang yang sedang frustrasi. Sudah satu jam dia menunggu bersama Raka. Jika posisinya begini, serba tidak enak rasanya. Ketika terdengar suara teriakan kesakitan dari dalam ruangan, jantung Janu serasa hendak melompat keluar. Raka menegur menantunya karena melihat lelaki itu gelisah sedari tadi. "Janu, duduk!" tegurnya sekali lagi. Janu menoleh tanpa berucap, kemudian duduk di sebelah papa mertuanya. Lelaki itu hanya terdiam dan enggan berbicara. Entah kenapa dia dilanda kepanikan luar biasa."Tenang." Raka menepuk bahu menantunya."Nadine kesakitan, Pa. Harusnya dia gak usah lahiran normal. Operasi aja.""Doakan, dia sedang berjuang.""Pa--" Janu m
Dua bulan kemudian.Dua orang itu bergandengan tangan saat memasuki gedung resepsi. Pernikahan mewah yang tentunya memakan biaya yang tidak sedikit. Sang pengantin tampak bahagia bersanding di pelaminan. "Rani cantik ya, Mas." Reisa berbisik di antara suara bising orang-orang yang bercakap. Juga suara musik yang mengalun mengiringi acara. Wanita itu berjalan kesulitan karena perutnya yang semakin membesar."Akhirnya dia dapat jodoh yang cocok. Gue nggak nyangka Dokter Andreas bisa meluluhkan hatinya," kata Janu. Matanya tak lepas menatap panggung megah di hadapannya. Sementara itu tangannya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut. "Jodoh setiap orang udah tertulis Lauhul Mahfuz. Kita gak tau dipertemukan dengan siapa. Gimana awal bermulanya. apakah baik atau enggak," kata Nadine bijak."Sama kayak kamu sama aku." Janu mengedipkan mata menggoda istrinya. Nadine tertawa geli kemudian memukul lengan suaminya. Untung saja makanan di piring Janu tidak ada yang berhamburan. Sengaja mere
Nadine menggeliat merasakan sesuatu yang geli di pipi, juga embusan napas di telinganya. Apakah dia sedang bermimpi bahwa ada seseorang yang menyentuhnya. Namun, ini terasa nyata. "Bangun, Bumil. Bobok terus." Jemari Janu mengusap wajah istrinya, membelai lembut dengan penuh kasih sayang. Bibirnya mengecup lembut pelipis Nadine, yang rambutnya begitu harum. Nadine membuka mata. Samar-samar melihat sosok lelaki yang beberapa hari ini dia rindukan. Setelah telepon waktu itu dengan papanya, Janu bahkan menghilang dan tak menghubunginya sama sekali. Nadine sempat merasa kesal, tetapi dia memilih untuk diam. Suasana hatinya sedang tidak baik, jika galau malah membuat badannya terasa tidak enak."Kamu datang?" Nadine menatap lekat wajah tampan di depannya dengan penuh kerinduan. Matanya sempat melirik ke arah dinding yang menunjukkan jam sembilan malam lewat lima belas menit. "Iya, dong. Kangen." Sebuah kecupan mendarat di bibir mungil Nadine. Janu ingin bermain lama di situ. Namun, m
Ada yang berbeda pagi ini. Suara denting sendok dan garpu di meja makan masih seperti biasa, tapi entah mengapa terasa hambar. Janu beberapa kali melirik ke arah istrinya. Juga Inah yang sedari tadi terdiam menyiapkan sarapan pagi ini. Biasanya suara mereka riuh sekali, berisik saling bersahutan. Kali ini diam membisu, sibuk masing-masing tak saling menyapa. Janu tahu, ada sesuatu yang tak beres di rumah ini. Kemarin masih baik-baik saja. Hanya terasa berbeda saat malam ketika Nadine mendiamkannya. Dia juga tahu, hanya memilih untuk menunggu. Istrinya tak pernah marah terlalu lama. Biasanya hanya sebentar, setelah itu mereka berbaikan."Bik Nah. Nasi goreng masih ada, nggak?" Janu bertanya. Setelah dia mengucapkan itu, tiba-tiba saja Nadine meletakkan sendok dan langsung berjalan ke dalam tanpa berucap kata.Jika Nadine memang marah kepadanya, kenapa dia juga mendiamkan Inah. Janu memilih untuk tetap melanjutkan makan. "Nadine kenapa, Bik?" "Anu, Den--" Inah tak dapat melanjutkan u
Andreas menutup panggilan dengan hati riang. Setelah salah satu perawat mengirimnya pesan mengenai kondisi Rani yang semakin menurun setelah kepulangannya dari rumah sakit, dia segera bertindak.Jadwal operasi masih setengah jam lagi. Dia sendiri sedang berada di ruang ganti dan memakai pakaian kebesaran mereka, seragam hijau. Pikirnya, mungkin dengan menelepon, Ranimau menuruti perintahnya. Selain itu, mendengar suara sang pujaan hati juga dapat mengobati rindunya yang terpendam selama tiga hari ini."Lagi jatuh cinta ya, Dokter?" tanya salah seorang perawat anastesi yang akan mendampinginya nanti di ruang bedah. "Sok tahu kamu." Andreas memalingkan wajah, malu dengan kelakuannya yang sedari tadi tersenyum melihat layah ponsel. Di kontaknya juga beberapa akun media sosial. Rani sengaja memasang foto profile yang sangat cantik sebelum kecelakaan itu terjadi. Wanita itu terlihat sedang berdiri di belakang sebuah bangunan megah ciri khas salah satu kota di sebuah negara di luar negeri
"Dokter makan, ya." Si perawat menyodorkan sesuap nasi ke mulut Rani. Wanita itu menolak karena tak berselera sama sekali. Sudah tiga hari di pulang ke rumah, tapi tak sekalipun Janu datang menjenguk. Wanita itu mencoba menelepon tetapi lambat direspons. Pesan yang dia kirim juga hanya dibaca. Lelaki itu sepertinya tak berniat membalas."Nanti Dokter sakit." Rani membuka mulut dengan terpaksa. Jika tidak makan maka tubuhnya akan lemas. Namun, semua makanan yang masuk ke mulut tak ada rasanya. "Nak" Rahmat menghampiri mereka yang sedang makan di taman belakang. Si perawat berinisiatif untuk membawa Rani keluar, setelah setelah dua hari mengurung diri di kamar.Melihat hal itu, seisi rumah menjadi bingung dibuatnya. Setelah tak ada Janu, Rani seperti kehilangan semangat hidup."Kok ndak habis makannya?" Rahmat mengambil tempat duduk di sebelah Rani, saat melihat piring yang isinya masih banyak. Bahkan setengahnya pun belum habis dan itu membuatnya bingung."Malas makan, Pak," jawab
Keesokan harinya.Beberapa orang di ruangan itu tampak sibuk membereskan barang-barang. Sementara wanita yang duduk di kursi roda hanya terdiam menatap kesibukan yang terjadi di depan matanya. Dia ingin membantu, hanya kondisinya tak memungkinkan. "Ini mau dibawa, Dokter?" tanya si perawat sambil menunjukkan sebuah handuk kecil yang tergeletak di nakas."Yang kecil-kecil tinggalin aja, Suster," kata Rani. Dia tak mau mobil nantinya penuh dengan barang yang sudah pasti tidak akan dipakai saat pulang ke rumah. Sebagian bahkan pemberian rumah sakit yang merupakan bagian dari fasilitas selama dirawat di sana.Si perawat dengan cekatan memasukkan dan menyusun rapi semua barang ke dalam tas. Hari ini Rani diizinkan pulang ke rumah karena kondisi fisiknya sudah pulih. Dokter Andreas sejak pagi sudah memberikan surat pengantar kepulangannya. Andreas tampak berat hati saat akan menanda-tanganinya. Namun, dia sudah merencanakan akan mengunjungi Rani di hari libur sebagai bentuk tanggung-jawab
Andreas mematung saat mendengarkan perbincangan dua orang tadi. Dari arah yang berlawanan dia datang hendak mengunjungi Rani. Dua orang tadi itu mungkin tidak menyadari kehadirannya karena sedang serius membicarakan sesuatu. Namun, dia cukup jelas mendengar semua ucapan mereka hingga bagian yang terakhir."Nak Dokter, ini cuma status. Siapa yang mau menikahi perempuan cacat. Saya juga juga ndak bisa melindungi dia terus-terusan."Ada yang tertohok di hati Andreas saat mendengar kata-kata itu. Seakan cinta yang baru tumbuh di hati harus layu sebelum bunganya mekar. Kalau diizinkan, biarlah dia yang menjadi penyelamat agar Rani bisa terus bertahan hidup dengan kondisinya yang cacat. Sayang, wanita itu tak melirik ke arahnya. Sekalipun dia sudah berusaha mati-matian menunjukkan kepeduliannya. Mungkin, bagi Rani perhatian yang dia berikan hanya sebatas tanggung jawab profesi. Padahal dia tak pernah berlaku seperti itu kepada pasiennya yang lain."Dokter Andreas?" tanya Rahmat saat meliha
"Jack. Ke ruangan Rani, sekarang!"Secepat kilat Janu menghabiskan makanannya dan menuju ruang rawat inap. "Mau ke mana, Dokter?" tanya perawatnya ketika melihat Janu keluar begitu saja dari ruangan dengan tergesa-gesa. Jarum jam dinding menunjukkan pukul lima sore lewat dua puluh tujuh menit. Jamnya pulang bagi semua karyawan. Namun, biasanya Janu akan keluar kantor pukul tujuh malam untuk menghindari macet. "Saya harus ke ruangan rawat inap sekarang."Sementara itu Janu berjalan cepat menuju ruangan yang dimaksud. Pikirannya berkecamuk. Telepon tadi membuat konsentrasinya buyar. Ponselnya kembali berbunyi. Dia sudah tahu siapa yang menelepon, hanya mengabaikannya. Lelaki itu berbelok arah di bagian tengah gedung ini. Dia tentunya sudah hapal setiap bagian dari rumah sakit. Hanya kali ini, bukan Rani yang akan dia temui.Pintu kamar pasien itu terbuka. Melihat Janu datang wanita itu langsung menangis sesegukan. Lelaki itu mendekati bed pasien. Di sana terbaring sosok cantik yang s