Carla tak menyerah meski di malam sebelumnya ia menerima penolakan dari Sbastian bahkan menerima amarah pemuda itu. Ia akan berusaha untuk mendekati si dokter angkuh dan dingin itu. Siang hari, ketika jam makan siang tiba, Carla kembali mengunjungi rumah sakit St Thomas’ dengan membawa makan siang berupas Fish and Chips. Salah satu hidangan yang umum di sajikan di Inggri. Ikan yang telah dibersihkan bagian durinya digoreng dengan baluran tepung yang telah diberi bumbu. Kemudian, disajikan dengan kentang goreng dan dipadukan dengan saus tartar dan saus sambal. Carla berharap agar kali ini Sbastian menerima makanan yang dibawanya.
Pada saat Carla hampir tiba di ruangan si deokter bermata hijau itu, ia melihat seorang perempuan yang sangat dikenalnya dengan baik keluar dari ruangan sang dokter dengan wajah berurai air mata. Rasa panik menyergap diri Carla. Buru-buru ia menghampiri perempuan itu.
“Evelyn, apa yang terjadi? Kenapa kau keluar dari ruangan ahli ka
Carla berjalan ke ruangan Sbastian dengan rencana di kepalanya. Kali ini ia tidak akan membiarkan dirinya kalah dari sang dokter keras hati. Kali ini ia akan pastikan bahwa Sbastian pasti akan memakan siang yang dibawakannya.Sesampainya di depan ruang Sbastian, Carla mengetuk pintu itu beberapa kali, suara Sbastian yang terlihat kesal mempersilahkannya masuk. Tangan Carla meraih gagang pintu ruangan itu, membukanya perlahan. Kemudian, dengan hati-hati ia melangkahkan kakinya, masuk ke dalam ruangan dan setelah itu kembali menutup pintu dengan hati.Sbastian yang saat itu nampak sedang menundukkan kepalanya sambil memijat-mijat keningnya dengan tangan segera mengangkat kepalanya ketika mendengar suara pintu ditutup kembali setelah dibuka.“Kau?” Sbastian nampak terkejut melihat Carla berada di depan pintu ruangannya. Ia tak menyangka yang mengetuk pintu itu adalah si gadis yang dianggapnya sebagai pengganggu. Ia kira orang yang mengetuk pintu ruangan
“Perempuan itu pasti yang meminta bantuanmu untuk mengusik hidupku bukan?” Sbastian kembali berbicara setelah duduk di kursi kerjanya.Carla menghentikan gerakan tangannya yang akan kembali memasukkan makanan ke dalam mulutnya, “Perempuan itu? Ah…maksudmu Evelyn? Kakakmu?”Sbastian menghembuskan nafas kesal, “Terserah apa katamu!”“Kau harusnya tidak menyebut kakak kandungmu sendiri dengan sebutan ‘perempuan itu’,” Carla mencoba unutk menasihati si dokter berkepala batu itu.“Itu bukan urusanmu, jawab saja pertanyaanku!” bentak Sbastian.“Aku sudah menjawabnya tadi. Aku baru tahu kau adik Evelyn dan aku tegaskan sekali lagi kakakmu itu tidak pernah meminta bantuanku untuk mendekatimu,” ucap Carla asambil menatap tajam Sbastian yang berjarak beberapa meter darinya.Sbastian tersenyum sinis, “Apa kau pikir, aku akan percaya ucapanmu itu?”
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya seorang tukang kunci pun datang ke depan ruangan Sbastian. Dokter muda itu melampiaskan amarahnya pada si tukang kunci yang malang. Carla hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat Sbastian yang sedang meluapkan emosinya. Gadis bermata abu-abu itu merasa kasihan pada si tukang kunci yang terpaksa mendengarkan omolen dari si dokter berhati dingin.“Diamlah Sbastian! Jika kau terus memarahinya, dia akan sulit untuk berkonsentrasi,” tegur Carla yang sedang duduk di sofa ruangan Sbastian.“Kau jangan berani-berani menasihatiku!” bentak Sbastian yang membuat Carla memutar bola matanya malas.“Kau pasti sudah tidak sabar keluar dari sini karena sudah terlalu lapar bukan?” goda Carla.“Suaramu hanya membuat kepalaku semakin pusing gadis gila, jadi sebaiknya tutup mulutmu itu!” ucap Sbastian dengan kasar.Carla berdiri dari sofa yang didudukinya, berjalan mendekat
Udara pagi musim gugur terasa lebih dingin, namun tetap menyenangkan untuk dinikmati. Berjalan-jalan santai pun terasa menyenangkan karena matahari tak bersinar terlalu terik. Pagi itu Carla pergi ke kawasan Golders Hill Park, taman tak jauh dari Compton Avenue, tempat Sbastian tinggal. Gadis bermata abu-abu itu mendesak Evelyn untuk memberikan alamat tempat tinggal Sbastian. Meski awalnya, Evelyn menolak untuk memberikan alamat sang adik, namun akhirnya Carla berhasil menyakinkan sahabatnya itu.Selain meminta alamat, Carla pun mendesak Evelyn untuk memberinya informasi lebih tentang Sbastian. Tidak banyak yang Evelyn tahu tentang sang adik karena mereka memang tidak dekat. Namun, Evelyn beberapa kali di pagi hari pernah datang ke mansion sang adik, ternyata tak menemukan Sbastian di mansionnya, dokter muda itu sering menghabiskan waktu pagi dengan berolahraga di kawasan Golders Hill Park.Oleh karena itu, Carla pun rela pergi jauh-jauh hingga ke Golders Hill Pa
Sbastian terperanjat, ia kembali memeriksa nadi Carla, “Syukurlah denyut nadimu sudah kembali normal,” ucap Sbastian dengan suara datar.Carla tersenyum kecil, ia melepaskan oksigen yang terpasang di hidungnya.“Apa yang kau lakukan?” tanya Sbastian.“Aku sudah baik-baik saja, aku tidak membutuhkan oksigen ini lagi,” ucap Carla sambil menatap Sbastian lekat-lekat.“Kau yakin sudah membaik?” tanya Sbastian dengan raut khawatir.Carla tersenyum riang, “Ah…rupanya kau mengkhawatirkanku ya?” Carla meledek.Sbastian menelan salivanya, “Aku akan mengkhawatirkan siapa pun yang tiba-tib apingsan di depanku,” ucap Sbastian dengan suara dingin.Carla mencoba untuk duduk dari posisinya yang berbaring, Sbastian ingin membantu tetapi mengurungkan niatnya itu, ia tidak mau membuat gadis bermata abu-abu itu semakin meledeknya.“Anggap saja aku mempercayainya.
Sbastian menyetir mobil mewahnya dengan wajah dilipat. Carla terus memperhatikan wajah tampan dokter itu. Mereka berdua meninggalkan mansion Sbastian setelah Carla menghabiskan sup ayam buatan Sbastian.“Kenapa kau terus menatapku?” tanya Sbastian dengan dingin.“Karena kau terus menekuk wajahmu,” ucap Carla sambil terus menatap wajah Sbastian.“Itu karena kau terus membuatku kesal,” Sbastian melirik Carla beberapa detik.Carla menggeleng-gelengkan kepalanya, “Meski aku tidak membuatmu kesal, kau pasti akan tetap menekuk wajahmu, itu sudah kebiasaanmu dan kebiasaan itu susah dihilangkan.”“Bukan urusanmu!” bentak Sbastian.Carla menghembuskan nafas kesal, gadis itu menyenderkan punggunya di sandaran kursi mobil Sbastian, kini tatapan matanya menatap lurus jalanan depan. suasana jalanan London mulai dipenuhi kendaraan bermotor.“Antarkan aku ke Oxford Street,” ucap
Kota New York memanglah kota yang selalu sibuk. Lalu-lalang kendaraan bermotor dan para pejalan kaki nampaknya tak pernah berhenti. Hingar-bingar kehidupan dunia dapat ditemukan di setiap bagian kota. Siang itu ketika matahari musim gugur bersinar cukup terik, beberapa bintang model perempuan dan pria sedang melakukan pometratan untuk iklan baju renang di kolam renang terbuka.Renatta nampak seksi dengan baju renang model Monokini berwarna merah menyala. Pakaian renang itu membentuk setiap lekuk tubuh tinggi dan langsung si perempuan berambut pirang itu. pemotretan berjalan lancar hingga akhir. Namun, saat Renatta keluar dari kolam renang dengan dengan menaiki tangga bagian dalam kolam renang, kakinya mengalami kram dan membuatnya tergelincir.Orang-orang di sekitarnya berteriak karena terkejut. Teman-teman model Renatta dan beberapa kru lapangan ikut membantu perempuan berambut pirang itu untuk keluar dari kolam renang.“Kau baik-baik saja?” tanya A
Tiada hari tanpa bertemu dengan Sbastian, itulah moto baru dalam hidup Carla. Ia tak akan membiatkan dokter bermata hijau itu sehari saja tak melihat wajahnya. Tak peduli berapa kali pun ia ditolak dan diusir, Carla akan tetap membayang-bayangi hari-hari Sbastian.Di pagi musim gugur yang hampir berakhir, Carla pagi-pagi sekali masuk ke ruangan Sbastian. Gadis bermata abu-abu itu meletakkan bunga Daisy berwarna oranye ke dalam vas kaca yang selama ini menganggur dan disimpan di pojok ruangan. Ia ingin membuat ruangan Sbastian nampak lebih hidup dan indah“Kau?” Sbastian kembali dikejutkan dengan kedatangan Carla yang sepagi itu sudah ada di ruangan kantornya.Carla tersenyum manis, menyambut kedatangan sang pemilik ruangan.“Apa kau benar-benar tidak bosan selalu datang menggangguku?” tanya Sbastian dengan kesal.Carla menggelengkan kepalanya, “Sama sekali tidak. Ini menyenangkan untukku.”&ldq
Berbagai macam bunga dengan warna yang bermacam-macam pula memenuhi pembaringan terakhir Carla. Prosesi pemakaman itu telah usai sejak beberapa jam yang lalu. Namun, Sbastian nampaknya enggan untuk meninggalkan kuburan gadis penjual bunga itu.“Semua orang sudah pergi, apa kau akan tetap di sini?” tanya seorang perempuan berambut pirang. Ada beberapa luka memar di wajah perempuan itu.Sbastian mengalihkan tatapannya dari nisan bertuliskan nama Carla ke sosok yang mengajaknya berbicara, “Kau sendiri masih di sini,” ucap Sbastian dengan nada dingin.Perempuan berambut pirang itu tersenyum getir, lalu ia duduk bersimpuh di samping kuburan Carla, tepat di samping Sbastian, “Aku hanya ingin sedikit lebih lama lagi di sini. Saat dia masih hidup tidak banyak waktu yang kami habiskan bersama. Aku tidak begitu menyukainya karena sejak Mom menikah dengan Daddy Carla, Mom lebih perhatian padanya,” perempuan ber
Sbastian dengan menggunakan kursi roda membawa Carla menuju taman rumah sakit yang terlihat lenggang siang itu karena udara yang cukup dingin. Wajah Carla nampak berseri karena dapat menghirup udara segar musim dingin. Setelah tiba di taman itu, Carla meminta Sbastian untuk membantunya duduk di bangku panjang taman.Sbastian dengan hati-hati pun mengangkat tubuh gadis bermata abu-abu itu dari kursi roda dan mendudukkannya di bangku taman. Setelah duduk di atas bangku panjang taman Carla menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku itu. matanya mengamati pemandangan di sekitarnya. Sbastian ikut duduk di samping Carla. Pria itu menatap wajah pucat Carla dengan tatapan yang sulit diartikan.“Aku suka musim dingin, tapi aku lebih suka lagi musim semi,” ucap Carla sambil menatap pepohonan-pepohonan gundul yang ada disekitarnya.“Aku suka semua musim kecuali musim gugur,” ucap Sbastian sambil menatap wajah Carla lamat-lamat.Carla mengali
Sbastian berlarian di lorong-lorong rumah sakit menuju ruang perawatan Carla. Saat itu dia sedang berada di salah satu ruang rawat pasiennya untuk melakukan pemeriksaan berkala. Saat dia berbincang dengan pasiennya itu, tiba-tiba ponsel miliknya berbunyi. Sebuah panggilan dari sang kakak yang mengabarkan berita begitu mengejutkan.Tanpa membuang waktu dan tanpa memdulikan pasien yang sedang diperiksanya, Sbastian pun berlari dengan cepat. Ia beberapa kali bahkan harus menabrak suster atau pasien yang sedang berjalan di lorong-lorong rumah sakit St Thomas’. Dokter bermata hijau itu tidak memedulikan keadaan sekitarnya yang ia pedulikan saat ini adalah segera tiba di ruang perawatan Carla.Jarak yang sebenarnya tak begitu jauh terasa sangat jauh. Sbastian mengumpat dalam hati karena tak juga tiba di ruang perawatan Carla. Ia semakin menambah kecepatan larinya, tak peduli dengan tatapan orang-orang yang ia lewati. Tatap penuh tanda tanya dan wajah penuh keheranan di
“Kakek sepagi ini di sini?” tanya Sbastian dengan wajah terkejut ketika menemukan sang kakek sedang duduk di samping ranjang Carla.Pria tua itu mengalihkan pandangannya dari tubuh Carla pada sang cucu laki-laki, “Saat aku dirawat di rumah sakit ini, dia selalu mendatangiku pagi-pagi dan memaksaku untuk berolahraga di taman. Sekarang giliranku untuk melakukan itu. Aku ingin membangunkan gadis nakal ini,” ucap Tuan Tom dengan wajah yang dipenuhi oleh gurat kesedihan.Sbastian menghela nafas berat, ia dapat merasakan kesedihan yang dirasakan oleh sang kakek, “Carla belum bangun, Kakek bisa membujuknya untuk berolahraga saat dia bangun nanti,” ucap Sbastian sambil menatap nanar tubuh lemah Carla.Tuan Tom tersenyum getir, kini pandangannya kembali menatap Carla, “Dia terlihat sangat manis saat sedang tertidur, berbeda ketika dia sedang bangun. Saat dia bangun, dia gadis yang nakal dan pemaksa, aku merindukan gadis nakal itu
Sudah satu minggu berlalu sejak Sbastian mengetahui tentang keadaan Carla yang sesungguhnya. Tua Tom dan Evelyn kini juga telah mengetahui kebenaran itu, Sbastian mengabarkan pada kakek dan kakaknya tentang kondisi Carla keesokan harinya setelah di malam sebelumnya Suster Jane mengatakan kejujuran padanya.Sejak tahu Carla sedang terbaring koma di ruang perawatan intensif bangsal VVIP, secara berkala Sbastian mengunjunginya. Meski saat sedang berkunjung, pria bermata hijau itu hanya menatap gadis bermata abu-abu itu dalam diam. Dia tidak pernah mencoba untuk mengajak Carla berkomunikasi.Sbastian bahkan pernah semalaman menunggui Carla hanya dengan duduk diam di kursi samping ranjang Carla terbaring. Menatap perempuan penjual bunga itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Suster Jane selama ini diam-diam memperhatikan tingkah si dokter mud aitu dan dia masih belum mengerti apa yang sebenarnya Sbastian pikirkan dalam diamnya.Tuan Tom dan Evelyn pun secara
Sbastian melajukan mobilnya di atas kecepatan rata-rata. Wajahnya terlihat gusar. Suster Jane yang duduk di kursi penumpang samping Sbastian menatap ngeri jalanan. Dokter muda itu menyetir mobilnya seperti orang yang kesetanan. Suster berusia hampir setengah abad itu berusaha untuk menyadarkan Sbastian dan meminta dokter bermata hijau itu untuk menurunkan laju mobilnya, namun Sbastian nampaknya tidak memedulikan hal itu.Dokter tampan itu sudah tidak sabar lagi untuk tiba di tempat gadis yang dicari-carinya selama beberapa hari belakangan ini. Setelah mengetahui hal yang sebenarnya dari Suster Jane berbagai perasaan yang tak dimengerti oleh Sbastian berkecamuk di dalam hatinya. Rasa khawatir, marah, kesal, sedih, dan kecewa beradu menjadi satu. Membuat dirinya merasa berada pada dunia yang sunyi.Mobil mewah Sbastian di parkir sembarang di depan pintu masuk utama Rumah Sakit St Thomas’. Pria itu tidak memedulikan teriakan satpam yang memintanya untuk memindahkan
Suster Jane kini duduk di dalam mobil Sbastian dalam diam sambil menatap jalanan London yang terlihat sepi malam itu. Udara terasa dingin meski salju sedang tidak turun. Sbastian melajukan mobilnya berputar-putar tak tentu arah. Dia sendiri tidak tahu tujuan sebenarnya akan ke mana. Dia hanya ingin menjadikan Suster Jane sebagai tawanannya agar suster itu mengatakan keberadaan Carla.“Besok pagi saya ada jadwal jaga. Jika saya terlambat ini semua salah Dokter,” ucap Ssuter Jane dengan nada dingin.Sbastian tak peduli dengan hal itu yang ia pedulikan saat ini adalah mengetahui tentang keberadaan dan keadaan Carla, “Jika kau ingin aku mengantarmu pulang, cepat katakan di mana Carl!” ucap Sbastian dengan tegas.Suster Jane menghela nafas berat, ia menatap Sbastian dengan tatapan kesal, “Aku tidak tahu,” ucap Suster Jane singkat.Sbastian mengalihkan pandangannya dari jalanan di depannya, kini dia menatap wajah suster itu,
Sbastian tidak dapat menunggu hingga esok hari. Dia sudah merasa sangat penasaran dengan keberadaan Carla. Pemuda bermata hijau itu sendiri bingung kenapa dirinya tiba-tiba mencemaskan Carla dan ingin tahu keberadaan gadis penjual bunga itu padahal selama ini dirinya selalu mengusir Carla jika gadis itu mengganggunya.Tidak dapat dipungkiri oleh Sbastian, sejak Carla tiba-tiba menghilang, hidupnya terasa sepi. Tidak ada lagi yang menyambutnya dengan ocehan tidak penting di pagi hari. Tidak ada lagi yang tiba-tiba datang membawakan makanan untuknya. Kehadiran Carla dalam hidup Sbastian beberapa bulan terakhir ini memang telah meramaikan dunia pria itu yang sebelumnya sepi.Sbastian memarkir mobilnya tepat di depan toko bunga milik Carla. Saat Sbastian tiba, toko itu ternyata masih menyala. Buru-buru dokter muda itu pun masuk ke dalam toko. Ia memanggil-manggil nama Carla, namun sayangnya gadis yang dipanggil itu tidak juga menampakkan diri.Seorang pegawai peremp
“Sudah cukup lama aku tidak melihatnya. Terakhir kali kami bertemu waktu pesta pernikahanku,” ucap Evelyn setelah berusaha menggali ingatannya.“Kakek terakhiar kali bertemu dengannya sekitar satu minggu lalu saat pemeriksaan rutin,” ucap Tuan Tom setelah itu.Sbastian terdiam. Wajahnya terlihat bingung. Evelyn memberikan tatapan curiganya, “Ada apa sebenarnya Sbastian? Kenapa kau jadi penasaran dengan Carla? Jangan-jangan kau mulai tertarik ya dengannya?” ledek Evelyn.Sbastian mendengus kesal. Ia memberikan tatapan tajamnya pada sang kakak, “Jangan bicara sembarangan!” ucap Sbastian dengan nada dingin.“Kalau begitu kenapa kau menanyakan hal itu?” Evelyn terlihat sangat penasaran.“Aku terakhir kali bertemu dengannya juga satu minggu lalu. Tiba-tiba saja dia menghilang. Tidak pernah lagi datang ke kantorku,” ucap Sbastian sambil menatap gelas berisi anggur yang ada di hadapan