Malam yang dingin berubah menjadi panas seketika, saat sepasang manusia beradu dalam satu ranjang. Gairah yang membuncah, diiringi gerakan erotik dari keduanya, sambil mengutarakan kenikmatan melalui desahan yang keluar tanpa permisi, ketika tautan bibir terlepas dari bibir lain nya. "I like your lips." Bisik sang laki-laki tepat di telinga wanita yang ada di pangkuan nya. "Mmhh... Faster." Laki-laki itu hanya mengulas senyum evil nya, sebelum kemudian membalik posisi menjadi dia yang di atas. Dan bertepatan dengan itu, terdengar bunyi sesuatu yang menggelinding jatuh ke lantai, hingga fokus mereka sempat terhenti. "Bunyi apa itu?" Tanya sang wanita. "Itu hanya angting kamu yang terjatuh. Sudahlah, ayo kita lanjut kan lagi---" "Wait! Itu anting aku yang berharga!" "Aku akan menemukan nya setelah itu." Pangkas sang laki-laki lantas melahap kembali bibir wanita yang ada di bawahnya dengan lihai. "Oh shit ini nikmat sekali." "Yeah... Fasterh
Hari-hari berlalu begitu cepat tanpa Rinji sadari. Ternyata, sudah genap satu bulan kehidupan nya berubah total. Dari yang Rinji si wanita kuda, kini menjadi Jianna Alatas sang direktur utama Alatas Group. Kehidupan nya berjalan mulus jika dilihat dari sudut pandang orang-orang. Masih muda, cantik, pewaris utama. Begitu Jianna Alatas di pandangan khalayak umum. Namun, mereka semua tidak pernah tahu apa yang harus Rinji korban kan untuk menghidupkan nama itu. "Nona Jia?" Lamunan Rinji buyar seketika. Lalu dia pun menoleh ke belakang dan mendapati salah satu pelayan rumah berjalan menghampiri nya, kemudian memakaikan selimut di pundak nya. "Udara malam tidak baik untuk kesehatan." Ucap pelayan tersebut. Rinji tersenyum, seraya membetulkan posisi selimut hingga membuat nya nyaman. "Terima kasih." "Sama-sama. Kalau begitu saya pamit, Nona." Rinji hanya mengangguk sebagai jawaban nya. Kepergian pelayan itu membuat sepi kembali hadir di sekitar Rinji, yang ki
Setelah satu bulan lebih jadwal nya begitu padat, akhirnya hari ini Rinji senggang. Meskipun begitu, Rinji bukan tipe gadis yang suka bergelung di dalam selimut saja ketika hari nya kosong. Bahkan pagi-pagi sekali, wanita itu menyempatkan diri untuk berolahraga di sekitaran rumah nya. Setelah selesai, Rinji langsung bersiap-siap untuk pergi ke suatu tempat yang tidak seorang pun boleh tahu. Tapi sebelum pergi kesana, dia terlebih dahulu mengunjungi Abraham yang masih belum sadar dari koma nya. "Papi, ini Jia." Monolog Rinji seraya mengelus punggung tangan Abraham yang nampak pucat. Ada sesak di dada gadis itu saat melihat ayah angkat nya terbaring lemah tanpa sedikit pun membuka mata nya untuk waktu yang lama. Ya, tentu saja, satu bulan itu bukan waktu yang singkat. "Aku akan berusaha semampu ku untuk menjadi apa yang Mami dan Papi ingin kan." Hanya itu saja yang bisa Rinji sampaikan. Karena pikirnya, Abraham akan sangat bangga dengan nya, jika dia bisa menjadi a
Usai membagikan hadiah pada anak-anak di panti, Jeff tidak langsung pulang. Pria itu menyempatkan diri untuk bermain dan seru-seruan dengan mereka sampai dia merasa lelah. Jeff duduk sebentar di atas rerumputan sambil meminum air mineral dingin yang di suguhkan. "Nak Jeff, pasti capek ya meladeni mereka." Ucap Anita seraya menyodorkan pisang goreng pada Jeff. "Enggak, Bu. Saya senang bermain dengan mereka." "Syukurlah. Mereka juga senang kalau kamu datang. Ah iya, di makan dulu Nak Jeff." "Ibu, nggak usah repot-repot." Anita hanya tersenyum lalu duduk di samping Jeff. "Ibu enggak merasa di repotkan. Ayo silahkan di makan." Karena merasa tidak sopan kalau diabaikan, akhirnya Jeff mengambil satu pisang goreng tersebut untuk kemudian dia cicipi. "Nak Jeff, tolong ucapkan terima kasih banyak pada Pak Handoko yang sudah memberikan banyak bantuan untuk panti ini." "Tentu Bu." "Ibu juga berterima kasih banyak pada Nak Jeff yang rela membuan
Rinji terdiam cukup lama usai mendengar pertanyaan itu. Tentu saja, dia bingung. Harus kah dia menjawab jujur, atau berbohong demi kedua identitas nya terjaga? Hingga pada akhirnya Rinji memilih mengatakan ini. "Ayah saya sakit. Jadi saya harus merawatnya." Bukan kah itu yang paling tepat. Dia tidak berbohong, tidak juga mengatakan yang sebenarnya. Tapi pada kenyataan nya, memang benar kan, Ayah nya sakit meskipun sebenarnya Rinji tidak sepenuhnya merawatnya. Dia malahan menggantikan tugas dan tanggung jawab ayah nya di perusahaan. "Ah... Jadi waktu itu kamu terburu-buru ke rumah sakit karena ayah mu?""Iya." Baiklah, Jeff sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaan nya selama ini, semenjak Rinji menghilang. "Kamu tahu, Mama saya sempat sedih karena kamu berhenti kerja.""Iya, dia bilang juga begitu." "Hm. Dia suka banget sama kamu. Karena katanya cuma Rinji yang bisa diajak bekerja sama untuk menipu saya supaya datang ke butik
Rinji baru saja menutup laptop nya ketika ponsel nya bergetar dan menampilkan nama Jeff di sana. Lantas dia pun mengambil nya untuk kemudian dia buka isi pesan nya. Ternyata isinya foto langit malam, dimana ada bulan sabit dan dua bintang berjejeran di sekitar nya. Lalu di bawahnya keterangan seperti ini;saya sedang menikmati malam dan melihat bulan sabit. Saya jadi teringat kamu Rinji. Kamu mirip bulan sabit.Karena hal tersebut, Rinji jadi terkekeh sebelum kemudian kedua jempol nya menari diatas benda pipih untuk membalas pesan tersebut. To: Jeff Wahh... Langit nya cantik. Kenapa saya sama kaya bulan sabit?Terkirim. Dan tidak perlu waktu lama, Rinji langsung mendapatkan balasan nya. From: JeffBulan sabit begitu sederhana. Sinar nya hanya setengah. Tetapi dia tetap percaya diri untuk menunjuk kan diri nya. Dan karena kepercayaan diri nya itu lah, dunia yang kebagian gelap nya malam jadi terang karena pantulan sinar nya, mes
Usai menghabiskan waktu bersama di dalam toserba, akhirnya Rinji dan Jeff keluar bersamaan dengan troli yang didorong Jeff menuju parkiran. Belanjaan mereka terlalu banyak, hingga tidak bisa jika hanya dibawa oleh dua pasang tangan. Meskipun datang sendiri-sendiri, tetapi pulang nya, mereka sepakat untuk barengan. Lagian tujuan mereka sama. Dan tentu saja, Rinji juga pura-pura tidak membawa mobil, padahal mobilnya terparkir tepat bersebelahan dengan milik Jeff. "Kita langsung ke Panti atau mau cari makan dulu?" Tanya Jeff setelah pintu bagasi mobilnya tertutup."Hng.... Makan dulu aja gimana?""Ayo." Lalu Jeff pun menuntun gadis tersebut untuk masuk kedalam mobilnya. Untuk beberapa saat, suasana di dalam mobil hening. Tidak ada satu pun yang memulai obrolan, hingga kemudian dering ponsel Jeff berbunyi. Pria itu pun menjawab nya, tanpa membaca terlebih dahulu siapa yang memanggil nya. "Jeff, kamu dimana?" Suara cempreng seorang wanita terdengar dari seberang sana. Ya, siapa lagi k
Pada akhirnya, malam ini Jeff lebih memilih untuk menemui Vella, alih-alih berkunjung ke Panti Asuhan bersama Rinji, seperti yang sudah dia janji kan beberapa hari lalu. Bukan maksud Jeff untuk ingkar janji, hanya saja, seperti nya Vella sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Begitu mobil nya terparkir di halaman utama rumah bergaya Amerika tersebut, Jeff buru-buru melangkah kan kaki nya masuk ke dalam. Di ketuk nya pintu kamar gadis itu dengan cepat. "Vella, ini saya." Ucap Jeff. Ada setetes peluh yang membasahi dahi nya. Namun, pria itu tidak menggubris nya sama sekali. Dia hanya mengkhawatirkan perempuan yang ada di dalam kamar tersebut, yang tak kunjung merespons nya."Vella, saya masuk ya?" Masih tetap sama. Tidak ada sahutan sama sekali, hingga kemudian, Jeff pun langsung memutar knop pintu. Pria itu sedikit lega karena Vella tidak mengunci kamar nya.Namun, saat Jeff memasuki kamar tersebut, tidak ada cahaya sedikit pun yang menerangi nya. Jeff semakin panik dibuat