Seketika lutut Kiara goyah saat Ray menjulurkan dua test pack yang sama-sama menunjukkan dua garis merah.
Tubuh Kiara tersungkur di lantai. Bahunya mengguncang hebat. Dia membekap mulutnya agar tangisannya tidak terdengar sampai keluar kamar.
“Sekarang, apa yang harus kita lakukan, Ray?” Air mata Kiara mengucur di pipinya. Ray beringsut ke arah Kiara dan memeluknya. “Aku harus bilang apa ke keluargaku?”
Ray mengelus pelan pundak Kiara, berusaha untuk menenangkannya. “Aku juga bingung, Ki. Aku nggak nyangka bakal begini.”
Selama ini, Ray selalu menggunakan pengaman—kecuali saat pertama kali mereka berhubungan. Otak Ray pun berpikir keras.
“Gimana kalau aku sampai di-DO dari sekolah? Terus bagaimana kita merawat anak ini, Ray?”
Rentetan pertanyaan itu membuat Ray semakin gundah.
“Kiara,” tegas Ray, melepaskan pelukannya seraya meremas erat bahu Kiara. “Kita
“Huft,” Prita mendengus pelan. “Ternyata pertemuan dengan orangtuamu tadi cukup menegangkan juga.”Ray tersenyum tipis seraya mengarahkan mobilnya keluar dari driveway. “Yang penting semua berjalan lancar. Sepertinya mereka menerima kehadiranmu.”Prita mengedikkan bahunya. “Kurasa ibumu nggak terlalu menyukaiku.” Gerutu Prita, mengingat bagaimana Utami Djaya yang menatapnya sinis dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ditambah rentetan pertanyaan mendetail dari calon ibu mertuanya itu mengenai latar belakang keluarga Prita. Rasanya pertanyaan-pertanyaan itu jauh lebih sulit daripada menjawab pertanyaan HRD saat interview kerja.Kini, Prita jadi penasaran apakah dulu Kiara juga mendapatkan perlakuan yang sama saat pertama kali bertemu mereka.“Jangan berburuk sangka gitu dong. Mama memang seperti itu. Dia hanya nggak ingin aku gagal untuk yang dua kali.” Balas Ray santai.&l
Awan hitam yang menggantung kala itu membuat suasana di sekitarnya semakin kelam. Embusan angin menerbangkan daun-daun kering dan menyapu lembut dahi Kiara.Dia hanya bisa tertunduk. Di balik kacamata hitamnya, air matanya tak henti-hentinya mengalir.“Ayo, kita pulang,” pinta Tante Ayu, mengelus punggung Kiara. “Kamu sudah terlalu lama di sini. Kamu harus mengikhlaskan kepergian ayahmu.”Kiara masih terisak. Sekali lagi, dia meraba nisan ayahnya itu. Perasaan tidak percaya bahwa Kusuma telah tiada masih mendera dirinya. Kakinya masih lemah dan hatinya masih tidak rela beranjak dari makam ayahnya. Namun, gemuruh petir terdengar dari kejauhan. Akhirnya, Kiara bangkit. Sambil dipapah oleh Tante Ayu, Kiara melangkah gontai menjauhi pusara makam ayahnya itu.Saat menerima telepon itu, Kiara langsung mencari penerbangan ke Batam di hari itu juga. Namun, penerbangan paling malam pun sudah fully booked. Dia baru bisa berangkat ke
Kiara bergerak ke arah Rini. “Hai, Rini.” Kini dia sudah membuang semua tata krama dan sopan santun dalam dirinya.Rini memicingkan matanya. Salah satu sudut bibirnya terangkat ke atas. “Wah, kejutan. Aku tak menyangka akan kedatangan tamu spesial. Mantan anak tiriku yang sudah lama menghilang. Mau apa kau ke sini, Nak? Meminta uang dariku? Apa kau jatuh miskin sekarang?”“Kau pasti senang mengetahui kalau ayahku telah tiada,” desis Kiara.Rini sengaja menghela napas pelan. Ekspresinya menyiratkan penyesalan yang dibuat-buat. “Oh, aku tahu itu, Sayang. Sungguh malang Kusuma. Aku bahkan tidak sempat berada di sisinya di saat terakhirnya. Sama seperti dirimu, ya kan?”“Aku tidak heran. Wanita selicik dirimu memang tidak punya belas kasihan. Kau telah merampas semua harta milik ayahku dan meninggalkannya begitu saja!”“Aku tidak melakukan kejahatan apa pun,” Rini mengangkat bahuny
Tante Ayu memeluk Kiara erat setelah mendengar perihal warisan deposito satu juta dolar dari mendiang ibunya Kiara. “Syukkurlah. Akhirnya kau bisa mendapatkan apa yang menjadi hakmu tanpa ada yang bisa mengusiknya.”Kiara mengangguk pelan. “Tante kurasa aku akan tinggal di sini lebih lama. Tante nggak keberatan kan?”“Tentu saja Tante nggak keberatan, Kiara. Kamu bisa tinggal di sini selama yang kamu mau. Tapi bagaimana dengan pekerjaanmu di Jakarta?”“Aku akan mengajukan surat pengunduran diri.” Ungkapnya. Dengan warisan yang baru saja dia dapat, hidupnya kini jauh terasa lebih mudah. Namun, ada satu hal masih mengganjal pikirannya.“Lantas, apa yang akan kamu lakukan di sini? Kamu mau melanjutkan kuliah lagi atau bagaimana?” Tante Ayu penasaran.“Aku mau menyelidiki sesuatu, Tan.”Dahi Tante Ayu mengernyit. “Menyelidiki apa?”Kiara bersedekap. Raut w
Empat Tahun KemudianBRAK!Arianto Djaya menghempaskan laporan keuangan kuartal pertama Sinar Tekstil di atas meja rapat. Ray beserta para manajer lain hanya bisa tertunduk.“Sudah tahun keempat kamu memimpin perusahaan ini, tapi kenapa keuangan perusahaan selalu defisit! Dan ini yang terparah, hampir minus!” bentak Arianto Djaya. Dadanya kembang kempis menahan amarah.Ray hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Sebagai CEO, dia memang gagal. Sejak kepemimpinannya, perusahaan kacau balau. Turn over karyawan termasuk tinggi dan mereka juga gagal menghasilkan keuntungan untuk memutar modal. Berkali-kali Ray gagal memenangkan beberapa tender besar.“Kalau performamu semakin menurun, saya akan pecat kau dari jabatan ini!” Arianto Djaya keluar ruangan dengan langkah kesal diikuti asisten pribadinya.Ray kembali ke ruangannya dengan lesu. Pikirannya begitu pening atas ultimatum papanya itu.&l
Kiara memutar kursinya begitu dia memutuskan sambungan telepon. Dia melihat Nabila yang tersenyum lebar di meja seberang.“Keuntungan kita bulan ini naik dua puluh persen!” ungkapnya dengan mata berbinar, memandangi layar laptop.“Dan kita baru saja mendapatkan reseller baru.”Nabila bersandar sambil menghela napas pendek. “Gue nggak menyangka usaha kita bisa berkembang pesat seperti sekarang. Pilihan gue untuk resign dan membangun usaha bereng lo ternyata memang pilihan yang tepat.”Empat tahun lalu, setelah Kiara mendapat warisan dari ibunya dan membongkar kejanggalan kebakaran rumah ayahnya, Tante Ayu mengambil alih operasional resor di Batam sehingga Kiara bisa kembali ke Jakarta dan kuliah.Kiara memutuskan untuk mengambil jurusan bisnis dan manajemen dan lulus 3,5 tahun kemudian sebagai salah satu lulusan terbaik. Setelah itu, terbesit keinginan untuk melamar pekerjaan di perusahaan besar.
“Lihat itu,” Arianto Djaya melempar koran harian dengan kasar di hadapan Ray.Ray hanya bisa menghela napas pasrah. Secara khusus, Arianto memanggil putra bungsunya itu ke rumah.Tangan Ray menjangkau koran itu. Matanya terpaku pada headline hari ini. Mendadak kepalanya pening. Lagi-lagi masalah menimpa perusahaan yang dipimpinnya.“Mereka menyoroti soal pembuangan limbah di pabrikmu.” Arianto berujar berang. “Kau tahu, wartawan itu bahkan berhasil melakukan investigasi yang mendalam. Pembuangan limbah Sinar Tekstil ternyata membahayakan warga sekitar! Kau tahu kan konsekuensinya bagi perusahaanku yang lain?!”“Maaf, Pa.”“Sudah kesejuta kalinya kau minta maaf padaku. Tapi ucapan maafmu itu hanya omong kosong belaka!” Arianto menggebrak pinggiran meja kerjanya.“Aku sudah berusaha setengah mati untuk menekan biaya operasional perusahaan. Kalau Sinar Tekstil menerapkan
Embusan angin kencang membuat butiran-butiran air hujan serta beberapa daun kering menghantam jendela kaca di ruangan Kiara. Di luar, hujan turun dengan derasnya. Sesekali petir menyambar yang membuat Kiara tersentak.Tiba-tiba saja ada satu pesan masuk di ponselnya. Dia sedikit kaget mendapati nama Gian muncul di layar. Kiara tidak bisa menahan senyumnya yang langsung mengembang begitu tahu bahwa Gian mengajaknya bertemu di sebuah café setelah jam kerja selesai.“Gimana kabar Nabila?” tanya Gian setelah menyeruput minuman hangat di hadapannya.Kini, mereka duduk di sebuah café bergaya retro dengan banyak sentuhan kayu dan pajangan-pajangan klasik yang menghiasi ruangan. Lagu-lagu akustik yang diputar seperti tertelan dengan lebatnya air hujan yang turun.“Ibunya sudah keluar dari RS, tapi Nabila masih harus tinggal beberapa hari di sana,” ungkap Kiara, mengaduk sup asparagus yang asapnya mengepul. “Sebenarnya a
#59Awan putih bergerak pelan, membuka hamparan langit biru yang cerah. Deburan ombak terdengar berderu memecah batu karang.Pelaminan putih dengan ornamen bunga-bunga yang membingkai indah berdiri kokoh membelakangi lautan. Jejeran bangku kayu tertata rapi di sekelilingnya. Tidak jauh dari sana sudah dipersiapkan meja-meja panjang yang berisi makanan untuk jamuan para tamu.Beberapa tamu penting terlihat mulai berdatangan yang membuat para pengatur acara pernikahan ini mulai sibuk.Sementara itu di ruangan terpisah, Kiara berdiri menatap cermin panjang yang menggantung di depannya. Sambil memegang buket bunga mawar putih, tubuhnya dilapisi gaun pengantin putih gemerlap dengan ekor yang panjang. Rambutnya digelung sempurna dan di lehernya melingkar kalung berlian yang berkilau.“Astaga, lo begitu cantik.” Tukas Nabila dari balik punggung Kiara. “Orang-orang pasti bakalan terpukau dengan kecantikan lo.”Kiara tidak bis
#58Utami Djaya menghela napas panjang seraya menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Berita di televisi nasional itu mengabarkan perihal keterlibatan Alisa yang ditemukan tewas bunuh diri atas penyekapan Kiara. Juga Bobby yang ditangkap di pelabuhan saat dia akan menyelundup masuk ke salah satu kapal yang akan berlayar.Berita soal Ray yang menyelamatkan mantan istrinya juga tersiar luas. Orang-orang menanggapnya sebagai kisah heroik. Banyak media yang ingin mewawancarai Ray maupun Keluarga Djaya, namun tentu saja semua itu mereka tolak.Keluarga Djaya tidak level untuk masuk ke dalam pemberitaan infotaiment atau pun acara bincang-bincang yang tidak jelas.“Sekarang anak kita jadi sorotan.” Keluh Utami.Arianto bersedekap seraya matanya tidak lepas dari layar televisi. “Aku tidak habis pikir semua ini terjadi pada keluarga kita.”“Tapi aku tetap bersyukur Ray selamat.” Balas Utami.“Tapi keri
#57Beberapa hari sebelumnya.“Anton, aku butuh bantuanmu.”Prita duduk di sebuah ruangan yang lembab. Di sekitarnya terdapat beberapa kabinet yang berkarat. Cat tembok di ruangan itu begitu kusam dan beberapa bagian bahkan terlihat mengelupas.Sebuah kipas angin yang reyot berputar di atas. Kipas itu hanya memutar angin panas yang bersirkulasi di ruangan ini.“Prita, sudah lama sekali aku enggak bertemu denganmu.” Pria yang bernama Anton itu menyibakkan rambut ikal gondrongnya itu. Matanya memindai Prita yang sedari tadi mengipasi dirinya dengan kertas, dari atas sampai bawah. “Kamu terlihat begitu berbeda.”“Yah, tentu saja. Terakhir kita bertemu itu saat reuni SD. Ingat?”Anton mengangguk. “Lantas, apa yang bisa kubantu?”“Aku tahu kamu masih berkecimpung di bisnis itu kan?” Prita menyipitkan matanya.“Bisnis apa?” ula
#56“Kiara!” Gian berlari ke arah tunangannya yang duduk di ranjang rumah sakit. Gaun yang dipakainya lusuh dan robek serta ada luka-luka di sekujur tubuhnya. Namun, kondisinya tidak begitu parah.“Gian…” Kiara memeluk kekasihnya itu dengan erat. Air mata langsung mengalir dari matanya. “A..aku…”“Sudahlah, Kiara.” Sergah Gian cepat, menghapus air mata yang membasahi pipi Kiara. “Aku sudah mendengar semuanya dari polisi. Yang penting kamu selamat, Sayang.”“Ray.” Tukas Kiara. “Dia yang menyelamatkanku, Gi.”“Aku tahu.”“Lantas, gimana keadaaannya sekarang?” tanya Kiara dengan suara yang agak gemetar.“Dia…dia sedang ada di ruang operasi. Dokter berusaha mengeluarkan peluru yang bersarang di perutnya.” Terang Gian. “Dia sepertinya banyak kehilangan darah juga.”Kiara kembali ter
#55Lampu mobil Ray membelah jalanan yang gelap. Jalan yang dia lewati kini tidak beraspal. Di kanan kirinya terdapat beberapa bangunan kosong, tanah luas yang terbengkalai serta pepohonan yang lebat.Jantungnya berdentum cepat. Pikirannya begitu pening. Di kepalanya terlintas fakta bahwa memang benar wanita yang dia kenal selama ini bernama Jessica itu adalah mantan kakak iparnya. Lantas, Kiara yang dalam bahaya dan soal pembalasan dendam Alisa dan pria asing yang sedang dia untit ini.Untungnya, Ray masih sempat melihat Bobby di pelataran parkir dan berhasil mengikutinya sampai ke sini. Dengan menjaga jarak aman, Ray terus mengikuti mobil Bobby dari belakang.Ray menghentikan mobilnya di depan tanah kosong. Dengan kaki yang gemetar, dia berjalan menembus kegelapan. Ditemani cahaya senter dari ponselnya, Ray menerangi jalanan tanah yang basah. Samar-samar, dia melihat cetakan ban mobil yang menuntunnya ke sebuah gudang kosong yang gelap gulita.Ra
#54Mobil Ray berhenti di pelataran parkir Apartemen Sunny Hill. Jantungnya berdentum keras. Dia akan mengendap masuk ke dalam unit tempat tinggal Jessica untuk memastikan kebenaran identitas wanita itu.“Ah, sungguh bodoh. Aku nggak tahu kata sandi apartemennya!” tukas Ray dari balik kemudi. Dia mengigit bibirnya keras-keras. “Apa yang harus kulakukan?”Tiba-tiba mata Ray menangkap sosok Jesica yang berjalan tergesa melintasi pelataran parkir. Ray segera turun dan menghampirinya.“Jess!” seru Ray.“Astaga, mau apa si bodoh itu ada di sini?” batin Alisa kesal.“Jess, kebetulan.” Ujar Ray begitu dia berada di depan Alisa yang kali ini mengenakan rok mini dan tank top hitam. Alisa mengapit tas tangan cokelat.“Sepertinya dia habis dari kelab Madam,” pikir Ray dalam hati.“Oh, hai Ray. Gimana istrimu? Dia selamat kan? Nggak ada yang mencurigai kamu kan?&
#53Gian mengecup punggung tangan Kiara. “Kamu sungguh cantik malam ini.” Pujinya sembari kedua matanya memandangi penampilan Kiara.Dengan Gaun merah selutut tanpa lengan serta rambut Kiara yang digelung ke atas, membuatnya nampak begitu elegan. Sebuah kalung perak melingkar di lehernya yang jenjang.“Makasih, Gi. Tapi aku begitu gugup.” Balas Kiara. Dia bisa merasakan dentuman jangtungnya sendiri yang berdebar keras. “Ini kali pertamanya aku menghadiri acara di kantormu.”“Tenang saja, karyawanku nggak gigit kok.” Gian berusaha mencairkan suasana. Lantas, dia mengaitkan lengannya pada lengan Kiara, menuntunnya memasuki ballroom hotel yang mewah.Malam ini merupakan perayaan hari jadi perusahaan yang dipimpin Gian. Seluruh karyawan hadir beserta orang-orang penting. Itulah mengapa Kiara begitu cemas. Dia tahu bahwa semua mata akan tertuju padanya sebagai calon istri sang CEO. Apalagi pernikahan merek
Kedua mata Prita membelalak lebar. Pandangannya sedikit kabur namun perlahan dia bisa menangkap dengan jelas kondisi di sekitar. Dia mendapati dirinya terbaring dengan infus yang menggantung. Kedua lubang hidungnya dialiri selang oksigen sementara itu telinganya menangkap bunyi jantungnya yang berdetak perlahan.Tak lama setelah itu, Prita mendengar suara pintu yang mengayun diikuti dengan derap langkah yang mendekati dirinya.Sudut matanya menangkap sesosok wanita yang kini berdiri di sebelah ranjangnya.“Hai, Prita.” Ucap wanita itu dengan suara yang dingin. “Aku turut bersedih dengan kejadian yang menimpa dirimu.”Prita memalingkan wajahnya dan mendapati Kiara yang menatapnya dengan tajam. Tenggorokannya begitu tercekat. “Untuk apa dia ada di sini?!” pekik Prita dalam hati.Kiara mengembuskan napas panjang. Jari-jarinya yang lentik itu membelai pundak Prita dengan lembut. “Sungguh malang, kalian
Siang itu, awan hitam menggantung di langit. Sesekali gemuruh geluduk terdengar dari kejauhan.“Kami turut berduka,” Alex menepuk pelan pundak adiknya itu. Ray hanya bisa mengangguk pelan sambil menghela napas panjang.“Apa yang sebenarnya terjadi, Ray?” tanya Utami tidak percaya. Dia memandangi sosok putra bungsunya dengan iba. Lingkaran hitam di bawah mata Ray nampak jelas dengan rambut yang mencuat kesana-kemari.Ray hanya bisa bersandar pada tembok selasar rumah sakit yang dingin. Sesekali dia menyugar rambutnya, tatapannya terpaku pada ujung sepatunya. Dia tidak berani memandang mata Mamanya itu.Hatinya begitu berkecamuk. Dia tidak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi ketika Prita sadar nanti.Ray mengigit bibir bawahnya keras-keras. Seharusnya, dia tidak meninggalkan istrinya yang sekarat begitu saja. Seharusnya dia tidak mengikuti saran bodoh dari wanita yang dikenalnya dengan nama Jessica itu. Tapi apa daya, pik