Arka mengenakan setelan formal sederhana. Ia memakai kemeja biru muda dengan lengan panjang yang digulung hingga siku. Dasi hitam yang tidak terlalu mencolok terikat rapi di lehernya, sementara celana bahan berwarna hitam dan sepatu pantofel mengukuhkan kesan profesional. Rambutnya yang hitam dipotong pendek dan ditata rapi ke samping. Hari ini udara terasa lebih panas dari biasanya, matahari bersinar terik dan membuat Arka berkeringat meskipun ia sudah membuka beberapa kancing teratas kemejanya untuk mendapatkan sedikit sirkulasi udara. Ia melonggarkan dasinya sambil berjalan di tepi jalan yang ramai. Sudah lebih dari seminggu ia berkeliling kota untuk mencari pekerjaan yang cocok. Namun belum juga ada hasil yang memuaskan. Rasa lelah dan frustrasi mulai menyelinap, tapi ia menepisnya. Dia harus tetap berusaha untuk segera mendapatkan pekerjaan. Setelah beberapa saat berjalan, Arka memutuskan untuk mengunjungi tempat seorang kenalannya yang dulu merupakan salah satu kliennya ket
Arka mengepalkan tangannya begitu kuat hingga kuku-kuku jarinya memutih. Urat-urat di dahinya menonjol, napasnya sudah memburu hebat. Suara rekaman yang terus berputar di telinganya seperti belati tajam yang menusuk hatinya berulang kali. Rekaman itu membongkar seluruh kebohongan dan kebusukan yang selama ini disembunyikan oleh Lita, istrinya. Selama ini, Lita selalu mengatakan bahwa ia yatim piatu, tak memiliki siapa pun di dunia ini. Tapi ternyata, kenyataannya jauh berbeda. Ibunya sendiri bekerja di rumah mereka sebagai pembantu. Arka tertegun, otaknya berusaha mencerna kenyataan pahit yang baru ia ketahui. Selama ini Lita masuk ke dalam kehidupannya bukan karena cinta, bukan karena ingin membangun rumah tangga bersamanya. Tapi karena balas dendam. Ya, semua itu demi membalas dendam atas kematian kakak sepupunya yang dulu sangat mencintai Arka. Kakak sepupu Lita memilih mengakhiri hidupnya setelah Arka memutuskan menikah dengan Kiran, wanita yang selama ini selalu ada untu
"Kiran …," bisik Arga di telinga Kiran. Tangan kekarnya terus mengelus rambut wanita itu. Seakan Arga ingin mengatakan sesuatu yang sangat penting kepada Kiran. "Will you be my girlfriend?" Kiran menatapnya terkejut, sorot matanya memancarkan kebingungan, ia tak menyangka bila Arga akan bertanya seperti itu, tapi kemudian ia tersenyum, sambil mengangguk. "Yes, I will." Arga tersenyum lebar, lalu membelai rambut Kiran lagi, jari jemarinya terus menyisir rambut Kiran dengan lembut. "Terima kasih," bisiknya sambil mengecup kening Kiran. Mereka berdua kemudian terdiam, menikmati momen kehangatan di tengah dinginnya malam ini. Dalam diam itu, tiba-tiba Arga merogoh saku celananya, dan mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna biru tua yang kecil. Kotak itu terlihat elegan dan mewah, sampai membuat Kiran langsung mengalihkan pandangannya ke arah kota tersebut. "Apa itu?" Tanpa menjawab, Arga perlahan membuka kotak tersebut. Ketika kotak itu terbuka, Kiran terperangah melihat apa yan
Arka menatap Lita dengan tajam. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar menyimpan banyak sekali emosi yang tertahan. Jari-jarinya mengepal kuat, sementara tubuhnya bergetar menahan amarah. Lita yang tadinya santai dan acuh, kini diam seribu bahasa. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras. Jelas sekali bahwa ada sesuatu yang berusaha ia sembunyikan. "Aku sudah tahu segalanya." Arka mengulang perkataannya lagi dengan berat hati. Lita berhenti bergerak. Ponsel yang ada di tangannya hampir terlepas. Matanya berkedip cepat, berusaha menilai ekspresi Arka yang serius. "Tahu apa, Mas?" Lita mencoba berbicara dengan tenang, tapi suara itu terdengar jelas bergetar. "Tahu kalau kamu selama ini sudah berbohong kepadaku." "Maksudmu?" Arka menghela napas panjang, menundukkan kepalanya sejenak untuk menenangkan diri, lalu kembali menatap Lita dengan kebencian. "Kamu masih punya keluarga, 'kan?" Deg! Detak jantung Lita seolah berhenti sesaat. Tubuhnya menegang, seakan-ak
Arka menarik napas panjang, wajahnya semakin dingin dan tegas saat menatap Lita yang terisak di depannya. Amarah yang membara di dalam dirinya membuatnya kehilangan semua perasaan kasihan. Ia sudah muak dan tidak ingin melihat wajah wanita itu lagi. "Aku sudah bilang, Lita. Kamu harus pergi dari sini sekarang juga!" seru Arka dengan suara yang menggema di seluruh ruangan. Lita menatapnya dengan mata yang sudah di banjiri air mata, tangisnya semakin keras, tubuhnya bergetar ketakutan. "Mas … kumohon, jangan seperti ini. Ini sudah malam, aku tidak punya tempat lain untuk pergi. Kumohon, Mas … beri aku kesempatan .…" Tangisnya memelas, kedua tangannya terangkat memohon ampunan. Namun, Arka tak terpengaruh sedikit pun. Ia menatap Lita, lalu berbalik, berjalan ke arah pintu utama. Lita segera mengejarnya, tangannya meraih lengan Arka dengan cepat. "Mas … tolong, demi Cleo … anak kita masih butuh aku. Kumohon, Mas. Jangan usir aku seperti ini …." Arka menghentikan langkahnya. Ia m
Kiran berjalan pelan menuju pintu apartemen Arga sambil membawa rantang berisi makanan di tangannya. Namun, saat ia tiba di depan pintu, alisnya berkerut. Pintu itu terbuka lebar, padahal seharusnya tertutup. "Kenapa pintunya terbuka? Apa sedang ada tamu?" gumamnya bingung. Kiran celingak-celinguk melihat ke sekeliling, tapi tidak menemukan siapa pun. Akhirnya, dia memutuskan untuk masuk. Langkah-langkah kecil Kiran membawanya ke ruang tamu, tapi ruangan itu sepi. Dia menoleh ke kiri dan kanan. "Kak Arga?" panggilnya ragu. Namun, tak ada sahutan. Yang terdengar hanya suara deburan air dari kamar mandi. Mungkin Arga sedang mandi, pikirnya. Dia pun meletakkan rantang yang dibawanya di atas meja. Beberapa saat kemudian, suara pintu kamar mandi terbuka. Kiran menoleh, tetapi seketika wajahnya memucat. Ketika melihat Arga yang tak mengenakan pakaian, lelaki itu hanya mengenakan handuk putih yang melilit di pinggangnya, sampai menampakkan dada bidang Arga yang terlihat atletis. "Astag
Kiran segera beranjak dari pangkuan Arga ketika mendengar suara ketukan di pintu. Arga yang tadinya masih menikmati kehadiran Kiran di dekatnya, langsung berdiri dan berjalan menuju pintu. Alisnya mengerut, tak tahu siapa yang datang malam-malam begini. Ia tak merasa memesan apa pun atau menunggu kedatangan siapa pun. Begitu tangannya terulur meraih gagang pintu dan pintu terbuka, sosok Nina, sekretarisnya, muncul di hadapannya. "Maaf, Pak Arga, saya mengganggu." "Oh, Nina. Ada apa?" "Saya cuma ingin mengingatkan, kalau sebentar lagi akan ada pertemuan dengan klien kita. Mereka ingin mengadakan perayaan di sini, karena proyek yang kita kerjakan berhasil mencapai target lebih cepat dari perkiraan." Arga memejamkan mata sejenak, mengumpulkan ingatannya. "Oh iya, aku lupa soal itu. Terima kasih sudah mengingatkan, Nina." Nina mengangguk sopan, lalu mundur beberapa langkah untuk memberi ruang pada Arga. "Sama-sama, Pak Arga." Arga kembali masuk ke apartemennya, menutup pintu de
Seorang wanita paruh baya berdiri tepat di depan Arka, wanita yang mengenakan kemeja berwarna biru itu sedikit tersenyum ke arahnya. Namun, meskipun bibir itu tersenyum, tapi Arka bisa melihat matanya berkaca-kaca, tampaknya wanita itu sedang sedih. "Bi Sri .…" "Den .…" "Masuklah, Bi." Arka mempersilakan Bi Sri masuk. Ia menggeser tubuhnya sedikit untuk memberi ruang bagi wanita itu. Bi Sri mengangguk pelan, lalu perlahan melangkah masuk. Langkahnya terasa berat, seolah ada beban besar yang ia bawa di pundak. Begitu memasuki rumah, Bi Sri merasakan perasaan tak enak yang terus mengusik hatinya. Selama ini, ia sudah berbohong pada Arka—anak majikannya yang ternyata juga menantunya. "Duduklah, Bi." Arka menunjuk ke arah sofa yang ada di ruang tamu. Namun, alih-alih duduk di sofa yang empuk, Bi Sri justru memilih duduk di lantai. Tubuhnya tampak membungkuk sedikit, seolah ia takut keberadaannya akan membuat tempat itu kotor. "Kenapa Bibi duduk di lantai? Duduklah di atas
Clarissa berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya yang begitu mempesona. Ia mengenakan gaun putih yang elegan, berpotongan simple dengan renda-renda halus yang menghiasi bagian bawah gaun. Rambutnya digelung ke belakang dengan rapi, dihiasi dengan jepit mutiara kecil. Penampilannya pun begitu sangat menawan. Hari ini adalah hari istimewa bagi Clarissa, karena orang tuanya akan menikah. Rasa bahagia tak bisa disembunyikan dari matanya yang berbinar. Ia berputar sedikit di depan cermin, mencoba melihat penampilannya dari segala sisi. "Aku cantik tidak?" tanyanya, sambil tersenyum lebar. Noah dan Cleo yang berada di belakangnya segera mengangguk. "Cantik sekali! Kamu kelihatan seperti bidadari yang sering aku lihat di TV," puji Cleo begitu kagum. "Terima kasih, Cleo," balas Clarissa sambil tertawa kecil. Noah dan Cleo juga tampil tak kalah menarik. Mereka mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja putih, lengkap dengan dasi kupu-kupu yang terikat rapi di leher mereka. Cleo me
Setibanya di kamar, ketiga anak itu duduk di sofa dengan ekspresi bingung. Clarissa menghela napas pelan dan berkata, "Sepertinya Mommy dan Daddy terus saja bertengkar." Cleo mengangguk setuju, lalu bertanya, "Terus, kita harus ngapain?" Clarissa mengangkat bahu dengan polos. "Aku juga nggak tahu." Tiba-tiba, Noah tersenyum. "Gimana kalau kita buat Papa dan Mama baikan lagi?" usulnya. "Gimana caranya?" tanya Cleo bingung. Clarissa menggaruk kepalanya, seolah berpikir keras. "Ayo kita berpikir dulu." Mereka bertiga pun langsung terdiam, memutar otak mencari cara terbaik untuk menyatukan Kiran dan Arga. Setelah beberapa saat, wajah Clarissa tiba-tiba tersenyum lebar. "Aha! Aku punya ide!" "Apa?" tanya Noah dan Cleo serempak. Kedua lelaki itu pun langsung melihat ke arah Clarissa yang ada di tengah-tengah mereka. Clarissa langsung merangkul Noah dan Cleo. "Sini, aku bisikin," katanya sambil berbisik di telinga mereka. Setelah mendengar rencana Clarissa, Noah dan Cleo
Kiran menghentikan langkahnya dan berjongkok di depan Cleo yang masih menangis. Dengan lembut, ia menghapus air mata anak kecil itu. "Sayang, Mama sedang sakit. Kita doakan saja biar Mama cepat sembuh, ya. Supaya nanti Mama bisa berkumpul lagi dengan kita." Cleo mengangguk kecil sambil sesegukan. "Iya, Tante. Cleo selalu doain Mama pas salat, biar Mama bisa cepat sembuh." Kiran tersenyum dan mengelus kepala Cleo dengan gemas. "Anak pintar. Sudah, jangan nangis lagi, ya. Tante tahu kamu anak yang kuat." Cleo menatap Kiran dengan wajah yang masih terlihat sedih. "Tante, aku mau pulang ke rumah. Papa sudah jarang sekali tinggal di rumah. Aku rindu." Kiran tertegun mendengar permintaan Cleo. Ia tahu bahwa selama ini Arka memang lebih sering tinggal di rumah almarhum orang tuanya, jarang pulang ke rumahnya sendiri. Bahkan, Cleo sering merasa kesepian karena rumah itu hanya menyisakan kenangan masa lalu. "Baiklah, kalau begitu, kita akan pulang ke rumah," jawab Kiran sambil tersen
Kiran melihat Cleo berdiri sendirian di balkon apartemen, bocah kecil itu tampak termenung, tatapannya juga terlihat kosong. Ia mulai berjalan ke arah Cleo. "Cleo." Cleo terkesiap mendengar suara Kiran. Ia segera menghapus air mata yang sempat jatuh di pipinya, lalu menoleh ke arah Kiran yang kini berdiri di sampingnya. "Tante …," sahut Cleo pelan. "Kamu sedang apa sendirian di sini? Kenapa tidak main sama Noah dan Clarissa?" Kiran bertanya sambil tersenyum tipis. Cleo menggeleng pelan. "Tidak, Tante. Aku hanya sedang sedih." "Sedih?" Kiran berjongkok agar bisa sejajar dengan Cleo. "Kenapa, Sayang?" Cleo menarik napas panjang sebelum menjawab, "Iya, Tante. Aku sedih … sekarang aku gak punya siapa-siapa lagi. Papa udah gak ada. Nenek udah pulang ke kampung, dan Mama masih di rumah sakit." Kiran merasakan hatinya pilu mendengar kata-kata itu. Bi Sri, neneknya Cleo sekaligus orang yang bekerja di rumah Maria, juga sudah kembali ke kampung halaman karena usianya yang suda
Air mata Kiran jatuh menggelinding meninggalkan jejak di wajahnya, mengalir begitu saja tanpa permisi. Lututnya terjun bebas mendarat di tanah, dadanya terasa sesak, terasa perih seperti ditusuk ribuan jarum. "Kenapa … kenapa harus kamu?" Hiks! James menghampiri Kiran, lalu meletakkan tangannya di bahu putrinya, memberikan sedikit kekuatan di tengah kesedihannya. Ia tahu, putrinya pasti akan terpuruk melihat seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya kini telah berpulang. "Arka ingin memberikan kesempatan kedua untukmu, Kiran. Dia ingin kamu tetap bisa melihat dunia," ujar James dengan suara yang terdengar berat. "Tapi kenapa Arka … kenapa dia melakukan ini, Pa?" Suara Kiran begitu serak, matanya masih tertuju pada nisan Arka. James menarik napas panjang sebelum menjawab, "Selama ini, Arka memiliki penyakit jantung. Dokter sudah lama memberitahunya bahwa kondisinya semakin memburuk dari hari ke hari. Ia mencoba bertahan sekuat tenaga. Tapi pada akhirnya, ia tahu waktunya tidak
Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Kiran dan keluarganya. Setelah beberapa minggu menunggu, akhirnya dokter akan melepas perban di mata Kiran. Mereka semua menanti hasil dari operasi transplantasi yang menentukan penglihatan Kiran kembali. Dokter masuk sambil tersenyum ramah. "Baiklah, Kiran. Kita akan mulai melepas perbanmu sekarang. Cobalah untuk rileks, ya." Kiran mengangguk. Akan tetapi tubuhnya sudah bergetar, ia takut bila semuanya akan sia-sia, tapi ia juga berharap bila penglihatannya kembali normal lagi. Clarissa yang berdiri di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya dengan erat. Sementara James dan Kinanti berdiri di belakang mereka, wajah mereka begitu gelisah, hanya berharap bila semuanya akan baik-baik saja, dan putrinya kembali bisa melihat. Perban perlahan dilepas, lapis demi lapis, hingga akhirnya dokter berhenti dan menatap Kiran serius. "Coba perlahan buka matamu, Kiran. Jangan khawatir, cahaya mungkin akan terasa sedikit menyilaukan di awal.
"Kita … kita harus segera mencari donor, Dok. Apa pun yang bisa dilakukan, kami akan lakukan. Tolong selamatkan Kiran." James berharap putrinya akan mendapatkan donor mata secepat mungkin, ia tak bisa membayangkan bila Kiran tak bisa melihat. Dokter mengangguk. "Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Kami juga akan mulai mencari donor yang cocok untuk segera dilakukan transplantasi mata," katanya sebelum kembali masuk ke dalam ruang gawat darurat. James dan Kinanti berdiri di depan pintu ruang perawatan dengan perasaan yang bercampur aduk, berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkan penglihatan putri mereka. Tubuh James terasa lemas saat mendengar kondisi Kiran yang begitu kritis. Kakinya hampir tak kuat menopang tubuhnya, dan ia terpaksa bersandar pada dinding untuk menahan beban emosinya. Ia berharap putri semata wayangnya akan baik-baik saja, meski situasinya tampak begitu sulit. Di dalam hatinya, James terus berdoa agar ada keajaiban yang bisa menyelamatkan Kiran. Clari
Aldo menyeringai dari balik kemudi mobilnya ketika melihat sosok wanita yang dikenalnya, Kiran. Wanita yang selama ini ia benci. "Jadi, kamu sudah kembali lagi, Kiran? Baguslah. Sekarang waktunya aku membalas dendam atas kematian Cintya dan juga atas apa yang terjadi pada Lita," gumamnya, sorot matanya menatap Kiran seperti api yang berkobar. Ia masih kesal ketika mengetahui adik sepupunya, Lita, dimasukkan ke rumah sakit jiwa, dan kondisi mentalnya semakin parah. Lima tahun lalu, Lita tertangkap basah oleh Arga ketika sedang mencoba membekap Maria. Tanpa belas kasih, Arka memasukan Lita begitu saja ke Rumah Sakit Jiwa. Sampai mental Lita sudah terlanjur kacau, terkadang dia menangis tanpa sebab, kadang juga tertawa seperti orang yang kehilangan akal. "Sekarang waktunya kamu untuk mati." Aldo berdesis seraya menancap pedal gas begitu kuat. Kiran yang sedang berjongkok di tepi jalan, ia terlalu sibuk memunguti barang belanjaannya yang berjatuhan, sampai ia tidak menyadari ada
"Ayo, sini! Aku akan kenalkan kamu sama kakakku." Cleo tampak sangat bahagia ketika melihat ayahnya datang bersama seorang gadis kecil yang baru ia temui beberapa hari lalu. Wajah Cleo berseri-seri saat menarik tangan Clarissa menuju tempat kakaknya berada. "Kamu punya kakak?" Cleo mengangguk. "Iya, dia sedang main motor-motoran," jawab Cleo sambil menunjuk ke arah Noah yang sedang asyik bermain di arena permainan. Sesampainya di dekat Noah, Cleo langsung berhenti dan memanggilnya, "Kak Noah!" Noah menoleh saat mendengar suara Cleo dari samping. "Ada apa, Dek?" "Lihat, aku bawa siapa!" Cleo tersenyum lebar, seraya menunjuk seorang gadis mungil yang berdiri di sampingnya. Noah segera turun dari permainan dan melihat ke arah gadis kecil itu. "Dia siapa?" "Dia Clarissa, Kak." "Oh, jadi ini Clarissa yang sempat kamu bilang kemarin, ya?" Clarissa melirik ke arah Cleo. "Kamu ngomong apa tentang aku?" "Aku bilang kamu cantik." Perkataan Cleo membuat Clarissa sedikit tersipu malu.