"Keputusan ini sudah final, Arka. Kami sudah memberi toleransi, tapi kamu tidak mampu memenuhi ekspektasi perusahaan." Arka merasa dadanya semakin berat mendengar kata-kata itu. Selama beberapa bulan terakhir, ia sering kali absen, meninggalkan tanggung jawab pekerjaannya demi merawat ibunya yang sakit. "Maaf, Pak ... tapi apa tidak bisa memberikan saya kesempatan sekali lagi?" Arka sudah putus asa. Ia berharap ada sedikit rasa simpati dari Pak Delon, atau setidaknya, pengertian atas situasi yang dihadapinya selama ini. Pak Delon menghela napas panjang, menunjukkan bahwa kesabarannya sudah mulai habis. "Perusahaan merasa kamu tidak menjalankan tugasmu dengan baik selama beberapa waktu ini. Bagaimana aku bisa memberikanmu kesempatan setelah ini?" "Tapi, Pak, saya absen karena merawat mama saya yang sakit. Saya sudah mengabdi lama di sini, dan saya selalu berusaha memberikan yang terbaik." "Kami paham dengan situasimu, tapi selama masa absenmu, ada beberapa proyek yang terbe
Arka terhuyung, suaranya terdengar ngelantur saat ia berkata, "Pak Delon … dia memecatku karena aku tidak becus bekerja." Lita mendesah kesal. "Bukannya aku sudah bilang sama kamu, Mas? Kamu harusnya fokus bekerja, bukan sibuk ngurusin Ibu terus di rumah sakit." Arka langsung menatap Lita tajam. "Kamu menyalahkan aku sekarang?" "Iya! Kamu salah! Coba kalau kamu lebih giat bekerja, mungkin semuanya tidak akan seperti ini!" Arka menyeringai sinis. "Coba kalau kamu bantuin aku merawat Mama, mungkin aku juga bisa fokus bekerja!" Ia menuduh balik. Selama ini, Arka memang sering meminta Lita untuk membantu merawat Maria, ibunya, tapi Lita selalu menolak dengan alasan harus menjaga anak mereka, Cleo, yang masih kecil. "Aku menjaga Cleo, Mas! Anak kita masih butuh perhatian! Kamu pikir gampang ngurus anak dan rumah sendirian?" Namun, Arka tidak peduli. Dalam keadaannya yang mabuk, ia hanya ingin melampiaskan segala kemarahan dan kekesalannya. "Kamu tahu siapa yang menggantika
Arga yang mengenakan jaket tebal berwarna hitam tampak berusaha menahan dinginnya malam ini. Kancing jaketnya tertutup rapat, dan syal abu-abu melilit lehernya. Kiran hanya memperhatikan lelaki itu sedari tadi. "Siapa yang menelepon?" Kiran bertanya setelah Arga memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. "Miss Ayana," jawab Arga sambil mengangkat bahu. "Dia ingin mengundangku ke acara ulang tahunnya." "Miss Ayana? Siapa?" Kiran mengernyitkan dahi, ia merasa asing dengan nama itu. "Klien," jawab Arga singkat. "Oh." Kiran mengangguk, meski masih ada sedikit rasa penasaran di dalam dirinya. "Kamu mau ikut?" "Tapi aku tidak diundang," sahut Kiran sambil tertawa kecil. "Miss Ayana bilang, dia akan senang kalau aku membawa banyak orang," lanjut Arga, sambil memperbaiki letak jaketnya. "Bagaimana?" "Mmm ... akan aku pikirkan dulu." "Baiklah." Salju turun semakin deras, beberapa serpihan salju sudah menempel di rambut Arga. Kiran yang menyadari itu, mendekat dan deng
Ketika Maria hendak memberitahu kebenarannya kepada Arka, tiba-tiba terdengar suara yang begitu familiar. "Mas!" Arka terkesiap ketika mendengar suara yang begitu nyaring dari ambang pintu, ia segera menoleh. Dan tepat pada saat itu, ia melihat Lita melangkah masuk. Tanpa disadari oleh Arka, beberapa detik sebelumnya Maria hampir berhasil mengungkapkan rahasia besar yang selama ini belum terungkap. Maria hanya bisa berbaring lemah, hatinya merasa frustrasi. Jika Lita tidak masuk pada saat itu, mungkin dia sudah bisa memberitahu Arka tentang siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi padanya. Namun, sekarang kesempatan itu musnah. "Mas, bagaimana kondisi Ibu?" Setelah beberapa saat hening akhirnya Lita bertanya. "Mama sudah sadar, tapi belum bisa bicara banyak." Lita melirik Maria dengan tatapan tajam, seolah-olah dia tahu bahwa wanita tua itu hampir saja membongkar rahasia kelam yang selama ini disimpannya rapat-rapat. "Semoga cepat sembuh ya, Bu …,"
Arga berdiri di depan cermin besar di sudut apartemennya untuk memastikan penampilannya sudah rapi sebelum berangkat ke acara ulang tahun Miss Ayana, salah satu klien pentingnya. Pakaian yang dikenakannya malam ini berbeda dari biasanya. Kali ini, ia memilih setelan jas formal berwarna navy yang terbuat dari bahan berkualitas tinggi, dipadukan dengan kemeja putih yang kontras, serta dasi berwarna biru tua yang elegan. Kantong jasnya dihiasi saputangan putih yang dilipat rapi. Rambut hitamnya yang tebal disisir rapi ke belakang, menonjolkan wajahnya yang tegas dan menawan. Tatapan matanya yang tajam memancarkan aura percaya diri. Wajahnya menunjukkan keseriusan, tetapi ada sedikit kilatan senyum tipis yang menghiasi bibirnya—mungkin karena perasaan senang yang tak bisa ia sembunyikan. Arga merapikan dasinya sekali lagi, sebelum mengangkat ponselnya untuk mengecek waktu. Ia masih memiliki beberapa menit sebelum harus menjemput Kiran, wanita yang belakangan ini begitu memenuhi pikir
"Kiran … kamu—" Arga berusaha mengatakan sesuatu, tetapi suara itu tertahan di tenggorokannya. Ia menggeleng pelan, berusaha menenangkan diri, lalu mencoba bersuara lagi. "Kamu … terlihat sangat cantik malam ini." Kiran berhenti beberapa langkah di depan Arga, ia tersenyum sambil mengusap sedikit ujung mantelnya yang besar. "Terima kasih. Aku senang kamu menyukainya." Arga terdiam sejenak, seolah masih memproses bahwa sosok anggun di depannya ini adalah Kiran, wanita yang sudah lama ia kenal. "Aku tidak hanya menyukainya. Kamu … benar-benar memukau." Pipi Kiran bersemu merah mendengar pujian Arga. Ia tertawa kecil, lalu menundukkan kepala sedikit. "Kamu juga terlihat sangat tampan malam ini. Setelan jas seperti itu sangat cocok denganmu." Arga hanya bisa tersenyum canggung, merasakan pipinya mulai memanas. "Ah, terima kasih. Tapi kurasa, aku jadi merasa kurang percaya diri berdiri di sampingmu. Kamu seperti bintang yang baru turun dari langit, sedangkan aku …." Arga tertawa ke
Kiran tak mengerti mengapa orang itu ada di sini? Di tempat Miss Ayana mengadakan pesta ulang tahun. Wanita yang mengenakan blouse berwarna hitam itu pun melangkah menuju ke tempat Kiran dan Arga berada. Langkahnya terlihat anggun, rambut hitamnya yang diikat terlihat menawan. Kiran menatap Nadira—sahabat lamanya—berdiri di sana. Nadira melangkah dengan percaya diri ke arahnya. Tatapan mata Nadira yang tajam tidak pernah lepas dari pandangan Kiran sedari tadi. "Halo, Kiran," sapa Nadira sambil melirik ke arah Arga sekilas, seolah memperhatikan sosok pria yang berdiri di samping Kiran. Kiran yang masih terpaku, ia berusaha memproses kehadiran Nadira. "Kamu … ngapain ada di sini?" Nadira mengangkat alisnya. "Harusnya aku yang tanya, Kiran. Ngapain kamu di sini?" "Aku … sedang menghadiri ulang tahun Miss Ayana," jawab Kiran dengan sedikit terbata. Ia masih tak percaya Nadira bisa muncul di tempat ini, di pesta ulang tahun Miss Ayana yang bersifat cukup eksklusif. "Kamu sen
Arka mengenakan setelan formal sederhana. Ia memakai kemeja biru muda dengan lengan panjang yang digulung hingga siku. Dasi hitam yang tidak terlalu mencolok terikat rapi di lehernya, sementara celana bahan berwarna hitam dan sepatu pantofel mengukuhkan kesan profesional. Rambutnya yang hitam dipotong pendek dan ditata rapi ke samping. Hari ini udara terasa lebih panas dari biasanya, matahari bersinar terik dan membuat Arka berkeringat meskipun ia sudah membuka beberapa kancing teratas kemejanya untuk mendapatkan sedikit sirkulasi udara. Ia melonggarkan dasinya sambil berjalan di tepi jalan yang ramai. Sudah lebih dari seminggu ia berkeliling kota untuk mencari pekerjaan yang cocok. Namun belum juga ada hasil yang memuaskan. Rasa lelah dan frustrasi mulai menyelinap, tapi ia menepisnya. Dia harus tetap berusaha untuk segera mendapatkan pekerjaan. Setelah beberapa saat berjalan, Arka memutuskan untuk mengunjungi tempat seorang kenalannya yang dulu merupakan salah satu kliennya ket
Clarissa berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya yang begitu mempesona. Ia mengenakan gaun putih yang elegan, berpotongan simple dengan renda-renda halus yang menghiasi bagian bawah gaun. Rambutnya digelung ke belakang dengan rapi, dihiasi dengan jepit mutiara kecil. Penampilannya pun begitu sangat menawan. Hari ini adalah hari istimewa bagi Clarissa, karena orang tuanya akan menikah. Rasa bahagia tak bisa disembunyikan dari matanya yang berbinar. Ia berputar sedikit di depan cermin, mencoba melihat penampilannya dari segala sisi. "Aku cantik tidak?" tanyanya, sambil tersenyum lebar. Noah dan Cleo yang berada di belakangnya segera mengangguk. "Cantik sekali! Kamu kelihatan seperti bidadari yang sering aku lihat di TV," puji Cleo begitu kagum. "Terima kasih, Cleo," balas Clarissa sambil tertawa kecil. Noah dan Cleo juga tampil tak kalah menarik. Mereka mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja putih, lengkap dengan dasi kupu-kupu yang terikat rapi di leher mereka. Cleo me
Setibanya di kamar, ketiga anak itu duduk di sofa dengan ekspresi bingung. Clarissa menghela napas pelan dan berkata, "Sepertinya Mommy dan Daddy terus saja bertengkar." Cleo mengangguk setuju, lalu bertanya, "Terus, kita harus ngapain?" Clarissa mengangkat bahu dengan polos. "Aku juga nggak tahu." Tiba-tiba, Noah tersenyum. "Gimana kalau kita buat Papa dan Mama baikan lagi?" usulnya. "Gimana caranya?" tanya Cleo bingung. Clarissa menggaruk kepalanya, seolah berpikir keras. "Ayo kita berpikir dulu." Mereka bertiga pun langsung terdiam, memutar otak mencari cara terbaik untuk menyatukan Kiran dan Arga. Setelah beberapa saat, wajah Clarissa tiba-tiba tersenyum lebar. "Aha! Aku punya ide!" "Apa?" tanya Noah dan Cleo serempak. Kedua lelaki itu pun langsung melihat ke arah Clarissa yang ada di tengah-tengah mereka. Clarissa langsung merangkul Noah dan Cleo. "Sini, aku bisikin," katanya sambil berbisik di telinga mereka. Setelah mendengar rencana Clarissa, Noah dan Cleo
Kiran menghentikan langkahnya dan berjongkok di depan Cleo yang masih menangis. Dengan lembut, ia menghapus air mata anak kecil itu. "Sayang, Mama sedang sakit. Kita doakan saja biar Mama cepat sembuh, ya. Supaya nanti Mama bisa berkumpul lagi dengan kita." Cleo mengangguk kecil sambil sesegukan. "Iya, Tante. Cleo selalu doain Mama pas salat, biar Mama bisa cepat sembuh." Kiran tersenyum dan mengelus kepala Cleo dengan gemas. "Anak pintar. Sudah, jangan nangis lagi, ya. Tante tahu kamu anak yang kuat." Cleo menatap Kiran dengan wajah yang masih terlihat sedih. "Tante, aku mau pulang ke rumah. Papa sudah jarang sekali tinggal di rumah. Aku rindu." Kiran tertegun mendengar permintaan Cleo. Ia tahu bahwa selama ini Arka memang lebih sering tinggal di rumah almarhum orang tuanya, jarang pulang ke rumahnya sendiri. Bahkan, Cleo sering merasa kesepian karena rumah itu hanya menyisakan kenangan masa lalu. "Baiklah, kalau begitu, kita akan pulang ke rumah," jawab Kiran sambil tersen
Kiran melihat Cleo berdiri sendirian di balkon apartemen, bocah kecil itu tampak termenung, tatapannya juga terlihat kosong. Ia mulai berjalan ke arah Cleo. "Cleo." Cleo terkesiap mendengar suara Kiran. Ia segera menghapus air mata yang sempat jatuh di pipinya, lalu menoleh ke arah Kiran yang kini berdiri di sampingnya. "Tante …," sahut Cleo pelan. "Kamu sedang apa sendirian di sini? Kenapa tidak main sama Noah dan Clarissa?" Kiran bertanya sambil tersenyum tipis. Cleo menggeleng pelan. "Tidak, Tante. Aku hanya sedang sedih." "Sedih?" Kiran berjongkok agar bisa sejajar dengan Cleo. "Kenapa, Sayang?" Cleo menarik napas panjang sebelum menjawab, "Iya, Tante. Aku sedih … sekarang aku gak punya siapa-siapa lagi. Papa udah gak ada. Nenek udah pulang ke kampung, dan Mama masih di rumah sakit." Kiran merasakan hatinya pilu mendengar kata-kata itu. Bi Sri, neneknya Cleo sekaligus orang yang bekerja di rumah Maria, juga sudah kembali ke kampung halaman karena usianya yang suda
Air mata Kiran jatuh menggelinding meninggalkan jejak di wajahnya, mengalir begitu saja tanpa permisi. Lututnya terjun bebas mendarat di tanah, dadanya terasa sesak, terasa perih seperti ditusuk ribuan jarum. "Kenapa … kenapa harus kamu?" Hiks! James menghampiri Kiran, lalu meletakkan tangannya di bahu putrinya, memberikan sedikit kekuatan di tengah kesedihannya. Ia tahu, putrinya pasti akan terpuruk melihat seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya kini telah berpulang. "Arka ingin memberikan kesempatan kedua untukmu, Kiran. Dia ingin kamu tetap bisa melihat dunia," ujar James dengan suara yang terdengar berat. "Tapi kenapa Arka … kenapa dia melakukan ini, Pa?" Suara Kiran begitu serak, matanya masih tertuju pada nisan Arka. James menarik napas panjang sebelum menjawab, "Selama ini, Arka memiliki penyakit jantung. Dokter sudah lama memberitahunya bahwa kondisinya semakin memburuk dari hari ke hari. Ia mencoba bertahan sekuat tenaga. Tapi pada akhirnya, ia tahu waktunya tidak
Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Kiran dan keluarganya. Setelah beberapa minggu menunggu, akhirnya dokter akan melepas perban di mata Kiran. Mereka semua menanti hasil dari operasi transplantasi yang menentukan penglihatan Kiran kembali. Dokter masuk sambil tersenyum ramah. "Baiklah, Kiran. Kita akan mulai melepas perbanmu sekarang. Cobalah untuk rileks, ya." Kiran mengangguk. Akan tetapi tubuhnya sudah bergetar, ia takut bila semuanya akan sia-sia, tapi ia juga berharap bila penglihatannya kembali normal lagi. Clarissa yang berdiri di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya dengan erat. Sementara James dan Kinanti berdiri di belakang mereka, wajah mereka begitu gelisah, hanya berharap bila semuanya akan baik-baik saja, dan putrinya kembali bisa melihat. Perban perlahan dilepas, lapis demi lapis, hingga akhirnya dokter berhenti dan menatap Kiran serius. "Coba perlahan buka matamu, Kiran. Jangan khawatir, cahaya mungkin akan terasa sedikit menyilaukan di awal.
"Kita … kita harus segera mencari donor, Dok. Apa pun yang bisa dilakukan, kami akan lakukan. Tolong selamatkan Kiran." James berharap putrinya akan mendapatkan donor mata secepat mungkin, ia tak bisa membayangkan bila Kiran tak bisa melihat. Dokter mengangguk. "Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Kami juga akan mulai mencari donor yang cocok untuk segera dilakukan transplantasi mata," katanya sebelum kembali masuk ke dalam ruang gawat darurat. James dan Kinanti berdiri di depan pintu ruang perawatan dengan perasaan yang bercampur aduk, berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkan penglihatan putri mereka. Tubuh James terasa lemas saat mendengar kondisi Kiran yang begitu kritis. Kakinya hampir tak kuat menopang tubuhnya, dan ia terpaksa bersandar pada dinding untuk menahan beban emosinya. Ia berharap putri semata wayangnya akan baik-baik saja, meski situasinya tampak begitu sulit. Di dalam hatinya, James terus berdoa agar ada keajaiban yang bisa menyelamatkan Kiran. Clari
Aldo menyeringai dari balik kemudi mobilnya ketika melihat sosok wanita yang dikenalnya, Kiran. Wanita yang selama ini ia benci. "Jadi, kamu sudah kembali lagi, Kiran? Baguslah. Sekarang waktunya aku membalas dendam atas kematian Cintya dan juga atas apa yang terjadi pada Lita," gumamnya, sorot matanya menatap Kiran seperti api yang berkobar. Ia masih kesal ketika mengetahui adik sepupunya, Lita, dimasukkan ke rumah sakit jiwa, dan kondisi mentalnya semakin parah. Lima tahun lalu, Lita tertangkap basah oleh Arga ketika sedang mencoba membekap Maria. Tanpa belas kasih, Arka memasukan Lita begitu saja ke Rumah Sakit Jiwa. Sampai mental Lita sudah terlanjur kacau, terkadang dia menangis tanpa sebab, kadang juga tertawa seperti orang yang kehilangan akal. "Sekarang waktunya kamu untuk mati." Aldo berdesis seraya menancap pedal gas begitu kuat. Kiran yang sedang berjongkok di tepi jalan, ia terlalu sibuk memunguti barang belanjaannya yang berjatuhan, sampai ia tidak menyadari ada
"Ayo, sini! Aku akan kenalkan kamu sama kakakku." Cleo tampak sangat bahagia ketika melihat ayahnya datang bersama seorang gadis kecil yang baru ia temui beberapa hari lalu. Wajah Cleo berseri-seri saat menarik tangan Clarissa menuju tempat kakaknya berada. "Kamu punya kakak?" Cleo mengangguk. "Iya, dia sedang main motor-motoran," jawab Cleo sambil menunjuk ke arah Noah yang sedang asyik bermain di arena permainan. Sesampainya di dekat Noah, Cleo langsung berhenti dan memanggilnya, "Kak Noah!" Noah menoleh saat mendengar suara Cleo dari samping. "Ada apa, Dek?" "Lihat, aku bawa siapa!" Cleo tersenyum lebar, seraya menunjuk seorang gadis mungil yang berdiri di sampingnya. Noah segera turun dari permainan dan melihat ke arah gadis kecil itu. "Dia siapa?" "Dia Clarissa, Kak." "Oh, jadi ini Clarissa yang sempat kamu bilang kemarin, ya?" Clarissa melirik ke arah Cleo. "Kamu ngomong apa tentang aku?" "Aku bilang kamu cantik." Perkataan Cleo membuat Clarissa sedikit tersipu malu.