Bagian 47POV WisnuMalam itu, setelah merapatkan kancing jaket denim, kupacu kembali laju motor dengan kecepatan sedang. Beberapa kilometer jauhnya aku meninggalkan rumah Melani yang berada di pinggiran kota (agak masuk ke wilayah perkampungan), telepon pintarku bergetar dari dalam saku celana. Aku bergeming dan terus memacu kendaraan, karena hari sudah lumayan malam dan suhu udara cukup dingin menusuk kulit. Namun, panggilan itu terus saja berlangsung tanpa kenal berhenti.Akhirnya, aku menepi dan menghentikan motor tepat di depan halaman sebuah ruko yang telah ditutup. Kurogoh ponsel dan menemukan nama Septi tengah melakukan panggilan. Sontak, aku merasa kaget. Untuk kali pertama, perempuan dingin itu menghubungi duluan. Ada apa ini? Perasaanku malah menjadi tak enak. Apakah sesuatu sedang terjadi padanya?“Halo?” Kuangkat telepon dengan perasaan berdebar. Entah, feeling-ku jadi tiba-tiba tak nyaman.“W-wis ... t-tolong aku—” Gadis itu menangis pilu. Ucapannya terbata seolah tak ma
Bagian 48POV WisnuPagi hari, Septi telah membangunkanku. Gadis itu menggoyang-goyangkan punggungku agak keras. Suaranya terdengar sayup di telinga.“Wis, bangun. Kamu nggak siap-siap ngantor?” Mataku terbuka perlahan. Kuraba bagian bawah bantal, mencari ponsel yang terletak semalaman di sana. Pukul lima lewat lima menit. “Masih pagi, Sep,” jawabku dengan malas dan kembali memejamkan mata.“Nggak sarapan dulu? Aku buatin mie instan? Atau apa gitu?” Suara Septi terus membujuk. Untung suka, kalau tidak, cewek ini sudah kumaki-maki karena mengganggu waktu tidur.“Oke, oke.” Terpaksa aku bangun dan duduk bersandar di kepala ranjang. Septi sudah mandi dan tercium aroma wangi dari tubuhnya yang telah berganti dengan pakaian santai. Kaus putih ketat yang melihatkan warna tank top hitam sebagai dalaman dengan bawahan celana denim sepaha. Sangat pas di tubuh ramping dan kaki jenjangnya itu. Pagi-pagi sudah membuat diriku panas dingin saja si Septi.“Gitu, dong.” Septi tersenyum dan duduk d
Bagian 49POV Wisnu“Mel, k-kamu m-ma-rah ...?” Ucapanku terbata. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangan.Melani memicingkan mata, memasang raut tak senang. “Prank!” Gadis itu bersorak girang sembari memeluk tubuhku erat. Sialan! Hampir saja jantung ini lompat dari tempat. Gila!“Hah, kamu, Mel! Keterlaluan betul. Aku sampai deg-degan.” Kuatur napas dan degupan jantung yang iramanya tak beraturan tadi.“Maaf, Sayang. Kan, Cuma bercanda.” Melani memeluk tubuhku, bergelayut manja, lalu mencium pipi berkali-kali.“Jadi? Boleh, nggak?” Aku belum mau menyerah. Melani pasti mau memberikan tujuh juta itu.“Genapin sepuluh juta, gimana? Biar calon mertuaku senang di sana.” Mata Melani berbinar. Gadis ini betul-betul mudah diperalat. Minta 7 malah dikasih 10. Luar biasa!“Nggak ngerepotin?” Pura-pura aku keberatan, biar tak dikira aji mumpung.“Nggak, lah!” Melani menepuk perutku pelan.“Makasih, ya, Mel.” Kukecup puncak kepala Melani. Dia semakin memeluk tubuh ini dengan kencang dan m
Bagian 50POV WisnuSepti malam itu 100% telah jatuh ke dalam liang yang susah payah kugali. Dia luruh bagai abu yang tenggelam dalam samudra luas. Wataknya dingin dan kerasnya dulu nyata hanya topeng semata. Jelas terbaca olehku bahwa gadis ini sama saja dengan yang lain, mudah ditaklukan meski harus mengeluarkan beberapa jurus andalan.Sejak kejadian di hotel bintang lima itu, Septi semakin lekat bagai cat pada tembok. Dia tak sekali pun mau melewatkan waktu tanpa keberadaanku. Sifat aslinya semakin tampak, manja dan bergantung pada lelaki. Sep, bukankah kau menyesal mengapa tak dari dulu menerimaku? Memang dasar mau menerima nasib sial dia, mencicipi kasar dan bajingannya si Rosid dulu baru jatuh ke pelukan seorang Wisnu yang tampan dan berani ini.Seminggu Septi menginap di kost-ku, tanpa membuat Melani sedikit pun curiga. Namun, lama-lama aku lelah juga membagi diri seperti ini. Apalagi harus saling menyembunyikan antara Septi dan Melani. Kadang, saat Melani menjemput di bawah, S
Bagian 51POV WisnuSepulang dari kantor, aku tak langsung ke kost, tetapi mengunjungi Septi terlebih dahulu. Gusar aku membuka pagar besi tinggi yang melindungi kost bercat abu-abu dengan tiga lantai tersebut. Kumasukkan motor dan memarkirnya di halaman yang berkanopi biru. Beberapa motor dan mobil telah berjajar dengan rapi di sana sebelumnya.Tanpa memberitahunya, aku langsung membuka pintu kost yang tak dikunci. Pemiliknya yang tinggal di bawah, seorang kakek-kakek usia 75 tahun, menyapa saat kami bertemu di dekat tangga. “Halo, Mas Wis. Mau datangin Neng Septi, ya?” Lelaki berkaus putih dan celana pendek kotak-kotak itu tersenyum. Aku hanya menangguk dan meminta izin untuk naik ke atas.“Silakan, Mas,” jawab orangtua itu. Pak Kasim namanya. Tidak banyak ambil pusing dengan anak-anak kost yang sering membawa pacar masuk ke kamar. Dia bilang kami ini sudah dewasa dan bisa bertanggung jawab dengan perbuatan masing-masing. Tipikal orangtua liberal dan Cuma mikirin cuan. Mungkin masa
Bagian 52POV WisnuSetelah sampai di kost dengan rasa sakit hati yang mendalam, aku membuka ponsel untuk mengecek adakah pesan Septi di sana. Besar harapan perempuan itu mau mengubah pikiran dan ikut dengan aturan tadi. Ternyata benar saja. Satu pesan masuk dari gadis itu. Harapanku barusan nyata terkabul. Mungkin Tuhan memang sedang baik-baiknya.[Wis, jujur aku kecewa denganmu. Sangat! Namun, anak ini tetap harus hidup. Jika memang pernikahan tidak dapat terjadi, kuharap kau tidak lepas tangan begitu saja. Lari berarti kau harus siap menanggung konsekuensi. Aku bisa mencarimu di kantor dan membuat pengumuman bahwa kau telah menghamili anak orang.]Meski aku merasa sedikit lega, tetap saja jantung ini berdegup lebih kencang. Ancaman Septi bisa membunuhku di hadapan Melani. Hancur reputasi. Hilang sudah angan yang kubangun selama ini. Tidak, itu sama sekali tak boleh terjadi.Tanpa pikir panjang lagi, aku segera menelepon Septi. Berharap masalah ini bisa clear tanpa adanya ikatan per
Bagian 53POV WisnuHari ini Melani benar-benar tak menolehku. Saat kami berpapasan di ruangan, dia menyelonong saja dan kembali dalam kubikelnya. Tak ada tegur apalagi senyuman manis. Aku tidak ambil pusing. Dia mau tersinggung, marah, kecewa, atau mundur dalam hubungan ini sekali pun terserah. Aku sudah muak berpura-pura untuk menerima gadis itu. Mencium dan mencumbunya, meski belum pernah bermain di ranjang, adalah hal paling menyebalkan. Sebab tak ada ruang dalam hati ini kecuali hanya ingin memanfaatkan gadis itu. Tak lebih.Dia tak bisa membujuk Pak Sam untuk menaikkan jabatanku? Oh, itu artinya kita akhiri saja semua pelan-pelan. Masalah uang, aku bisa mencari sosok yang lebih menjanjikan daripada perempuan sok asyik macam Melani. Dia pikir, jika tak pacaran dengannya, aku bisa mati? Oh, tentu saja tidak! Selama masih ada aplikasi kencan, aku masih bisa nekat untuk esok hari mencari inan seperti Tante Merlyn.Saat jam makan siang, Melani tiba-tiba saja melongokkan kepalanya lew
Bagian 54POV WisnuSore itu, aku dan Melani mengarungi jalanan yang padat merayap oleh kendaraan, baik roda dua maupun empat. Nyaring klakson memekakkan telinga kala lampu lalu lintas berganti hijau, seakan orang-orang sudah tak sabaran lagi untuk segera tiba di rumah masing-masing.Melani dengan rok pendeknya, duduk menyamping sembari memeluk tubuhku dengan erat. Untuk saja kaki jenjangnya terbalut oleh stocking hitam. Coba kalau tidak. Lutut dan paha mulusnya bakal terpapar knalpot dan debu jalanan. Jadi bahan tatapan nakal lelaki murahna di jalan juga pastinya. Oh, bukan aku cemburu atau bagaimana. Hanya melas saja jika badan seelok itu harus jadi santapan mata lelaki di jalan raya. Kupacu motor dengan agak cepat. Rumah Melani bukanlah dekat. Jarak tempuh dengan kecepatan rendah akan membuat kami tiba dalam waktu satu jam. Namun, jika kubawa motor dengan laju 60-80 km/jam, maka kami akan tiba di perkampungan dengan banyak sawah yang mengelilingi dengan 25-30 menit saja. Kami tib
Bagian 66Ending POV WisnuEnding PoV WisnuVonis penjara seumur hidup bersama Miranti, Nizam, dan Gusti, membuatku benar-benar bagai kehilangan arah hidup. Masih melekat di ingatan, betapa pilunya tangis dari Ayah, Mama, dan Sintia yang turut hadir di persidangan terakhirku.“Mama nggak terima kamu dipenjara seumur hidup Wis!” Pelukan Mama sangat erat. Wanita yang tampak semakin kurus dan layu akibat mengalami banyak beban pikiran tersebut tersedu-sedu di dada. Sintia yang rela mengambil izin dari perkuliahannya, ikut memelukku dan menumpahkan tangis yang sama histeris.“Mas, kamu harus bebas. Kamu nggak bisa mendekam di dalam penjara selamanya. Aku nggak ikhlas!” Sintia menangis sangat histeris. Gadis berambut ikal hitam itu sampai pucat wajahnya. Aku begitu hancur melihat dua wanita ini sangat terpukul dengan nasib tragis yang menimpa.“Wis, siapa yang bantu perekonomian Ayah? Siapa lagi yang akan membiayai Sintia selanjutnya?” Ayah yang semula diam, kini ikut menangis memelukk
Bagian 65POV DimasSesampainya di depan kawasan masjid yang jaraknya tak jauh dari ruko sewaan Septi, Nizam dan Gusti yang sudah terlebih dahulu dihubungi oleh Miranti, ternyata sedang menunggu kedatangan kami di atas motor matik berwarna hitam yang kuduga adalah aset perusahaan milik Septi. Wajah kedua lelaki berusia 20 tahunan awal tersebut tampak semringah. Aku terpaksa turun dari mobil untuk menghampiri mereka.“Nizam, Gusti. Bisa masuk dulu ke mobil? Biar enak ngobrolnya.” Aku mengulas senyum pada keduanya. Nizam dan Gusti pun mengangguk dengan senyum yang semringah pula. Kedua mengikuti gerakku untuk masuk ke mobil. Mereka pun duduk dengan tenang di kursi penumpang nomor dua.“Nizam, Gusti.” Aku menoleh pada dua lelaki yang berada di belakangku. Keduanya tampak memberikan perhatian kepada ucapanku. Nizam yang bertubuh kurus tinggi, sedang Gusti sebaliknya (gemuk dan pendek), terlihat bersemangat saat menatapku. Nizam pasti telah menceritakan hal ini pada rekannya pasti, pikirku
Bagian 64POV Wisnu“Mas, sungguhankah?” Miranti kini melelehkan air matanya. Lebay! Bikin muak saja. Ayolah, cepat semua ini berakhir. Biar aku bisa segera pergi dan menjalankan aksi untuk mengenyahkan si Septi dan anak haramnya itu.“Iya, aku bersungguh-sungguh. Kamu mau bukti?” Kugenggam erat jemari kasar milik Miranti. Dasar babu, pikirku. Tangannya kasar sekali. Bagaimana rasanya kalau aku sungguhan meniduri anak ini? Ah, jijik! Wisnu Adhikara benar-benar tidak pantas dengan wanita hina seperti Miranti.“Apa itu, Mas?” Miranti gelagapan. Wajahnya seperti orang bodoh saja. “Sebaiknya makan dulu. Akan kubuktikan setelah kita makan.” Bersamaan dengan banyaknya hidangan yang kupesan, kuputus obrolan dan mengajak Miranti untuk menikmati santap siangnya.Miranti yang lugu dan kampungan tampak takjub dengan hidangan yang kupesan. Dia bahkan kesulitan dalam memakai pisau dan garpu. Bikin malu saja.“Santai, Mir. Tak perlu sungkan atau menggunakan table manner. Makan saja dengan caramu.”
Bagian 63POV WisnuSegera aku memasuki mobil dan duduk di depan kemudi. “Maaf, aku tadi ngobrol dulu dengan Nizam,” kataku sembari melempar senyum pada Miranti.Perempuan berjilbab itu tersenyum dengan manis. “Nggak apa-apa, Mas. Oh, iya, kita mau kemana?”“Makan siang dulu, ya? Sekalian ngobrol di resto hotel.” Aku membalas senyum Miranti. Menurunkan tuas rem tangan dan mulai memasukkan gigi pada persneling. “Aduh, aku jadi nggak enak hati, Mas. Makan di sana pasti mahal sekali.” Miranti menjawab dengan suara manjanya. “Ah, tidak seberapa, Mir. Murah saja bagiku. Tenang. Aku punya lumayan banyak uang, apalagi hanya sekadar mengajakmu makan di sana.” Aku mengedipkan mata ke arah perempuan itu. Senyum Miranti malah makin menjadi. Dia tampaknya sangat kesengsem dengan diriku. Wisnu dilawan! Perempuan mana pun kujamin akan bertekuk lutut dalam satu kedipan mata. Sepanjang perjalanan, kami mengobrolkan banyak hal. Mulai dari pekerjaan sehari-hari Miranti sebagai kasir dan sesekali ik
Bagian 62POV WisnuBerawal dari kedatangan Septi ke rumah yang kusewakan untuk Ayu, dari sanalah timbul sebuah niatan. Ya, aku tahu sekali perempuan ini sedang ingin 'bermain-main'. Tujuannya? Sudah pasti untuk menghancurkan kebahagiaan hidupku. Perempuan murah sialan! Sudah puas dia mengeruk pundi-pundi rupiah, kini dia malah datang untuk merecoki hubungan pernikahan 'tipu-tipu' yang kujalani bersama sang adik ipar. Sep, Sep! Kau tawari pisau, kuladeni kau dengan sebilah samurai. Aku tidak takut sama sekali! Yang kau hadapi adalah seorang Wisnu Adhikara! Bukan lelaki tolol yang selamanya bisa kau setir dengan seenak hati.Sepanjang Septi mengobrol dengan istri siriku di ruang tengah, aku sibuk memikirkan cara apa yang bisa menekuk balik perempuan itu. Hari ini juga dia harus tewas! Ya, hanya dengan cara itu aku bisa membungkam mulutnya rapat-rapat dan menghentikan segala tindak tanduk kurang ajar yang selama ini dia lakukan. Tak bakal ada lagi ancaman-ancaman yang hanya sebuah modus
Bagian 61POV DimasBenci sekali aku saat harus semalaman berada di rumah sakit untuk menunggui Melani begini. Seperti tidak ada pekerjaan lain saja. Membuat muak! Mana udara di luar terasa begitu dingin pula. Ya Tuhan, kapan sih pernikahan ini berakhir? Ah, kalau tidak mengingat banyaknya materi yang bisa terkucur dari saldo Melani, sudah barang tentu langkah ini kuangkat seribu.Saat asyik duduk sembari memejamkan mata di kursi panjang depan bangsal kebidanan, ponselku tiba-tiba berdering dari saku celana denim. Malas aku mengangkatnya. Orang gila mana yang menelepon tengah malam buta begini. Dasar tidak ada etika, pikirku.Berang betul aku saat melihat nama siapa yang tertera di layar. Sintia 2 alias nomor Septi yang berkamuflase sebagai adikku padahal bukan. Biar tidak ketahuan begitu. Perempuan sialan itu menelepon ke nomor rahasia yang kugunakan untuk menghubungi Ayu selama ini. Ya, bukan hanya menghubungi Ayu, sih. Beberapa kali jika menelpon atau mengirim pesan pada Septi, ak
Bagian 60POV DimasSepanjang perjalanan pulang, satu-satunya yang kupikirkan hanya taktik tentang penaklukan gadis polos bernama Rahayu alias Ayu yang tak lain adalah adik dari istriku sendiri. Terbayang dalam benak ini, betapa bahagianya aku jika bisa menguasai rumah dengan luas tanah yang lumayan. Hei, apa kau tidak tahu jika harga tanah semakin hari tambah gila saja nominalnya? Bayangkan jika sertifikatnya berhasil digadai. Bayangkan dulu aja, deh. Berapa rupiah yang bakal masuk ke dalam kantong? Belum lagi sawah Melani. Duh, betul-betul jadi miliarder aku! Beruntung sekali aku punya tampang setampan ini, pikirku. Perempuan tolol banyak yang terpikat. Satu orang telah masuk perangkap dan satunya lagi tinggal menunggu waktu. Meski wajahnya terkesan judes dan tak ramah, tetapi aku yakin bahwa anak itu bakal mudah untuk ditaklukkan. “Mas, kamu kok melamun, sih? Mikirin apa?” tanya Melani membuyarkan lamunan.“Ah, enggak. Lagi mikirin besok enaknya usaha apa, ya?” jawabku mengad
Bagian 59POV WisnuMelihat aku menangis, Septi yang sedari tadi telah menitikkan air mata pun, kini semakin menjadi guguannya. Betapa ajaibnya malaikat kecil yang baru saja hadir di tengah kami ini. Dia mampu membuat kerasnya hati dan ego runtub seketika. Menyatukan rekatan yang semula tercerai berai. “Sekarang kita jahit luka robekannya ya, Bu.” Suara bidan yang menolong persalinan Septi membuat kami sejenak menghentikan tangis haru.“Apa? Dijahit?” Aku syok. Panik sendiri. Setelah digunting, Septi kini harus kembali dijahit. “Iya, Pak. Biar rapi dan perdarahannya berhenti.” Bidan tersebut menjelaskan dengan sabar dan lembut. Meski tubuhnya tambun, wajahnya selalu saja tersenyum manis sehingga aura yang dia keluarkan begitu positif. Berbeda dengan rekannya yang lebih muda dan langsing tersebut. Jutek dan mudah terpancing. “Sep, kuat, ya.” Kuseka keringat yang membasahi kening dan pelipis Septi. Tangan perempuan itu memeluk tubuh bayinya yang sedang sibuk mengecap-ngecap dada si i
Bagian 58POV Wisnu“Jangan sinting kamu, Sep! Oke, aku akan ke sana. Tolong jangan kau lakukan ide gilamu itu.” Aku benar-benar menyerah. Kini Septi menjelma bak malaikat maut yang siap mencabut 'nyawaku' kapan pun dia mau. Benar-benar perempuan jahanam! “Makanya, jangan sekali-kali kamu mempermainkanku, Wisnu. Kamu pikir, kamu bisa lepas dari jeratan? Tidak sama sekali!” Suara Septi penuh jemawa. Kemenangan mutlak kini berada di dalam genggamannya. Aku kini bagaikan sepotong boneka kayu yang ditali. Gerakanku sempurna dimainkan oleh Septi. Ke kanan dan ke kiri, pokoknya semau hati betina culas itu. Biadab!“Sudahi omong kosongmu, Sep. Simpan tenagamu untuk melahirkan. Aku akan ke sana setelah mengantarkan Melani. Harusnya kau menghubungi lebih cepat agar aku bisa langsung ke rumah sakit.” Kutoleh ke belakang, ternyata Melani masih berdiri bersandar di samping motor. Gadis itu tengah sibuk memainkan gawainya. “Aku juga tidak tahu bakal melahirkan hari ini, bodoh! Seharusnya HPL-ku