"Ervina, sebaiknya kamu katakan yang sejujurnya padaku, benarkah 12 tahun yang lalu kamu sengaja menjebak Meera agar aku meninggalkannya?” Fahaz berbicara dengan nada serius. Wanita paruh baya itu seketika pucat. Mereka tengah duduk berdua. Fahaz memanggilnya saat Meera dan Faleesha masuk ke dalam kamar. Kenapa suaminya tiba-tiba mencurigainya? Apa hasutan ibu Faleesha sudah berhasil mempengaruhinya? “Ke-kenapa kamu tiba-tiba meragukan aku, Pa? Bukankah kamu lihat sendiri pria itu bersama Meera?” jawab Ervina sedikit tergagap. “Ya bisa saja kamu salah lihat, dan menuduh dia sembarangan. Bisa jadi itu teman lamanya dan mereka tidak sengaja bertemu,” sanggah pria itu.“Jadi sekarang kamu menuduh aku balik? Kamu pikir aku bohong? Aku mendengarnya sendiri, mereka juga bermesraan, kamu lihat ‘kan fotonya?” “Apa bukti itu masih kurang?” Seketika wajahnya murung, netranya berkaca-kaca. “Lagi pula, kenapa kamu sekarang mempermasalahkannya lagi? Apa gara-gara Meera kembali ke rumah ini
Sanders menunggu kedatangan Faleesha dengan gelisah. Istri kecilnya itu selalu lupa padanya jika sudah berada di rumah sang ayah. Pria itu bisa maklum, tapi tidak ada kehadiran Faleesha rasanya ada yang kurang. Tak lama kemudian, telfonnya berdering. Panjang umur istri kesayangannya menghubungi. “Halo, kenapa lama sekali? Apa kau sudah lupa kalau punya suami?” tegur Sanders tanpa basa basi. “Sabar, aku masih harus menemani Mama adaptasi di rumah Papa. Apalagi Tante Ervi dan Angela semakin menjadi-jadi reseknya,” tutur Faleesha. “Bukankah ada Wira? Kamu tenang saja, dia orang yang bisa diandalkan, mereka tidak akan berani menyakiti mamamu,” pungkas Sanders. “Ya, semoga saja begitu. Mereka itu sangat licik. Bahkan tidak ada rasa bersalahnya sama sekali saat aku mengatakan mengetahui rencana busuk mereka.” Faleesha terdengar menghela napas panjang. “Nanti malam aku pasti pulang, tapi aku tidak janji Papa akan mengijinkan, pasti dia mencecarku kenapa aku tidak tinggal di rumah saj
Netra Fahaz membulat mendengar balasan menohok Meera. Seingatnya istrinya itu adalah sosok yang lemah lembut dan tidak pernah berkata kasar. “Meera, kenapa bicaramu seperti itu? Kamu sudah berubah,” jawab Fahaz terlihat kecewa. “Terus kamu mau aku menyanjung-nyanjung istrimu ini? Dan membiarkan dia berbuat seenaknya di sini?” balas Meera dengan ketus. Ervina semakin mengeratkan pelukannya pada sang suami. “Kamu lihat ‘kan, Sayang? Dia menuduhku tanpa bukti, mana pernah aku berbuat semauku? Hu hu hu.” Seperti biasa, akting wanita paruh baya itu patut diacungi jempol. Namun, Meera hanya mendengus pelan. Sedangkan Fahaz berusaha menenangkannya. “Meera, aku tahu kamu marah denganku, tapi kamu harus sadar. Aku mengusirmu karena kesalahanmu sendiri, yang penting ‘kan sekarang aku sudah menerimamu kembali untuk kebaikan Faleesha-” “Jadi aku mohon, jangan memancing keributan di rumahku, kalau kita bisa hidup damai dengan berdampingan. Kenapa harus ribut?” tegas Fahaz penuh permohonan.
“Ada apa ini ribut-ribut?” Angela yang baru saja datang dari rumah temannya bingung menatap sang ibu yang menangis sesenggukan, sedangkan ayah tirinya menatapnya tajam. “Oh, ada yang ketinggalan pertunjukan rupanya,” ejek Faleesha. “Apa yang kau lakukan pada mamiku?” Tangan Angela mengepal. Melihat wajah angkuh Faleesha sudah bisa dipastikan dialah penyebabnya. Gadis itu maju hendak memberi pelajaran pada Faleesha namun dengan sigap tangannya ditangkap oleh Meera. “Jangan sakiti anakku!” hardiknya. Meera mendorong tubuh Angela dengan keras hingga gadis itu terhuyung kehilangan keseimbangan. “Mami, Papa … “ “Kenapa diam saja lihat aku diperlakukan kasar sama dia,” ucap Angela kesal. “Diam kamu, Angela! Kamu sama liciknya dengan Mamimu.” Suara Fahaz terdengar menahan kemarahan. Angela tak percaya dengan hardikan ayah tirinya. Dia tidak pernah dibentak atau dimarahi selama ini. “Apa maksud Papa?” tanya dia memelas. Faleesha mengambil ponselnya di tangan sang ayah dan mengul
"Sayang, aku hanya tidak ingin membebanimu, aku melakukannya hanya ingin memberinya pelajaran berharga,” ujar Ervina membela diri. “Tapi tidak dengan menjualnya, apalagi sampai melarangnya bertemu denganku, memangnya kamu siapa, ha?” Emosi Fahaz kian memuncak. Dia tidak habis pikir dengan kelakuan wanita yang dibela serta diagung-agungkannya itu. Ternyata semua kebaikannya palsu. Pria itu memukul dadanya yang samping sesak. “Sayang, kok kamu ngomongnya begitu? Aku ini istri kamu, aku yang merawat Faleesha sejak Meera pergi meninggalkannya, tapi kenapa balasan kamu juga menyakitkan?” Ervina kembali melakukan playing victim. Seolah-olah dialah yang tersakiti. “Mama meninggalkanku karena Tante yang memfitnahnya, itu juga Mama terpaksa karena ancaman dari Papa. Sadar diri, Tante! Jangan menjual air matamu,” geram Faleesha. Wanita paruh baya itu seketika melotot kesal dengan perkataan anak tirinya. Tapi dia tidak bisa menyangkal atau berbuat lebih. “Jaga bicara kamu ya-” “Diam kam
Ervina menggeleng keras. Tidak pernah sekalipun dia bermimpi akan diusir oleh suaminya sendiri. “Sayang, aku mohon, maafkan aku. Jangan begini. Apa kamu nggak kasihan dengan anak kita, Angela? Aku yakin kamu juga menyayanginya,” rayunya. “Dia anakmu, bukan anakku!” tegas Fahaz. “Papa, maafkan aku, Pa … tolong jangan usir kami, nanti kami akan tinggal di mana?” lirih Angela mengiba. Tidak peduli bagaimana tatapan mengejek Faleesha padanya. Gadis itu sedang di atas awan, dia tersenyum penuh kemenangan. Faleesha menatap iba pada papanya. Pastilah hatinya sakit dibohongi bertahun-tahun, apalagi mereka memeras uang ayahnya. Sebenarnya tak sampai hati dia melihat Fahaz bersedih, tapi ibu dan saudara tirinya tidak bisa dibiarkan lama-lama menggerogoti harta sang ayah. “Pa,” panggil Faleesha. Memeluk sang ayah dengan erat. Fahaz merasa malu dan gagal sebagai ayah. “Biarlah, Sayang. Biar mereka pergi dari rumah ini sebagai balasan atas kecurangan mereka,” jawab Fahaz mantap. Sedetik
Setelah mendapat izin dari Fahaz untuk kembali membawa Faleesha pulang, Sanders pun merasa lega tiada kira. Dia bahkan berjanji akan membantu perusahaan ayah mertuanya semakin berkembang di bawah tangan Faleesha. “Apa kau mulai menyukaiku sekarang?” tanya Sanders memecah keheningan. Refleks Faleesha mengernyit heran. Kenapa suaminya kini semakin kepedean?“Tidak juga, memangnya kenapa?” “Tadi di depan papamu kau bilang aku baik, kau bilang nyaman tinggal di mansionku,” sahut Sanders. “Ah, itu hanya alasan biar Papa nggak khawatir kalo aku ngikut om-om serem kayak tuan,” jawab Faleesha enteng. “Apa kamu bilang!” Sontak Sanders meninggikan suaranya. Tatapannya kembali nyalang. Akhir-akhir ini istri kecilnya sudah berani mengoloknya. “Nah, kan, serem. Lihat deh kalau tuan nggak percaya.” Gadis itu malah mengambil cermin kecil dari dalam tasnya. Dan menghadapkannya pada Sanders. Nick yang sejak tadi diam dan mendengarkan tampaknya menahan senyum. Nona mudanya itu lancang seka
“Meera, terima kasih kamu sudah bersedia tinggal sementara di sini, maafkan suamimu yang bodoh ini,” rutuk Fahaz menyesal. Meera hanya menatapnya sekilas. Dia tidak menampakkan kerinduan sedikitpun, atau keramahan “Jangan terlalu besar kepala. Aku di sini hanya sementara sampai perceraian kita selesai. Setelah itu aku akan kembali pada Faleesha,” sahutnya ketus. “Ya, tidak apa-apa. Yang penting sekarang kau di sini,” jawab pria itu tertahan. “Selama kamu di sini, aku akan benar-benar memohon ampunanmu, Meera. Aku pasti berusaha merebut kembali hatimu,” batin Fahaz penuh sesal. “Aku tidak menyangka kau sepicik itu, aku masih terima jika kau mengusirku, tapi bertahun-tahun kau mengabaikan anakmu sendiri,” sungut Meera. Wanita paruh baya itu masih memainkan ponselnya. “Maafkan aku, Meera. Aku tahu kesalahanku sangatlah banyak. Tapi, aku akan mencoba memperbaikinya asal kamu memberiku kesempatan-”“Mari kita hidup menjadi sebuah keluarga lagi seperti dulu.” Dengan entengnya Fahaz
Sanders menghentikan gerakannya. Dia menatap wajah Faleesha yang sedikit pucat. “Apa kau sakit? Kenapa tidak bilang?” tanya pria itu. Faleesha hanya menggeleng pelan. “Aku tidak tahu, akhir-akhir ini tubuhku lemas sekali. Aku juga mual kalau mencium baumu.” Sanders seketika mengernyit. “Maksudmu aku bau?” Dia pun mengendus-endus tubuhnya sendiri. Merasai tidak ada yang salah dengan badannya. “Entahlah, aku tidak tau. Kenapa rasanya aku mual jika dekat denganmu,” balas Faleesha. Tetiba gadis itu berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi dalam perutnya. Sanders mengikuti dan memijat tengkuk belakangnya. “Istirahatlah, aku panggilkan dokter,” titah Sanders. Faleesha hanya mengangguk lemah. Dia berjalan sembari memeluk pinggang sang suami. Walaupun mual dekat Sanders, tapi Faleesha tiba-tiba ingin sekali bermanja-manja dengannya. “Ck, katamu aku bau,” sungut Sanders merengkuh tubuh mungil istrinya. Tiba-tiba saja, Faleesha ambruk. Beruntung Sanders segera menangkapnya. “
Sesampainya di rumah sakit, Sanders segera memeluk Faleesha erat. Menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam. “Sialan, kau membuatku sangat khawatir,” rutuknya. Pria itu mengecup lembut bibir Faleesha sampai tidak menyadari Meera menatap mereka dengan pandangan yang sulit diartikan. “Sst, kamu bisa tidak cium aku nanti aja. Itu Mama lagi sedih,” balas Faleesha berbisik. Sanders langsung terkesiap. Dia baru sadar jika ibu mertuanya berada tak jauh dari Faleesha. “Mama,” sapanya. Meera tersenyum sendu. “Tidak apa-apa, aku pernah merasakan seperti kalian. Masa pengantin baru, yang sulit berjauhan.” Sejurus kemudian tatapannya mengarah ke ruang Fahaz dirawat. “Bagaimana kondisi papa mertuamu?” tanya Meera. “Tidak ada luka yang parah, Ma. Dokter sudah menanganinya. Tetapi karena benturan yang cukup keras, Papa belum sadar hingga sekarang,” terang Sanders. “Baiklah, kalian bisa pulang. Aku yang akan menjaga Fahaz,” sela Meera. “Kita obati dulu tangan Mama,” jawab Faleesha. Meera baru s
“Aku yang seharusnya bicara seperti itu, Ervina. Kau datang kemari tidak membawa apa-apa, pergi juga harusnya tidak membawa apa pun,” tegas Meera tak takut. Dia pun lekas memanggil Wira agar membawa Yooshi ke rumah sakit terlebih dahulu. Pria berkaca mata itu datang tergopoh-gopoh dan terkejut melihat darah yang mengalir dari kepala bagian belakang. Sebenarnya, Wira sedikit mencemaskan keadaan Meera tetapi majikannya itu meyakinkannya agar dia berangkat terlebih dahulu. Meera akan menyusulnya nanti. Setelah Wira menghilang dengan membopong tubuh Yooshi. Ervina semakin menyeringai. “Tamat riwayatmu sekarang.” Ervina bergerak cepat mengeluarkan pisau dari balik saku bajunya yang sudah dia sembunyikan dan menyerang Meera. Meera terkejut melihat wanita yang pernah menjadi sahabatnya itu hendak menghunusnya. Dia langsung menahan pisau itu dengan tangannya. Meera meringis kesakitan saat benda tajam itu merobek telapak tangannya. Darah yang mengucur tidak dia hiraukan. Yang terpenti
Secepat kilat mobil Sanders melaju di perjalanan. Dia tidak menghubungi Faleesha terlebih dahulu karena takut sang istri panik. Sesampainya di rumah sakit, Fahaz langsung dibawa ke UGD, beruntung lukanya tidak parah. Hanya benturan kecil yang membuatnya syok hingga pingsan. Dia juga tidak harus dioperasi. Hanya perlu penanganan intensif. Tetapi rahang Sanders sudah mengeras. Pertanda dia benar-benar marah kali ini. “Nick,” panggilnya. “Ya, Tuan,” jawab Nick. “Segera hubungi polisi, dan laporkan kejadian barusan, juga serahkan semua bukti yang memberatkan mereka yang kita dapatkan sebelumnya-” Sanders menjeda ucapannya. “Dan jangan lupa, ambil rekaman CCTV dekat daerah persimpangan kecelakaan terjadi.” “Siap, Tuan.” Pemuda itu bergegas melaksanakan perintah majikannya. Sedangkan Sanders menunggu Fahaz dengan gelisah. Kali ini Ervina dan Angela tidak bisa dibiarkan. Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Faleesha muncul. Dia terkejut kenapa waktunya tepat sekali. Apa perasaan se
Fahaz tengah bahagia. Usahanya untuk kembali meminta maaf dan mengambil hati Meera tidak main-main. Walaupun wanita terkasihnya itu masih tidak mau sekedar berbincang, tapi Meera sudah sering mengingatkan dia untuk minum obat. Terkadang ketika ibu kandung Faleesha itu ingin pergi atau angkat kaki dari rumahnya, Fahaz selalu mencari cara agar bisa menggagalkannya. Bertahun lamanya dia telah berbuat tidak adil pada keluarga kecilnya. Ini saatnya menebus semuanya. Bahkan dia tidak ingat sedikitpun tentang Ervina. Wanita licik itu sudah berhasil mengobrak-abrik keluarganya. Fahaz tidak akan membiarkannya kali ini. “Tuan, sepertinya ada yang mengikuti kita sejak tadi,” ujar sang sopir. Fahaz menoleh ke belakang untuk memastikan. “Jalan terus saja, Pak. Abaikan saja. Mungkin kebetulan arah kita sama.” “Baik, Tuan.” “Meera, aku akan menebus kesalahanku dan tidak akan membiarkanmu hidup menderita lagi,” gumam Fahaz dengan wajah berbinar. “Tuan, mobil di belakang semakin mendekat, dan
“Kamu keren sekali,” bisik Emily. Faleesha menghembuskan napas pelan. “Kamu tidak tahu saja betapa aku menyesal kenapa tidak bisa tegas sama mereka dari dulu.” “Bahkan ketika mereka mengucilkan aku dulu, Papa dengan mudahnya percaya begitu saja. Aku tak mendapat dukungan dari siapa pun, Em. Tapi sekarang, aku tidak akan tinggal diam setelah membongkar kebusukan mereka,” lanjut Faleesha. “Bagus, kamu memang harus seperti itu,” jawab Emily memberi semangat. “Makasih ya, sudah mau menemaniku dan menjagaku.” tiba-tiba gadis itu menjadi sentimentil. Karena selama ini merasa tidak pernah punya keluarga dekat. Dari dulu sang Papa melarangnya bertemu siapa pun tanpa alasan yang jelas. “Kau ini bicara apa, sudah jadi tugasku. Kau lupa Tuan akan menghabisiku kalau sampai kau kenapa-kenapa,” jawab Emily. Setelah mengatakannya, gadis tomboy itu membuat gerakan menggores lehernya dengan tangan. Membuat Faleesha semakin terkekeh. “Percayalah, suamiku sekarang tidak sekejam itu,” timpalnya.
Faleesha menghentakkan kakinya dengan keras. Dia memakai pantofel setinggi 5 cm. Tersenyum lebar berjalan menuju kedua ibu beranak itu. Angela dan Ervina tampak melongo melihat penampilan Faleesha. Dia sungguh berkelas. Tidak seperti biasanya yang cenderung casual. “Ngapain kamu di sini?” tanya Angela tak suka. Tatapannya penuh kebencian. Karena bukti yang Faleesha berikan membuat gadis itu menang telak. “Harusnya aku yang tanya, untuk apa kalian datang kemari?” Gadis itu melipat kedua tangannya ke dada. Memberi tatapan tidak bersahabat. “Ck, songong,” gumam Angela kesal. “Begitukah cara kamu berbicara pada ibumu, Fal?” Ervina bersuara. Dia tampak geram melihat tingkah laku Faleesha. Tahu begitu, dulu lebih baik gadis itu dilenyapkan saja. “Lantas aku harus bicara pada Tante dengan nada yang sopan? Sedangkan kalian saja marah-marah tidak tahu tempat, apa tidak malu jadi tontonan banyak orang?” tanya Faleesha penuh penekanan. "Dan satu lagi, Anda bukan ibu saya." “Heh, jang
“Tuan, saya baru saja menerima informasi dari Emily, Nona Faleesha sedang di perusahaan ayahnya,” ujar Nick. Sanders mengernyit. “Untuk apa?” “Kata Emily ada urusan yang harus Nona selesaikan, ibu dan saudara tirinya berulah lagi,” balas Nick. Ada rasa khawatir yang menyeruak dalam hatinya, namun Sanders berusaha mengabaikan. Bagiamana pun, Faleesha harus belajar menyelesaikan masalahnya sendiri. Dia juga nantinya yang akan menggantikan posisi ayahnya. “Apa kita ke perusahaan Tuan Fahaz saja?” tanya Nick memastikan. “Tidak perlu, jalan saja,” balas Sanders. “Apa Tuan tidak khawatir pada Nona?” “Tentu saja khawatir, tapi dia perlu belajar mandiri jika ingin memimpin perusahaan, Jika nanti ada kendala, barulah aku turun tangan,” balas Sanders. Nick tidak pernah melihat perubahan yang begitu besar pada majikannya selama ini. Dinilainya Sanders jauh lebih tenang dan tidak pernah emosi berlebihan. Faleesha benar-benar membawa dampak yang baik untuknya. “Lagipula katamu tadi, ist
Ada seseorang yang keras kepala selain dirinya. Sanders menyadari William bukan hanya keras kepala. Tetapi juga intimidatif. Namun, pria tua itu juga lupa siapa yang sedang ia intimidasi. “Kalau begitu kau mendekati ajalmu sendiri,” ucap William dengan sorot tajam. “Kita lihat hancurnya perusahaanmu perlahan, karena sebentar lagi pemiliknya akan hancur di tanganku.” Pria paruh baya itu yakin kali ini Sanders tidak bisa berkutik, apalagi dia masuk ke dalam rumahnya tanpa ditemani siapa pun. “Bahkan seekor singa pun tidak pernah menerima kekalahan dengan mudah,” ucap Sanders dengan santai. “Sayangnya kau hanya tikus kecil bagiku sekarang-” “Kupikir kau licik seperti kata orang-orang, rupanya kau tak lebih dari sekedar orang bodoh yang ceroboh. Berani sekali kau datang kemari dengan percaya diri, dan aku berharap bisa keluar dengan mudah?” Tawa William menggema di seluruh ruangan. Dia pikir sudah di atas awan. Menang telak atas ketidakberdayaan Sanders. “Aku memang bisa keluar d