Ervina menggeleng keras. Tidak pernah sekalipun dia bermimpi akan diusir oleh suaminya sendiri. “Sayang, aku mohon, maafkan aku. Jangan begini. Apa kamu nggak kasihan dengan anak kita, Angela? Aku yakin kamu juga menyayanginya,” rayunya. “Dia anakmu, bukan anakku!” tegas Fahaz. “Papa, maafkan aku, Pa … tolong jangan usir kami, nanti kami akan tinggal di mana?” lirih Angela mengiba. Tidak peduli bagaimana tatapan mengejek Faleesha padanya. Gadis itu sedang di atas awan, dia tersenyum penuh kemenangan. Faleesha menatap iba pada papanya. Pastilah hatinya sakit dibohongi bertahun-tahun, apalagi mereka memeras uang ayahnya. Sebenarnya tak sampai hati dia melihat Fahaz bersedih, tapi ibu dan saudara tirinya tidak bisa dibiarkan lama-lama menggerogoti harta sang ayah. “Pa,” panggil Faleesha. Memeluk sang ayah dengan erat. Fahaz merasa malu dan gagal sebagai ayah. “Biarlah, Sayang. Biar mereka pergi dari rumah ini sebagai balasan atas kecurangan mereka,” jawab Fahaz mantap. Sedetik
Setelah mendapat izin dari Fahaz untuk kembali membawa Faleesha pulang, Sanders pun merasa lega tiada kira. Dia bahkan berjanji akan membantu perusahaan ayah mertuanya semakin berkembang di bawah tangan Faleesha. “Apa kau mulai menyukaiku sekarang?” tanya Sanders memecah keheningan. Refleks Faleesha mengernyit heran. Kenapa suaminya kini semakin kepedean?“Tidak juga, memangnya kenapa?” “Tadi di depan papamu kau bilang aku baik, kau bilang nyaman tinggal di mansionku,” sahut Sanders. “Ah, itu hanya alasan biar Papa nggak khawatir kalo aku ngikut om-om serem kayak tuan,” jawab Faleesha enteng. “Apa kamu bilang!” Sontak Sanders meninggikan suaranya. Tatapannya kembali nyalang. Akhir-akhir ini istri kecilnya sudah berani mengoloknya. “Nah, kan, serem. Lihat deh kalau tuan nggak percaya.” Gadis itu malah mengambil cermin kecil dari dalam tasnya. Dan menghadapkannya pada Sanders. Nick yang sejak tadi diam dan mendengarkan tampaknya menahan senyum. Nona mudanya itu lancang seka
“Meera, terima kasih kamu sudah bersedia tinggal sementara di sini, maafkan suamimu yang bodoh ini,” rutuk Fahaz menyesal. Meera hanya menatapnya sekilas. Dia tidak menampakkan kerinduan sedikitpun, atau keramahan “Jangan terlalu besar kepala. Aku di sini hanya sementara sampai perceraian kita selesai. Setelah itu aku akan kembali pada Faleesha,” sahutnya ketus. “Ya, tidak apa-apa. Yang penting sekarang kau di sini,” jawab pria itu tertahan. “Selama kamu di sini, aku akan benar-benar memohon ampunanmu, Meera. Aku pasti berusaha merebut kembali hatimu,” batin Fahaz penuh sesal. “Aku tidak menyangka kau sepicik itu, aku masih terima jika kau mengusirku, tapi bertahun-tahun kau mengabaikan anakmu sendiri,” sungut Meera. Wanita paruh baya itu masih memainkan ponselnya. “Maafkan aku, Meera. Aku tahu kesalahanku sangatlah banyak. Tapi, aku akan mencoba memperbaikinya asal kamu memberiku kesempatan-”“Mari kita hidup menjadi sebuah keluarga lagi seperti dulu.” Dengan entengnya Fahaz
Tiba-tiba Sanders teringat kunjungan sang sahabat terakhir kali. Saat itu gerak gerik Yandra begitu mencurigakan. Tetapi dia tak mau ambil pusing. Apa jangan-jangan pria itu selama ini mengincarnya juga. “Ck, banyak sekali musuh dalam selimut,” gumamnya. “Ya, kamu harus hati-hati,” sahut Faleesha. Rupanya sang istri mendengarnya. Gadis itu tampak piawai dan cekatan. Sanders benar-benar kagum melihatnya. Setelah semua jaringan software bisa kembali berfungsi normal. Para karyawan juga kembali beraktifitas. Tersisa Faleesha yang masih duduk manis di ruangan sang suami. “Apa aku juga harus kembali ke tempatku bekerja?” tanya dia. “Untuk apa? Kau sudah menjadi istri pemilik perusahaan sekarang.” Pria itu tampak sekilas melihat penampilan Faleesha yang semakin hari semakin segar. Dia juga sangat pandai memadukan busana atau pakaian yang dia pakai. “Beri aku alasan kenapa kau sangat menggoda,” ujar Sanders lirih. Tangannya meraba nakal tengkuk Faleesha hingga bulu kuduknya merin
Di tempat lain. “Shit! Transfer data gagal!” Pria berpakaian rapi itu mengumpat kesal. Dia sudah hampir berhasil mencuri semua data dan strategi keuangan Sanders. Namun bagaimana bisa semua gagal dalam waktu sekejap saja. Apa pria itu sudah menyadari chip yang dia letakkan secara diam-diam untuk memantau seluruh sistem di perusahaannya?“Kau selalu saja beruntung, Sanders. Baiklah jika aku terpaksa memakai kekerasan, akan kulakukan,” gumamnya. Pria itu pun mengambil gawai miliknya dan menghubungi Sanders. Namun, beberapa kali dering, tampaknya tidak ada respon dari si empunya. Kesal karena tak kunjung terjawab, pria itu pun melempar ponsel miliknya. “Kurang ajar! Beraninya dia mengabaikan panggilanku,” ucapnya gamang. Akhirnya dia hanya mengirimkan pesan teks dengan sedikit penekanan. [Datanglah ke club' biasa kita minum-minum malam ini, aku ingin menjamu dan memberimu pelajaran berharga] Send. Setelah mengirim pesan. Pria itu pun mengatur strategi untuk menjebak Sanders y
“Pengkhianat sepertimu memang tak pantas dikasihani,” ujar Sanders menyeringai. “Ternyata keluar juga sifat aslimu, begini lebih seru,” balas Yandra. Dia menyeka darah yang keluar di ujung bibirnya. Pukulan Sanders begitu bertenaga. “Aku tidak mengerti jalan pikiranmu, sudah diberi kepercayaan malah menusukku dari belakang-” “Tahu begitu aku tidak akan buang-buang waktuku, membantu orang sepertimu sama saja dengan memelihara tikus,” sungutnya. Mendengar hal itu tentu saja Yandra geram. Tanpa pikir panjang dia segera menyerang Sanders dengan pukulan. Perkelahian tak terelakkan. Sanders yang mampu bela diri terus bergerak menghindari serangan lawan. Hingga pada akhirnya dia berhasil melumpuhkan dan membalikkan serangan Yandra. Perkelahian mereka menjadi tontonan pengunjung setempat. Bahkan beberapa kali mereka sempat ditegur oleh keamanan. “Setelah ini jangan menggangguku lagi jika kau masih ingin hidup,” ancam Sanders. Tentu saja Yandra bukan lawan yang seimbang. Mudah saja
“Tuan, kita langsung ke perusahaan?” tanya Nick. “Ya, Faleesha pasti mengkhawatirkanku jika aku tidak segera kembali,” jawab Sanders. Nick tampaknya tersenyum lebar. Baru kali ini majikannya seperti lelaki normal. Biasanya dia tidak akan terlalu peduli dengan wanita. “Ada yang salah?” Sanders menyadari ekspresi Nick berbeda. “Oh, tidak, Tuan.” Buru-buru Nick melakukan mobil. Sanders tidak suka urusan pribadinya terlalu dicampuri. Namun, baru saja mobil melaju, telepon Sanders kembali berdering. Lagi-lagi ayahnya Jinny. “Ada apa, Om? Anda tidak juga kapok membujukku? Aku tidak ada urusan denganmu, jadi, berhenti menyuruhku datang,” ujar Sanders lantang. “Ck, sombong sekali kau sekarang. Jangan besar kepala. Aku menghubungimu bukan karena butuh, tapi ini menyangkut papamu.” Sanders menghela napas berat. Dia paling tidak bisa jika orang tuanya tersentuh. “Memangnya Papa kenapa?” “Kemarilah, maka kau akan tahu.” Setelah mengatakan itu, panggilan terputus. “Sial!” seru Sander
Ada seseorang yang keras kepala selain dirinya. Sanders menyadari William bukan hanya keras kepala. Tetapi juga intimidatif. Namun, pria tua itu juga lupa siapa yang sedang ia intimidasi. “Kalau begitu kau mendekati ajalmu sendiri,” ucap William dengan sorot tajam. “Kita lihat hancurnya perusahaanmu perlahan, karena sebentar lagi pemiliknya akan hancur di tanganku.” Pria paruh baya itu yakin kali ini Sanders tidak bisa berkutik, apalagi dia masuk ke dalam rumahnya tanpa ditemani siapa pun. “Bahkan seekor singa pun tidak pernah menerima kekalahan dengan mudah,” ucap Sanders dengan santai. “Sayangnya kau hanya tikus kecil bagiku sekarang-” “Kupikir kau licik seperti kata orang-orang, rupanya kau tak lebih dari sekedar orang bodoh yang ceroboh. Berani sekali kau datang kemari dengan percaya diri, dan aku berharap bisa keluar dengan mudah?” Tawa William menggema di seluruh ruangan. Dia pikir sudah di atas awan. Menang telak atas ketidakberdayaan Sanders. “Aku memang bisa keluar d
Sanders menghentikan gerakannya. Dia menatap wajah Faleesha yang sedikit pucat. “Apa kau sakit? Kenapa tidak bilang?” tanya pria itu. Faleesha hanya menggeleng pelan. “Aku tidak tahu, akhir-akhir ini tubuhku lemas sekali. Aku juga mual kalau mencium baumu.” Sanders seketika mengernyit. “Maksudmu aku bau?” Dia pun mengendus-endus tubuhnya sendiri. Merasai tidak ada yang salah dengan badannya. “Entahlah, aku tidak tau. Kenapa rasanya aku mual jika dekat denganmu,” balas Faleesha. Tetiba gadis itu berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi dalam perutnya. Sanders mengikuti dan memijat tengkuk belakangnya. “Istirahatlah, aku panggilkan dokter,” titah Sanders. Faleesha hanya mengangguk lemah. Dia berjalan sembari memeluk pinggang sang suami. Walaupun mual dekat Sanders, tapi Faleesha tiba-tiba ingin sekali bermanja-manja dengannya. “Ck, katamu aku bau,” sungut Sanders merengkuh tubuh mungil istrinya. Tiba-tiba saja, Faleesha ambruk. Beruntung Sanders segera menangkapnya. “
Sesampainya di rumah sakit, Sanders segera memeluk Faleesha erat. Menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam. “Sialan, kau membuatku sangat khawatir,” rutuknya. Pria itu mengecup lembut bibir Faleesha sampai tidak menyadari Meera menatap mereka dengan pandangan yang sulit diartikan. “Sst, kamu bisa tidak cium aku nanti aja. Itu Mama lagi sedih,” balas Faleesha berbisik. Sanders langsung terkesiap. Dia baru sadar jika ibu mertuanya berada tak jauh dari Faleesha. “Mama,” sapanya. Meera tersenyum sendu. “Tidak apa-apa, aku pernah merasakan seperti kalian. Masa pengantin baru, yang sulit berjauhan.” Sejurus kemudian tatapannya mengarah ke ruang Fahaz dirawat. “Bagaimana kondisi papa mertuamu?” tanya Meera. “Tidak ada luka yang parah, Ma. Dokter sudah menanganinya. Tetapi karena benturan yang cukup keras, Papa belum sadar hingga sekarang,” terang Sanders. “Baiklah, kalian bisa pulang. Aku yang akan menjaga Fahaz,” sela Meera. “Kita obati dulu tangan Mama,” jawab Faleesha. Meera baru s
“Aku yang seharusnya bicara seperti itu, Ervina. Kau datang kemari tidak membawa apa-apa, pergi juga harusnya tidak membawa apa pun,” tegas Meera tak takut. Dia pun lekas memanggil Wira agar membawa Yooshi ke rumah sakit terlebih dahulu. Pria berkaca mata itu datang tergopoh-gopoh dan terkejut melihat darah yang mengalir dari kepala bagian belakang. Sebenarnya, Wira sedikit mencemaskan keadaan Meera tetapi majikannya itu meyakinkannya agar dia berangkat terlebih dahulu. Meera akan menyusulnya nanti. Setelah Wira menghilang dengan membopong tubuh Yooshi. Ervina semakin menyeringai. “Tamat riwayatmu sekarang.” Ervina bergerak cepat mengeluarkan pisau dari balik saku bajunya yang sudah dia sembunyikan dan menyerang Meera. Meera terkejut melihat wanita yang pernah menjadi sahabatnya itu hendak menghunusnya. Dia langsung menahan pisau itu dengan tangannya. Meera meringis kesakitan saat benda tajam itu merobek telapak tangannya. Darah yang mengucur tidak dia hiraukan. Yang terpenti
Secepat kilat mobil Sanders melaju di perjalanan. Dia tidak menghubungi Faleesha terlebih dahulu karena takut sang istri panik. Sesampainya di rumah sakit, Fahaz langsung dibawa ke UGD, beruntung lukanya tidak parah. Hanya benturan kecil yang membuatnya syok hingga pingsan. Dia juga tidak harus dioperasi. Hanya perlu penanganan intensif. Tetapi rahang Sanders sudah mengeras. Pertanda dia benar-benar marah kali ini. “Nick,” panggilnya. “Ya, Tuan,” jawab Nick. “Segera hubungi polisi, dan laporkan kejadian barusan, juga serahkan semua bukti yang memberatkan mereka yang kita dapatkan sebelumnya-” Sanders menjeda ucapannya. “Dan jangan lupa, ambil rekaman CCTV dekat daerah persimpangan kecelakaan terjadi.” “Siap, Tuan.” Pemuda itu bergegas melaksanakan perintah majikannya. Sedangkan Sanders menunggu Fahaz dengan gelisah. Kali ini Ervina dan Angela tidak bisa dibiarkan. Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Faleesha muncul. Dia terkejut kenapa waktunya tepat sekali. Apa perasaan se
Fahaz tengah bahagia. Usahanya untuk kembali meminta maaf dan mengambil hati Meera tidak main-main. Walaupun wanita terkasihnya itu masih tidak mau sekedar berbincang, tapi Meera sudah sering mengingatkan dia untuk minum obat. Terkadang ketika ibu kandung Faleesha itu ingin pergi atau angkat kaki dari rumahnya, Fahaz selalu mencari cara agar bisa menggagalkannya. Bertahun lamanya dia telah berbuat tidak adil pada keluarga kecilnya. Ini saatnya menebus semuanya. Bahkan dia tidak ingat sedikitpun tentang Ervina. Wanita licik itu sudah berhasil mengobrak-abrik keluarganya. Fahaz tidak akan membiarkannya kali ini. “Tuan, sepertinya ada yang mengikuti kita sejak tadi,” ujar sang sopir. Fahaz menoleh ke belakang untuk memastikan. “Jalan terus saja, Pak. Abaikan saja. Mungkin kebetulan arah kita sama.” “Baik, Tuan.” “Meera, aku akan menebus kesalahanku dan tidak akan membiarkanmu hidup menderita lagi,” gumam Fahaz dengan wajah berbinar. “Tuan, mobil di belakang semakin mendekat, dan
“Kamu keren sekali,” bisik Emily. Faleesha menghembuskan napas pelan. “Kamu tidak tahu saja betapa aku menyesal kenapa tidak bisa tegas sama mereka dari dulu.” “Bahkan ketika mereka mengucilkan aku dulu, Papa dengan mudahnya percaya begitu saja. Aku tak mendapat dukungan dari siapa pun, Em. Tapi sekarang, aku tidak akan tinggal diam setelah membongkar kebusukan mereka,” lanjut Faleesha. “Bagus, kamu memang harus seperti itu,” jawab Emily memberi semangat. “Makasih ya, sudah mau menemaniku dan menjagaku.” tiba-tiba gadis itu menjadi sentimentil. Karena selama ini merasa tidak pernah punya keluarga dekat. Dari dulu sang Papa melarangnya bertemu siapa pun tanpa alasan yang jelas. “Kau ini bicara apa, sudah jadi tugasku. Kau lupa Tuan akan menghabisiku kalau sampai kau kenapa-kenapa,” jawab Emily. Setelah mengatakannya, gadis tomboy itu membuat gerakan menggores lehernya dengan tangan. Membuat Faleesha semakin terkekeh. “Percayalah, suamiku sekarang tidak sekejam itu,” timpalnya.
Faleesha menghentakkan kakinya dengan keras. Dia memakai pantofel setinggi 5 cm. Tersenyum lebar berjalan menuju kedua ibu beranak itu. Angela dan Ervina tampak melongo melihat penampilan Faleesha. Dia sungguh berkelas. Tidak seperti biasanya yang cenderung casual. “Ngapain kamu di sini?” tanya Angela tak suka. Tatapannya penuh kebencian. Karena bukti yang Faleesha berikan membuat gadis itu menang telak. “Harusnya aku yang tanya, untuk apa kalian datang kemari?” Gadis itu melipat kedua tangannya ke dada. Memberi tatapan tidak bersahabat. “Ck, songong,” gumam Angela kesal. “Begitukah cara kamu berbicara pada ibumu, Fal?” Ervina bersuara. Dia tampak geram melihat tingkah laku Faleesha. Tahu begitu, dulu lebih baik gadis itu dilenyapkan saja. “Lantas aku harus bicara pada Tante dengan nada yang sopan? Sedangkan kalian saja marah-marah tidak tahu tempat, apa tidak malu jadi tontonan banyak orang?” tanya Faleesha penuh penekanan. "Dan satu lagi, Anda bukan ibu saya." “Heh, jang
“Tuan, saya baru saja menerima informasi dari Emily, Nona Faleesha sedang di perusahaan ayahnya,” ujar Nick. Sanders mengernyit. “Untuk apa?” “Kata Emily ada urusan yang harus Nona selesaikan, ibu dan saudara tirinya berulah lagi,” balas Nick. Ada rasa khawatir yang menyeruak dalam hatinya, namun Sanders berusaha mengabaikan. Bagiamana pun, Faleesha harus belajar menyelesaikan masalahnya sendiri. Dia juga nantinya yang akan menggantikan posisi ayahnya. “Apa kita ke perusahaan Tuan Fahaz saja?” tanya Nick memastikan. “Tidak perlu, jalan saja,” balas Sanders. “Apa Tuan tidak khawatir pada Nona?” “Tentu saja khawatir, tapi dia perlu belajar mandiri jika ingin memimpin perusahaan, Jika nanti ada kendala, barulah aku turun tangan,” balas Sanders. Nick tidak pernah melihat perubahan yang begitu besar pada majikannya selama ini. Dinilainya Sanders jauh lebih tenang dan tidak pernah emosi berlebihan. Faleesha benar-benar membawa dampak yang baik untuknya. “Lagipula katamu tadi, ist
Ada seseorang yang keras kepala selain dirinya. Sanders menyadari William bukan hanya keras kepala. Tetapi juga intimidatif. Namun, pria tua itu juga lupa siapa yang sedang ia intimidasi. “Kalau begitu kau mendekati ajalmu sendiri,” ucap William dengan sorot tajam. “Kita lihat hancurnya perusahaanmu perlahan, karena sebentar lagi pemiliknya akan hancur di tanganku.” Pria paruh baya itu yakin kali ini Sanders tidak bisa berkutik, apalagi dia masuk ke dalam rumahnya tanpa ditemani siapa pun. “Bahkan seekor singa pun tidak pernah menerima kekalahan dengan mudah,” ucap Sanders dengan santai. “Sayangnya kau hanya tikus kecil bagiku sekarang-” “Kupikir kau licik seperti kata orang-orang, rupanya kau tak lebih dari sekedar orang bodoh yang ceroboh. Berani sekali kau datang kemari dengan percaya diri, dan aku berharap bisa keluar dengan mudah?” Tawa William menggema di seluruh ruangan. Dia pikir sudah di atas awan. Menang telak atas ketidakberdayaan Sanders. “Aku memang bisa keluar d