Perjalanan menuju lokasi terasa sangat panjang meskipun tim penyelamat bergerak secepat mungkin. Hujan masih mengguyur deras, membuat pandangan terhalang dan jalan setapak yang licin menjadi tantangan besar. Jonas tetap berada di depan, membantu menunjuk arah kepada penjaga hutan dan tim penyelamat.“Jalur ini sangat curam. Berhati-hatilah saat mendekati area jurang,” katanya sambil berusaha keras mengatasi gemetar pada suaranya.Setelah mendaki beberapa waktu, mereka akhirnya tiba di lokasi Kayden jatuh. Jonas mendekati tepi jurang dengan hati-hati, lalu menyorotkan senter ke bawah. Hujan membuat penglihatannya terbatas, tetapi ia yakin Kayden masih di sana.“Terakhir kali, dia berada di sana,” kata Jonas sambil menunjuk ke sisi jurang yang penuh semak dan ranting yang patah. “Kita harus turun.”Salah satu anggota tim penyelamat dengan tali pengaman di bahunya, menepuk Jonas di punggung. “Kami yang akan menangani ini, Tuan. Tetaplah di sini dan biarkan kami bekerja,” katanya.Jonas me
Sambil menunggu kabar, Lea dan Jonas duduk di ruang tunggu klinik yang dikelilingi oleh jendela besar. Dari sana, Lea bisa melihat laut biru dan bukit-bukit tropis Mahe. Suara burung tropis yang melintas sesekali terdengar, seolah mengingatkan bahwa hidup tetap berjalan meski hari yang berat baru saja mereka lalui.Lea tak henti-hentinya menggigiti kuku jarinya, kebiasaan yang selalu muncul ketika ia sedang cemas. “Tuan Beckett,” panggilnya pelan, “dia akan baik-baik saja, ‘kan?”Jonas menatap Lea sejenak sebelum menjawab. “Saya yakin, Nyonya Rose. Kayden Easton adalah pria tangguh. Bahkan jika dia terlihat seolah tidak peduli pada apa pun, dia tidak akan menyerah begitu saja.”Lea menghela napas panjang, mencoba meyakinkan dirinya dengan kata-kata Jonas. Namun rasa bersalah terus menghantuinya. Ia merasa seolah semua kejadian ini adalah salahnya.Beberapa waktu kemudian, seorang dokter dengan rambut keriting dan logat lokal khas Seychelles keluar dari ruang perawatan. “Tuan Kayden Eas
Kedua mata Lea seketika melebar dan ia langsung menggigit bibir. Untuk sesaat, wanita bermata hazel itu hanya terpaku sambil menimbang permintaan sang kakak iparnya tersebut.Mengeramas rambut jelas bukan hal yang sulit, hanya saja … hal itu terlalu intim. Namun saat ia menatap Kayden yang bersandar santai dengan ekspresi menantang, Lea tahu tidak ada gunanya menolak.Lea menatap Kayden dengan ragu. Permintaannya begitu tiba-tiba dan aneh. Mengeramasi rambutnya? Itu bukan sesuatu yang pernah Lea bayangkan akan lakukan untuk pria seperti Kayden."Kenapa aku harus melakukannya?" tanya Lea dengan alis berkerut.Kayden tersenyum tipis, sementara pandangannya masih terkunci pada sosok Lea yang berdiri canggung. "Kamu yang bilang ingin merawatku. Ini permintaan sederhana, kan?"Lea kembali menggigit bibirnya. Ia memang merasa bersalah pada Kayden, tapi tetap saja ... situasi ini terlalu canggung. Namun menolak Kayden bukan perkara mudah, maka dari itu Lea akhirnya mengangguk."Baiklah," guma
Kayden mendorong pintu kamar mandi dan mendapati Jonas sudah berdiri di depannya. Dengan langkah hati-hati, Kayden melangkah keluar dan Jonas mengekor di belakang. Namun, ekspresi Jonas langsung berubah ketika melihat Lea keluar dari kamar mandi beberapa detik setelah Kayden.Jonas terdiam sejenak, menduga sesuatu yang tak berani ia ungkapkan. 'Apakah mereka ... mandi bersama?' gumamnya dalam hati sambil berusaha menahan ekspresi yang hampir muncul.Sementara itu, Kayden bersikap seperti biasa—tampak santai dan tak terpengaruh. Ia mengabaikan ekspresi terkejut Jonas dan berjalan menuju sofa dengan langkah tenang. "Ada apa, Jonas?" tanyanya.Jonas mengerjap sebentar, buru-buru mengalihkan perhatiannya. "Tidak, Sir. Saya hanya ingin memastikan Anda baik-baik saja."Di sisi lain, Lea tetap diam berdiri di depan kamar mandi. Wanita itu menunduk sambil berusaha mengatur napas. Pipinya terasa panas, tapi ia menahan diri untuk tidak menunjukkan kecanggungannya.Kayden menoleh sekilas ke arah
Lea refleks menggenggam ujung pakaiannya mendengar pertanyaan Noah. “A-Aku di luar. Ada apa?” tanyanya gugup.Di ujung telepon, Noah yang baru saja kembali dari perjalanan duduk di sofa dengan kaki bersilang. “Kembali ke villa sekarang. Ada yang ingin kubicarakan,” balasnya dengan nada dingin.“Baik, aku akan segera pulang,” sahut Lea dan panggilan telepon langsung berakhir sebab Noah mematikannya.Lea segera menyimpan ponselnya dan terburu-buru menuruni tangga menuju lantai satu. Saat hampir sampai pintu utama, suara Jonas menghentikan langkahnya.“Mau ke mana, Nyonya Rose?” tanya Jonas.Lea sontak menoleh. “Aku ke villa Noah sebentar. Kalau kakak ipar mencariku, bilang aku akan kembali setelah semuanya beres,” jawabnya sambil melangkah cepat keluar.Lea mempercepat langkah sementara jantungnya berdegup tak karuan. Setiap langkahnya menuju villa Noah terasa semakin berat. Sesampainya di depan pintu villa, ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mendorong pintu.Lea melangkah mas
Lea menoleh pelan sementara jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Sosok yang berdiri di belakangnya itu bukan Noah, bukan juga Sophia. Sosok itu lebih tinggi dengan tatapan yang tajam memandangi Lea, sosok itu tidak lain adalah Kayden.Lea mengembuskan napas pelan sambil mengusap dada. “Astaga, kamu benar-benar mengejutkanku,” gumamnya, lalu melangkah mendekat. “Kenapa kamu ada di sini, Kakak Ipar? Seharusnya kamu beristirahat, bukan malah berkeliaran.”Kayden tak langsung menjawab. Tatapannya begitu dalam mengunci pada Lea dan sulit ditebak. Keheningan di antara mereka semakin menebal sebelum akhirnya pria itu berbicara.“Kenapa pulang terburu-buru?” tanyanya dengan suara rendah dan serak.Lea mengerjap sebentar. Jujur saja ia tak menyangka pertanyaan itu yang keluar dari mulut Kayden. “Noah memintaku pulang karena ada yang ingin dia bicarakan,” jawabnya jujur. Namun sedetik kemudian, pikirannya beralih ke Kayden.“Tapi itu tidak penting,” lanjutnya dengan sorot mata mengeras. “Y
Lea menegang sementara napasnya tersendat. “Tidak, aku hanya bicara sendiri,” kilahnya cepat sambil berusaha menjaga nada suaranya agar tetap stabil.Noah mempersempit jarak di antara mereka dan matanya mengunci pada ekspresi Lea yang gelisah. “Bicara sendiri?” ulangnya pelan, pria itu tampak tidak percaya dengan pernyataan Lea barusan.Lea mengangguk cepat. “Aku terkejut saat mendengar langkahmu mendekat. Itu saja.”Noah diam sesaat, lalu pandangannya beralih ke sekitar ruangan seolah mencari sesuatu. Lea bisa merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Ia sama sekali tak bisa melepaskan pandangannya dari sosok Noah yang berdiri tak jauh darinya.‘Jangan sampai dia menemukan Kayden.’ Lea berdoa dalam hati.Tubuh Lea semakin menegang saat Noah berjalan melewatinya menuju meja kecil di sudut ruangan. Rasa cemas dan takut kini telah menguasai Lea sepenuhnya. Meja kecil itu tepat berada di samping lemari di mana Kayden bersembunyi.Tanpa sadar, Lea menggigit kuku jarinya sementara
Ciuman itu tidak sekadar menyentuh, tetapi panas dan juga dalam. Kayden seolah menegaskan kepemilikannya atas Lea. Satu tangannya melingkar di pinggang wanita itu, lalu menarik tubuhnya lebih dekat hingga tak ada ruang yang tersisa di antara mereka.Lea terkejut dengan ciuman tak terduga dari Kayden. Dan seharusnya ia mendorong tubuh pria itu dan menolak, tetapi tubuhnya justru membeku di tempat. Lea terperangkap dalam sensasi yang belum pernah ia alami sebelumnya.Kayden mendesaknya lebih jauh, bibirnya semakin dalam menjelajah hingga napas Lea tersengal. Saat Lea mulai merasa kehilangan kendali, tiba-tiba Kayden menarik diri.Lea terhuyung, nyaris kehilangan keseimbangan. Dadanya naik turun dengan cepat sementara kepalanya terasa kosong.Kayden menatapnya dengan ekspresi yang tetap tenang, seolah ciuman tadi bukan apa-apa. Namun, matanya berkilat penuh intensitas."Jangan takut,” gumam Kayden pelan. “Aku akan memastikan kamu tetap di sisiku, entah kamu mau atau tidak.”Lea hanya bis
Salju tipis masih turun saat Lea melangkah keluar dari pintu kedatangan bandara kecil itu. Ia merapatkan mantel dan menarik napas dalam-dalam, mencoba menghilangkan gumpalan emosi yang menyesakkan dadanya. Kota ini terasa asing, jauh dari hiruk-pikuk yang biasa ia hadapi.Seorang pramugari yang baru saja turun dari pesawat yang sama memberinya senyum singkat. “Hati-hati di luar, Nona. Cuacanya sedang tidak bersahabat.”Lea hanya mengangguk kecil. “Terima kasih.”Ia melangkah ke area pengambilan bagasi, menunggu koper kecilnya muncul di conveyor belt. Sambil menunggu, ia mengeluarkan ponsel dari saku mantel dan segera menghubungi Astrid.“Aku sudah sampai,” ucapnya begitu panggilan tersambung.“Bagus,” suara Astrid terdengar lega. “Mobilnya ada di tempat parkir khusus dekat pintu keluar. Kuncinya bisa kamu ambil dari penjaga parkir.”Lea menatap sekitar, memperhatikan suasana bandara yang jauh lebih sepi dibandingkan dengan bandara besar di kota sebelumnya. Tak banyak orang yang berlal
Setelah melalui keseruan permainan truth or dare, Kayden tiba-tiba mengajak Lea untuk pulang. Sejak tadi, ia bukannya tidak menyadari gelagat Jonas yang tampak gelisah. Untuk itu, ia mengajak wanitanya pulang lebih awal dan memberikan waktu bagi Jonas untuk berduaan dengan Annika. “Hati-hati di jalan, Lea,” ucap Annika setelah bercipika-cipiki. “Terima kasih, Sir,” lanjutnya, menatap Kayden dengan sopan. Lea mengangguk seraya tersenyum manis. “Terima kasih, Anni,” sahutnya, sementara Kayden hanya bergumam sebagai jawaban. Kayden melingkarkan tangannya di pinggang Lea ketika mereka berjalan menuju lift. Begitu memasuki ruang sempit itu, Lea berkata, “Padahal sedang seru-serunya, tapi kamu malah mengajakku pulang dan bilang ada sesuatu yang mendesak. Memangnya hal apa?” Kayden tersenyum tipis. “Tidakkah kamu melihat gelagat Jonas yang terlihat gelisah, Little Rose?” Lea mengangguk, ia pun menyadari hal itu. “Lalu, apa hubungannya dengan urusan mendesak yang kamu bilang?” tanyanya b
Lea menegang. Pandangannya melesat ke arah Annika dan Jonas yang kini menatapnya dengan ekspresi berbeda—terkejut, penasaran, dan sedikit tidak percaya.Lea menggigit bibir bawahnya. Menolak berarti mempermalukan diri sendiri di depan semua orang. Namun, menerimanya? Itu sama saja dengan memberi Kayden kemenangan mutlak.Annika menahan napas. Di sampingnya, Jonas menggenggam gelas anggurnya lebih erat.Lea perlahan mengangkat dagunya, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Dengan suara hampir bergetar, ia berkata, “Kamu yakin ingin aku melakukannya di depan mereka?”Senyum Kayden melebar. “Bukankah itu bagian dari permainannya?”Lea menelan ludah. Ia bisa merasakan jantungnya berdebar begitu kencang hingga membuatnya mual. Tapi ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya.Maka, dengan semua keberanian yang tersisa, ia mendekat dengan perlahan. Tangannya bertumpu pada meja untuk menstabilkan dirinya.Lea menghirup napas dalam, lalu dengan gerakan cepat, ia mengecup pipi Kayden. Hanya seki
Dua hari kemudian.Lea bersiap untuk pergi ke kediaman Annika guna memenuhi undangan wanita itu. Dengan pakaian rapi yang dilapisi mantel serta riasan sederhana, ia tampak cantik alami. Sebagai sentuhan akhir, Lea menyemprotkan parfum di beberapa titik tubuhnya.“Sempurna,” gumamnya seraya tersenyum puas. Sekali lagi, ia memandangi pantulan dirinya di depan cermin sebelum akhirnya beranjak pergi.Saat Lea melangkah keluar dan membuka pintu, Kayden sudah berdiri di sana dengan senyum hangat menyambutnya. Tanpa ragu, Lea langsung menghamburkan diri ke dalam pelukan Kayden, meresapi kehangatan pria itu sejenak sebelum mendorong tubuhnya perlahan. Tatapannya mengunci pada mata Kayden sementara tangannya masih melingkar erat di leher pria itu.“Kamu sangat tampan malam ini, Tuan Muda Easton,” gumamnya penuh kagum.Kayden tetap mempertahankan senyum tipis di bibirnya sebelum mengecup lembut bibir Lea. Ciumannya lalu turun perlahan ke leher, membuat Lea tersentak halus.“Kamu sangat wangi, Li
Lea berjalan cepat menuju kamar mandi, berusaha mengabaikan jantungnya yang masih berdetak kencang setelah semua godaan Kayden di meja makan. Ia hanya ingin menenangkan diri, membiarkan air hangat membasuh kepalanya yang penuh dengan suara pria itu.Namun, begitu ia menutup pintu dan berbalik, tubuhnya langsung membeku.Kayden berdiri di ambang pintu dengan satu tangan bertumpu santai di kusen.“K-Kayden?!” Lea hendak meraih gagang pintu, berniat mendorong pria itu keluar. “Keluar! Aku mau mandi!”Alih-alih menurut, Kayden justru melangkah masuk dengan santai lalu menutup pintu di belakangnya dengan bunyi klik halus yang membuat tubuh Lea mengeras seketika.“K-Kenapa kamu ikut masuk?!” Ia mundur selangkah, matanya membulat waspada.Kayden tidak menjawab, hanya melucuti kancing piyamanya dan melepaskannya dengan gerakan sengaja.Lea semakin panik. “Jangan bercanda! Aku benar-benar mau mandi, Kayden!”“Ya, aku tahu,” sahut pria itu ringan. “Aku hanya menemanimu.”Lea menatapnya tak perc
Lea ragu untuk memanggil pria itu seperti yang diinginkannya. Namun, Kayden jelas bersungguh-sungguh tidak akan melepaskannya sampai kata itu keluar dari bibirnya. Meyakinkan diri, Lea akhirnya melakukannya.“Sayang, lepaskan aku,” ucapnya dengan suara rendah.Kayden tersenyum penuh kemenangan sebelum akhirnya melepaskan pelukannya dari pinggang Lea. Dengan santai, ia menarik kursi di sebelah wanita itu dan duduk.Lea buru-buru memosisikan diri di kursinya, namun pipinya terasa panas. Jantungnya masih berdegup cepat, dan detik berikutnya, ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.‘Rasanya ingin menghilang saja!’ teriaknya dalam hati.“Hey, ada apa? Apa kamu malu?” bisik Kayden dengan nada menggoda. Ia meraih pergelangan tangan Lea, menariknya perlahan agar wanita itu menurunkan tangannya.Lea menggigit bibirnya, perasaan gelisah dan malu berkecamuk dalam dirinya.‘Sumpah demi semesta! Aku tidak sanggup menatapnya setelah ini!’ batin Lea berteriak.Kayden terkekeh pelan melihat
Lea bahkan belum sempat bernapas lega ketika Kayden tiba-tiba menutup jarak di antara mereka.Lea membeku saat Kayden mendekat, napas pria itu menghangatkan kulitnya sebelum akhirnya bibirnya menyentuh miliknya. Lembut, namun penuh tuntutan. Seolah ingin menegaskan kepemilikannya dengan cara yang tak terbantahkan.Jari-jari Lea mencengkeram lengan Kayden, berniat mendorongnya, tetapi kekuatan dalam dirinya menguap begitu saja. Alih-alih melawan, tubuhnya justru melemas dalam dekapan pria itu.Kayden menarik wajahnya sedikit, lalu menatap Lea dengan hangat. “Masih meragukanku?” bisiknya.Lea menelan ludah, hatinya berdebar tak karuan. “Kayden, aku—”“Jangan katakan hal yang akan kamu sesali.” Kayden menempelkan dahinya ke dahi Lea, napasnya berhembus hangat di antara mereka. “Aku mencintaimu, Lea Rose. Sejak awal.”Mata Lea membesar. “Apa?” tanyanya terkejut.Kayden tersenyum samar, tetapi ada ketegasan dalam sorot matanya. “Sejak pertama kali melihatmu, aku tahu aku menginginkanmu. Ak
Malam harinya, saat Lea baru saja merebahkan tubuhnya di atas ranjang, suara dering pada ponselnya menarik perhatiannya. Dengan malas, ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Jantungnya langsung berdebar saat melihat nama Annika terpampang di layar. Wanita itu pasti ingin meminta penjelasan soal kejadian di Home & Haven tadi siang. Dengan penuh pertimbangan, Lea akhirnya menekan tombol hijau, mengangkat panggilan itu.“Lea, ayo jelaskan apa yang terjadi antara kamu dengan CEO kita?” tanya Annika antusias, suaranya terdengar penuh rasa ingin tahu.Lea menggigit bibirnya, sedikit ragu, tetapi pada akhirnya ia terpaksa mengakui hubungan spesialnya dengan Kayden. Di seberang telepon, Annika langsung berteriak histeris sebelum tertawa.“Ini gila! Aku sama sekali tidak menduga kalau kamu akan berpacaran dengan CEO kita! Kayden Easton itu … wow, Lea! Dia tampan, kharismatik, dan … ah, aku iri padamu!”Lea mengembuskan napas panjang. “Tapi, aku ingin kamu merahasiakan soal ini, An
“Tapi, aku kemari untuk menemani Annika memilih perabotan,” tolak Lea, berusaha menahan diri.Untuk apa lagi menghindar? Keadaannya sudah terlanjur seperti ini. Ia bisa menjelaskan semuanya nanti pada Annika.Kayden tidak bereaksi langsung, tetapi tatapannya semakin dalam menusuk. Tekanan yang ia berikan begitu kuat hingga Annika yang berdiri di samping Lea merasakan tubuhnya ikut menegang.Dengan senyum kecil yang terpaksa, Annika meraih tangan Lea dan berkata, “Aku baik-baik saja, Lea. Aku bisa memilih sendiri perabotannya.”Lalu dengan gerakan perlahan, ia mendekat dan berhenti tepat di belakang Lea.“Pergilah. Aku tidak ingin dimarahi kalau kamu menolak. Kamu bisa lihat sendiri bagaimana ekspresi CEO kita.” Suaranya merendah saat berbisik di telinga Lea. “Untuk masalah tadi, kamu bisa menjelaskannya padaku nanti.”Lea menghela napas. Lalu, ia akhirnya mengangguk pelan.Kayden menyeringai kecil, jelas puas dengan keputusan Lea. “Bagus,” gumamnya sebelum melangkah lebih dulu.Lea ha