Hari berikutnya, suasana di rumah kebun terasa lebih santai. Rizal tengah duduk di meja kerjanya dengan laptop terbuka di depannya.Pagi itu, dia memilih pakaian santai: hanya mengenakan kolor dan kaos oblong karena memang tidak ada tamu atau pekerjaan formal yang mengharuskannya berpakaian rapi. Rizal merasa nyaman bekerja dengan gaya seperti itu, apalagi lingkungan kebun yang luas dan tenang membuatnya betah berlama-lama di sana.Sambil memeriksa data dan merencanakan langkah-langkah untuk mengembangkan perkebunan obat herbal yang kini menjadi fokus utama, Rizal tampak begitu serius. Tangan kanannya sibuk mengetikkan angka-angka dan catatan di laptop, sementara sesekali dia menatap layar dengan penuh perhatian.Matanya yang tajam menunjukkan dedikasi tinggi terhadap pekerjaan yang diberikan Jovan kepadanya. Dia tahu betul betapa pentingnya proyek ini, tidak hanya bagi Jovan, tetapi juga bagi masa depannya.Namun, meskipun sibuk dengan pekerjaan, Rizal masih meluangkan waktu sejenak
Di lantai tiga, suasana jauh lebih tenang. Beberapa bilik VIP dengan lampu redup memberikan kesan eksklusif. Rizal membuka salah satu pintu dan memberi isyarat agar Bu Intan masuk lebih dulu.“Silakan, Bu.”Bu Intan melangkah masuk dengan tetap menjaga jarak. Begitu Rizal menutup pintu, ia bersedekap dan menatap pria muda itu dengan tajam.“Sekarang, ayo bicara.”Rizal menyesap napas, lalu tersenyum tipis. Ia duduk dengan santai di sofa, menyilangkan kaki, seolah mengendalikan situasi.“Nah, sekarang kita bisa ngobrol lebih enak. Jadi, Bu Intan... Apa yang sebenarnya ingin Ibu ketahui?”Jari-jarinya mengetuk perlahan permukaan meja, menciptakan ritme kecil yang hanya ia sendiri yang paham.Bu Intan di seberangnya menatap dengan ekspresi menunggu. Ia tidak terbiasa membuang waktu untuk basa-basi, tapi Rizal? Dia menikmati setiap detik permainan ini.Ia menyeruput kopinya perlahan, lalu akhirnya membuka suara, nadanya dibuat rendah dan misterius. “Bos Jovan itu… beda dari kebanyakan ora
“Selamat datang di dunia malam yang beda, Bu,” kata Rizal pelan.Bu Intan tertawa kecil. Ia tidak tahu apakah ini keputusan yang tepat atau tidak. Tapi yang jelas, mugkin malam ini akan jadi sesuatu yang tidak akan ia lupakan.Angin malam berhembus lembut, membelai wajah Bu Intan yang tersenyum tanpa sadar. Rizal mengendarai motor sport milik Jovan dengan santai, sesekali melirik ke samping, menikmati ekspresi wanita yang kini duduk di belakangnya.Sejenak, Bu Intan lupa bahwa pria yang bersamanya ini seusia anak bungsunya. Lupa bahwa seharusnya ia bukan berada di sini, tapi mungkin di rumah, menikmati teh hangat dan membaca berita tentang dunia bisnis dan politik.Tapi nyatanya, di sini, di atas motor bersama Rizal seorang pemuda kampung yang penuh pesona aura kota, Bu Intan merasa bebas."Ini yang namanya keliling kota ala anak muda, Bu," Rizal menoleh sedikit, suaranya bercampur angin malam. "Bukan cuma di dalam mobil mewah, nggak seru."Bu Intan terkekeh. "Kamu pikir aku masih ana
Bibir mereka masih bertaut, lembut namun semakin dalam. Tangan Bu Intan mulai nakal menelusuri selangkangan Rizal, awalnya hanya sentuhan ringan, tapi kini seakan ada tarikan tak kasat mata yang membuat tangannya menggenggam benda keras, besar dan panjang di balik chinos. Dia enggan melepaskan.Rizal merasakan bagaimana tubuh Bu Intan perlahan melemas dalam dekapannya, memberi isyarat tanpa kata bahwa wanita itu telah tenggelam dalam gelombang perasaan yang tak lagi bisa ditahan. Kedua semakin kuat meremasi kedua payudara Bu Intan, ciuman mereka semakin liar.Bu Intan sedikit menghela napas di antara kecupan mereka, merasakan debaran dadanya yang berpacu begitu cepat. Ia bukan lagi seorang wanita muda, namun sentuhan Rizal seakan membangkitkan sisi dirinya yang selama ini terkubur oleh kamuplase dan ambisi tuntutan hidup.Rizal menurunkan ciumannya ke sepanjang garis rahang Bu Intan, meninggalkan jejak kehangatan di kulitnya yang halus. Wanita itu memejamkan mata, membiarkan dirinya l
Setelah mengantar pulang Bu Intan, Rizal menyalakan motornya dan melaju pelan di jalanan yang mulai lengang. Udara malam masih menyisakan kehangatan pertemuan mereka, namun Rizal tahu, dunia tidak berhenti hanya di satu momen saja.Dia tidak langsung pulang ke rumah kebun. Ada kegelisahan yang masih berputar di kepalanya, sesuatu yang belum tuntas. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya dia membelokkan motornya ke sebuah warung kopi langganannya.Begitu sampai, Rizal langsung disambut oleh beberapa temannya. Salah satunya, Herman, menepuk bahunya dengan tawa kecil."Tumben malam-malam nongol. Baru dari mana, Lu?"Rizal hanya nyengir, melempar helmnya ke atas meja dan menarik kursi."Biasa, muter-muter nyari angin," jawabnya santai, padahal pikirannya masih terbayang sosok Bu Intan.Herman menyipitkan mata curiga. "Muter-muter nyari angin atau nyari lobang nganggur?" godanya.Rizal hanya terkekeh, memilih menyesap kopinya tanpa menjawab. Dia menikmati suasana warung itu—lampu remang-reman
Bu Intan merasa ada sesuatu yang berbeda dalam hari-harinya sejak pertemuan itu. Kenangan akan Rizal terus membayangi pikirannya, menciptakan getaran aneh di hatinya yang sudah lama tak ia rasakan. Ia sering termenung, mengingat kembali bagaimana Rizal memperlakukannya—santai, nakal, tetapi tetap penuh perhatian.Setiap kali ia mendengar suara motor lewat di depan rumahnya, dadanya berdebar, berharap itu Rizal. Setiap kali notifikasi ponselnya berbunyi, hatinya melompat, hanya untuk kecewa saat mendapati pesan itu bukan darinya.Di sela-sela kesibukannya, ia berkali-kali ingin mengangkat ponselnya, mengetik pesan singkat atau bahkan sekadar menanyakan kabar Rizal. Namun, gengsi menahannya. Bagaimana mungkin ia, seorang istri pejabat yang seharusnya anggun dan berwibawa, justru dirundung rindu pada seorang pemuda kampung sok bergaya kota?Seharusnya dia memang dengan Jovan, bukan Rizal.Bu Intan menatap layar ponselnya dengan kesal. Beberapa kali ia mencoba menghubungi mantan menantuny
Percakapan terus mengalir, diselingi gelak tawa ringan dan sesekali kilatan mata Dave yang mencuri pandang ke arahnya. Botol demi botol dibuka, hingga waktu terasa berlalu begitu saja. Bu Intan memperhatikan wajah suaminya yang mulai memerah. Gerakannya semakin lambat, omongannya mulai melantur.Sementara itu, Dave tampak tetap tenang. Mungkin karena ia terbiasa dengan minuman seperti ini.Jam di dinding telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Pak Winata semakin kehilangan kendali. Matanya sudah setengah terpejam, tangannya terkadang bergerak tanpa arah, dan bicaranya semakin tidak jelas.Bu Intan tersenyum kecil, teringat betapa lemahnya suaminya jika sudah berada dalam kondisi seperti ini. Sebuah ide melintas di benaknya—ia tahu betul bagaimana malam ini bisa berakhir.Senyumnya makin lebar.Dave, yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya bertanya. “Apa yang membuat Anda tersenyum, Bu Intan?”Bu Intan hanya menoleh sekilas, lalu kembali tersenyum tanpa menjawab.Seperti yang s
Pak Winata masih tertidur dengan lelapnya. Bu Intan masih belum merasa lengkap bila tidak merasakan rudal Dave yang mempunyai ukuran luar biasa tersebut, tapi dia juga sedikit khawatir bila ia teruskan permainannya di kamar tidurnya ini akan membuat suaminya bangun karena mendengar rintihan-rintihan dan erangan-erangannya.Bu Intan kemudian mengajak Dave untuk keluar dari kamar tidurnya. Mereka beranjak dari kamar tidur tersebut dengan setengah telanjang, tidak lupa untuk membawa pakaian mereka yang sudah terlepas.Di ruangan keluarga kembali Bu Intan mencumbu Dave dengan penuh nafsu, Bu Intan mulai mendorong Dave untuk duduk di sofa, ia pun kemudian bersujud di hadapan Dave.Dengan penuh nafsu rudal Dave yang setengah bangun mulai dikulum dan dijilatinya, Dave mulai mendesah-desah keenakan merasakan kuluman dan jilatan mulut dan lidah Bu Intan di rudalnya.Perlahan-lahan Bu Intan mulai merasakan rudal Dave bangkit dan mulai mengeras, mulut Bu Intan yang mungil tidak cukup untuk mengu
Cahaya matahari pagi merambat masuk melalui jendela besar di kamar Bu Sindy. Tirai putih yang tipis bergoyang perlahan diterpa angin sejuk. Aroma kopi yang baru diseduh menyelinap ke dalam ruangan, bercampur dengan wangi mawar dari lilin aromaterapi yang masih menyala di sudut ruangan.Jovan membuka mata perlahan, menyesap udara pagi yang begitu tenang. Di sampingnya, Bu Sindy masih terlelap, wajahnya tampak damai. Gaun tidurnya sedikit kusut, menandakan malam yang cukup intens. Jovan tersenyum kecil, mengingat semua yang terjadi semalam.Di luar kamar, terdengar suara langkah kaki. Mungkin Pak Surya yang sudah bangun lebih dulu. Tak lama, terdengar suara ketukan di pintu."Sayang, ayo bangun. Sarapan sudah siap," suara lembut Bu Sindy menggema.Jovan bangkit, merapikan rambutnya sejenak sebelum berjalan keluar. Di ruang makan, Pak Surya sudah duduk dengan santai, mengenakan pakaian kasual dengan koran di tangannya."Pagi, Jovan. Tidur nyenyak?" tanyanya dengan nada ringan.Jovan meng
Bu Sindy terpaku, tubuhnya menegang sesaat, sebelum perlahan-lahan, seiring dengan gerakan bibir Jovan yang semakin dalam, dia mulai larut dalam ciuman itu.Jovan mencium dengan penuh kendali—tidak tergesa, tidak serakah, tetapi begitu dalam dan menyesakkan. Bibirnya bergerak dengan ritme yang sempurna, memberi, lalu menuntut, membimbing Bu Sindy untuk ikut tenggelam bersamanya.Dan saat Jovan sedikit menggigit lembut bibir bawahnya sebelum kembali memperdalam ciuman, Bu Sindy melepaskan keluhan lirih yang hampir tak terdengar. Jemarinya mencengkeram lengan Jovan, seakan takut terjatuh.Jovan tersenyum di antara ciuman mereka."Tenang saja, Bu… saya akan membuat Ibu mengingat ini selamanya," gumamnya sebelum kembali mencuri napas dan membawanya lebih dalam lagi—lebih dalam dari yang pernah Bu Sindy bayangkan.Jovan menarik Bu Sindy lebih erat, bibirnya masih panas menyusuri setiap inci kelembutan wanita itu. Tangan-tangan mereka bergerak tanpa ragu, merobek jarak yang tersisa, membuat
Pak Winata masih tertidur dengan lelapnya. Bu Intan masih belum merasa lengkap bila tidak merasakan rudal Dave yang mempunyai ukuran luar biasa tersebut, tapi dia juga sedikit khawatir bila ia teruskan permainannya di kamar tidurnya ini akan membuat suaminya bangun karena mendengar rintihan-rintihan dan erangan-erangannya.Bu Intan kemudian mengajak Dave untuk keluar dari kamar tidurnya. Mereka beranjak dari kamar tidur tersebut dengan setengah telanjang, tidak lupa untuk membawa pakaian mereka yang sudah terlepas.Di ruangan keluarga kembali Bu Intan mencumbu Dave dengan penuh nafsu, Bu Intan mulai mendorong Dave untuk duduk di sofa, ia pun kemudian bersujud di hadapan Dave.Dengan penuh nafsu rudal Dave yang setengah bangun mulai dikulum dan dijilatinya, Dave mulai mendesah-desah keenakan merasakan kuluman dan jilatan mulut dan lidah Bu Intan di rudalnya.Perlahan-lahan Bu Intan mulai merasakan rudal Dave bangkit dan mulai mengeras, mulut Bu Intan yang mungil tidak cukup untuk mengu
Percakapan terus mengalir, diselingi gelak tawa ringan dan sesekali kilatan mata Dave yang mencuri pandang ke arahnya. Botol demi botol dibuka, hingga waktu terasa berlalu begitu saja. Bu Intan memperhatikan wajah suaminya yang mulai memerah. Gerakannya semakin lambat, omongannya mulai melantur.Sementara itu, Dave tampak tetap tenang. Mungkin karena ia terbiasa dengan minuman seperti ini.Jam di dinding telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Pak Winata semakin kehilangan kendali. Matanya sudah setengah terpejam, tangannya terkadang bergerak tanpa arah, dan bicaranya semakin tidak jelas.Bu Intan tersenyum kecil, teringat betapa lemahnya suaminya jika sudah berada dalam kondisi seperti ini. Sebuah ide melintas di benaknya—ia tahu betul bagaimana malam ini bisa berakhir.Senyumnya makin lebar.Dave, yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya bertanya. “Apa yang membuat Anda tersenyum, Bu Intan?”Bu Intan hanya menoleh sekilas, lalu kembali tersenyum tanpa menjawab.Seperti yang s
Bu Intan merasa ada sesuatu yang berbeda dalam hari-harinya sejak pertemuan itu. Kenangan akan Rizal terus membayangi pikirannya, menciptakan getaran aneh di hatinya yang sudah lama tak ia rasakan. Ia sering termenung, mengingat kembali bagaimana Rizal memperlakukannya—santai, nakal, tetapi tetap penuh perhatian.Setiap kali ia mendengar suara motor lewat di depan rumahnya, dadanya berdebar, berharap itu Rizal. Setiap kali notifikasi ponselnya berbunyi, hatinya melompat, hanya untuk kecewa saat mendapati pesan itu bukan darinya.Di sela-sela kesibukannya, ia berkali-kali ingin mengangkat ponselnya, mengetik pesan singkat atau bahkan sekadar menanyakan kabar Rizal. Namun, gengsi menahannya. Bagaimana mungkin ia, seorang istri pejabat yang seharusnya anggun dan berwibawa, justru dirundung rindu pada seorang pemuda kampung sok bergaya kota?Seharusnya dia memang dengan Jovan, bukan Rizal.Bu Intan menatap layar ponselnya dengan kesal. Beberapa kali ia mencoba menghubungi mantan menantuny
Setelah mengantar pulang Bu Intan, Rizal menyalakan motornya dan melaju pelan di jalanan yang mulai lengang. Udara malam masih menyisakan kehangatan pertemuan mereka, namun Rizal tahu, dunia tidak berhenti hanya di satu momen saja.Dia tidak langsung pulang ke rumah kebun. Ada kegelisahan yang masih berputar di kepalanya, sesuatu yang belum tuntas. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya dia membelokkan motornya ke sebuah warung kopi langganannya.Begitu sampai, Rizal langsung disambut oleh beberapa temannya. Salah satunya, Herman, menepuk bahunya dengan tawa kecil."Tumben malam-malam nongol. Baru dari mana, Lu?"Rizal hanya nyengir, melempar helmnya ke atas meja dan menarik kursi."Biasa, muter-muter nyari angin," jawabnya santai, padahal pikirannya masih terbayang sosok Bu Intan.Herman menyipitkan mata curiga. "Muter-muter nyari angin atau nyari lobang nganggur?" godanya.Rizal hanya terkekeh, memilih menyesap kopinya tanpa menjawab. Dia menikmati suasana warung itu—lampu remang-reman
Bibir mereka masih bertaut, lembut namun semakin dalam. Tangan Bu Intan mulai nakal menelusuri selangkangan Rizal, awalnya hanya sentuhan ringan, tapi kini seakan ada tarikan tak kasat mata yang membuat tangannya menggenggam benda keras, besar dan panjang di balik chinos. Dia enggan melepaskan.Rizal merasakan bagaimana tubuh Bu Intan perlahan melemas dalam dekapannya, memberi isyarat tanpa kata bahwa wanita itu telah tenggelam dalam gelombang perasaan yang tak lagi bisa ditahan. Kedua semakin kuat meremasi kedua payudara Bu Intan, ciuman mereka semakin liar.Bu Intan sedikit menghela napas di antara kecupan mereka, merasakan debaran dadanya yang berpacu begitu cepat. Ia bukan lagi seorang wanita muda, namun sentuhan Rizal seakan membangkitkan sisi dirinya yang selama ini terkubur oleh kamuplase dan ambisi tuntutan hidup.Rizal menurunkan ciumannya ke sepanjang garis rahang Bu Intan, meninggalkan jejak kehangatan di kulitnya yang halus. Wanita itu memejamkan mata, membiarkan dirinya l
“Selamat datang di dunia malam yang beda, Bu,” kata Rizal pelan.Bu Intan tertawa kecil. Ia tidak tahu apakah ini keputusan yang tepat atau tidak. Tapi yang jelas, mugkin malam ini akan jadi sesuatu yang tidak akan ia lupakan.Angin malam berhembus lembut, membelai wajah Bu Intan yang tersenyum tanpa sadar. Rizal mengendarai motor sport milik Jovan dengan santai, sesekali melirik ke samping, menikmati ekspresi wanita yang kini duduk di belakangnya.Sejenak, Bu Intan lupa bahwa pria yang bersamanya ini seusia anak bungsunya. Lupa bahwa seharusnya ia bukan berada di sini, tapi mungkin di rumah, menikmati teh hangat dan membaca berita tentang dunia bisnis dan politik.Tapi nyatanya, di sini, di atas motor bersama Rizal seorang pemuda kampung yang penuh pesona aura kota, Bu Intan merasa bebas."Ini yang namanya keliling kota ala anak muda, Bu," Rizal menoleh sedikit, suaranya bercampur angin malam. "Bukan cuma di dalam mobil mewah, nggak seru."Bu Intan terkekeh. "Kamu pikir aku masih ana
Di lantai tiga, suasana jauh lebih tenang. Beberapa bilik VIP dengan lampu redup memberikan kesan eksklusif. Rizal membuka salah satu pintu dan memberi isyarat agar Bu Intan masuk lebih dulu.“Silakan, Bu.”Bu Intan melangkah masuk dengan tetap menjaga jarak. Begitu Rizal menutup pintu, ia bersedekap dan menatap pria muda itu dengan tajam.“Sekarang, ayo bicara.”Rizal menyesap napas, lalu tersenyum tipis. Ia duduk dengan santai di sofa, menyilangkan kaki, seolah mengendalikan situasi.“Nah, sekarang kita bisa ngobrol lebih enak. Jadi, Bu Intan... Apa yang sebenarnya ingin Ibu ketahui?”Jari-jarinya mengetuk perlahan permukaan meja, menciptakan ritme kecil yang hanya ia sendiri yang paham.Bu Intan di seberangnya menatap dengan ekspresi menunggu. Ia tidak terbiasa membuang waktu untuk basa-basi, tapi Rizal? Dia menikmati setiap detik permainan ini.Ia menyeruput kopinya perlahan, lalu akhirnya membuka suara, nadanya dibuat rendah dan misterius. “Bos Jovan itu… beda dari kebanyakan ora