Pulang dari kerja Arga langsung masuk ke dalam kamar tapi sesaat kemudian dia keluar dengan marah-marah."Terus saja tidur, nggak usah mempedulikan aku!" Suara keras Arga membuat Lili yang duduk tak jauh dari tempatnya segera bangkit dan mendekat. Kemarahan Arga menjadi kesempatan Lili untuk mendekati sepupunya itu."Ada apa Arga? kenapa marah-marah." Suaranya dibuat selembut mungkin agar Arga terpesona. "Aku heran sama Lalita! kerjaannya tidur terus, apa dia tidak memikirkan aku yang baru pulang!" jawab Arga yang masih menunjukkan raut marahnya. Lili menyunggingkan senyuman licik dia berhasil membuat Arga memiliki asumsi buruk kepada Lalita."Entahlah Arga aku terkadang juga heran bahkan aku sudah menasehatinya untuk tidak tidur di saat kamu pulang. Tapi kelihatannya istri kamu suka sekali dengan tidur." Lili terlihat memprovokasi, menjelekkan Lalita di depan Arga. "Aku juga hamil tapi tidak seperti Lalita yang malas." Ucapnya kemudian."Iya dia sangat pemalas bahkan tidak peduli
Malam semakin larut Arga dan wanita memutuskan untuk pulang.Sesampainya di rumah, Lalita meminta Arga masuk terlebih dahulu memastikan keberadaan Lili. "Ah merepotkan sekali!" Gerutu pria itu. Sebenarnya Arga sudah muak kucing-kucingan seperti ini tapi dia tidak memiliki pilihan lain selain melakoni aktingnya sebelum kebusukan Lili terbongkar. "Ayolah Mas." Lalita memelas. "Baik Sayang," lalu keluar dari mobil. Pria itu berjalan menuju kamarnya, untung saja Lalita memintanya masuk terlebih dahulu jika tidak pasti akan kepergok Lili yang kini duduk di sofa."Apa yang kamu lakukan?" tanya Arga menatap Lili dengan tajam."Perut aku sakit Arga karena tadi aku berjalan dari depan Kompleks sampai ke rumah," Dia memasang raut wajah sesedih mungkin untuk menarik simpati Arga. Dari awal Arga yang sudah memperkirakan semuanya hanya bisa terdiam sambil menahan tawa dalam hati. 'Wanita bodoh' batinnya dengan menatap Lili. "Kenapa kamu tidak menghubungi sopir untuk menjemput?" Seolah tak t
Di dalam kamarnya Lili menangis, setelah kelelahan harus jalan dari depan Kompleks ke rumah, kini Arga kembali mempermainkannya dengan drama kopi. "Apa kurangnya aku Arga! Kenapa kamu tidak menghargai apa yang telah aku lakukan untukmu!" Wanita itu berteriak sambil membuang bantalnya. Tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan tapi ambisinya lah yang salah. Hanya demi hasrat terlarang, dia tega mencelakai sepupunya. Seandainya Lili sadar akan keadaannya serta tahu diri jika dia hanya menumpang mungkin mereka bisa berteman baik dan menjadi keluarga yang baik pula. Keesokan harinya wanita itu terlihat tak bersemangat, selain kurang tidur Lili juga kelelahan sehingga membuat tubuhnya lemah. Ketika Lili keluar kamar dia sudah melihat Arga duduk di sofa sambil meminum kopi. Dia mengira itu adalah kopi buatannya semalam tapi yang tanpa Lili tahu kopi itu baru saja dibuat oleh Lalita. "Pagi Arga," sapa Lili dengan senyum mengembangnya. "Kemarin aku masuk kamar, niatk
Siang itu Lalita keluar kamar untuk bersantai sejenak di taman, kepura-puraannya cukup melelahkan serta membosankan sehingga membuat wanita hamil itu sangat pusing. Baru saja dia memetik bunga mawar, terlihat Lili berjalan ke arahnya. "Apa yang ingin wanita jahat ini lakukan." Gumam Lalita. Raut wajahnya seketika berubah, tapi buru-buru Lalita mengubahnya kembali ke settingan senang. "Eh Lili," Dengan tersenyum dia menyapa Lili. "Hai Lalita." Balas Lili. "Kamu tampak bugar sekali." Lili berbasa-basi dengan berucap demikian. Lalita menatap Lili, 'Jelas bugar, baru saja disiram.' Batinnya yang masih menunjukkan sederet gigi putihnya. Lili turut memetik bunga mawar, dia ingin meniru apa yang Lalita lakukan. Saat bersamaan, Lalita menerima panggilan telpon dari Arga. Pria itu meminta Lalita untuk memikirkan hadiah apa yang cocok untuk Damar dan Kania. "Astaga Mas, bisa-bisanya aku lupa kalau mereka akan menikah." Wanita itu baru ingat. "Nanti aku pikirkan ha
"Baiklah Kek." Arga dan Lalita menyahut barengan. Sementara itu Lili tersenyum puas karena berhasil ikut. "Ya sudah kalau Arga dan Lalita ingin aku ikut." Ujarnya lalu dia pamit ganti pakaian. Raut muka Arga dan Lalita benar-benar berubah, sedangkan Kakek menasehati mereka agar bisa menerima Lili. "Ingat pesan Kakek ya Arga, Lalita." Lalu beliau juga pamit turun ke bawah lagi. "Kakek ada-ada saja." gerutu Arga kesal. "Ya sudah lah Mas," Lalita berusaha menghibur suaminya. Tak selang lama, Lili keluar, Arga dan Lalita bangkit lalu mereka turun ke bawah. Di mobil Arga dan Lalita duduk di bangku depan sedangkan Lili diminta duduk di bangku belakang. "Arga Lalita, aku tidak bisa duduk di belakang." Wanita itu berucap pelan. Arga yang sadari tadi kesal kini semakin kesal setelah mendengar ucapan Lili. "Apa kamu mau menyetir?" tanyanya menahan amarah. "Bukan begitu Arga, bisakah aku duduk di depan dan Lalita duduk di belakang?" Permintaan Lili membuat Arga menge
Sebelum acara selesai Arga pamit pulang karena Lalita sudah terlihat kelelahan. Sebenarnya Damar dan Kania masih menginginkan Arga untuk mengikuti acara sampai selesai. "Aku juga ingin tapi Lalita sudah kelelahan." Ujar Arga. Damar tak bisa melarang Arga karena memang perut Lalita sudah besar jadi wajar jika gampang lelah. "Baik Pak. Terima kasih atas hadiahnya." Pria itu merangkul tubuh atasannya. Begitu pula dengan Kania. "Hati-hati Lalita." Kania nampak mengkhawatirkan Lalita. Kini mereka berada di mobil, Lili nampak memberengut karena dia masih ingin di pesta Damar. Sesampainya di rumah, Arga menggendong Lalita karena istrinya mengeluh punggungnya kencang. Lili yang melihat itu tampak mengepalkan tangan, dia menggerutu menganggap jika Lalita terlalu manja. Kakek yang kebetulan keluar kamar mendengar gerutuan Lili. "Ada apa Lili? kenapa kamu menggerutu membicarakan Lalita." Tanya pria tua itu. Wanita jahat itu tersenyum licik, dia bisa menghasut kakek untu
Di sebuah kamar hotel yang mewah, pasangan pengantin baru tidur dengan saling peluk.Kelelahan karena pesta semalam membuat keduanya masih memejamkan mata meski matahari sudah merangkak naik.Suara dering ponsel membangunkan Damar dan Kania yang masih ingin lebih lama di alam mimpinya."Siapa sih Mas, subuh-subuh telpon." Gerutu Kania tanpa mau melepaskan pelukannya."Entah Sayang." Damar bangun lalu mengambil kacamatanya. Segera dia menerima panggilan telpon yang ternyata dari sang papa. Papanya bilang jika kini sudah berada di Bandara, dia harus segera kembali ke negaranya karena banyak pekerjaan. Semenjak Mama serta adik Damar meninggal dalam tragedi sebuah kecelakaan, Papa Damar memutuskan tinggal diluar negeri. Selain ada tawaran kerja yang lebih menjanjikan alasan Papa Damar tinggal diluar negeri untuk melupakan almarhumah istrinya.Usai menerima telpon, Damar mengambil minum. Ada rasa bersalah karena tidak mengantar papanya ke Bandara."Ada apa Mas?" tanya Kania. "Papa suda
Dua hari setelah menikah, Damar dan Kania terbang ke negara gingseng. Selain bulan madu Damar juga ingin mengunjungi sang papa. Kerinduan yang masih belum terpuaskan memutuskan dia dan Kania memilih negara gingseng menjadi tujuan bulan madu mereka. "Sayang kita hanya dapat cuti sepuluh hari jadi bulan madu kita hanya seminggu saja." Ujar David saat dia dan Kania mengemas barang. "Iya Mas, " sahut Kania. "Tapi ngomong-ngomong, gimana banjirnya? apa sudah surut?" Pria itu berharap jika istrinya sudah bisa diunboxing ketika di negara gingseng nanti. "Belum surut Mas." Jawab Kania sambil tertawa. Seketika Damar melemas, dia sudah tidak sabar merasakan nikmatnya malam pertama. "Ya sudah." Hanya dua kata pasrah yang mampu Damar ucapkan. ##### Menjelang siang, Lalita sudah berkutat di dapur untuk membuat bubur. Bubur ini rencananya akan diberikan ke Kakek karena pria tua itu sedang tidak enak badan. Lili yang baru turun nampak heran melihat Lalita menyajikan bubur.
"Pak Rangga kenapa anda disini?" Vina nampak terkejut, pikirannya kemana-mana. Apa dia sudah tau jika yang tidur dengannya malam itu adolah Amira? "Tentu mengunjungi calon istri aku." Rangga malas untuk berdrama lagi, dia ingin segera mengungkap semua kebenarannya. "Mas...." Amira mengkode Rangga agar bisa menahan diri tapi pria itu sudah muak pada Vina terlebih Vina telah membunuh calon bayinya. "Apa anda sudah tau semuanya?" Ucap Vina gugup. "Menurutmu!" Sahut Rangga. Wajah Vina menjadi pucat pasi, tak ada harapan lagi akhirnya dia meminta maaf. Wanita itu juga memohon pada Amira agar dimaafkan. "Aku sangat mencintai Pak Rangga Mir mangkanya aku berbohong." Vina memegang tangan Amira. Namun Amira yang sudah kecewa dan sakit hati pada sahabatnya dengan segera melepas tangan Vina. "Amira kita kan sahabat." Vina kembali berekspresi sedih berharap Amira berubah pikiran namun Amira tidak mau tertipu lagi. Mungkin jika dia hanya ingin bersama Rangga tidak masalah tapi
Sore itu sepulang dari kantor, Rangga pergi ke Villa untuk menemui Vina, dia tidak bisa mengulur waktu lagi untuk mengungkap kedok wanita jahat itu. Rencananya dia akan menjebak Vina agar mengakui semua di hadapannya dan Amira. Melihat kedatangan Rangga, Vina sangat senang. Dia langsung menyambut mantan atasannya itu. "Sore Pak Rangga." Sapanya dengan tersenyum manis. Rangga membalas senyuman Vina. meski sebenarnya hatinya enggan bersikap manis terhadap wanita yang telah membunuh calon bayinya. "Sore." Dia duduk lalu menyandarkan kepalanya dia sofa. "Vina, waktu itu di club aku tidak memakai pengaman apa kamu tidak merasakan tanda-tanda kehamilan?" Pertanyaan Rangga membuat Vina berpikir, bagaimana bisa hamil sedangkan yang tidur dengan Rangga adalah Amira. "Memangnya kenapa Pak?" tanya Vina was-was. "Tidak apa-apa, aku ingin mengumumkan pernikhaan secepatnya." Jawaban Rangga membuat Vina senang, saking bahagianya dia segera memeluk CEO itu. "Sudah lepas,
Dari rumah sakit Rangga kembali ke kontrakan Amira lagi, dia mengkonfirmasi Amira terkeit obat penggugur kandungan. Mendengar ucapan Rangga, Amira sangat shock. Bagaimana bisa vitamin menjadi obat penggugur kandungan? "Aku sungguh tidak tahu." Dengan raut wajah sedih Amira menunduk. Sementara Rangga berpikir keras, secara logika tidak mungkin ada dokter yang sengaja memberikan obat penggugur kandungan, pihak farmasi juga tidak mungkin melakukan kelalaian yang fatal jadi permasalahannya di Amira. Apakah obat itu tertukar atau gimana? "Apa ada yang kesini sebelum kamu keguguran?" Tanya Rangga dengan menatap sang wanita. Amira terperangah menatap Rangga, dia baru menyadari kedatangan Vina beberapa hari lalu. "Mas Vina datang kesini, dia menginap juga." Ucapan Amira membuat Rangga mengepalkan tangan, dia yakin Vina lah yang membunuh calon bayinya. "Beraninya dia melenyapkan calon bayiku." Ujar Rangga. Rangga bangkit, dia ingin membuat perhitungan dengan Vina, dia
Amira terus kesakitan, dia mencoba menghubungi Rangga tapi Pria itu tidak mengangkat panggilannya. Berkali-kali Amira menghubungi Rangga tapi tetap sama, Rangga tidak menerima satu pun panggilan darinya. Sakit yang semakin menusuk membuat Amira tak tahan. Saat bersamaan terdengar pintu diketuk. Sambil menahan rasa sakit, wanita itu membukakan pintu. "Andi." Kata Amira pelan. Melihat sahabatnya yang sangat pucat dan kesakitan membuat Andi khawatir, "Kamu kenapa Amira?" tanyanya panik. "Perut aku sakit." Jawabnya. Tak tahan akan sakit di perutnya, Amira lalu pingsan. Andi sempat kebingungan hingga akhirnya dia membawa Amira ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, dengan tangannya Andi membawa tubuh Amira masuk ke dalam. "Dokter Dokter! " Teriak Andi. Beberapa dokter yang mendengar teriakan segera sigap, lalu menggiring Andi ke ruang gawat darurat.Tau jika pasien mengalami keguguran, Dokter segera melakukan tindakan. "Bagaimana keadaannya Dok?" tanya Andi cem
Tatapan Lalita kini mengarah ke Amira, dia tersenyum melihat Rangga datang dengan seorang wanita. "Kekasih kamu ya Mas." Goda Lalita. Rangga tersenyum lalu mengangguk. Lalita cukup senang akhirnya Rangga sudah menemukan wanita. Masih mempertahankan senyumannya Lalita duduk di samping Amira. "Hay, aku Lalita." Dia menyodorkan tangan pada Amira. "Hay, saya Amira." Amira melakukan hal yang sama. Lalita dan Amira mengobrol, dan bersamaan dokter keluar dari ruang operasi. "Bagaimana keadaan istri saya Dok?" Damar segera bertanya. "Baik, kedua bayinya juga sehat." Ucapan Dokter membuat Damar menitikkan air mata, kini statusnya berubah menjadi seorang ayah. Rangga yang melihat teman serta rekan kerjanya bahagia pun turut bahagia, dia dapat merasakan kebahagian Damar. "Selamat atas kelahiran anak kamu." Ujarnya dengan senyuman hangatnya. "Terima kasih Pak Rangga." Pria itu memeluk Rangga. Tak selang lama, dua orang suster keluar membawa dua bayi mungil,
Mual dan muntah semakin parah, hingga Amira ijin tidak masuk karena lemas. "Apa yang kamu perlukan Amira? akan aku belikan." Vina menunjukkan wajah khawatirnya. Bukan khawatir karena sahabatnya sakit tapi dia khawatir jikalau Amira hamil. "Tidak perlu Vin, terima kasih." Ujar Amira. Karena harus kembali ke villa, Vina pun pamit dan sebelum pergi dia bilang jika akan datang lagi. Amira mengangguk, meski dia sedikit heran dengan sikap Vina yang tiba-tiba berubah jadi perhatian. Tak ingin ambil pusing, Amira mengabaikan kecurigaannya.Di sisi lain, Rangga yang mendengar kabar jika Amira sakit jadi panik, dia segera pergi ke kontrakan Amira untuk menjenguk kekasihnya itu. "Pak Rangga." Kedua bola mata Amira membulat melihat kedatangan sang pria. "Masih saya panggil Pak." Rangga menjentikkan jarinya pelan dia dahi sang wanita. Amira menggosok dahinya dengan tangan, meski jentikn tangga Rangga tidak sakit tapi dia sedikit lebay di hadapan CEO itu. "Iya Mas." Ujarnya. Ingat akan
"Sa-saya.... " Belum sempat melanjutkan kata-katanya Rangga sudah menjatuhkan bibirnya, hal ini membuat Amira terkejut lalu mendorong tubuh Rangga. "Pak, jangan seperti ini." Katanya dengan marah. "Kamu telah membohongi aku Amira." Rangga menatap sendu Amira. Melihat tatapan Rangga, Amira nampak iba. Dia tahu dia berbohong tapi mereka tidak ada hubungan apa-apa. "Dimana letak salahnya Pak, kita juga tidak ada hubungan apa-apa." Ujar Amira. Pria itu mematung, memang benar mereka tidak ada hubungan apa-apa tapi apa yang telah dia lakukan seharusnya Amira paham jika itu adalah bentuk dari rasa cintanya. "Meskipun tidak diungkap, seharusnya kamu bisa merasakan gelagatku Amira," ungkap Rangga. "Iya Pak," cicit Amira pelan. Untuk mengikat Amira, akhirnya Rangga mengungkap perasaannya, dia juga mengajak wanita itu untuk melanjutkan ke tahap yang serius mengingat ucapannya dulu jika dia akan bertanggung jawab. #### Hari ini semua bagian desain sangat sibuk, terlebih Moni
"Hubungi Amira suruh datang ke pameran." Titah Rangga. "Tapi kita masih disini Pak." Gilang mencoba protes. Rangga hanya melempar tatapannya. Tak ingin membantah asisten itu menuruti kemauan sang CEO. Niat awalnya, Rangga ingin datang ke Villa untuk mengambil sesuatu tapi setelah melihat Amira dan Andi, pria itu meminta Gilang putar balik dan kembali. Sementara itu, Amira tidak membuka pesan yang Gilang kirim dia juga tidak menerima panggilan dari asisten CEO-nya itu. Setelah susah payah mencari akhirnya Amira dan Andi, berhasil menemukan alamat Vina. "Pantas nggak ketemu," kata andi. Amira segera memencet bel lalu seorang satpam membukakan pagar. Setelah memberi tahu tujuannya, satpam meminta mereka masuk. Di depan rumah, Andi dan Amira menunggu Vina. Tak selang lama Vina keluar. "Kalian!" Mata Vina terbelalak melihat kedua sahabatnya datang. Dengan wajah gugup dia mendekat. "Bagaimana bisa kalian mendapatkan alamat Villa ini?" tanya Vina dengan menatap A
"Masih di atas tempat tidur, Rangga dan Amira berbincang tentang langkah selanjutnya, apa langsung meminta Vina mengaku? atau membuat permainan dan mengikuti alur Vina? " Bagaimana menurut kamu Amira?" tanya Rangga. "Kita lihat saja rencana Vina Pak Rangga setelah Anda tidak bisa menikahinya, tapi anda jangan bilang kalau saya sudah mengakui semua." Pinta Amira. Rangga mengangguk, jika itu yang Amira minta. Kalau sebenarnya dari dia pribadi ingin langsung mengusir Vina. Keesokannya, sepulang dari kerja Andi menemui Amira kembali bahkan kali ini Andi ikut Amira pulang. Di kontrakan, mereka berbincang kembali tentang Vina. "Andi apa Vina pernah dendam atau sakit hati padaku?" Dengan wajah nanar Amira menatap Andi yang duduk di sebelahnya. "Dendam gimana maksud kamu?" tanya Andi. "Barangkali aku pernah menyakitinya sehingga dia pergi dan seolah tidak menganggap aku temannya padahal selama ini kita selalu bersama." Jawab Amira. Andi menggeleng, dia tidak tahu. Selama