Hasrat bercinta begitu menggebu, membuat pria itu tak tahan. Melihat Vina yang memakai pakaian dinas membuat pria itu tak kuasa, ingin rasanya segera melampiaskan hasratnya tapi entah mengapa ada keraguan yang timbul. Dengan buru-buru pria itu keluar tempat tinggal Vina, dia segera pulang untuk meredam hasratnya. Namun ketika baru sampai di runah Amira justru menghubunginya, wanita itu mengatakan ada sedikit kendala jadi Rangga harus mengecek langsung. Tak mungkin lagi datang ke kontrakan Amira, Rangga meminta Amira yang datang ke rumahnya. Awalnya Amira menolak karena tidak sopan datang ke rumah pria malam-malam tapi Rangga mengatakan tidak apa-apa. Akhirnya demi pekerjaan Amira bersedia datang. Beberapa menit kemudian, Amira datang dengan membawa laptop miliknya. Dia diantar pelayan menuju kamar pribadi milik Tuan Muda mereka. "Silahkan masuk Nona." Pelayan nampak menunduk meminta Amira untuk masuk. Perlahan Amira melangkahkan kaki untuk masuk, desain kamar yang sangat i
Semenjak kejadian itu Amira mulai menjaga jarak dengan Rangga, biasanya dia akan terbuai apabila dekat dengan sang CEO namun kali ini dia benar-benar menahan diri. Hal ini membuat Rangga sangat frustasi, di sisi lain Vina menggunakan kelemahannya untuk mendesak sementara rasanya untuk Amira semakin kuat. Beberapa penyelidikan juga tidak membuahkan hasil, tidak ada rekaman CCTV sama sekali di club yang bisa membuktikan siapa yang dia paksa waktu itu. "Gilang panggilkan Amira, dia harus ikut aku ke Winata Grup." Titah Rangga. Sebenarnya Monica lah yang dia tunjuk sebelumnya tapi tiba-tiba dia berubah pikiran. Amira semakin kesal dengan sikap Rangga, jelas ini bukan tugasnya tapi entah mengapa dialihkan ke dia. Di dalam mobil Amira terus saja diam, dia yang patah hati dan kesal dengan Rangga tidak ingin bicara apapun diluar urusan kerjaan. Setibanya di Winata Group, Rangga mengajak Amira pergi ke ruangan CEO. "Rangga!" Arga yang sibuk dengan kerjaannya nampak terkejut dengan k
"Pak Arga?"Lalita yang saat itu sedang memiliki janji bertemu pria yang akan dijodohkan dengannya nampak terkejut setelah tau apabila pasangan kencan butanya adalah CEO-nya sendiri."Kamu mengenalku?" Sang CEO bertanya heran.Wanita itu mengangguk, jelas dia mengenalnya. Arga Rahardi Winata adalah CEO di tempat dia bekerja."S-saya … OB di perusahaan Pak Arga,” jawabnya ragu.Tatapan pria itu semakin sinis dan dingin setelah tau wanita yang akan sang Kakek jodohkan dengannya adalah OB-nya sendiri.Suasana terlihat begitu canggung, Lalita semakin tak nyaman dengan sikap Arga yang tidak bersahabat.“Kamu menerima perjodohan ini karena harta kakek, kan?” Tatapan pria itu masih sinis, terlihat ada rasa benci akan wanita yang telah dijodohkan dengannya.Terkejut sebelumnya belum hilang kini dia harus kembali terkejut dengan kalimat CEO-nya itu.“Maaf, Pak … kelihatannya Anda salah paham terhadap saya.”Pria itu mendengus, sinis. “Bila bukan harta, apalagi yang wanita seperti kamu inginkan
“Selamat pagi, Pak!” Sapaan-sapaan yang terdengar kompak itu membuat Lalita yang sedang fokus membersihkan lantai lobi menghentikan pekerjaannya. Dia yang menggunakan seragam merah–seragam OB lantas memutar tubuh dan menemui rupanya … sang CEO telah datang. Melihat para satpam dan karyawan lain bersikap hormat, Lalita pun tidak mau kalah. Dia, dengan kain pel di tangan menunduk, hormat. “Selamat pagi, Pak Arga….” ujar Lalita pelan, kemudian kembali mengangkat pandangan. Di sanalah, pandangan mereka bertemu. Duk! Entah terkejut atau bagaimana, kaki Arga menabrak ember berisi air pel milik Lalita. Hal itu membuat air kotor di ember tersebut mencuat, dan bahkan beberapa cipratannya mengotori celana dan sepatu mengilap miliknya.Jantung Lalita serasa mau copot. Dia pun buru-buru berujar, meski gagap, “M-maafkan saya, Pak. S-saya akan bersihkan–” Lalita sudah bersiap untuk mengelap sepatu Arga yang terkena cipratan air, tetapi ketika dia berjongkok, Arga lebih dulu menghindar. Sel
“Kita sepakat saling menerima. Jadi, jangan pernah tunjukkan wajah sedihmu di hadapan mereka.”Bisikan bernada memaksa dari Arga membuat Lalita terkejut dan buru-buru menormalkan ekspresinya. Sejak pagi tadi, Lalita mendadak bersedih. Sebab, setelah janji suci nanti, hidupnya akan tergadai oleh Arga.Seminggu usai Lalita menandatangani kontrak perjanjian, pernikahan pun digelar. Rumah Arga dipilih jadi tempat akad, demi kerahasiaan yang lebih terjaga. Konsep pernikahan sederhana tanpa undangan benar-benar terasa. Nampak berbeda dengan pernikahan pada umumnya, yang terlihat di sini hanyalah kedua mempelai. Lalita cantik dengan balutan kebaya warna putih, sedangkan Arga terlihat sangat tampan dengan balutan jas dengan warna yang senada. “Iya, saya paham.” Dia berbisik, dengan lirikan mata tajam ke arah pria yang akan menyandang status sebagai suaminya. “Jika paham, tersenyumlah!” Titahnya dengan penuh penekanan. Arga dan Lalita berjalan menuju tempat akad mereka, keduanya kini tam
"Ingat Lalita jangan melakukan kesalahan sekecil apapun atau nasib kamu seperti OB sebelumnya." Wanita yang umurnya tak jauh darinya itu berusaha menasehatinya, mengingat banyak OB yang dipecat karena kesalahan remeh. "Baik Bu." Lalita menghela nafas dalam-dalam, dia sudah pasrah akan nasibnya. Suaminya benar-benar ingin menyulitkannya, tidak di rumah tidak di kantor semua kebebasannya akan direnggut. Dengan langkah lemas, Lalita pergi ke ruang CEO, tak lupa dengan peralatan kerjanya. Sesampainya di depan ruang CEO, dia berdiri sejenak memutar mata menelusuri isi ruang itu. "Di mana dia?" gumamnya pelan, ketika mendapati ruangan itu masih kosong. Seharusnya, Arga sudah sampai lebih dulu. Namun, belum ada tanda-tanda keberadaannya di sini, sekarang. Tak ingin membuang waktu lagi, dia segera masuk dan mulai bersih-bersih. Sebenarnya ruangan CEO tidaklah kotor mengingat ruang itu sangat tertutup, ditambah AC yang terus menyala. Dapat dipastikan tidak ada debu. Namun entah m
Pagi ini Lalita seperti setrika yang mondar-mandir menyiapkan keperluan Arga hingga dia kelelahan. Semua ini karena dia bangun kesiangan. Usai menyajikan makanan, wanita malang ini harus kembali ke lantai atas untuk bersiap berangkat kerja. Baru saja membuka pintu, suara dingin suaminya menyerang, "Waktumu sepuluh menit untuk bersiap." "Baik Pak." Dengan langkah cepat menuju kamar mandi. Pas sekali dalam waktu sepuluh menit, Lalita turun. Dia begitu tergesa-gesa takut suaminya marah karena lama menunggu. Di ruang makan, semua berubah. Senyum manis Arga menyambutnya. "Ayo sarapan, Kakek sudah menunggu." Lalita menghela nafas dalam-dalam, Arga pandai sekali berakting. Tanpa kata, wanita itu menarik kursi di samping suaminya. "Selamat Pagi Kakek, maaf sudah menunggu." Meski lelah fisik dan hati, Lalita berusaha tersenyum manis menyapa pria tua itu. "Selamat pagi juga Lalita." Sang Kakek melemparkan senyuman manisnya pula. Sebagai seorang istri yang baik, Lalita mengambilkan m
“Sudah sampai, ayo turun.” Pria itu berujar lembut dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya.Wanita di sampingnya segera mengangguk, Namun sebelum turun, dia tak lupa menghapus sisa-sisa air mata yang masih menempel di pelupuk matanya.Keduanya kini berjalan menuju pintu rumah kemudian mengetuknya.Lama menunggu, akhirnya pelayan yang dipekerjakan oleh Arga untuk menjaga mertuanya membukakan pintu.“Ibu mana?” Tanyanya khawatir.Tak sabar menunggu jawaban pelayan, Lalita menerobos masuk ke dalam rumah, dia segera pergi menuju kamar sang ibunda.Arga turut menyusul di belakang sang istri.Melihat ibundanya yang terbaring di tempat tidur Lalita berjalan mendekat. “Ibu….” Dirinya begitu sedih, benar-benar takut terjadi apa-apa dengan ibunya.Ibunya yang hanya pusing dan kurang enak badan menjelaskan kepada anaknya, beliau juga melarang Lalita untuk bersedih karena kesehatannya baik-baik saja.Arga melangkahkan kaki mendekat, dia segera menjatuhkan tangannya di bahu sang istri. “Jangan
Semenjak kejadian itu Amira mulai menjaga jarak dengan Rangga, biasanya dia akan terbuai apabila dekat dengan sang CEO namun kali ini dia benar-benar menahan diri. Hal ini membuat Rangga sangat frustasi, di sisi lain Vina menggunakan kelemahannya untuk mendesak sementara rasanya untuk Amira semakin kuat. Beberapa penyelidikan juga tidak membuahkan hasil, tidak ada rekaman CCTV sama sekali di club yang bisa membuktikan siapa yang dia paksa waktu itu. "Gilang panggilkan Amira, dia harus ikut aku ke Winata Grup." Titah Rangga. Sebenarnya Monica lah yang dia tunjuk sebelumnya tapi tiba-tiba dia berubah pikiran. Amira semakin kesal dengan sikap Rangga, jelas ini bukan tugasnya tapi entah mengapa dialihkan ke dia. Di dalam mobil Amira terus saja diam, dia yang patah hati dan kesal dengan Rangga tidak ingin bicara apapun diluar urusan kerjaan. Setibanya di Winata Group, Rangga mengajak Amira pergi ke ruangan CEO. "Rangga!" Arga yang sibuk dengan kerjaannya nampak terkejut dengan k
Hasrat bercinta begitu menggebu, membuat pria itu tak tahan. Melihat Vina yang memakai pakaian dinas membuat pria itu tak kuasa, ingin rasanya segera melampiaskan hasratnya tapi entah mengapa ada keraguan yang timbul. Dengan buru-buru pria itu keluar tempat tinggal Vina, dia segera pulang untuk meredam hasratnya. Namun ketika baru sampai di runah Amira justru menghubunginya, wanita itu mengatakan ada sedikit kendala jadi Rangga harus mengecek langsung. Tak mungkin lagi datang ke kontrakan Amira, Rangga meminta Amira yang datang ke rumahnya. Awalnya Amira menolak karena tidak sopan datang ke rumah pria malam-malam tapi Rangga mengatakan tidak apa-apa. Akhirnya demi pekerjaan Amira bersedia datang. Beberapa menit kemudian, Amira datang dengan membawa laptop miliknya. Dia diantar pelayan menuju kamar pribadi milik Tuan Muda mereka. "Silahkan masuk Nona." Pelayan nampak menunduk meminta Amira untuk masuk. Perlahan Amira melangkahkan kaki untuk masuk, desain kamar yang sangat i
"A-aku...." Amira bingung mau menjawab apa, karena tidak mungkin dia mengatakan alasannya datang ke ruangan Rangga. Karena tak mendapatkan jawaban dari Amira, Monica segera memecat Amira.Hal ini tentu membuat wanita itu terkejut, dia tahu masuk ruangan CEO adalah sebuah kesalahan tapi minimal surat peringatan dulu yang dia dapat bukannya pemutusan kerja sepihak seperti ini. "Tapi saya tidak melakukan kesalahan apapun." Amira protes akan keputusan Monica. Di sisi lain, Rangga yang baru datang terkejut mendapati hadiah pemberiannya dikembalikan oleh Amira. Segera Rangga pergi menemui Amira untuk bertanya alasannya, namun setibanya di meja kerja Amira dia kembali terkejut, pasalnya dia melihat bawahannya itu sedang berkemas. "Kamu mau kemana?" tanya Rangga heran. "Pergi dari sini Pak, karna saya sudah dipecat." Jawab Amira. Rangga menatap semua pegawai disana, kini tatapannya tertuju kepada Monica yang sudah menunduk setelah dia datang. "Apa kamu yang memecatnya?" tanya Rangga.
Kedekatannya dengan Amira membuat Rangga tak kuasa, setiap saat setiap waktu bayangan wanita itu menghantuinya bahkan kini perlahan menyingkirkan Lalita di hatinya, apa ini artinya dia telah jatuh cinta pada pegawai magangnya itu? Pagi itu Rangga memanggil Amira untuk menghadap, sebenarnya tidak ada urusan yang mengharuskan bawahannya itu menghadap hanya saja ada rasa rindu yang tidak bisa Rangga tahan. "Ada urusan apa Pak? apa saya harus mendesain lagi?" tanya Amira yang kini telah berada di hadapannya. Rangga menatap wanita itu dengan senyuman tapi sesaat kemudian rasa bingung mulai datang, dia tak tau harus menjawab apa. Pria itu masih bergeming hingga suara Amira kembali mencuat. "Pak." Kini Amira yang menatap Rangga dengan tatapan bingung. "Iya." Sahutnya. Untung saja laptopnya kini membuka file desain sebelumnya sehingga Rangga berpura-pura meminta Amira membenahi apa yang ada di dalam file tersebut. CEO itu mengajak Amira untuk pindah ke sofa agar dia bisa melihat
Amira segera mendorong tubuh Rangga, dia buru-buru berdiri karena dilihat Gilang dan beberapa teknisi. Melihat aksinya diketahui Rangga hanya bisa tersenyum lalu keluar. "Aku sudah keluar, kenapa kalian masih saja berdiri disini." Ujarnya. Dia mengkode Amira untuk segera pergi karena waktu jam makan siang sudah kepotong cukup lama di lift tadi. Gilang dan beberapa teknisi hanya bisa menggeleng sambil melihat punggung pimpinan Siputra Group menjauh. "Aneh." Di dalam mobil, Amira terus saja diam. Dia sungguh malu pada Gilang dan terknisi tersebut, entah mau ditaruh mana wajahnya apabila bertemu dengan mereka semua. "Kenapa kamu hanya diam saja, kamu jadi traktir aku dimana?" Pertanyaan Rangga membuat Amira tersentak. Dia mengamati jalan tapi arah jalan yang Rangga tuju bukan jalan menuju depot masakan padang yang dia maksud. "Pak kita salah jalan." Meskipun salah jalan tapi hal itu tak membuat Rangga kesal justru dia merasa senang karena bisa lebih lama. Setibanya di tempat ma
Pagi itu Rangga tersentak, dia sungguh terkejut karena hari sudah pagi. "Astaga aku malah tertidur disini." Gumam Rangga. Pria itu pun bangkit dan saat bersamaan Amira keluar dari kamarnya. "Pak Rangga sudah bangun?" Amira menunjukkan senyum manisnya. "Iya, maaf aku malah tidur disini." Sahut Rangga. "Tidak apa-apa Pak, semalam anda tidur sangat lelap jadi saya tidak berani membangunkan." Wanita itu berbicara sambil menyiapkan desainnya semalam. Rangga yang melihat hasil kerja Amira sangat puas karena sama seperti yang rusak kemarin. "Perfect." Satu kata pujian untuk bawahannya. Ada CEO menginap di rumahnya tentu Amira ingin melayani atasannya itu dengan baik. Sebelum berangkat kerja Amira memasak dulu untuk Rangga. Menu simpel pilihannya adalah nasi goreng. "Tidak perlu repot-repot aku sarapan di rumah saja." Rangga meminta Amira untuk tidak repot. Namun agaknya wanita itu lebih memilih repot daripada membiarkan Rangga pergi dari rumahnya dalam keadaan perut kosong. "Nas
"Meskipun pegawai magang tapi tak seharusnya kamu memperlakukannya semena-mena Monica." Suara dari belakang mengejutkan Monica, Amira yang tau jika pemilik suara itu Rangga pun segera menunduk. Sementara Monica perlahan membalikkan badan. P-pak Rangga." Dia terbata. Rangga menatap bawahannya itu dengan tatapan kecewa, ternyata di perusahaannya ada atasan yang menindas bawahan. "Jelaskan padaku apa maksud kamu melempar pekerjaan ke Amira?" CEO itu meminta penjelasan kepada Monica. Tak tau harus menjelaskan apa, Monica hanya menunduk. Dia meminta maaf atas sikapnya. "Orang yang kamu tindas adalah Amira jadi minta maaflah pada Amira." Ujar Rangga. Monica memelotot, harga dirinya cukup tinggi untuk meminta maaf pada Amira yang notabennya hanya seorang pegawai magang. "Tapi Pak... " Dia nampak protes. Rangga melempar tatapan tajamnya, yang sontak membuat Monica takut. Tak ingin membuat Rangga marah, Monica akhirnya setuju meminta maaf. "Maafkan aku Amira.
Pagi itu Amira datang menghadap dengan membawa desainnya. Dia mempreseantasikan kepada Rangga detail desainnya itu. Pria itu puas akan kerja keras Amira, inilah desain yang dia cari. "Desain kamu sangat bagus Amira." Puja-puji keluar dari mulut Rangga, sehingga membuat Amira tersipu malu. Sebagai bentuk apresiasi akan kerja keras Amira, Rangga mengajak pegawai magang itu untuk makan siang bersama. "Jangan lupa nanti makan siang bersamaku." Titah pria itu. "Baik Pak." Sahut Amira lalu pamit. Di ambang pintu ada Monica yang juga ingin menghadap, dia juga membawa desain yang akan dia tunjukkan kepada Rangga. Mendengar Rangga ingin mengajak Amira makan siang membuat Monica kesal, bagaimana bisa seorang pegawai magang mendapatkan keistimewaan seperti itu sementara dia yang merupakan senior belum pernah sekalipun diajak makan siang oleh orang nomor satu siputra Group itu. Jam makan siang telah tiba, Amira sudah bersiap untuk pergi makan siang, dia menunggu sang CEO di park
Buru-buru Amira melepaskan diri, dia segera menunduk, "Maafkan saya Pak." "Tidak apa-apa." Sahut Rangga. Amira segera pamit pergi sementara Rangga terus menatap punggung wanita itu. "Apa dia yang kupaksa malam itu?" Tak ingin terus memikirkan Amira, Rangga kembali ke ruangannya.Di atas mejanya sudah banyak berkas yang menumpuk, padahal ketika dia pergi tadi mejanya sudah kosong. "Apa lagi ini." Gumamnya yang merasa malas mengerjakan berkas-berkas tersebut. Tak selang lama, Gilang datang melapor. Dia menunjukkan salah satu desain yang perusahaan perlukan. "Bagus sekali siapa yang mendesain?" tanya Rangga sambil menelisik desain yang diberikan oleh Gilang. "Amira salah satu pegawai magang." Jawab Gilang. Rangga mengerutkan alisnya, "Apa dia yang tadi menghadap?" Kini tatapannya beralih ke Gilang. Asisten itu mengangguk, dia kembali menunjukkan desain Amira yang lain. CEO tampan nan hangat itu mengukir senyuman, "Dia lagi." Sungguh Rangga tak menyangka, jika seorang