"Mungkin cuma kamu yang bisa lihat ya, Ayu. Kami gak ada tuh lihat makhkuk itu. Lagipula, Murni sudah jelaskan bagaimana dia dapatkan uang yang banyak. Dan penjelasannnya masuk akal kok! Mungkin, kamu aja kali yang iri sama dia, jadinya ngarang-ngarang cerita deh!" jawab mereka.Sekali lagi aku tak menyangka, mereka akan membelaku di hadapan Ayu—si biang gosip. Dan otomatis, Ayu semakin merasa kesal. Matanya mendelik sinis padaku begitu Ibu-Ibu itu sudah pergi.Sejak warungku berkembang, Ayu jadi terang-terangan menunjukkan rasa irinya. Dia bahkan sudah tak punya rasa malu lagi."Ada perlu apa Mbak Ayu, masih di depan warung saya? Mau beli apa?" tanyaku, menyindirnya karena dia tak kunjung pergi."Saya mau nutup warungmu!" jawabnya sinis.
"Memangnya, kamu punya berapa?" lanjut Mang Supri."Cuma tujuh puluh juta, Mang.""Gampang, itu. Tujuh bulan lagi juga kamu sudah bisa lunasi, jualanmu laris kan. Ambil saja dulu, sisanya bisa cicil tiap bulan. Bukannya aku maksa, tapi memang aku berharap rumah itu dibeli olehmu walaupun sebenarnya sudah banyak yang menawar. Tapi aku ini ingat kebaikan orangtuamu dulu, mengizinkan istriku numpang jualan depan warung mereka. Itulah sebabnya, kuperjuangkan rumah ini agar bisa dibeli olehmu, bahkan aku sudah kurangi harganya dan beri keringanan."Jika kuhitung, kurang tiga puluh juta memang bisa kulunasi dalam jangka waktu paling lama tujuh bulan, itu pun kalau jualanku lancar rata-rata dapat untung bersih lima juta per bulan.Tapi, yang namanya jualan kadang tak menentu. Bagaimana
"Mbak Mur, warungnya tutup ya?"Suara pembeli mengagetkanku yang tengah melamun. Aku terperanjat dan menoleh, sepertinya dia dari luar kampung ini karena aku tak mengenalnya."Enggak, kok. Warung tetap buka, saya habis ada keperluan jadi tadi tutup sebentar. Ini sekarang mau buka lagi. Mau beli apa, Bu?" tanyaku.Dia memakai seragam dinas, jadi kupanggil 'Ibu'."Kalau begitu, mari duduk sini," lanjutku mengajaknya duduk di kursi teras.Aku membuka warung kemudian menghampiri Ibu itu lagi duduk di sampingnya."Kenalkan, nama saya Risma. Saya guru SD Sindang. Lusa, ada rapat guru-guru se-kabupaten di Gedung Persatuan Guru. Saya baca di marketplace FB, Mbak Mur juga menerima pesanan catering ya?" tany
Mas Dasep geleng-geleng kepala mendengar apa yang Ibu katakan. Dia segera meraih amplop di tangan Ibu."Kalau Ibu keberatan, sini kembalikan," kata suamiku.Ibu menepis tangan Mas Dasep. "Kamu gak sopan ya, apalagi sejak usaha istrimu maju dan sudah bisa beli ini beli itu. Kamu jadi lupakan Ibu dan lebih perhatian sama istrimu. Kenapa? Karena dia bisa memberimu uang, hah?" cetus Ibu.Ibu Mertua masih saja cemburu padaku. Sudah jelas aku ini istrinya Mas Dasep, tentu saja perlakuan Mas Dasep akan berbeda. Jika padaku dia sayang, maka pada Ibu dia hormat. Tapi, entahlah ... Ibu selalu menyalahartikan sikap suamiku."Ibu masih saja seperti itu," balas Mas Dasep.Kemudian, Ibu melihatku dengan mata malasnya. "Ibu bukannya tak mau menerima pemberian darim
Bibi semakin mendekatkan dirinya padaku dan berbisik."Ternyata, Bu RT sudah menawar rumah itu lebih dulu, Mur. Katanya, 'Awas Aja' kalau kamu sampai beli rumah itu!""Tapi kan aku sama sekali tak menawar rumah itu, Bi. Mang Supri yang datang padaku dan memintaku untuk membeli rumahnya," jawabku sambil berbisik pula.Hatiku dipenuhi rasa cemas. Mungkinkah Bu RT mengancamku. Kata orangtua, kalau dapat ancaman seperti itu berarti orang itu tidak main-main."Bagaimana dong, Bi?" lanjutku"Menurut pengalamanku, kalau orang sudah bicara seperti itu, artinya dia serius. Bisa-bisa kamu didukunkan.""Bibi jangan nakut-nakutin dong.""Mur, ini bukan nakut
"Gak senang kenapa lagi, Bu? Soal si Mila itu biar dia tahu rasa akibat ulahnya sendiri!" kata Bapak.Sejak memergoki pertengkaran Mas Dasep dan Ibu Mertua di puskesmas kemarin, Bapak jadi mempercayai omongan Mas Dasep tentang kelakuan Mila selama ini. Dan sekarang, Bapak masih tak mau bertegur sapa dengan Mila karena merasa telah dibohongi dan dikecewakan."Kok, Bapak lebih membela Murni daripada Mila, anak kita sendiri?" balas Ibu.Mereka berdua berdebat, dan kami hanya bisa mendengarkan dengan perasaan tak nyaman."Ekhm."Bibi berdehem untuk memecah suasana. Sebagai pengganti orangtuaku, Bibi merasa harus melindungiku.Kami masih duduk berkumpul dalam satu karpet yang sama, dengan berbagai macam makan
Mataku tak sengaja tertuju pada Bibi yang mulai emosi. Dia menurunkan risoles yang dipegangnya dan tak jadi memakannya, lalu berkata pada Ibu Mertua."Maaf ya, saya terpaksa harus ikut campur di sini. Karena memerhatikan sikap Ibu pada Murni, saya jadi berpikir kalian lebih baik memang tinggal pisah rumah saja. Kalau serumah, nanti akan sering cekcok. Gak akan sehat untuk rumah tangga Dasep dan juga Murni," kata Bibi.Bapak Mertua melerai Bibi dan Ibu yang kini bersitegang.Jujur, hatiku lelah. Selalu dinilai salah oleh Ibu Mertua. Meski kutahu memang wataknya seperti itu, tapi tak dapat kubohongi kenyataan bahwa hatiku sudah sangat lelah menghadapi ibu mertuaku sendiri.Sementara itu, Mas Dasep berpindah duduk ke sampingku, menenangkanku yang mulai meneteskan air mata.
"Mur, kamu belum berangkat ke Balai Desa?"Tiba-tiba saja Bi Siti mengagetkanku yang sedang syok dengan status WA Mila.Bi Siti berdiri di depan warungku dengan memakai dandanan rapi dan juga menenteng tas."Ada apa ke Balai Desa, Bi?" tanyaku."Lho, memangnya kamu gak dapat undangan?"Aku mengernyit dan menggelengkan kepala sebagai jawaban."Undangan untuk para pelaku usaha kecil, hari ini dipersilakan datang ke Balai Desa untuk menerima bantuan modal dari pemerintah setempat. Kemarin Pak RT nyebar undangan kok, semua warga di sini yang punya usaha diundang, mau yang usahanya kecil sampai yang sudah maju pun dapat bantuan. Aku juga dapet," jelas Bi Siti.
“Enggak, Mas Dasep, Ayu gak sedang pura-pura. Sepertinya dia beneran gak waras!” kata Pak RT dengan nada dan ekspresi terkejut. “Lihat saja!”Pak RT menunjuk wajah Ayu, tatapan biang onar itu memang benar-benar kosong, tak terlihat seperti akting.Mas Dasep mendekat, diikuti semua warga mendekati Ayu yang masih tertawa cekikan tak jelas. Kurasa benar, Ayu tidak sedang berpura-pura.“Aduh, bagaimana ini? Sekarang tersangkanya malah tidak bisa ditanyai,” kata Bapak Mertua seakan bicara pada dirinya sendiri.Bapak dan Pak RT membangunkan Ayu hingga sekarang posisi Ayu berdiri, namun nampaknya Ayu lemas dia hampir terjatuh meskipun beberapa kali Bapak Mertua dan Pak RT membangunkannya.“Gimana nih nasib uang kita kalau tersangkanya gak waras kayak gini? Boro-boro minta ganti rugi, diajak ngobrol aja gak nyambung!” kata warga.“Sudahlah, kita berhenti bicara soal uang dulu. Yang terpenting sekarang bagaimana kita menenangkan Ayu!” jawab Bapak Mertua. “Lihat, dia terus berontak sambil teria
Kulihat Mas Dasep keluar dari arah dapur produksi dan berlari ke arah kerumunan. Refleks kakiku melangkah ke luar warung, mengejar Mas Dasep.“Ada apa ini, Mur? Kok pada bawa golok segala itu?” Rupanya, saking terlalu fokus di dapur produksi, Mas Dasep baru ‘ngeuh’ kalau Ayu sudah tertangkap.“Itu Ayu yang dibonceng Pak RT, Mas! Warga mau menghakiminya!” jawabku tak kalah panik. “Cepat hentikan mereka, Mas!”“Astaghfirulloh!”Mas Dasep langsung menerobos kerumunan hingga kini dia berada diantata Ayu dan Pak RT, menengahi pertikaian mereka dan warga.Satu orang maju mengacungkan tinju pada Ayu dan hendak saja memukulnya, namun ditahan oleh Mas Dasep. Tak berhenti sampai di situ, warga yang lain pun melakukan aksi serupa dan membuat Mas Dasep semakin kewalahan menghadapi mereka, bahkan kulihat Mas Dasep tak sanggup lagi menahan gejolak amarah warga.Tak lama kemudian, aku kesulitan menyaksikan lagi apa yang terjadi di kerumunan sana, karena warga yang berdesakkan dan tak mau diam mengha
"Minta tolong apa, Mbak?""Selama ini saya menghilang karena saya kabur-kaburan, saya dikejar-kejar pihak kepolisian, karena disangka telah membantu menyembunyikan Ayu. Padahal, selama ini saya sendiri tidak tahu kalau Ayu adalah buronan. Saya mengenalnya karena waktu itu tak sengaja bertemu di minimarket, dia minta tolong dicarikan rumah kontrakan dan akhirnya saya bantu. Saya juga lumayan sering mengunjunginya untuk memberinya sedikit makanan, karena kasihan dia mengaku diusir dari kampungnya dan hanya membawa pakaian yang menempel di badan. Saya juga bayarkan rumah kontrakannya yang di belakang minimarket itu," jelas Mbak Widi di telepon dengan panjang lebar."Kalau begitu, Mbak Widi gak perlu merasa takut. Jangan kabur lagi, kalau ditanyai polisi tinggal jelaskan saja seperti yang tadi Mbak jelaskan ke saya. Lagipula, polisi minta keterangan Mbak sebagai saksi, bukan sebagai tersangka," kataku. "Tetap saja, kalau di depan polisi saya pasti gugup. Saya sudah takut duluan, Mbak Mur
"Ya, Mas paham."Satu jawaban yang membuatku tenang. Mas Dasep kemudian membantuku mencetak adonan pentol. Kami menghabiskan waktu menjelang subuh bersama, mengobrol dan bertukar pikiran tentang kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini menimpa kampung dan keluargaku."Tapi, bagaimana mereka tahu tentang permasalahan kita dengan Pak Hendar ya, Mas?" tanyaku."Palingan juga dari Mang Sidik. Waktu ngurusin Aminah kan dia lumayan sering bolak-balik rumah kita, mungkin dia tak sengaja mendengar kita membahas Pak Hendar," jawab Mas Dasep."Bisa juga sih. Tapi apa iya Mang Sidik suka nyebar gosip? Rasanya tidak, Mas. Apa jangan-jangan Mang Kosim dan Mang Surya, yang waktu malam kemarin Pak Hendar bertamu ke sini mereka tengah ngobrol dengan Bapak dan Pak RT. Bisa jadi Mang Kosim dan Mang Surya mencuri dengar percakapan kita?""Entah. Sudahlah, tak penting siapa yang menyebar, tak penting orang-orang mau menggosipkanmu. Yang penting aku percaya padmau, iya kan?"Seulas senyum tersungging di bib
"Maaf, Bu Rosita, tolong ulangi sekali lagi perkataan Ibu barusan?" tanyaku dengan hati yang meletup karena kaget."Jangan pura-pura tak mendengar, Mbak Murni. Saya mengatakan dengan jelas, tadi," jawabnya sinis. Delikan matanya menyiratkan persaingan sengit terhadapku.Kucoba mengatur napas, untuk sedikit meredakan emosi yang mulai naik gara-gara pernyataan barusan."Bagaimana bisa Bu Rosita berpikir saya ada macam-macam dengan Pak Hendar, sementara Bu Rosita sendiri tahu saya ini sudah bersuami?" kataku."Memang, sudah bersuami. Tapi, jaman sekarang status perkawinan tidak jadi penghalamg untuk seseorang berbuat serong," balasnya."Maksudnya bicara begitu supaya apa, ya?" tanyaku, masih coba bersabar meladeninya."Supaya Mbak Murni jauh-jauh dari Pak Hendar. Saya sedang dalam proses penjajakan dengannya. Dan saya harap, Mbak Murni jangan jadi penghalang. Keluarlah dari kegiatan, jangan mau diajak jadi pemateri oleh Pak Hendar. Pokoknya, menjauh deh dari kehidupan kami!" jawabnya lan
Tak hanya Mas Dasep, aku pun mencemaskan hal yang sama. Jika Ayu bebas berkeliaran, dia akan semakin leluasa menjalankan misinya."Satu hal yang menjadi pertanyaanku, tentang ambisi Ayu untuk mengganggu kehidupanku. Kenapa dia sampai sejauh ini melakukannya padaku terus-menerus, sejak pertemuan kami yang pertama bahkan hingga saat ini? Dia bilang dendam. Ingin membuatku miskin dan ingin menghancurkan rumahtanggaku. Kenapa dia begitu benci padaku, Bu, Pak? Aku tak pernah sedikitpun menyakitinya." Aku bertanya pada kedua mertuaku yang sepertinya juga tak tahu jawabannya. Tampak Bapak dan Ibu saling melirik sekilas dengan ekspresi yang entah seperti apa, sulit kubaca. Namun, sepertinya mereka teringat sesuatu yang sudah jauh berlalu."Sudah jelas kan, awal mulanya karena saingan warung," jawab Ibu Mertua."Tapi kan semua sudah berlalu. Warung Ayu sudah lama bangkrut. Dia juga sudah pergi dari kampung ini. Tapi kenapa dendamnya masih awet? Kurasa, ada sesuatu yang lain.""Entahlah, Kak M
"Nah, itu orangnya datang, Mur. Cepat selesaikan masalahmu."Ibu Mertua yang telah mengetahui kesalahpahaman dengan Pak Hendar, lantas mengambilalih kukusan dari tanganku dan menyuruhku cepat-cepat ke ruang tamu untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi.Masih ada Pak RT dan tiga orang warga di ruang tamu, kini ditambah Pak Hendar. Aku menyapanya begitu sampai menemuinya.Mas Dasep juga tampak sudah menungguku dan langsung menyuruhku duduk di sampingnya."Tadi saya dikasihtahu tetangga, katanya Mas Dasep ke rumah cari-cari saya, ya? Tadi saya sedang ada seminar, jadi gak ada di rumah. Ada apa kiranya, Mas Dasep?" Pak Hendar mengawali pembicaraan."Begini, Pak Hendar. Sehari yang lalu, istri saya dapat paket berisi sepatu berhak tinggi, tas mahal, dan set make up lengkap dengan kuas-kuasnya. Saya kaget, kok ada yang mengirimi istri saya barang-barang seperti itu, secara istri saya ini kan orangnya tidak suka pakai-pakai begituan, seakan-akan orang yang mengirim ini ingin istri saya
"Ah, jangan iseng, Mur," keluh Mas Dasep, dia kecewa karena menganggapku berbohong."Tapi benar, Mas. Chat nya terhapus," jelasku dengan suara pelan.Lemas sudah rasanya, kecerobohanku berujung ketidakpercayaan dari suamiku. Kedua mataku mulai menghangat, rasanya lelah hati dan pikiran ini menghadapi situasi sekarang. Jika dulu aku banyak menelan fitnah dan tuduhan dari Ayu dan Bu RT tentang dukun penglaris, juga para warga yang sempat tidak percaya pada kejujuranku dalam berdagang, aku dapat menerima itu semua. Tapi, kali ini ketika Mas Dasep mempertanyakan kejujuranku, sungguh tak ada yang lebih menyakitkan daripada tak dipercayai suami sendiri.Rasanya lebih baik aku tak dipercaya orang lain ketimbang tak dipercaya suami."Kamu lagi sensitif, Dasep." Bapak Mertua menimpali."Mas kenapa seperti tak percaya padaku?" tanyaku."Sudahlah, Murni. Mas lelah, ingin istirahat dulu."Mas Dasep beranjak menuju rumah. Dari sikapnya, dia memang tak benar-benar menunjukkan sedang marah padaku.
"Kok ke sini, sih?" gumamku refleks. Tentu aku keberatan jika Aminah tinggal di kampung ini. Meski tak serumah, tapi pasti dia akan jadi biang masalah nantinya."Ya, yang kulihat, Aminah itu merasa aman kalau dekat Dasep," kata Mang Sidik. Rupanya dia mendengar gumamanku barusan."Mang Sidik mengerti kan apa yang saya khawatirkan?""Ngerti kok, Mur. Tapi jangan dulu berpikiran macam-macam. Bisa jadi Aminah hanya membutuhkan rasa aman saja, bukan berarti suka, terus mau mengambil hatinya Dasep.""Tetap saja meresahkan," jawabku. "Pantas saja istri Mang Sidik cemburu, saya bisa rasakan sendiri waktu Aminah menginap di sini.""Lho, memangnya kenapa harus cemburu? Aduh, perempuan suka ada-ada saja kelakuannya. Masa suami gak ngapa-ngapain aja cemburu?" komentar Mang Sidik. "Lagipula belum tentu dia jadi ngontrak di sini. Coba bayangkan, kalau dia ngontrak, siapa yang mau bayar kontrakannya? Aminah kan hanya ibu rumah tangga biasa, dia gak punya pekerjaan."Aku mengambil gelas bekas kopi M