Aksa duduk di sofa sambil memberikan daster dengan motif batik pada Era, baju milik ibunya. Entah sudah berapa banyak pakaian ibunya yang Era kenakan.
"Nggak capek?" tanya Aksa melirik Bian yang tidur di pangkuan Era.
"Capek sih, Pak, tapi nggak papa."
"Bian kalau sakit memang manja." Aksa mengelus kepala anaknya sayang.
Jujur, dia merasa lega saat Era memilih untuk menginap. Bukan tanpa alasan karena Bian sendiri tidak ingin terlepas dari Era. Bahkan dirinya yang merupakan seorang ayah tidak dianggap sama sekali.
"Bu Ratna ngapain ke Bandung, Pak. Kok nggak pulang?"
"Ada saudara yang lahiran."
"Bu Ratna nggak tau kalo Bian sakit?" tanya Era lagi. Aksa hanya menggeleng sebagai jawaban.
"Kirain saya doang yang nggak dikasih kabar, ternyata Bu Ratna juga."
"Kamu tau dari mana kalau Bian sakit?" tanya Aksa bingung.
Era berdehem pelan, "Tadi saya ke sini."
"Ngapain?"
"Mau ketemu Pak Aksa."
"
Minggu pagi langit terlihat begitu cerah, secerah wajah Bian yang berdiri di samping mobil dengan tas kecil di punggungnya. Dia memainkan tanah dengan sepatunya. Sesekali matanya melirik ke arah pintu panti untuk menyambut Era."Pa, Kak Era lama. Panggil aja ya?""Sebentar lagi Kak Era keluar. Sabar ya." Aksa mengelus rambut Bian pelan.Bian mengangguk dan kembali berlarian sambil bermain tanah. Aksa sendiri memilih bersandar di mobil dengan kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya. Dia sudah menghubungi Era sebelum berangkat, tapi sepertinya gadis itu belum siap. Sesuai janjinya, setelah Bian sembuh, Aksa berniat untuk mengajaknya jalan-jalan, bersama Era tentu saja. Kali ini Aksa tampak santai dengan kaos berkerah dan celana selutut. Terlihat nyaman karena akhirnya dia bisa terbebas dari setelan kemeja dan dasi yang selalu mencekik lehernya.Aksa tersenyum saat Era keluar dengan tas yang terlihat berat di tangannya. Sama seperti Bian, wajah ga
Pemandangan pantai yang indah membuat Era tersenyum tipis. Hatinya terasa campur aduk sekarang. Dia senang bisa melihat pantai, tapi juga sedih karena harus teringat akan ibunya. Seharusnya Era tidak boleh larut dalam kesedihan, tapi ia tidak bisa menahannya.Dia merindukan ibunya.Air laut yang menyentuh kakinya membuat Era bergerak mundur. Dia sibuk melamun sampai akhirnya berakhir di tepi pantai, meninggalkan Aksa dan Bian yang sedang berada di restoranseafood."Semoga Ibuk bahagia di atas sana," ucap Era dengan tersenyum.Tepukan pelan di bahunya membuat Era tersadar. Dia menoleh dan melihat Ezra sudah berada di belakangnya. Tubuh yang basah seolah membuktikan jika pria itu baru saja berenang di pantai."Lo di sini?" tanya Ezra sambil mengusap wajahnya yang basah."Kok lo ada di sini?" Era kembali bertanya."Liburan sama keluarga." Ezra menunjuk gazebo tempat di mana keluarganya berlindung dari panasnya mataha
Perasaan bisa mengalahkan logika. Itu yang Aksa rasakan sekarang. Bergelut dengan pikirannya sendiri membuatnya lelah. Kepalanya sudah pusing karena memikirkan pekerjaan, jangan ditambah lagi dengan cinta. Dia sudah tidak bisa lagi untuk mengedepankan cinta. Namun takdir seolah memainkannya. Era berhasil membuatnya terusik. Selama beberapa hari terakhir ini Aksa berusaha mati-matian untuk mengeluarkan nama Era dari kepalanya. Dia berusaha menyangkal semuanya dengan logika jika ia dan Era tidak akan mungkin bersama. Aksa mencoba untuk berpikir realistis. Dia pikir setelah berusaha, nama Era akan lenyap dari pikirannya, tapi ternyata tidak. Melihat Era bersama Ezra membuatnya terusik. Rasa cemburu membuatnya lupa akan usia. Aksa sudah mengumpati dirinya sendiri tapi tetap saja, dia tidak bisa menahannya.Apa yang harus ia lakukan sekarang? Mengambil langkah dengan logika atau perasaan?"Ngelamunin apa, Sa?" tanya Bu Ratna sambil meletakkan sarapan di meja makan.
Malam akan tiba. Era sudah selesai mandi dengan pakaian Bu Ratna yang ia pinjam. Entah sudah berapa banyak baju yang ia pakai selama di sini. Mungkin Era harus memindahkan beberapa bajunya ke rumah ini."Sini, Bian. Duduk dulu." Bu Ratna berusaha untuk menggapai cucunya. Seperti tidak kenal lelah, Bian kembali berlarian dengan hanya menggunakan celana dalam.Bu Ratna berdecak dengan bedak tabur di tangannya, "Bian!" panggilnya kesal."Nggak mau pake bedak, Nek." Bian menggeleng cepat."Biar ganteng, Bian.""Nggak mau! Nanti diejek temen," ucapnya mulai keluar dari kamar."Gusti, remuk punggungku." Bu Ratna memegangi punggungnya yang mulai sakit."Sini, Buk. Biar aku yang urus." Era dengan cekatan mengambil pakaian Bian dan bedak dari tangan Bu Ratna."Makasih ya, Ra. Anak itu cuma mau nurut kalau sama kamu."Era terkekeh, "Kan aku pawangnya."Ruang tengah menjadi tujuan Era. Dari kejauhan dia bisa mendengar
Suara jari telunjuk yang beradu dengan meja makan menemani Aksa yang asik melamun. Setelah kepergian Era, entah kenapa hatinya mendadak tidak tenang. Dia merasa bodoh karena hanya dirinya sendiri yang merasakan hal ini. Bian masih duduk di sampingnya dengan ponsel yang memutar video kartun. Anak itu masih belum kenyang dan berniat menghabiskan satu ekor ikan, sedangkan ibunya duduk di depannya sambil mengupas buah."Buah masih banyak tapi Era nggak mau bawa," gumam Bu Ratna.Aksa masih melamun dengan tatapan kosong. Alisnya saling bertaut menandakan jika dia sedang memikirkan sesuatu sekarang.Perlahan Aksa mulai melirik Bian, "Bian mau ke panti nggak?" tanya Aksa tiba-tiba.Bian menatap ayahnya bingung, "Ngapain, Pa?""Main sama temen-temennya Kak Era.""Nggak. Besok Bian sekolah, nanti kecapekan nangis," ucap Bu Ratna menolak keras."Sekali-kali, Ma." Aksa menatap ibunya tenang, lebih tepatnya mencoba untuk tenang."Ngg
Usia 17 tahun adalah usia di mana manusia harus bisa mengambil keputusannya sendiri. Namun itu tidak berlaku untuk Aksa. Pemuda itu masih diam dengan rahang yang mengeras. Telinganya masih aktif mendengar ucapan keluarga besarnya yang seolah bisa mengatur apasajayangharusialakukan. Berkumpul bersama keluarga besar menjadi kegiatan rutin dan sering kali dilakukan. Pantai adalah destinasi utama keluarga Kusuma. Aksa senang bisa bermain dengan saudaranya,tapi dia juga bencisaatsemua orang mulai mengatur apa yang harus ia lakukan. Seperti saat ini, Aksa kembali dipaksa untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri. Aksa tidak mau karena setelah lulus dia ingin kuliah di negaranya sendiri. Omongan-omongan itu yang membuat orang tuanya mulai ikut memaksa. Mereka ingin Aksa yang melanjutkan perusahaan farmasi merekasuatuhari nanti. Sebagai penerus keluarga, orang tuanya hanya ingin yang terbaik. Apa yang b
Suasana kelas terasa begitu mencengkam. Ezra sedari tadi tidak berhenti untuk menggerutu. Bahkan meja yang tidak bersalah pun ikut ia tendang karena rasa kesalnya pada Aksa. Ezra memang pendiam saat baru pertama kali masuk sekolah, tapi siapa sangka jika pria itu juga memiliki sisi nakal sama seperti remaja lainnya."Kena kan lo? Lagian sok jago sih nantang Pak Aksa." Aldo duduk di meja sambil menikmati pentolnya."Kalo liat dia bawaannya kesel mulu.""Salah apa Pak Aksa sama lo?" Kali ini Era yang bertanya."Kesel aja, sok berkuasa banget."Lala mendengkus, "Dia emang berkuasa kali, Zra. Dia yang punya sekolah. Bego lu.""Kok lo betah sih deket sama Pak Aksa?" tanya Ezra pada Era."Bian yang bikin betah. Kalo Pak Aksa sih emang galak tapi nggak papa, suka kasih duit bensin soalnya." Era menyeringai."Cuma duit bensin, Ra."Era berdecak, "Udah dibilang gue utang budi sama keluarga Pak Wijaya.""Tetep aja dia
Hari Senin adalah hari yang Era tunggu. Khusus hari ini, dia sangat semangat untuk berangkat ke sekolah. Era ingin menemui Aksa yang rutin melakukan rapat mingguan di sekolah. Semenjak marahnya Aksa, Era tidak bertemu dengan pria itu hingga saat ini. Bahkan Bian dan Bu Ratna juga tidak berkunjung ke panti. Hal itu membuat Era berpikir, apa dia melakukan kesalahan? Jika iya, Era yakin jika itu bukanlah masalah besar. Seharusnya Aksa tidak berlebihan seperti ini bukan?Sejak dari jam pelajaran pertama dan kedua, Era berkali-kali ijin ke kamar mandi. Bukan kamar mandi yang menjadi tujuannya, melainkan ruangan kepala sekolah. Seperti orang hilang, Era berjalan hilir mudik sambil mengintip jendela ruang kepala sekolah, berharap jika akan melihat Aksa. Namun sepertinya kepala sekolah sedang tidak menerima tamu. Sedikit membuat Era kecewa dan berlalu kembali ke kelas. Bunyi bel istirahat mulai terdengar. Era tanpa menunggu teman-temannya langsung berlari ke luar ruangan. Ruang
Aksa membuka matanya saat cahaya matahari mulai menyilaukan mata. Setelah berhasil membuka mata dengan sempurna, Aksa melihat siluet tubuh istrinya yang berdiri didepanjendela, tampak menikmati udara pagi Belanda yang sejuk."Jam berapa?" tanya Aksa dengan suara serak. Tangannya meraih selimut untuk menutupi tubuhtelanjangnya."Jam tujuh." Era berjalan mendekat dengan senyum manisnya. Era tampak cantik dengan baju tidur putihnya. Seketika Aksa mengalamiDejavu. Dia seperti pernah merasakan hal ini sebelumnya, tapi dia lupa kapan dan di mana. Kening Aksa berkerut mencoba untuk berpikir. Dia masih menatap Era yang berdiri di depannya denganpenasaran. Benar saja! Seketika Aksa teringat dengan mimpi-mimpinya dulu. Dia pernah bermimpi seperti ini sebelumnya. Persis dengan Era yang membangunkannya di pagi hari. Apa mimpi itu adalah gambaran tentang masa depannya? Jika iya, maka Aksa sangat takjub dengan takdir Tuhan."A
Seperti yang sudah Aksa dan era duga sebelumnya. Sepulang dari bulan madu, sudah banyak kegiatan yang menanti mereka. Liburan yang dijadwalkan hanya berlangsung selama dua minggu mundur menjadi tiga minggu. Terima kasih pada Aksa yang sudah mengabulkan permintaan Era untuk melihat Napoli. Bulan madu mereka meninggalkan kesan yang membahagiakan untuk Era.Untuk pertama kalinya dia dapat berlibur berdua dengan orang yang ia cintai. Sudah bertahun-tahun Era menunggu momen ini. Bukan hanya dirinya,tapijuga Aksa."UdahSiap?" tanya Aksa masuk ke dalam kamar. Pria itu terlihat tampan dengan jas abu-abu yang dipakainya.Era mengangguk dan mulai mengambil tasnya. Hari ini adalah hari yang penting untuknya. Untuk pertama kalinya Era akan membuka toko interior danfurnituremiliknyasendiri. Terima kasih pada ayahnya yang sangat bekerja keras untuk membantu mewujudkan mimpinya itu."Papa sama Mama udah ada di sana. Kita sedikit t
Denganmengenakankaca mata hitamnya, Era dan Aksa mulai keluar dari bandara. Di sana, sudah ada seseorang yang Aksapekerjakanuntuk menjadi supir mereka di Italia selama dua minggu. Ya, akhirnya Italia menjadi tujuan bulan madu mereka. Semua keputusan ada di tangan Aksa dan Era hanya menurut. Era memang tidak memiliki keinginan untuk mengunjungi suatu tempat. Baginya, selama ada Aksa, dia tidak masalah."Kalau Kak Aksa capek bisa tidur dulu." Era memberikan bahunya.Aksa terkekeh mendengar itu. Lihat, Era sangat berbeda. Biasanya pria yang akan mengatakannya tapi itu tidak berlaku untuk Era. Wanita itu jauh lebih dewasa sekarang, meski sifatkekanakannyamasih ada."Kamu aja yang tidur." Aksa menarikkepalaEra untuk bersandar di bahunya."Sebentar," ucap Era. Meskipun menolak tapi dia tetap bersandar di bahu Aksa dengan nyaman. Tidak tidur, mata Era malah masih tertuju padaponselnya."Kamu cari
Era keluar dari mobil bersamaBian. Matanya menatap halaman rumah Aksa dengan tatapan tenang. Mulai hari ini, Era akan tinggal di rumah ini, rumah yang dia pikir hanya akan menjadi markas sementara saja. Namun siapa sangka jika dia akan tinggal di rumah ini selamanya?Aksa membuka bagasi mobil dan mengeluarkan koper Era. Melihat itu,Era membantu denganmembawatas-tas kecil yang berisi beberapa kebutuhannya."Ayo, masuk," ajak Aksa.Era masuk dengan menggandeng tanganBian. Saat akan membuka pintu utama, Aksa dikejutkan dengan ibunya yang lebih dulu membuka pintu dari dalam. Wanita paruh baya itu tersenyum senang danmerentangkankedua tangannya,"Selamat datang!" teriaknya.Era terkekeh melihat tingkah ibu mertuanya. Sampai saat ini Era masih belum percaya jika Bu Ratna akan menjadi ibu mertuanya. Tidak ada yang berbeda, karena selama ini Bu Ratna sudah menganggap Era sebagai anaknya."Ayo, masuk." Bu Ratna m
Tepat pukul delapan pagi, di sebuah masjid yang cukup ternama, rombongan dari dua keluarga sudah memenuhi ruangan yang telah disediakan. Hanya ada keluarga dan saudara yang datang di acara akad nikah ini. Semua mata tertuju pada Aksa sekarang. Pria itu terlihat tampan dengan pakaian putihnya, senada dengan pakaian Era. Namun bukan pakaian yang menjadi fokus utama, melainkan tangan Aksa yang mulai menjabat tangan ayah Era.Dengan penuh keyakinan, Aksa mulai mengucapkan kalimat sakral yang akan menjadi gerbang menuju hubungan yang lebih resmi. Semua orang tampak menahan napas saat Aksa melakukannya. takut jika pria itu akan melakukan kesalahan. Meskipun bukan kali pertama, bukan berarti Aksa mahir dalam hal ini bukan?"Sah!" ucap para saksi yang membuat semua orang mulai bernapas lega, termasuk Era.Mata Era yang sedari tadi terpejam mulai terbuka. Perlahan matanya memanas, dia tersenyum saat Aksa melakukannya dengan sangat lancar. Sedari tadi jantung Era ti
Di sore yang cerah, Era memutuskan untuk berkunjung ke rumah Aksa. Bersyukur hari ini adalah hari Minggu sehingga dia tidak disibukkan dengan pekerjaannya. Era memang sengaja tidak mengabari Aksa, lagi pula dia memang ingin bertemu dengan Bian. Motor Era berhenti di garasi rumah Aksa. Meskipun sudah memiliki banyak uang, tapi Era masih tetap menggunakan motor lamanya. Bukannya apa, tapi motor itu adalah saksi mata atas perjalanan hidupnya yang menakjubkan.Dengan membawa beberapa kotak donat dan es krim, Era mulai mengetuk pintu. Tak lama pintu terbuka dan muncul Bibi yang tersenyum melihatnya."Mbak Era, ayo masuk, Mbak. Kebetulan Dek Bian lagi main di belakang.""Makasih, Bi. Ini tolong es krim-nya dimasukin kulkas ya.""Iya, Mbak."Era mengangguk dan masuk ke dalam rumah. Saat di ruang tengah, dia meletakkan donat yang dia bawa di atas meja. Pandangannya mengedar ke segala arah. Perlahan senyum bahagia menghiasi wajahnya. Era masih ingat s
Di sebuah kafe, terlihat seorang pria tengah kebingungan melihat pasangan di depannya yang tengah berdebat. Dia hanya bisa diam dan menunggu keputusan final yang akan disampaikan. "Lebih bagusoutdoor, Kak." Era masih berusaha untuk membujuk Aksa. "Indoorlebih enak, Ra. Kamu nggak takut hujan apa?" Era mendengkus, "Panggil pawang hujan." "Pawang hujan bisa kalah sama takdir Tuhan." Ucapan Aksa membuat Era menutup mulutnya rapat. Dia kesal dengan Aksa yang meminta pernikahan mereka dilaksanakan di dalam ruangan. Sejak kecil, Era memiliki impian untuk menikah di taman bunga. Apa salahnya jika dia menginginkan itu sekarang? Pernikahan hanya akan terjadi satu kalibukan? "Jadi gimanaPak..Bu?" tanya Ardi, pria muda yang sedari tadi duduk di depan mereka, menunggu Aksa dan Era selesai berdebat. "Indoor." "Outdoor." Mereka menjawab secara bersamaan. Era berdecak dan menatap pria di sampingny
Langit yang cerah seolah mendukung suasana yang ada. Taman belakang rumah Era telah disulap sedemikian rupa menjadi tempat acara yang luar biasa. Sama seperti langit, wajah semua tamu juga samacerahnya. Terutama dua bintang utama hari ini, Era dan Aksa.Dengan mengenakan batik, Aksa terlihat tampan hari ini. Dia tidak ragu untuk menunjukkan senyumnya. Senyuman yang mampu membuat semua orang terpesona. Begitu juga Era, dia tampak cantik dengan kebaya modern yang senada. Sama seperti Aksa, Era tidak bisa menyembunyikankabahagiaannya.Acara pertunangan dibuat privat dengan mengundang keluarga, orang-orang terdekat,danawak media yang terpilih. Tentu saja wartawan ikut hadirkarenaAksa adalah salah satu pengusaha yang cukup berpengaruh. Mereka yakin jika berita inimuncul di pemberitaannanti,akanbanyak wanita yang patah hati karena Aksa Kusumaakan segera menikah."Sini,Bian!" panggil Era pada&n
Di pagi hari, Era sudah duduk di meja kerjanya sambil berkutat dengan komputernya. Meskipun dia bekerja untuk kekasihnya tapi bukan berarti dia bisa bermalas-malasan. Niat Era bekerja di sini tak hanya ingin dekat dengan Aksa, tapi dia juga ingin belajar. Meskipun Aksa dan Era adalah sepasang kekasih, tapisaatjam sudah menunjukkan waktu bekerja maka mereka akan berubah profesional. Bahkan Era menggunakan bahasa baku jika berbicara dengan Aksa. Bukannya apa, tapi memang harus seperti itu bukan?Telepon di meja Era berdering. Dengan segera dia mengangkatnya, "Ya, Pak?" sapa Era."Saya minta data pengeluaran bulan lalu, Ra.""Baik, Pak."Seperti itulah interaksi Era dan Aksa saat bekerja. Apa ini kemauan Aksa? Tentu saja tidak. Era yang memberikan ide ini. Setidaknya sebelum mereka sah, Era tidak ingin ada pemberitaan negatif tentang dirinya. Dia tidak mau para karyawan beranggapan jika dia adalah anak emas Aksa. Meskipun itu benar, tapi Era tida