Suara langkah kaki yang semakin mendekat, membuat Adira buru-buru kembali duduk di meja makan dengan perasaan harap-harap cemas.Adira memalingkan wajahnya kala pria tampan itu mulai menghampirinya di meja makan.Manik tajamnya mengedar. Mencari pelayan wanita yang biasa berdiri di belakang meja ketika mereka makan. "Kenapa kamu sendirian di sini? Ke mana semua pelayan? Apa mereka tidak melayanimu dengan baik?" Rentetan pertanyaan itu terucap begitu Aksa menghentikan langkah kakinya di depan meja makan.Wajah cantik itu sontak mendongak. Berdiri dengan panik dan mencoba menjelaskan situasi yang sebenarnya. Ia tak ingin para penghuni dapur yang begitu baik terhadapnya mendapatkan masalah hanya karena hal kecil. "Ti-tidak, Tuan. Bukan begitu. Saya yang meminta mereka untuk tidak menunggu ketika saya makan. Sa-saya hanya merasa risih," jelas Adira.Kini manik tajam itu beralih pada hidangan nasi goreng yang teronggok di atas meja. Matanya seketika memicing, dengan dahi yang mulai berkeru
"Kita sudah menjualnya ke orang lain, dan Ibu masih berpikir dia mau membantu kita?" Keenan mengerinyit dengan mata memicing. Ia tak habis pikir dengan kalimat yang diucapkan sang ibu."Tidak ada salahnya untuk mencoba, Keenan. Jika kamu tidak mau, biar Ibu yang memintanya," tegasnya dengan wajah berbinar.Betari seolah tak memiliki rasa malu. Ia kemudian beranjak pergi tanpa berpamitan pada Keenan yang hanya bisa mengusap wajahnya kasar.Betari lalu menghentikan taksi di depan pagar rumah.Di tengah ramainya jalanan kota, taksi yang ditumpangi Betari menerobos bisingnya aktivitas kota di siang hari dengan kecepatan sedang.Sejak kedatangan Adira di rumah sakit kala itu, meyakinkan Betari bahwasanya Adira masih memiliki perasaan terhadap putranya.Setengah jam berlalu. Hingga mobil taksi berwarna biru itu dihadang oleh beberapa security yang berjaga di kediaman Aksa."Apakah Anda sudah membuat janji dengan pemilik rumah?" tanya salah satu security dengan buku jari mengetuk jendela sup
Aksa yang tak sengaja meninggalkan jasnya di dalam kamar, terpaksa harus kembali untuk mengambilnya.Gagang pintu perlahan ia dorong dan masuk begitu saja tanpa bersuara. Namun, ketika pintu tertutup dan kakinya hendak beranjak menghampiri jas hitam yang teronggok di atas ranjang, Aksa terkejut bukan kepalang.Sosok wanita yang hanya mengenakan celana dalam tanpa penutup pada dadanya, tiba-tiba muncul dari balik pintu lemari yang terbuka lebar.Aksa seketika memalingkan wajah dengan melemparkan sebuah selimut yang ia raih sembarangan. "Cepat pakai ini! Kenapa tidak mengunci pintu saat berganti baju?!" geramnya.Adira seketika menangkap lemparan selimut dengan kedua tangannya. Matanya memicing dengan senyuman ganjil. "Sayang, apakah ini cocok denganku?" tanya Adira dengan niat jahil.Aksa seketika memutar kepala menghadap Adira. Mengira jika wanita itu telah mengenakan pakaiannya. Namun ternyata ...."Tidak tahu malu!" Aksa kembali memalingkan kepalanya dengan wajah tersipu. Melihat so
Wanita cantik dengan riasan tips itu hanya menggeleng cepat."Kamu ini sebenarnya bisa menyetir mobil tidak?! Matamu ditaruh di mana?!" Aksa yang murka membentak keras sang sopir dengan tatapan nyalang. Deru nafasnya memburu dengan rahang mengeras.Pria paruh baya itu seketika tertunduk. Menyembunyikan rasa takut yang seketika menyelimuti hati. Bibirnya bergetar hebat, hingga membuatnya tak mampu membela diri.Adira terdiam. Matanya menatap iba pada seorang sopir pria yang telah berumur. Meski Aksa adalah majikan, namun seharusnya dia lebih mengedepankan norma kemanusiaan, di mana dirinya harus menghormati orang yang lebih tua darinya.Terlebih, dirinya begitu paham bagaimana rasanya diperlakukan tidak manusiawi oleh orang lain yang menganggap kedudukannya lebih tinggi.Dengan perasaan ragu, Adira menarik sedikit lengan kemeja suaminya. "Tidak perlu marah seperti itu," lirih Adira dengan tatapan teduh.Sementara Aksa hanya memalingkan wajah dengan helaan nafas panjang. Kekesalan yang
Dengan kondisi perusahaan yang belum sepenuhnya stabil, Aksa harus menahan diri. Meski ia tahu apa akibatnya menyembunyikan pernikahannya dengan Adira.Wanita cantik dengan riasan tebal itu mengibas-ngibaskan tangannya ke arah wajah. Satu tangannya lagi melonggarkan kerah kemeja putih yang tengah ia kenakan. "Aduh ... panas sekali. Aku jadi haus," gumamnya dengan tatapan melirik ke arah Adira dan Aksa yang hanya terdiam."Tolong ambilkan minum," lanjutnya dengan tatapan mengejek yang ia layangkan pada Adira.Mulut Adira yang telah terbebas dari bekapan tangan hendak melontarkan kalimat penolakan. Namun seketika ia urungkan kala manik hitamnya melirik suaminya untuk sekilas.Aksa malah memalingkan wajah kala mendapati Adira menunggu pembelaan darinya."Pergilah ambil minum, aku juga haus," ucap Aksa lirih dengan wajah datar. Matanya tak berani menatap wajah sang istri untuk sedetik saja.Adira kembali tercekat. Rahangnya seketika mengeras. Amarah yang mulai menyelimuti hati mati-matian
'Wanita ini!' Geram Helen dalam hati. Tatapan nyalang ia layangkan pada wajah seorang wanita yang kini tengah mengandung anak dari tunangannya.Aksa yang sebelumnya memalingkan wajah hanya mampu mengulum senyum. Ia tak pernah mengira Adira akan berbuat nekat seperti ini sebab kecemburuannya yang semakin memuncak."Nona, ini minuman yang Anda minta. Silakan dinikmati," ucap Adira dengan tersenyum lebar, pada seorang wanita yang bersusah payah menutupi tubuhnya dengan kemeja yang telah sobek di bagian kancing.Adira meletakkan nampan berisi dua cangkir kopi di atas meja. Matanya sesekali melirik ke arah Aksa yang seolah tak menggubris kehadirannya.Dengan helaan nafas panjang, Helen mulai memperbaiki imagenya di depan Aksa yang telah mengetahui niat liciknya. Duduk anggun dengan kaki menyilang. Tangannya mulai mengambil secangkir kopi yang disajikan Adira di atas meja, dan mulai memperhatikan minuman hitam pekat itu untuk sejenak."Ini sudah dingin. Ambil yang baru!" perintahnya tanpa d
Carlos Ducan yang tengah berdiri di samping Sean seketika merebut kasar ponsel itu. "Apakah aku terdengar seperti Sean, Tuan Adhitama?" ledek Carlos dengan seringai mengerikan."Carlos Ducan? Apa kau yang menculik Istriku?!" geram Aksa dari seberang telepon.Sementara itu. Dalam ruangan mewah yang entah di mana letaknya. Adira menggeliat tak tentu arah. Tubuhnya mencoba melepaskan tali yang membelit seluruh tubuhnya. Teriakkannya pun tertahan oleh sebuah lakban yang menutupi mulutnya.Sean yang berdiri membelakangi Adira sekilas melirik ke arahnya. Ada tatapan penuh arti yang tidak bisa dijelaskan. Tatapan sendu seolah merasa iba atau sebuah penyesalan, Adira pun tak tahu. Yang jelas, Sean adalah dalang di balik semua ini.Dengan seluruh ketakutan yang menyelimuti hati. Adira berusaha keras meyakinkan dirinya sendiri, jika Aksa akan datang untuk menolongnya dari para bandit tak tahu diri ini."Apa maumu?!" lanjut Aksa yang terdengar lantang dari seberang telepon.Carlos sengaja menger
Sean yang frustasi tak mampu melakukan apa pun selain memijat pelipisnya. Sekeras apa pun ia berfikir tak akan mengubah keadaan."Sudahlah, nanti aku akan memikirkan cara lain. Kepalaku rasanya hampir pecah," timpal Sean dengan kedua tangan memegangi kepalanya."Ayo! Kamu masih bisa jalan kan?" Sean melirik Adira untuk sekilas sebelum beranjak turun dari dalam helikopter.Adira yang masih membeku di tempat semula seketika memutar kepala menuju sumber suara. "Kemana?""Rumahku. Aku membangun rumah rahasia selama bersekolah di negara ini," jawab Sean tanpa menoleh. Melompat dari pintu helikopter yang letaknya lebih tinggi dari tanah.Adira terdiam untuk sejenak. Ada sedikit keraguan dan kewaspadaan yang menyelimuti hatinya."Woy! Mau ikut tidak?" teriak Sean dari luar helikopter.Kaki Adira yang terasa nyeri dan mati rasa ia paksa bangkit. Berjalan tertatih-tatih menuju pintu helikopter. Namun langkah wanita cantik itu seketika terhenti kala mendapati pijakan tanah yang berada jauh di b
***Sembilan bulan kemudian. Tepat di saat hari perkiraan lahir sang anak yang masih berada dalam kandungan. Namun hingga hari itu terlewati tak ada tanda-tanda kelahiran akan tiba.Kediaman Aksa Adhitama. Pukul sembilan pagi."Sayang? Kenapa tidak berangkat bekerja hari ini? Bukankah Gavin baru saja memberi tahumu jika akan ada Klien yang akan membuat janji temu di perusahaan?" tanya Adira yang tak sengaja mendapati sang suami masih berada di ruangan kerja, saat hendak membersihkan ruangan itu.Namun alih-alih langsung menjawab, Aksa terlihat masih sibuk dengan layar pada laptopnya.Adira yang tak kunjung mendapatkan respon seketika merasa dongkol. Melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah tertekuk."Kamu mau apa? Berhentilah bersih-bersih! Cepat pergi istirahat!" tegas Aksa dengan nada lembut. Namun pandangan matanya tak berpaling sedikit pun dari layar laptopnya."Aku harus bergerak aktif, agar persalinan nanti bisa berjalan normal. Orang yang tidak pernah berolahraga sepe
"Kita bisa pulang sekarang?" tanya Aksa meminta persetujuan dari sang istri untuk segera meninggalkan makam.Sontak Adira yang tengah sibuk mengeringkan sebagian bajunya yang terkena tetesan air hujan segera mengangguk pasti.Tangan Adira spontan meraih rambut sang suami untuk segera dikeringkan dengan handuk di tangannya. Ia tak ingin Aksa jatuh sakit setelah melewati beberapa peristiwa berdarah akhir-akhir ini, yang sangat menguras energi."Sayang, bolehkah setelah ini kita mampir membeli sate ayam? Aku lapar," ucap Adira seraya menyengir. Nampaknya tak ada sedikit pun raut kesedihan yang kembali muncul setelah prosesi pemakaman tersebut. Sontak hal itu membuat Aksa tersenyum bahagia, kini tak ada lagi yang ia khawatirkan tentang kondisi sang istri yang akan merasa bersalah seperti sebelumnya."Baik, Nyonya Adhitama," jawab Aksa dengan sedikit bergurau. Ia tak ingin membuat sang istri kembali berekspresi tegang hingga membuat seulas senyum tak mampu sedikit pun menghiasi bibirnya.S
Setelah selesai bersiap-siap, kini ketiganya mulai berkumpul di halaman dekat garasi mobil.Terlihat Gavin berjalan enggan ke arah sang atasan. Ketakutan itu masih terlihat jelas dari sorot matanya."Gavin? Apakah hari ini kamu kurang sehat? Kenapa wajahmu pucat sekali?"Rentetan pertanyaan yang sang atasan ajukan hanya mampu membuat pemuda berusia dua puluhan tahun itu tersenyum getir.Tak mendapati respon yang diinginkan, Aksa pun mulai berpikir keras. Mungkinkah Gavin tak ingin pergi dengannya hari ini?"Gavin, tetaplah di rumah! Urus keperluan sekolah Naura setelah dia bangun nanti," ucap Aksa pada akhirnya mengetes asumsinya sendiri. Dan benar saja, Gavin yang sebelumnya tertunduk lesu kini mendongak pasti dengan wajah berbinar cerah. "Baik, Tuan," ucapnya lantang dengan seulas senyum yang tertahan. Membungkukkan sedikit tubuhnya memberi hormat."Baiklah, aki akan pergi sekarang. Jika ada hal darurat, segera telepon!" ucap Aksa mengingatkan sebelum beranjak memasuki mobil yang te
"Astaga ...!" Dokter itu pun sontak mengusap kasar wajahnya frustasi. Di saat-saat genting semacam ini pun malah tak ada yang langsung bertindak.Hingga pada akhirnya. Dengan berat hati dokter itu segera mengambil sebuah benda pipih di saku jasnya. Menggulir layar ponselnya beberapa kali hingga menghubungkannya dengan sambungan telepon."Halo, Polisi, cepat datang! Ada pasien rumah sakit jiwa yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri ...." Dokter itu berbicara panjang lebar dari sambungan telepon. Menjelaskan secara rinci kejadian yang ia lihat dan lokasi yang harus dituju oleh polisi tersebut. Hingga pada akhirnya sambungan telepon terputus."Cari data keluarga Pasien! Kita harus segera menghubungi keluarganya!" ucap dokter itu panik pada salah satu rekannya setelah selesai meletakkan kembali ponselnya di saku jas putih."Ba-baik." Meski dengan sedikit ketakutan yang masih terasa, namun salah satu perawat segera beranjak melakukan perintah yang ditujukan padanya. Jika dirinya tida
***Rumah sakit jiwa. Pukul satu dini hari.Di jam-jam istirahat kali ini sedikit berbeda. Suasana sunyi seketika terasa mencekam setelah salah satu ruangan dalam rumah sakit itu digunakan salah seorang pasien untuk mengakhiri hidupnya.Betari yang kini telah sedikit kembali mendapatkan kewarasannya sontak celingukan ke kanan dan ke kiri saat mendapati bunyi hentakan kaki di dalam ruangannya."Keenan? Apakah itu kamu?" ucap Betari yang masih menganggap sang putra masih hidup, dan berkhayal seolah sang putra tengah menemaninya setiap hari."Bu ...."Betari segera memutar kepala menghadap belakang, saat samar-samar telinganya menangkap suara Keenan yang tengah memanggilnya."Keenan? Kamu di mana? Jangan main-main dengan Ibu! Cepat keluar!" ucap Betari dengan wajah setengah panik. Pandangan matanya mengedar ke seluruh sudut ruangan, namun tak kunjung ditemukan siapa pun di dalam sana selain dirinya sendiri."Bu, aku di sini."Lagi, suara itu terdengar kembali dan semakin jelas. Betari so
"Tutup mulut kalian ...!" teriak Mayang lantang dengan tatapan nyalang yang ia layangkan pada lima tahanan wanita yang satu sel dengannya.Sontak seluruh tahanan wanita menatap heran ke arahnya. Merasa bingung, dari mana asal keberanian yang Mayang milik untuk menantang mereka semua.Deru nafas memburu terdengar jelas saat Mayang membulatkan matanya dengan tatapan tajam mengintimidasi. Berdiri tegak dengan satu betisnya yang dililit oleh perban dengan darah yang masih merembes keluar."Cih! Kaki pincang saja masih berani meninggikan suara. Apakah ingin segera dihabis oleh kita?" cibir salah satu tahanan wanita yang memiliki tato di lengannya. Berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat rapi di depan dada dengan gestur angkuh.Sontak kalimat itu membuat Mayang bergidik ngeri. Dirinya melupakan kondisi kakinya saat ini. Meski begitu, dirinya juga tak memiliki pengalaman bela diri sekali pun untuk melawan. Lantas, apa yang harus Mayang lakukan saat ini? Bodoh sekali dirinya sampai meningg
"Terima kasih, Tuan," ucap para pengawal serempak.Tak berselang lama, sebuah mobil mewah berwarna silver terlihat mulai memasuki halaman, membuat pagar rumah terbuka secara otomatis tanpa disentuh."Kebetulan sekali, Gavin kamu antar saya pergi ke kantor Polisi," ucap Aksa setengah berteriak saat pemuda dengan kacamata bening itu baru menjejakkan kakinya di atas lantai saat turun dari dalam mobil.Sontak Gavin hanya menatap sang majikan dengan beberapa pengawal yang tengah sibuk mengerjakan sesuatu. 'Apa yang terjadi?'Kini Gavin mulai beranjak turun dan menghampiri sang atasan yang masih berdiam diri di tempat semula."Tuan, apa yang telah terjadi? Untuk apa Anda pergi ke kantor Polisi? Apakah ada situasi darurat?"Rentetan pertanyaan itu membuat Aksa terdiam dengan perasaan kesal yang mulai menyertai.Jujur saja, kekhawatiran hebat seketika terbesit di dalam pikiran Gavin saat sang atasan menyebutkan kantor polisi.Melihat sang atasan yang tidak kunjung merespon apa pun, membuat pe
Adira segera membuka kotak obat yang baru ia ambil. Mengeluarkan kapas, obat merah dan perban dari dalam sana.Setelah membersihkan luka Aksa dari sisa darah yang telah berhenti mengalir, Adira segera mengoleskan obat merah dan membalut lukanya dengan perban yang ia lilitkan di telapak tangan sang suami."Apakah sakit? Aku akan melonggarkannya jika itu terasa sakit untukmu," ucap Adira saat melihat wajah sang suami masih terpejam dengan suara pekikan yang tertahan."Tidak. Asalkan darahnya sudah tidak terlihat, tidak masalah untukku," jawab Aksa masih terdiam mematung.Hingga dua tangan terasa melingkar di pinggangnya. Sontak membuat Aksa segera membuka mata sebab terkejut."Terima kasih telah melindungiku dari tusukan pisau itu," ucap Adira seraya memeluk erat pinggang sang suami.Sementara Aksa yang merasa pundaknya basah sontak segera melepaskan pelukan Adira di pinggangnya.Terlihat mata Adira yang mulai sembab dan berair. Suara isak tangis terlihat berusaha mati-matian Adira reda
Alih-alih langsung menyerang Adira dengan tangannya sendiri, Mayang justru mendekati Aksa yang tengah memicingkan mata menatapnya dari arah meja makan tanpa sedikit pun beranjak dari sana."Tuan Aksa ... lihatlah apa yang diperbuat Adira padaku!" ucap Mayang seraya merengek. Berharap Aksa akan bersimpati padanya.Namun alih-alih merasa iba, Aksa dengan cepat menutup hidungnya, dengan satu tangan lain menodongkan pisau buah yang ia raih sembarangan dari atas meja makan. "Mundur! Jangan mendekatiku! Baumu busuk sekali."Sontak kalimat itu membuat Mayang menghentikan langkah kakinya. Seraya menciumi tubuhnya sendiri.Aroma tak sedap yang datang dari bubur yang telah basi di pakaiannya teras begitu menusuk hidung. Pantas saja Aksa memintanya untuk segera pergi menjauh."Adira ...!" geram Mayang dengan nada meningkat. Melayangkan tatapan nyalang pada wanita yang tengah berdiri menghadapnya."Maafkan aku Mayang. Aku ketiduran tadi malam, jadi tidak sempat untuk mengambilkanmu baju ganti," u