"Janji dulu dengan mama, kalau besok kamu akan datang ke acara reuni itu.""Ck, malas," gerutu kesal Marigold, lalu berniat membanting pintu kamarnya, namun mamanya menahan pintu itu dan mengekorinya masuk ke kamar. Marigold merebahkan punggungnya yang lelah ke atas ranjang."Kok bisa malas sih?" omel mamanya tidak mengerti. "Mama saja kalau ada janji temu dengan teman-teman, pasti selalu bersemangat dan tidak sabar untuk segera datang," "Haish! Itu kan mama," sahut Marigold dengan memutar bola matanya. "Aku ini pulang kampung untuk bertemu dengan papa mama, bukan untuk ngobrol unfaedah dengan mantan teman SMU itu. Asal mama tahu, lebih menyenangkan berkutat dengan tanaman papa daripada melihat wajah-wajah tidak tulus mereka. Itu sangat memuakkan, ma.""Ck, kenapa kamu jadi sinis begitu, Marigold?" tegur keras mamanya yang tidak suka dengan sikap Marigold yang antipati pada teman-temannya. "Sejak lulus, kamu jarang pulang dan tidak pernah bertemu satu sama lain. Jadi wajar saja, kala
"Halo Alana.""Lho mana Tuan Max?" tanya Alana yang menoleh ke kanan dan kiri dengan heran, melihat Marigold berdiri seorang diri. "Apa kamu datang sendirian?""Ya, aku datang sendiri. Tuan Max suamiku sedang sibuk, jadi dia tidak bisa datang," jawab Marigold yang bersorak girang dalam hati, saat melihat ekspresi mantan teman sekolahnya ini yang langsung murung."Ah, sibuk ya? Sayang sekali, padahal aku ingin sekali bertemu dan mengobrol dengannya," ucap Alana, mantan teman SMU nya itu dengan nada sedih."Ya-ya.. memang sayang sekali, kamu tidak bisa bertemu dengan Tuan Max," sahut Marigold dengan mengangguk-angguk menyebalkan. Tepat seperti dugaannya. Mereka hanya ingin bertemu dengan Max, bukan dengan dirinya. "Menurut pendapatku, sepertinya kamu memang tidak pernah berjodoh dengan Tuan Max yang kaya dan tampan itu, Alana. Mau bertemu saja, banyak halangan rintangan dan cobaan. Ck, kasihan."Marigold tersenyum dingin saat membalas mata Alana yang menyipit marah.Lalu dengan tatapan
Di mobil Max.Hari ini tuan milyader membawa mobil Ferrari merah mengkilap, dengan harga yang sanggup membuat mata orang melotot nyaris keluar karena harganya selangit. Para mantan teman Marigold sekali lagi merasa baper saat melihat dirinya dibukakan pintu oleh Max, lalu masuk ke mobil super mewah itu.Mau tidak mau, Marigold merasa bangga karena diperlakukan bak seorang ratu oleh suaminya. Apa yang dimiliki Marigold adalah impian semua wanita. Punya suami kaya, ganteng, dan penuh perhatian."Marigold.""Hmm." Marigold menjawab tanpa menoleh ke arah Max yang sedang menyetir."Kenapa kamu diam saja?""Kenapa kamu mengeluarkan black card milikmu itu? Apa kamu tahu kalau apa yang kamu lakukan itu memang yang diharapkan oleh mereka," cecar Marigold cemberut mengingat ekspresi ceria semua mantan teman-temannya yang tanpa sungkan memesan menu begitu banyak.Max mengulurkan tangan mengelus kepala Marigold. "Hanya uang kecil. Tidak usah dipikirkan.""Ck, dasar orang kaya!" sembur Marigold de
"Dua kali?! Apa.. maksudmu?" tanya Marigold sambil menyingkirkan kedua tangan Max yang menjepit wajahnya. "Kamu pernah menolongku... dua kali?"Max mengangguk. "Benar. Dua kali.""Oya?" Marigold memiringkan kepalanya, bingung. "Tapi aku tidak ingat pertolonganmu. Dimana lagi kamu pernah menolongku, selain datang sebagai pangeran untuk menyelamatkan si princess kodok di acara reuni mendadak tadi?"Dengan tergelak geli, Max kembali ke posisinya di kursi pengemudi. Mendengar Marigold mengumpamakan dirinya sebagai princess kodok. Dasar! Aneh-aneh saja."Apa masih ingat saat kamu berkelahi dengan pencuri di jalanan, lalu jatuh dan tidak sadarkan diri?" tanya Max sambil melipat tangan di dada.Hanya perlu sedetik untuk mengingat kejadian menyebalkan itu. Saat itu, Marigold ingat bahwa dirinya berusaha keras mempertahankan tas berharganya dari dua pencuri brengsek. Dan sialnya, tidak ada warga yang tergerak untuk menolongnya."Hm-hm. Tapi yang menolongku saat itu adalah Pak Umar, sopirmu kan
Kemudian.. Setelah percintaan panas berjilid-jilid serta mencoba berbagai gaya hingga seluruh tulang terasa remuk, sebuah dering ponsel membangunkan Max dan Marigold yang sedang terlelap karena kehabisan tenaga. Drrrt-drrrt-drrrt.. "Ponsel siapa itu?" tanya Max dengan suara serak, sambil menyalakan lampu di nakas ranjang hotel. Max melihat waktu di jam tangan Rolex yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sekarang hampir setengah dua belas malam. Max meregangkan tubuhnya dengan nikmat. Belum pernah dirinya merasa senyaman ini. Setelah menjalani hari panjang yang intim dan memuaskan itu, Max dan Marigold tertidur pulas di ranjang. Max tidak bisa menjauhkan tangannya dari tubuh lembut Marigold. Memeluk istri kecilnya ini serasa seperti pulang ke rumah, rasanya begitu nyaman dan enggan untuk beranjak menjauh. "Tak tahu," jawab Marigold menggumam pelan dengan mata tetap terpejam. Kepalanya semakin melesak ke bantal dan bergumam nyaman. "Kamu cepat angkat ponsel berisik itu. Hoam.
Keesokan harinya..."Marigold, apa suamimu akan baik-baik saja ditinggal di rumah bersama mama?" tanya papa Marigold sambil memarkirkan motornya di lahan parkir di pasar yang khusus menjual aneka bunga dan tanaman. "Papa kok jadi sedikit khawatir ya."Dengan acuh, Marigold mengibaskan tangannya. "Max perlu latihan mental supaya tahan banting. Jadi papaku sayang, sebaiknya anda jangan terlalu mencemaskan Max. Oke?" jawabnya enteng."Tapi..""Sudahlah, pa. Jangan bicarakan Max lagi. Sudah lama kita tidak berkencan. Ayo cepat. Kita perlu berburu bibit baru untuk kebun papa," ajak Marigold yang terlalu bersemangat sambil menggandeng lengan papanya memasuki gapura pasar bunga."Kamu yakin?" tanya papanya ragu. "Kamu kan tau sendiri kalau mamamu itu keras kepala, suka memaksa, dan banyak maunya. Tekadnya sekeras suaranya yang menggelegar. Papa takut terjadi sesuatu pada suamimu..""Pa," ucap Marigold seraya berdiri di depan papanya. "Max akan baik-baik saja. Jadi papa tenang saja. Max pasti
"Kami pulang," sapa Marigold yang langsung terdiam saat melihat suaminya dikelilingi para tante yang kepo."Oh kalian sudah pulang?" sapa mama Marigold yang segera berdiri, lalu menggandeng putrinya untuk duduk menempel pada Max, menantunya. "Duduk disini.""Apa disini.. sedang ada acara?" tanya Marigold bingung sambil memandang satu per satu wajah para tante, teman satu geng mamanya."Ah, bukan acara spesial, cuma acara kumpul-kumpul biasa," jawab enteng mamanya seraya mengibaskan tangannya. "Mereka bilang pingin ketemu sama menantu mama yang kaya dan tampan, makanya mereka minta kumpul-kumpulnya di rumah kita.""Apa?" Marigold terkejut mendengar pengakuan vulgar dari mamanya. "Kenapa mama tidak bilang padaku?" gerutunya sebal melihat kerumunan mendadak yang meresahkan ini. Ulah usil mama tercintanya ini pasti bertujuan untuk memamerkan menantu spesialnya pada grup arisannya. Ck, dasar!"Ck, kalau mama bilang dulu, kamu pasti tidak akan setuju," protes mamanya sambil memberikan cubit
Sementara itu di tempat lain.. Hatsyii-hastsyii-hastyii.. "Astaga, makin parah saja flu ku," keluh Martin sambil menggosok hidungnya yang tertutup masker hijau. "Ini pak obatnya," kata kasir di sebuah apotik mini di lantai dasar apartemen. "Totalnya sekian, pak." "Ini uangnya. Terima kasih." Martin membayar, lalu meraih dua tablet obat flu. Hatsyii-hastsyii-hastyii.. "Sialan! Sebenarnya siapa sih yang membicarakan aku? Kenapa aku bisa tiba-tiba flu dan sakit kepala?" omel sebal Martin sambil berjalan dengan langkah terseret-seret, kembali ke unit apartemennya. Itu hanya kekesalan Martin yang terus menerus bersin tanpa henti. Martin berpikir pasti ada orang yang sedang membicarakan dirinya di belakangnya. Haaah... sebenarnya bersin dan hidung tersumbat ini adalah salahnya sendiri yang bekerja lembur beberapa hari terakhir, tanpa istirahat dan makan yang cukup. Alhasil kondisi Martin kini drop. Dimulai dari hidung tersumbat, kepala semakin berat, dan badan pun meriang panas dingi
Seorang dokter sedang mengenakan jubah medis lengkap, tidak ketinggalan masker, menutupi hampir sebagian besar wajahnya. Melangkah masuk ke ruang ICU, pemandangan menyedihkan langsung terpampang di depan mata. Seorang pasien laki-laki terbaring lemah, dikelilingi beberapa alat yang tersambung pada tubuh ringkihnya. Dengung tanpa nada dari alat bantu penunjang kehidupan dari pasien itu terdengar menyesakkan jiwa.Pria dengan jubah putih khas dokter itu mendekati ranjang pesakitan, lalu mengambil papan laporan dan memperhatikan alat detak jantung yang bergerak lamban. Pasien itu koma, setelah mengalami kecelakaan tunggal menghantam pagar beton pembatas parkiran mall.Perlahan, ditariknya masker yang menutupi wajahnya, lalu.."Halo Gerry, aku datang menjengukmu," sapa dokter yang ternyata adalah Tuan Archie, atasan dari Gerry, si pasien ICU. "Kamu.. terlihat mengenaskan."Archie tersenyum tipis, melihat kedutan lemah pada kedua kelopak mata Gerry, seolah merespon kedatangannya. Archie se
RS. Sehat Selalu.Martin menemui istrinya yang sedang tertidur pulas. Perawat bilang, Nina baru saja diberi obat penenang karena tubuhnya yang syok akibat kehilangan banyak darah. Jadi istrinya membutuhkan banyak istirahat."Sayang.." Martin mencium kening Nina, lalu duduk di samping ranjang. Hatinya hancur melihat Nina yang begitu lemah. Martin segera menyadari, ternyata seperti ini perasaan Max yang terpuruk, setiap kali melihat Marigold, istrinya terbaring tak berdaya di ranjang pesakitan.Tak lama kemudian, seorang perawat datang mendekat untuk mengecek kondisi vital Nina."Bagaimana keadaannya?" Martin bertanya setelah perawat itu menyelesaikan tugasnya."Istri anda akan berangsur pulih. Kehilangan bayi bisa membuat perasaan ibu terluka dan depresi. Anda hanya perlu memanjakannya," ucap perawat itu sembari tersenyum menenangkan."Terima kasih." Martin menghembuskan napas lega. "Akan kuikuti saran anda. Memanjakan Nina adalah tujuan hidupku.""Mar-martin.."Mendengar suara lirih
Sementara Martin menjadi pahlawan menyelamatkan Marigold, Nina duduk gelisah di samping Oskar yang sedang menyetir sembari bersiul riang."Aku senang bertemu denganmu, Nina." Oskar menyeringai senang, tanpa mempedulikan ekspresi Nina yang menahan rasa sakit akibat darah yang merembes keluar, membasahi gaunnya.Nina membuang pandangannya, sama sekali tidak menjawab. Nina memandang ke arah jendela kaca mobil yang melaju kencang, terlihat dari pohon-pohon yang terlewati dengan cepat."Kamu terlihat semakin cantik, membuatku gemas dan ingin memelukmu," puji Oskar menyentuh pundak Nina dan mengelusnya."Jangan pegang-pegang, Oskar!" Nina menyembur jengkel. "Kita hanya mantan, tidak ada hubungan lagi, terlebih aku adalah wanita bersuami.""Aku sama sekali tidak keberatan dengan statusmu." Oskar menoleh, tersenyum lebar. "Walau sebenarnya sangat disayangkan karena aku tidak mendapatkan darah perawanmu, tapi tidak apalah. Saat ini, kamu pasti sudah berpengalaman untuk memuaskan aku."Nina men
Tidak jauh dari keduanya berdiri, sebuah mobil mendekat dengan kekuatan sedang, terus melaju semakin cepat dan.."AWAS!"BRAK.CKRIITT..Gerak refleks Marigold yang cepat, membuatnya bisa melompat ke samping sebelum mobil itu menyerempet. Namun, Nina tidak berhasil menghindar. Nina tertabrak dan terjatuh keras di pelataran. Darah mulai merembes, mengalir diantara kedua kakinya."Ma-marigold, da-darah.. bayiku..""Astaga Nina.." Marigold panik melihat Nina berlumuran darah. CKRIITT..Marigold membatalkan niatnya untuk membungkuk, mengecek kondisi Nina, ketika mendengar mobil gila yang menyerempetnya tadi, berputar sangat cepat hingga menimbulkan decitan kasar. Mata Marigold membelalak panik saat melihat mobil itu kembali, meluncur cepat ke arahnya.BRAK."Hosh-hosh-hosh.." Marigold berusaha secepat mungkin bersembunyi di belakang mobil yang terparkir di sebelahnya. "Aduh perutku..," rintihnya memegang perutnya yang mengencang, akibat tiba-tiba bergerak cepat dan terburu-buru.Keringat
Hari-hari yang dilewati Marigold sangat menyenangkan sekaligus menjemukan. Kondisi yang hamil besar di trimester ketiga, membuatnya kesulitan untuk bergerak bebas. Dirinya juga tidak diperbolehkan melakukan ini dan itu. Semuanya serba dilayani bagaikan ratu. Terlebih dirinya dikawal ketat oleh mama tercinta dan mama mertua. Keduanya selalu standby di dekat Marigold, takut terjadi sesuatu yang buruk pada calon cucu pertama mereka.Hal itu membuat Marigold sering cemberut dan bete."Kamu ini! Kenapa mukamu ditekuk jelek kayak unta?!" omel mama Marigold yang sedang menyuapkan sepotong buah melon untuk putrinya. "Asal kamu tahu, semua wanita menginginkan posisimu saat ini. Kamu sedang mengandung pewaris kerajaan bisnis, dicintai suami yang tampan dan kaya raya, dimanja habis-habisan, bahkan mertuamu terlalu ekstra perhatian sampai membuat mama muak.""Tapi aku ini bosan, ma. BOSAAAN," rengek Marigold mengacak-acak rambutnya, jengkel. "Tiap hari kerjaanku hanya makan minum tidur, makan min
"Aku ingin kamu menceraikan semua istrimu. Aku ingin menjadi satu-satunya istrimu," kata Orchid lantang.Max memandang nanar pada Orchid, istri pertamanya yang selalu terlihat cantik dan menawan. Permintaan Orchid mustahil untuk dilakukan. "Tidak. Jika aku harus menceraikan semua istriku, wanita yang akan mendampingiku adalah Marigold, bukan kamu."Mendengar jawaban suaminya, Orchid tergelas sinis. "Huh! Jangan bercanda, Max," sentaknya geram. Dengan menunjuk ke arah kamar utama, Orchid kembali meraung marah, "Wanita udik seperti dia, tidak akan pernah bisa menandingi pesonaku, kharismaku, bahkan aura glamorku untuk menjadi pendampingmu, seorang milyader kelas dunia. Wanita udik itu pantasnya berada di gua. Kamu dengar itu, GUA! "Kamu mau kemana?" Max menarik lengan Orchid yang menghentakkan kakinya, hendak menerobos masuk ke kamar tidur utama. "Lepas!" Orchid mengibaskan lengannya. "Jangan halangi aku. Aku akan mengusir wanita udik itu! JALANG KECIL ITU TIDAK PANTAS DISINI!" teriak
Marigold membuka matanya. Langit-langit yang dilihat Marigold bukanlah plafon putih kamar VIP yang beberapa hari ini menjadi tempatnya bernaung. Warna biru serta awan putih yang tergambar di langit-langit, perlahan membuat Marigold memahami kalau saat ini dirinya sedang berada di kamar apartemen Max, suaminya.Marigold menoleh ke samping, mendapati seseorang sedang berbaring di sebelahnya, memeluknya dengan posesif."Max..""Hmmm, sudah bangun?" Suara Max terdengar serak, khas orang baru bangun tidur. "Jam berapa sekarang? Setengah delapan," ucapnya sembari melihat jam digital di nakas samping ranjang."Max, aku haus.""Aku akan mengambilkan air," jawab Max sambil mengecup dahi Marigold, lalu mendekap tubuh mungil istrinya. "Tapi sebelumnya, aku ingin memelukmu sekali lagi. Aku harus menyakinkan diriku, bahwa dirimu aman dalam dekapanku. Akhir-akhir ini, kamu terlalu sering terluka. Jadi jika tidak melihatmu sedetik saja, aku takut akan kehilanganmu. Hmm, aku sudah menemukan posisi t
Gerry membuka pintu apartemen, terseok-seok masuk sembari memegangi dadanya yang berdenyut nyeri.Brak. Pintu apartemen terbanting tertutup dengan dorongan kakinya. Gerry juga membanting kunci, dompet, serta ponsel ke atas meja dekat pintu masuk."Akh, dasar wanita sialan!" rutuk Gerry kesal. "Uhuk-uhuk.. Aduh, dadaku sakit."Gerry melepas kaos hitamnya dan melemparkannya sembarangan. Diperiksanya dada bidang miliknya yang nyeri karena lebam, pada cermin besar. Gerry meraba memar-memar yang mulai membiru."Brengsek!" umpat Gerry mengusap hidungnya yang nyeri dan terus mengeluarkan darah. Siku wanita itu menghantam telak pada tulang hidungnya yang pernah patah saat remaja dulu.Gerry mengambil kotak obat di dapur, juga es batu di kulkas, lalu membanting pantatnya di sofa depan televisi layar datar miliknya."Sial! Dia merusak penampilanku. Auch, sakit."Ketika Gerry sedang mengobati lukanya, tiba-tiba pintu apartemen terbanting terbuka. Seseorang menerobos masuk dengan penuh amarah."
Tiba-tiba.. Seseorang muncul di pintu kamar. Gerakannya yang cepat, menyambar tangan Nina yang sedang dicengkram Gerry.Bugh-bugh-bugh..Gerry yang terkejut dengan serangan itu, tidak bisa berkutik, hanya bisa pasrah menerima dua bogem mentah yang mendarat keras di wajahnya."Jangan sentuh istriku," gertak Martin yang memberikan tinjunya sekali lagi hingga Gerry terhuyung-huyung ke belakang dan menabrak sofa."Martin." Nina langsung memeluk suaminya dengan erat, sekaligus mencegah Martin ditangkap gegara memukuli orang. "Untung kamu segera datang. Aku takut."Martin memeluk Nina erat, dengan mata memicing tajam membalas tatapan Gerry yang marah akibat pukulannya. Dan permusuhan pun terbit hanya dalam hitungan detik.Sedangkan Max menerobos masuk dan langsung menerjang Archie. Dicengkramnya kaos berkerah sepupunya, lalu mendesaknya ke dinding. "Dasar brengsek! Sudah berapa kali kuperingatkan, jauhkan tanganmu dari Marigold! Dan satu lagi, jangan umbar mulut berbisamu di telinga istri