"Tuan Archie... membawa Nyonya Marigold ke IGD. Nyonya mengalami pendarahan hebat.""APA?!" Untung saja jantung Max kuat, jika tidak.. kejutan demi kejutan akan membuatnya mendapatkan serangan jantung saat ini juga. "Astaga.. pendarahan?! A-apa yang terjadi padanya? Cepat katakan padaku, Martin.""Sewaktu Tuan Archie membawa Nyonya Marigold ke kamar, tangannya merasakan basah pada punggung nyonya. Ketika dilihat, ternyata ada rembesan darah yang membuat noda merah besar pada gaun belakang Nyonya Marigold. Tanpa pikir panjang, Tuan Archie langsung membawa Nyonya Marigold ke rumah sakit." Terdengar nada cemas pada suara Martin yang biasanya berbicara dengan nada datar.Mendengar betapa parahnya kondisi istri kesayangannya, Max seolah jatuh ke dasar jurang tanpa dasar. Tidak-tidak.. tidak boleh terjadi sesuatu pada Marigold. Max tidak boleh kehilangan Marigold. Membayangkan akan kehilangan istri kecilnya, sudah membuat tubuh Max mati rasa, hidupnya pasti akan terasa hampa tanpa cinta Mar
Pesan suara itu datang empat jam kemudian.Max bangkit dari ranjang, dimana dirinya menemani Orchid tidur. Di ruang duduk, Max membuka laptopnya dan mendapatkan pesan suara dari Martin, asisten pribadinya. Dengan kepala menunduk, seolah fokus pada laptopnya, mata Max menyapu setiap sudut ruangan dari kamar suite mewah ini. Chrysan, istri keduanya sedang menata kue camilan di atas piring. Lalu disebelahnya, ada Amarilis, istri kelimanya yang duduk di meja makan sembari menekuri ponselnya. Kemudian di balkon yang terbuka, Lotus, istri keenamnya, sedang melakukan gerakan senam yoga. Sedangkan kedua istri kembarnya, tidak nampak dimanapun.Max mengusap rambutnya dan menggerutu dalam hati... "Astaga, aku seperti bajak laut yang terpenjara di sarang wanita cantik, sama sekali tidak bisa bergerak bebas." Tidak ingin pesan suara dari Martin itu terdengar oleh para istrinya, Max langsung mengambil headset dan memakai di telinganya. Max tidak sabar mendengar kondisi terakhir Marigold, istri k
Di kantor pusat Alexander.Max duduk di kursinya, memejamkan mata sembari memijat kepalanya, pemandangan itulah yang ditemukan Martin ketika masuk ke ruangan atasannya."Kamu baik-baik saja, Max?" tanya Martin khawatir.Max mendongak, mendapati sahabatnya menatapnya dengan cemas. Max menghela napas panjang sebelum menjawab.. "Aku.. baik-baik saja. Tapi aku akan hancur bila melihat Marigold kembali tersiksa. Bagaimana keadaannya? Apa Marigold sudah mendapatkan perawatan terbaik?""Minum ini dulu, Max. Kamu terlihat sangat kacau dan berantakan." Martin mengulurkan gelas pada Max. "Perihal Nyonya Marigold, serahkan saja padaku. Aku sudah meminta bantuan Nina untuk menjaganya."Max menghabiskan isi gelas dalam sekali teguk. "Nina? Siapa dia?" tanyanya dengan mengerutkan keningnya, tidak tahu siapa yang dimaksud Martin."Nina adalah sepupu Nyonya Marigold, dia sekaligus... istriku."Max memandang heran Martin, seolah pada kepala sahabatnya itu tumbuh dua tanduk aneh. "Is-istri?! Sejak kapa
PRANGGG..Gerakan Max yang sedang keluar dari mobil, sontak terhenti ketika mendengar suara benda pecah, disusul dengan suara teriakan bersahutan. Kepala Max menengadah memandang rumah mewah miliknya dengan kening berkerut, seolah baru pertama kali dirinya memperhatikan detail mansionnya. Sejak kapan, Edelweis mansion tidak lagi nyaman untuk ditinggali? Mansion ini adalah milik Tuan dan Nyonya Alexander, papa dan mama Max. Namun, sejak papa Max meninggal, mamanya tidak lagi mau tinggal sendirian di mansion mewah itu. Rumah itu terlalu besar, terlalu kosong, dan terlalu banyak kenangan, hingga membuat Nyonya Alexander memilih tinggal di apartemen mungil nan mewah daripada tinggal sendirian di Edelweis mansion."Tuan Max, untunglah anda segera datang." Seorang pria paruh baya berjalan cepat mendekati Max."Thomas, bunyi nyaring apa itu? Apa di dalam mansion sedang terjadi perang ufo?" tanya Max datar sembari menyerahkan jas beserta jaket panjangnya pada Thomas, kepala pelayan Edelweis
Max meninggalkan Orchid di rumah sakit untuk penanganan secara intensif, lalu kbali ke Edelweis mansion. Ada yang harus diselesaikan malam ini juga. Tadi Max sudah menelpon Thomas, kepala pelayan mansion, untuk menyuruh para istrinya berkumpul di ruang keluarga, satu jam lagi."Huft.."Max turun dari mobil lalu menarik napas panjang, merasakan hawa dinginnya malam menembus paru-parunya. Untuk kedua kalinya di malam itu, Max berdiri di depan teras Edelweis mansion. Sorot matanya menatap nanar seluruh bangunan mewah, peninggalan orang tuanya. Hati Max terasa pilu mengingat keputusan yang akan diambilnya malam ini. Cklek. Blam.Sepatu Max menggema ketika masuk ke dalam ruangan mansion. Alisnya terangkat ketika mendapati lima istrinya sedang duduk tanpa suara, bahkan tanpa menghidupkan lampu, seolah sedang dalam kondisi berkabung."Kenapa tidak menyalakan lampu?" tanya Max sembari menekan tombol saklar, membuat lima pasang mata itu mengerjap untuk menyesuaikan dengan lampu yang tiba-tiba
Sudah tiga hari sejak Marigold pingsan dan dibawa ke rumah sakit, Max sama sekali belum menjenguk istrinya itu. Max ingin membereskan semua urusan para istri sebelum menemui Marigold, istri kesayangannya itu. Setelah semua kerumitan rumah tangganya selama ini, Max berencana hanya ingin hidup berdua dengan Marigold, terlebih lagi saat ini istri kecilnya itu sedang mengandung bayinya. Anak yang selalu diinginkannya selama ini. Max tidak ingin hidupnya diperbudak lagi dengan ramalan konyol mengenai tujuh istri untuk meningkatkan perfoma perusahaannya. Huh, persetan dengan ramalan itu! Bukannya membuat dirinya fokus bekerja dan bahagia, tetapi malah menambah beban pikiran dan pusing tujuh keliling.Pagi ini, Martin sudah memberikan laporan tentang jawaban dari kelima istrinya. Chrysan, si kembar Lily dan Peony, dan Amarilis memutuskan untuk tetap berada dalam perlindungan Max. Hanya Lotus yang menginginkan perpisahan dengannya. Sangat disayangkan, karena Lotus adalah wanita yang pintar
Satu jam sebelumnya. Di rumah sakit."Bagaimana perasaanmu, Marigold? Sudah merasa lebih baik? Punggungmu masih sakit kah? Semoga saja luka mengerikan itu tidak meninggalkan bekas," ucap Nina sepupunya, sembari mendorong kursi roda dari kamar VIP menuju ke taman rumah sakit. "Dan aku harap, ini adalah bobok terakhirmu di rumah sakit ya. Aku tidak habis pikir, sejak kamu menikah dengan si milyader ini, sudah tidak terhitung lagi berapa kali kamu masuk keluar rumah sakit. Padahal dulu saat masih gadis, batuk pilek saja ogah mampir mendekatimu karena tubuhmu terlalu sehat dan kuat bagai anak kerbau lepas kandang.""Nyinyir saja terus sampai dunia kiamat," gerutu Marigold yang melirik sebal pada Nina yang sedang memposisikan kursi roda yang ditumpanginya, di bawah pohon rindang. Nina mengabaikan omelan Marigold. Nina duduk, menengadahkan wajahnya ke langit biru, dan menarik napas panjang untuk menikmati udara. "Ah segarnya.." "Ck, segar apaan. Ini sudah hampir jam sebelas siang, Nina g
Tiba-tiba.. Seseorang muncul di pintu kamar. Gerakannya yang cepat, menyambar tangan Nina yang sedang dicengkram Gerry.Bugh-bugh-bugh..Gerry yang terkejut dengan serangan itu, tidak bisa berkutik, hanya bisa pasrah menerima dua bogem mentah yang mendarat keras di wajahnya."Jangan sentuh istriku," gertak Martin yang memberikan tinjunya sekali lagi hingga Gerry terhuyung-huyung ke belakang dan menabrak sofa."Martin." Nina langsung memeluk suaminya dengan erat, sekaligus mencegah Martin ditangkap gegara memukuli orang. "Untung kamu segera datang. Aku takut."Martin memeluk Nina erat, dengan mata memicing tajam membalas tatapan Gerry yang marah akibat pukulannya. Dan permusuhan pun terbit hanya dalam hitungan detik.Sedangkan Max menerobos masuk dan langsung menerjang Archie. Dicengkramnya kaos berkerah sepupunya, lalu mendesaknya ke dinding. "Dasar brengsek! Sudah berapa kali kuperingatkan, jauhkan tanganmu dari Marigold! Dan satu lagi, jangan umbar mulut berbisamu di telinga istri
Seorang dokter sedang mengenakan jubah medis lengkap, tidak ketinggalan masker, menutupi hampir sebagian besar wajahnya. Melangkah masuk ke ruang ICU, pemandangan menyedihkan langsung terpampang di depan mata. Seorang pasien laki-laki terbaring lemah, dikelilingi beberapa alat yang tersambung pada tubuh ringkihnya. Dengung tanpa nada dari alat bantu penunjang kehidupan dari pasien itu terdengar menyesakkan jiwa.Pria dengan jubah putih khas dokter itu mendekati ranjang pesakitan, lalu mengambil papan laporan dan memperhatikan alat detak jantung yang bergerak lamban. Pasien itu koma, setelah mengalami kecelakaan tunggal menghantam pagar beton pembatas parkiran mall.Perlahan, ditariknya masker yang menutupi wajahnya, lalu.."Halo Gerry, aku datang menjengukmu," sapa dokter yang ternyata adalah Tuan Archie, atasan dari Gerry, si pasien ICU. "Kamu.. terlihat mengenaskan."Archie tersenyum tipis, melihat kedutan lemah pada kedua kelopak mata Gerry, seolah merespon kedatangannya. Archie se
RS. Sehat Selalu.Martin menemui istrinya yang sedang tertidur pulas. Perawat bilang, Nina baru saja diberi obat penenang karena tubuhnya yang syok akibat kehilangan banyak darah. Jadi istrinya membutuhkan banyak istirahat."Sayang.." Martin mencium kening Nina, lalu duduk di samping ranjang. Hatinya hancur melihat Nina yang begitu lemah. Martin segera menyadari, ternyata seperti ini perasaan Max yang terpuruk, setiap kali melihat Marigold, istrinya terbaring tak berdaya di ranjang pesakitan.Tak lama kemudian, seorang perawat datang mendekat untuk mengecek kondisi vital Nina."Bagaimana keadaannya?" Martin bertanya setelah perawat itu menyelesaikan tugasnya."Istri anda akan berangsur pulih. Kehilangan bayi bisa membuat perasaan ibu terluka dan depresi. Anda hanya perlu memanjakannya," ucap perawat itu sembari tersenyum menenangkan."Terima kasih." Martin menghembuskan napas lega. "Akan kuikuti saran anda. Memanjakan Nina adalah tujuan hidupku.""Mar-martin.."Mendengar suara lirih
Sementara Martin menjadi pahlawan menyelamatkan Marigold, Nina duduk gelisah di samping Oskar yang sedang menyetir sembari bersiul riang."Aku senang bertemu denganmu, Nina." Oskar menyeringai senang, tanpa mempedulikan ekspresi Nina yang menahan rasa sakit akibat darah yang merembes keluar, membasahi gaunnya.Nina membuang pandangannya, sama sekali tidak menjawab. Nina memandang ke arah jendela kaca mobil yang melaju kencang, terlihat dari pohon-pohon yang terlewati dengan cepat."Kamu terlihat semakin cantik, membuatku gemas dan ingin memelukmu," puji Oskar menyentuh pundak Nina dan mengelusnya."Jangan pegang-pegang, Oskar!" Nina menyembur jengkel. "Kita hanya mantan, tidak ada hubungan lagi, terlebih aku adalah wanita bersuami.""Aku sama sekali tidak keberatan dengan statusmu." Oskar menoleh, tersenyum lebar. "Walau sebenarnya sangat disayangkan karena aku tidak mendapatkan darah perawanmu, tapi tidak apalah. Saat ini, kamu pasti sudah berpengalaman untuk memuaskan aku."Nina men
Tidak jauh dari keduanya berdiri, sebuah mobil mendekat dengan kekuatan sedang, terus melaju semakin cepat dan.."AWAS!"BRAK.CKRIITT..Gerak refleks Marigold yang cepat, membuatnya bisa melompat ke samping sebelum mobil itu menyerempet. Namun, Nina tidak berhasil menghindar. Nina tertabrak dan terjatuh keras di pelataran. Darah mulai merembes, mengalir diantara kedua kakinya."Ma-marigold, da-darah.. bayiku..""Astaga Nina.." Marigold panik melihat Nina berlumuran darah. CKRIITT..Marigold membatalkan niatnya untuk membungkuk, mengecek kondisi Nina, ketika mendengar mobil gila yang menyerempetnya tadi, berputar sangat cepat hingga menimbulkan decitan kasar. Mata Marigold membelalak panik saat melihat mobil itu kembali, meluncur cepat ke arahnya.BRAK."Hosh-hosh-hosh.." Marigold berusaha secepat mungkin bersembunyi di belakang mobil yang terparkir di sebelahnya. "Aduh perutku..," rintihnya memegang perutnya yang mengencang, akibat tiba-tiba bergerak cepat dan terburu-buru.Keringat
Hari-hari yang dilewati Marigold sangat menyenangkan sekaligus menjemukan. Kondisi yang hamil besar di trimester ketiga, membuatnya kesulitan untuk bergerak bebas. Dirinya juga tidak diperbolehkan melakukan ini dan itu. Semuanya serba dilayani bagaikan ratu. Terlebih dirinya dikawal ketat oleh mama tercinta dan mama mertua. Keduanya selalu standby di dekat Marigold, takut terjadi sesuatu yang buruk pada calon cucu pertama mereka.Hal itu membuat Marigold sering cemberut dan bete."Kamu ini! Kenapa mukamu ditekuk jelek kayak unta?!" omel mama Marigold yang sedang menyuapkan sepotong buah melon untuk putrinya. "Asal kamu tahu, semua wanita menginginkan posisimu saat ini. Kamu sedang mengandung pewaris kerajaan bisnis, dicintai suami yang tampan dan kaya raya, dimanja habis-habisan, bahkan mertuamu terlalu ekstra perhatian sampai membuat mama muak.""Tapi aku ini bosan, ma. BOSAAAN," rengek Marigold mengacak-acak rambutnya, jengkel. "Tiap hari kerjaanku hanya makan minum tidur, makan min
"Aku ingin kamu menceraikan semua istrimu. Aku ingin menjadi satu-satunya istrimu," kata Orchid lantang.Max memandang nanar pada Orchid, istri pertamanya yang selalu terlihat cantik dan menawan. Permintaan Orchid mustahil untuk dilakukan. "Tidak. Jika aku harus menceraikan semua istriku, wanita yang akan mendampingiku adalah Marigold, bukan kamu."Mendengar jawaban suaminya, Orchid tergelas sinis. "Huh! Jangan bercanda, Max," sentaknya geram. Dengan menunjuk ke arah kamar utama, Orchid kembali meraung marah, "Wanita udik seperti dia, tidak akan pernah bisa menandingi pesonaku, kharismaku, bahkan aura glamorku untuk menjadi pendampingmu, seorang milyader kelas dunia. Wanita udik itu pantasnya berada di gua. Kamu dengar itu, GUA! "Kamu mau kemana?" Max menarik lengan Orchid yang menghentakkan kakinya, hendak menerobos masuk ke kamar tidur utama. "Lepas!" Orchid mengibaskan lengannya. "Jangan halangi aku. Aku akan mengusir wanita udik itu! JALANG KECIL ITU TIDAK PANTAS DISINI!" teriak
Marigold membuka matanya. Langit-langit yang dilihat Marigold bukanlah plafon putih kamar VIP yang beberapa hari ini menjadi tempatnya bernaung. Warna biru serta awan putih yang tergambar di langit-langit, perlahan membuat Marigold memahami kalau saat ini dirinya sedang berada di kamar apartemen Max, suaminya.Marigold menoleh ke samping, mendapati seseorang sedang berbaring di sebelahnya, memeluknya dengan posesif."Max..""Hmmm, sudah bangun?" Suara Max terdengar serak, khas orang baru bangun tidur. "Jam berapa sekarang? Setengah delapan," ucapnya sembari melihat jam digital di nakas samping ranjang."Max, aku haus.""Aku akan mengambilkan air," jawab Max sambil mengecup dahi Marigold, lalu mendekap tubuh mungil istrinya. "Tapi sebelumnya, aku ingin memelukmu sekali lagi. Aku harus menyakinkan diriku, bahwa dirimu aman dalam dekapanku. Akhir-akhir ini, kamu terlalu sering terluka. Jadi jika tidak melihatmu sedetik saja, aku takut akan kehilanganmu. Hmm, aku sudah menemukan posisi t
Gerry membuka pintu apartemen, terseok-seok masuk sembari memegangi dadanya yang berdenyut nyeri.Brak. Pintu apartemen terbanting tertutup dengan dorongan kakinya. Gerry juga membanting kunci, dompet, serta ponsel ke atas meja dekat pintu masuk."Akh, dasar wanita sialan!" rutuk Gerry kesal. "Uhuk-uhuk.. Aduh, dadaku sakit."Gerry melepas kaos hitamnya dan melemparkannya sembarangan. Diperiksanya dada bidang miliknya yang nyeri karena lebam, pada cermin besar. Gerry meraba memar-memar yang mulai membiru."Brengsek!" umpat Gerry mengusap hidungnya yang nyeri dan terus mengeluarkan darah. Siku wanita itu menghantam telak pada tulang hidungnya yang pernah patah saat remaja dulu.Gerry mengambil kotak obat di dapur, juga es batu di kulkas, lalu membanting pantatnya di sofa depan televisi layar datar miliknya."Sial! Dia merusak penampilanku. Auch, sakit."Ketika Gerry sedang mengobati lukanya, tiba-tiba pintu apartemen terbanting terbuka. Seseorang menerobos masuk dengan penuh amarah."
Tiba-tiba.. Seseorang muncul di pintu kamar. Gerakannya yang cepat, menyambar tangan Nina yang sedang dicengkram Gerry.Bugh-bugh-bugh..Gerry yang terkejut dengan serangan itu, tidak bisa berkutik, hanya bisa pasrah menerima dua bogem mentah yang mendarat keras di wajahnya."Jangan sentuh istriku," gertak Martin yang memberikan tinjunya sekali lagi hingga Gerry terhuyung-huyung ke belakang dan menabrak sofa."Martin." Nina langsung memeluk suaminya dengan erat, sekaligus mencegah Martin ditangkap gegara memukuli orang. "Untung kamu segera datang. Aku takut."Martin memeluk Nina erat, dengan mata memicing tajam membalas tatapan Gerry yang marah akibat pukulannya. Dan permusuhan pun terbit hanya dalam hitungan detik.Sedangkan Max menerobos masuk dan langsung menerjang Archie. Dicengkramnya kaos berkerah sepupunya, lalu mendesaknya ke dinding. "Dasar brengsek! Sudah berapa kali kuperingatkan, jauhkan tanganmu dari Marigold! Dan satu lagi, jangan umbar mulut berbisamu di telinga istri