Bangkit Kembali
“Iya kalian pasti menggunakan pesugihan!” sahut pengunjung pasar lainnya.Para pengunjung warteg yang menjerit kesakitan akhirnya dibawa satu persatu ke rumah sakit terdekat. Lain hal yang terjadi dengan Tika dan Amprung, mereka dilempari sampah dan batu, kiosnya diacak-acak. Uangnya dirampas lalu dibakar di depan mereka berdua.“Ampuni kami. Sungguh, kami tidak menggunakan pesugihan!” Amprung memeluk istrinya, melindunginya dari amukan warga.“Halah! Bohong kau!” sebuah kayu menghantam kepala Amprung. Ia terkapar dengan darah bercucuran.“Pak!” Tika menjerit sambil merangkul suaminya.Sebelum warga sempat membunuh mereka berdua, polisi datang berhamburan ke pasar Kliwon. Salah satu pimpinan polisi menembakkan senjata api ke udara untuk membubarkan kerumunan.Untung saja, Amprung dan Tika masih bisa diselamatkan. Dan yang terjadi selanjutnya sangat menyedihkan, warteg mereka ditutup paMalam itu aku lagi di sebuah club malam di Bilangan Jakarta selatan. Aku pergi bersama teman-temanku. Kita buka botol dan jam 1 malam udah pada mabok dan ilang-ilangan karena saat itu aku gak minum karena aku lagi semangat keliling tempat itu. Kali aja dapet cowok lucu buat bungkusan.Terus aku kenalan sama cowok ini sebut aja dia Adi (nama samaran) yang bawa aku ke sofanya dan berbincanglah aku sambal minum wine manja bareng teman-temannya juga. Sampe aku kenalan sama kak Bianka. Dia ini tipikal cewek-cewek kisaran 20 tahunan sosialita Jakarta yang pake barang branded dari ujung kepala hingga kaki.Singkat cerita, aku pulang ke rumah malam itu. Aku tidak berpikir apa pun saat itu dari si Adi tapi aku tukaran Instagram sama kak Bianka. Selang beberapa waktu ya hubunganku sama kak Bianka cuman sebatas balas membalas story aja gitu. Sampe tiba-tiba gak ada angin gak ada hujan dia ngajak aku lunch di salah satu restoran di PI.Ya memang normal-normal aja sih, kita juga c
Setelah aku diblock yaudah aku cuek aja tetap menjalani hidup seperti biasa tapi semenjak itu aku mulai merasakan gangguan gaib seperti ketindihan.Setiap aku mau tidur selalu ada gangguan bising seperti suara baling-baling mesin entahlah apa itu. Selain itu juga aku kerap mendengar suara orang-orang seperti sedang mengobrol di dekatku sehingga aku tidak bisa tidur.Badan sering terasa lemas karena sulit tidur dan sekalinya tidur malah digangguin entahlah apa itu karena aku gak percaya gituan. Gangguan lainnya sering terjadi juga seperti shower kamar mandi yang sering menyala sendiri.Di tempat umum aku sering juga menemukan lipan ukuran yang tak lazim, serta ada juga pernah menemukan kalajengking yang entah darimana.Belum lagi gangguan financial gue yang terasa sangat sulit tak seperti sebelum mengenal kak Bianka itu. Mencari freelance sangat sulit untung saja aku sedikit terbantu oleh pacar LDR ku yang sering bantuin keuanganku.Singkat cerita aku berusaha menenangkan
Malam itu, sedang asik-asiknya makan malam seperti biasa, kebetulan hanya aku berdua dengan Ibu, suara telepon berbunyi.“Fed angkat dulu teleponnya, takutnya ayah kamu itu yang telepon,” suruh ibu.“Iyah bu,” jawabku dan segera berjalan ke arah telepon, yang tidak jauh dari meja makan itu.“Hallo Bu, ini kang Idim,” dengan nada yang terdengar gemetar.“Kang Idim ini Fedi, ada apa kang?,”"Eh Nak Fedi, Akang mau bicara sama Ibu, ada ibunya?" ucap Kang Idim.“Ada sebentar kang, aku panggil dulu, tunggu yah sebentar,” ucapku dengan heran, kenapa kang Idim tumbenan telepon.Tidak lama, langsung aku bilang ke Ibu bahwa yang telepon kang Idim dengan nada gemetar, Ibu langsung beranjak dari duduknya dengan wajah yang kaget juga. Aku langsung mengikuti langkah ibu, karena penasaran.“Iya Dim ada apa?,” tanya Ibu.Setelah pertayaan itu, Ibu tidak bicara lagi, hanya tetesan ai
“Kak mana kunci rumahnya?,” tanya Mella.“Eh kamu lagi, di tas kakak di bagian depan, ambil sana sama kamu," ucapku sambil memberikan kunci mobil.Baru beberapa langkah Mella menjauh dari rumah berjalan menuju mobil, aku seperti mendengar suara sepatu orang yang berjalan di dalam rumah. Deg!, langsung aku kaget.Siapa yang di dalam rumah, apa kang Idim menginap di dalam? Tapi gordeng jendala masih tertutup, aku tidak bisa melihatnya.“Kang... Kang... Akang di dalam ini aku Fedi,” teriakku.“Ya gimana akang ada di dalam kan kuncinya ini baru aku bawa,”Deg! Suara Mella mengagetkan aku, beneran aku sangat dibuat kanget!.“Ah kamu lagi, kaget kakak ini,” ucapku dengan nada yang masih penuh keheranan.“Lah emang benerkan kuncinya ini, lagian harus teriak-teriak aneh, kenapa sih?,” ucap Mella.“Gapapa Mel, mana sini, yuk kita buka,” ajakku.Saat aku mau membuka
Pikiranku fokus pada yang Mella bilang soal “Nenek menangis” entah kenapa hal itu yg paling kuat aku pikirkan, setelah kejadian melukis pohon beringin itu.“Gubrakkk...”Kaget sekali suara itu kencang, aku bahkan sadar tidak sadar mendengar suara itu. Aku buka mata, mencari hp aku lihat jam 1:30 dini hari.“Tumben aku ketiduran, biasanya mata ini susah diajak tidur,” ucapku dalam hati.“Gubrakkk...”Suara itu lagi, mata masih mengantuk, aku berjalan menuju dapur, dalam keadaan lemas bangun dari tidur dengan sedikit sadar aku melihat perempuan berbalik badan.Rambutnya terurai, aku pikir itu Mella karena perawakanya percis dengan Mella. Tidak aku lanjutkan mendekat, hanya melihat dari pintu dapur saja, beberapa detik.“Paling dia laper mau bikin mie, atau manasin air buat bikin susu,” ucapku dalam hati.Karena memang kebiasaan dia di rumah seperti itu, aku lanjutkan tiduran karena sang
Sesekali memejamkan mata, baru saja mau terlelap.“Prakkk...”Otomatis aku kaget dan melihat hanya tas aku saja yang jatuh, tidak aku pedulikan sma sekali. Coba aku pejamkan mata, sialnya sosok rambut panjang yang aku lihat di dapur rumah Nenek jelas sekali ada ketika aku semakin memejamkan mata, semakin terlihat. Sial kenapa bisa seperti ini.Kembali bangun, aku masuk ke kamar Mella, sebelum aku masuk aku lihat Mella sedang menyisir rambutnya, tapi posisi dan kebiasaannya seperti bukan dia.“Mel woy..” ucapku.Mella tidak langsung menengok tetap menyisir rambut bagian belakangnya itu terus menerus.“Mella!!!!” teriakku.“Hah iya kak” jawab Mella, kaget“Lah kak ngapain aku di sini? Tadinya aku mau tiduran loh kak?," ucap Mella, heran sekaliAku paham sekarang kejadian semalam belum beres, gangguan itu belum beres, semuanya harus selesai dan hanya ibu yang aku pikir tau bagaimana menye
SarminahMungkin kalau ada orang yang kebetulan melintas di jalan Tanjung Sari, mereka tidak akan memperhatikan sebuah rumah yang terletak di pinggir jalan tersebut, karena memang tidak ada yang menarik dari rumah itu.Cat rumahnya sudah memudar, ada dua tiang sebagai penyangga di bagian depan, juga dua jendela kayu yang dibiarkan terbuka walau hari sudah semakin gelap. Di halamannya, berdiri dengan subur dan rindang sebuah pohon rambutan yang buahnya tidak pernah dipetik. Dibiarkan matang dan busuk begitu saja sepanjang tahun.Di teras rumah ada dua kursi kayu dan sebuah meja yang jarang sekali diduduki. Rumah itu terletak di pinggir jalan sehingga setiap orang yang melintas akan berpikir kalau rumah itu terkesan selalu sepi walau sebenarnya ada dua orang penghuni di dalam. Penghuni rumah itu adalah Sarminah, wanita tua yang terbaring sakit selama bertahun-tahun, dan Atiah si pembantu yang setia merawatnya.Tapi hari ini tidak seperti hari-hari biasanya, ada s
Kita Bunuh DiaSuara gong terdengar hanya sekali, perlahan Farah membuka pintu kamar tempat penyimpanan alat-alat musik ronggeng milik Sarminah. Tidak ada siapa-siapa di dalam, hanya ada alat-alat musik ronggeng yang terbungkus sarang laba-laba. Ia kembali ke kamar Sarminah, sontak saja Farah berteriak saking kagetnya lantaran melihat Sarminah duduk di atas kasurnya dengan keadaan mata melotot dan mulut terbuka lebar. Setelah sekian lama sakit, baru kali ini Farah mendapati buyutnya duduk seperti itu.“Bunuh aku. Susuk mayat....”Suara yang keluar dari tenggorokan Sarminah terdengar sangat kering dan ringkih. Farah tidak mengerti apa yang sedang diucapkan buyutnya itu.“Mbok? Udah bisa duduk?” tanya Farah sambil menampakkan wajah ketakutan.Tidak lama kemudian, terdengar seseorang mengetuk pintu. Farah bergegas membukanya, mereka sudah datang. Itu ternyata kerabat Farah yang juga masih keturunan Sarminah, sebenarnya Farah meminta semu
Aduh bapak hampir lupa, Cokro. Ya tukang bersih-bersih itu. Dia sangat terobsesi dengan senam. Setiap Rabu pagi, dia rutin ikut senam di belakang barisan siswa."Pak, bapak yakin kalau pembunuh Veli adalah Cokro?" Tanya Eldi."Iya, bapak pernah bilang kalau Cokro belum sempat diperiksa polisi, tapi sudah meninggal dikeroyok siswa," ujar Gina."Bapak sendiri tidak yakin kalau Cokro pelakunya, tapi kasus itu sama sekali tidak pernah terungkap sampai sekarang," jelas Pak Gimin."Pak, saya yakin kalau kematian siswa di sekolah kita itu karena roh Cokro yang marah. Dia dituduh dan dibunuh begitu saja, siapa tahuCokro bukan pelakunya," Gina mengeluarkan kegelisahannya selama ini."Sudahlah Gina, Eldi. Kalian masih terlalu dini untuk memikirkan hal-hal seperti ini.Gina menanyakan lokasi makam Cokro pada Pak Gimin, ia ingin berziarah dan meminta maaf mewakili semua siswa SMA Setia Bakti. Dengan harapan Cokro tidak lagi mengganggu siswa di sekolahnya.Di samping
Sekolah angker part3Gina dan Eldi masuk ke perpustakaan."Di, ini persis wajah perempuan yang ada di bayangkan gua semalem. Lihat deh dia masuk ke sekolah ini tahun 2000 dan berhenti tahun 2000 juga," Gina menyodorkan buku Arsip pada Eldi."Iya, juga ya. Kita tanya kepala sekolah aja, Gin. Siapa tahu Pak Gimin masih ingat tentang perempuan ini.""Lu benar, Di."Gina memotret foto Velicia Tjhia. Kemudian mereka bergegas menuju kantor kepala sekolah. Kebetulan Pak Gimin sedang ada di ruangannya. Ia terlihat sibuk dengan lembaran dokumen di atas meja. Malu-malu Gina dan Eldi masuk ke ruangan Pak Gimin."Selamat siang, Pak?""Iya, siang." Pak Gimin menoleh pada mereka berdua."Kami mau bicara sebentar saja.""Oh, iya silakan masuk, Nak."Mereka berdua duduk di hadapan Pak Gimin lalu menunjukkan sebuah gambar di layar smartphone Gina."Maaf ganggu waktunya, Pak. Apakah bapak kenal dengan siswi ini?"Pak Gimin terkejut, ia heran
Pembunuhan"Anak-anak. Hari ini kita kedatangan murid baru, ya," kata Bu Yati, guru matematika.Veli dengan percaya diri masuk ke dalam kelas 3A didampingi kepala sekolah. Di kantong tasnya ada buah rambutan pemberian Pak Cokro."Hai semua, kenalin namaku Velicia Tjhia. Atau biasa dipanggil Veli. Aku pindahan dari SMA Darma Bakti Yogyakarta. Salam kenal semua," ujar Veli sambil tersenyum."Hai Veli," serentak semua murid di kelas itu menyapanya."Veli, kamu bisa duduk di samping Sinta ya," Kata Bu Yati.Veli mengangguk dan langsung menuju tempat duduknya."Baik, anak-anak. Tolong temani Veli dan terima dia dengan baik, ya." ucap Pak kepala sekolah."Iya, Pak," jawab semua murid serentak.Walau Veli siswa pindahan, tidak butuh waktu lama untuk bisa beradaptasi dengan teman-temannya juga dengan setiap mata pelajaran. Veli terbilang siswi yang pintar. Ia kini menjadi pesaing beratnya Mona yang setiap tahun meraih juara satu di kelas itu.
Siapa nama kamu?Gina, lu serius berani sendiri?"Fika mengarahkan cahaya senter ke gedung sekolah tiga lantai. Tak ada lampu yang menyala di gedung itu, mungkin listriknya sedang mati."Iya Fik. Itu jam tangan pemberian almarhum nyokap gua. Takut ilang kalau nggak diambil sekarang.""Lagian lu ada-ada aja pake lupa segala. Eh, gua nggak berani nganter lu masuk ke kelas, ya. Gua nunggu di sini.""Iya nggak apa-apa. Lu jagain motor gua.""Eh, tapi gua juga takut sendirian di sini gimana dong?" Fika merengek."Lu tenang aja. Gua pasti nggak akan lama-lama."Gina membuka gerbang sekolah yang kebetulan tidak dikunci. Sekolah SMA Setia Bakti memang tidak ada satpamnya. Pihak sekolah sudah membuka lowongan, tapi tidak ada orang yang berani melamar. Banyak cerita horor yang beredar dari mulut ke mulut tentang sekolah itu."Gin, tunggu. Lu yakin mau masuk," Fika menarik lengan bajunya Gina."Eh, gua kan udah bilang kalau gua yakin mau masuk.
Pagi ini aku tidak masuk kerja karena tiba-tiba badanku demam tinggi. Aku juga sudah minum obat, tapi demamku tidak kunjung reda. Sekarang tubuhku malah menggigil. Wajahku tampak pucat saat kulihat di cermin. Kantung mataku juga mendadak hitam. Segera kubenamkan diri di atas kasur. Semakin lama tubuhku malah menggigil."Dinda...," dengan suara serak kupanggil Dinda."Iya, Mbak," sahutnya dari luar. Kudengar langkah kakinya mendekat ke kamarku."Mbak sakit?" tanya Dinda sambil melongokkan kepala dari balik pintu."Iya, Dinda. Kalau kamu nggak keberatan, tolong ambilkan mbak air hangat ya," pintaku sambil menggigil."Iya, Mbak. Tunggu ya."Tak lama kemudian dia muncul kembali dengan membawa segelas air hangat. Aku meraih gelas itu dan menyeruput airnya."Mbak sakit apa? Sudah minum obat?" Dinda duduk di sampingku."Aku demam, Din. Sudah tadi," kuserahkan kembali gelas itu pada Dinda."Semoga lekas sembuh, Mbak," kata Dinda.Dia lalu ke
“Kamu apa-apaan Din! Mbokmu sudah meninggal! Hargai mbokmu!” aku meneriakinya.“Mbokku hidup lagi kok hahaha…,” Dinda lari-lari kecil mengelilingi jenazah mboknya.“Dinda! Mbak bilang hargai Mbok kamu!” aku menerobos hujan yang kian lebat, menghampiri Dinda.Kain kafan Mbok Ibah basah kuyup dan kotor, “Astagfirullah! Dinda apa-apaan kamu! Sadar Dinda sadar!” kupegang erat kedua tangannya agar dia mau diam.“Lepasin Mbak ih…!” dia berontak.“Ada apa ini?!” Pak Rahmat muncul dengan membawa payung.“Kenapa jenazah Mbok Ibah ada di sini?!” Pak Rahmat terkejut melihat jenazah itu.Dia langsung membopong jenazah Mbok Ibah dan membawanya masuk ke dalam rumah. Dinda susah sekali dikendalikan, dia malah menangis sambil memanggil-manggil mboknya. Pak Rahmat kembali tanpa menggunakan payung, dia langsung memangku paksa si Dinda yang masih mengamuk.“Is
Sore itu semua petugas puskesmas sudah pulang. Pak Sukra memberikan kunci puskesmas kepadaku. Malam ini aku mau menginap saja di puskesmas. Kebetulan ada hal yang mau kukerjakan. Aku akan menyusun rancangan penyuluhan terhadap masyarakat tentang pentingnya keselamatan saat bersalin.Lebih dari itu, jujur saja aku masih trauma kalau harus pulang ke rumah Dinda. Ada yang tak beres sama mboknya. Dan, aku yakin bidan yang pernah tinggal di rumah Dinda juga mengalami hal yang sama.Selepas magrib kututup gerbang puskesmas lalu mengunci pintu rapat-rapat. Aku mulai bekerja menyusun rancangan dan materi untuk penyuluhan. Selang beberapa saat ada yang mengetuk pintu. Sepertinya ada yang mau berobat. Segera aku beranjak dari tempat duduk dan langsung membukakan pintu.Di depanku berdiri seorang perempuan berbaju daster yang sedang hamil tua. Dia memegangi kandungannya sambil meringis kesakitan.“Tolong aku, Bu!” katanya dengan suara yang tertahan.“
Sebelum saya menceritakan pengalaman teman saya yang mulai dinas didaerah terpencil sebagai bidanOh iya, perkenalkan dulu, aku Maya. Aku tuh seorang bidan. Setelah lulus kuliah, aku sempat kerja di klinik. Sebenarnya klinik itu milik kakak iparku. Kalau kalian pernah ke Balaraja, klinik tempatku bekerja tidak jauh dari pasar Balaraja. Selama dua tahun aku bekerja di sana.Tahun 2016, pemerintah membuka lowongan CPNS. Aku iseng-iseng ikutan daftar. Sebenarnya aku hanya ingin tahu saja bagaimana tes CPNS itu dan tidak punya harapan tinggi bisa lolos tes. Tapi, Tuhan berkata lain. Alhamdulillah aku lolos CPNS, lalu ditugaskan ke kampung terpencil.Nama kampungnya Mekar Sari. Di sana ada puskesmas yang kekurangan tenaga bidan. Oh iya, bukan kekurangan tapi tidak ada bidannya. Jadi bidan yang pernah tugas di sana minta dimutasi ke daerah lain. Dan... aku ditugaskan untuk mengisi kekosongan bidan di puskesmas itu.Aku tidak menyangka kalau kampung ini benar-benar terp
Menjelang setelah asar Pakde Anom sudah terlihat datang ke rumah keluarga pak Saiful. Lelaki paruh baya itu menyambutnya penuh suka cita. Ujung matanya juga menangkap dua sosok pemuda lain di belakang Pakde Anom. Seolah mampu membaca pikiran, pakde Anom pun menjawab:“Ini murid-muridku Pul, mereka juga akan membantu proses peruwatan nanti."“Oh, begitu pakde,” jawab pak Saiful sembari mempersilakan ketiganya masuk ke dalam rumah.Pukul 11 malam, kompleks perumahan terlihat mulai sepi. Tampak dua orang pemuda yang dibawa pakde Anom menggali tanah dengan sekop dan memendam sesuatu di empat sudut penjuru rumah.Tujuannya adalah menanam pagar gaib untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan saat proses ritual pengusiran. Pak Saiful tampak mengintip dari jendela di dalam rumah mengamati aktivitas tersebut. Sebuah tepukan pelan di bahu kanan membuatnya menoleh. Dilihatnya Pak Hasan mencoba memberikan keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja.Kedu