Hantaran Diminta Kembali
Lila melirik Bibi Purwati yang beranjak menjauh dengan langkah tergesa itu. Kakinya tidak bisa melangkah sempurna karena lilitan kain jarik yang terlalu sempit itu.Lila merasa heran kenapa bibinya berusaha membuatnya menjauh dari tempat pesta itu begitu Dimas keluar dari kamar pengantin dan menuju ke tempat pesta.Wanita itu bahkan selalu mengawasi gerak gerik Lila.Bi Pur dengan tergesa mendekatinya dan menyuruhnya melakukan berbagai pekerjaan.Pesta itu memang terkesan kurang persiapan. Minuman saja belum tertata rapi meski tamu sudah mulai berdatangan.Bahkan ada makanan yang belum selesai dimasak.Acara akad nikah juga mundur dari jadwal pernikahan."Bu, gimana sih EO-nya kok tidak beres, ya?"tanya Lila ketika melihat ibunya datang membawa tumpukan piring itu."Mereka itu tidak pakai jasa EO atau katering, mereka cuma mengandalkan bantuan tetangga kanan-kiri saja," ucap Paman Manto sambil membawa semangkuk besar soup merah dan menuangnya dalam mangkuk saji itu."Jadi Purwati cuma bicara omong kosong saja?" tanya ibu kesal. Sementara ibu sibuk menata mangkuk-mangkuk kecil di atas meja."Ya, tahu sendiri sifat adikmu itu gimana, Mbak!" keluh Paman Manto."Dan mereka memang tidak mau berunding dengan keluarga kita," sambung paman sambil menutup wadah-wadah stainles itu."Ya, resiko ditanggung sendiri, ya!" Ibu berkata sambil mengipasi wajahnya dengan telapak tangan. Wanita itu mulai merasa gerah karena tidak ada kipas angin apapun yang terpasang di sana."Udah, kita bantu sekedarnya saja,"ucap Paman santai."Lagipula, sudah ada panitia yang sudah mereka siapkan,"lanjut Paman Manto lagi."Ya, seharusnya kita juga hanya duduk-duduk kayak istrimu itu, ya!" Ibu berkata sambil tertawa. Paman Manto hanya tersenyum masam."Ya, dia sedang tidak bisa berjalan karena sandal tingginya itu."ucapan Paman membuat Ibu dan Lila tertawa. Acara akad nikah selesai dan para tamu kini menikmati hidangan.Sementara anggota keluarga berfoto dengan pengantin.Sari dan Dimas kini berfoto dengan keluarga Dimas. Sari tampak bergelanyut mesra di lengan pria itu.Lila tampak memperhatikan kesibukan yamg terjadi di pelaminan itu. Ia membayangkan bagaimana jika menikah kelak.Lila juga berjanji dalam hati, ia tidak akan memakai baju yang sewarna dengan baju pemgantin yang dikenakan Sari saat ini. Ia juga tidak akan menyewa jasa MUA seperti yang mendandani Sari sekarang. Sari hari ini terlihat menor dan tampak lebih tua dari umurnya.Tak sengaja pandangan Lila bertatapan dengan mata Dimas.Pria itu juga kepergok tengah menatap ke arah Lila dengan tatapan yang dalam.Lila diam, termangu. Ia merasa biasa saja. Tak ada lagi desiran aneh di dadanya saat menatap Dimas. Bahkan rasa cinta dan cemburu itu menguap entah kemana. Yang dirasakan Lila saat ini hanya muak dan marah pada Dimas.Teganya pria itu mengkhianatinya menjelang pernikahan mereka dan memilih menikahi Sari.Berarti tak ada yang perlu disesali. Dimas bukan pria yang tepat untuk Lila dan gadis itu kini merasa lega.Tak ada lagi perasaan pada Dimas yang dulu pernah hadir dalam hatinya saja.Jika bisa hadir bukankah perasaan cinta itu bisa pergi sesukanya."Kasihan Lila, dia ngeliatin terus pada mantan tunangannya yang telah direbut sepupunya!"Lila menajamkan telinganya, ia berusaha mengenali siapa yang membicarakan dirinya kini.Gadis-gadis pengiring pengantin itu sedang berbisik dan bergunjing tentangnya.Lila mengalihkan pandangan pada beberapa pemuda dan bapak-bapak yang sibuk keluar tenda. Suasana kembali riuh."Ada apa, Rud?"Lila bertanya ketika melihat pemuda tetangganya itu. Pemuda itu terlihat tergopoh keluar membawa alat pemadam kebakaran."Sound system konslet, Mbak," ucap Rudi panik. Pemuda itu berjalan tergesa keluar dari tenda.Suasana riuh seketika.Lila membelalakkan mata, ia seketika berdiri. Sound system itu berada di halaman rumahnya.Jika sound system itu terbakar dan bagaimana keadaan rumahnya saat ini?Lila segera berdiri, tapi ada tangan mencekalnya."Diam saja di sini, jangan malah ikutan ribut," ucap Ibu menghalangi Lila keluar, meski wajahnya juga nampak cemas."Semoga saja enggak ada apa-apa!"harap Lila sambil meremas tangan gelisah.Suasana di tenda kini menjadi tegang. Para tamu banyak yang keluar dari tenda pesta.Tapi keluarga pengantin itu tampak tak terpengaruh, mereka tampak berusaha terlihat santai dan meneruskan sesi foto keluarga.Lila dengan tak sabar keluar dari tenda menuju ke halaman rumahnya. Lila bahkan masih mengenakan celemek yang masih terpasang di badannya."Sudah aman, tapi sementara musik tidak bisa diputar," ucap paman sambil mendekati Lila."Syukurlah!"Lila berkata sambil berjalan kembali menuju ke dalam tenda.Sementara bapak dan Paman Manto hanya tersenyum mendengar ucapan Lila.Pria itu mengajak Lila kembali masuk ke tempat pesta."Ayo, Dek Manto kita foto bersama," seru Bi Purwati pada paman Manto yang baru saja memasuki tenda.Paman Manto segera bergabung dan berfoto dengan keluarganya dan pengantin.Pengantin kini berfoto dengan tamu yang merupakan teman sekantor Sari. Mereka berfoto beberapa kali.Lila dan bapak berpandangan. Hanya keluarga Lila saja yang tak dipanggil MC untuk di foto."Ayo, Mbak Eni, Kang Aiman, Lila. Kita foto sekeluarga!" Seru Paman Manto melambaikan tangan pada Lila dan bapak."Ayo!" sahut Ibu tiba-tiba muncul dan menarik tangan bapak dan Lila untuk mengikutinya.Lila dan orangtuanya segera menaiki pelaminan dan bergabung dengan para saudara mereka.Bu Mela, mertua Sari itu melirik Lila sinis. Begitu juga dengan raksi keluarga yang lain.Keluarga Lila tak diharapkan di sana.Tapi Lila berusaha senyaman mungkin berada di dekat keluarga ibunya itu, demi ibunya yang tampak antusias berfoto bersama keluarganya.Lila berdiri paling ujung berdiri dengan para sepupunya.Lila sudah memasang senyum. Semanis mungkin di wajahnya."Wah, terlalu banyak orangnya, dan posisi tak seimbang!" Seru fotografer itu."Lila, kamu minggir dulu saja, ya,"Bi Pur berkata sambil menoleh ke arah Lila.Tanpa bicara Lila segera turun dari pelaminan diiringi senyum dari Sari.Bapak dan ibu hanya menatap Lila dengan mimik wajah yang tak terbaca Lila.Bapak dan ibu ikut turun dari pelaminan. Tapi tampaknya mereka tak peduli saat melihat orangtua Lila tidak mau berfoto dengan keluarga itu."Pak Rizal!" sambut Dimas begitu melihat Rizal berjalan ke arah pelaminan.Dimas sampai meninggalkan dari pelaminan untuk menyambut Rizal."Siapa, Mas?" tanya Sari ketika melihat Dimas hendak beranjak meninggalkan pelaminan."Pak Rizal, direkturku!" sahut Dimas antusias. Ia tidak menyangka Dimas Sudi datang memenuhi undangannya. Ini adalah suatu kehormatan.Sari seketika berdiri, begitu juga Paman dan Bi Pur serta kedua orangtua Dimas.Mereka menebar senyum semringah menyambut tamu kehormatan mereka itu."Bapak sudah lama datang?" tanya Dimas dengan sopan."Sudah, bahkan sejak kamu masih ganti baju tadi," jawab Rizal datar.Seketika Dimas mengangguk malu."Maaf, saya tidak tahu, Pak!"ucap Dimas sambil melirik para terima tamu dan ibu mertuanya, bagaimana mereka tidak memperhatikan tamu sepenting Rizal."Maaf, pak, silahkan duduk," ucap Dimas dengan gugup. ia berusaha menyenangkan tamu kehormatannya itu lagi."Saya sudah lama duduk!" Sahut Rizal enteng membuat Bi Pur tersenyum canggung.Bapak dan Lila hanya melihat bagaimana merdka begitu mempeehatikan tamu yangbl mereka anggap penting, sedangkan saudara sendiri tidak mendapat perlakuan seperti itu."Lilaa! Ambilkan makanan untuk pak direktur!"Seru Bi Pur melihat Lila masih berdiri di dekat panggung itu. Ia sedang berbincang dengan Paman Manto dan istrinya."Terima kasih, saya langsung pulang, ya!" ucap Rizal sambil menyalami Dimas.Ia menyelipkan amplop ke tangan Dimas.Dengan gerakan cepat Dimas mengantongi amplop itu."Semoga bapak berkenan berfoto dengan kami," ucap Dimas dengan sopan.Rizal tampak berpikir."Ayo! Cepat, ya!"ucap Rizal sambil berjalan menuju pelaminan itu."Bapak datang sendirian, ya?" tanya Dimas mengedarkan pandangan, mencari teman kondangan Rizal itu."Tentu saja tidak!" Sahut Rizal dingin."Apa datang kondangan sendirian itu dosa? Seperti melihat sesuatu yang mengenaskan saja."Batin Rizal sedikit kesal."Bapak datang dengan istri, ya?" tanya Sari sok akrab, lebih tepatnya ia sangat kepo.Sari tak membayangkan ternyata Pak direktur ini masih sangat muda dan tampan. Tentu Sari penasaran siapa wanita pendamping bos muda itu. dalam hati Dari juga mengagumi sosok pria yang tampak menonjol di antara para tamu undangannya itu"Dimana, beliau, Pak?" tanya Bi Pur antusia, karena ia melihat tak ada seseorang yang digandeng direktur tampan itu.Hantaran Diminta Kembali Rizal mengalihkan wajah jengah. Ia mengedarkan pandangannya. Kenapa orang harus ribut kalau ada seorang pria datang sendirian ke pesta pernikahan tanpa membawa pasangan. Apa hal itu tampak mengenaskan?Anggap saja Rizal memang terlalu sensitif."Itu dia, sebentar," seru Rizal ketika melihat seorang gadis memakai celemek dan membawa piring oval besar itu. Rizal segera meninggalkan keluarga Dimas yang merubung.Keluarga Dimas dan Sari seketika sibuk memperbaiki baju, letak sanggul dan juga mengintip rapinya riasan mereka dari kaca kecil yang selalu mereka bawa. Mereka harus tampil sempurna saat berfoto dengan Pak direktur tampan itu. "Salsa, rapikan riasanmu!" bisik Bi Pur pada putri bungsunya itu sambil menyerahkan cermin lipat itu. "Dimas! Apa direkturmu itu sudah menikah?" tanya Bi Pur pada menantunya itu. "Setahu saya belum, Bu," jawab Dimassambil menatap mertuanya yang sibuk membenahi riasan putrinya itu. "Sepertinya usianya sudah matang, ya!"u
Hantaran Diminta Kembali Lila melirik sekilas ke arah Rizal yang sedang fokus mengemudi. Hampir tiga puluh menit mereka di dalam mobil, tak ada obrolan apapun di antara mereka. "Orang aneh!"Maki Lila dalam hati. Ia tak akan mungkin mengatakan hal itu di depan Rizal. Bagaimana tidak aneh? Beberapa menit yang lalu pria itu membuat kejutan dengan bersikap manis saat di pelaminan Dimas dan Sari. Dan menit berikut, Rizal sudah bertingkah seolah Lila tidak ada di sampingnya saat ini.Yang terjadi di pesta pernikahan Dimas itu memang hanya sandiwara.Tampaknya mereka sukses membuat keluarga Sari dan Dimas tertampar melihat Lila malam itu. Apa yang Lila dapatkan? Tentu ia merasa tenang karena ada yang menemaninya saat itu. Seperti ada yang mendukungnya saat ia terlihat mengenaskan. Lila sudah hampir menangis karena kesal dengan perlakuan Bi Pur kepada keluarganya. Ia juga menebalkan telinga dengan gunjingan tetangga dan saudara mereka tentang mantan tunangan Lila yang kini tela
Hantaran Diminta Kembali Lila berjalan ragu-ragu mendekati lobby hotel. Seorang bellboy mendekati, membukakan pintu kaca itu. Pria berpakaian tapi itu bertanya pada Lila."Ada yang bisa dibantu?"Sapa Bellboy itu sopan. Sikap ramah itu malah membuat Lila sungkan."Ee, toiletnya sebelah mana, ya, Mas?" tanya Lila sambil tersenyum malu."Mbak jalan terus belok sebelah-""Kamu ngapain di sini?" tegur seseorang memotong ucapan pegawai hotel itu.Lila terkejut ketika mendengar suara berat bernada dingin itu. Gadis itu segera menoleh dan melihat Rizal sudah berdiri, menatap dengan pandangan tajam ke arahnya. "Terima kasih, ya Mas!" ucap Lila mengangguk ramah pada pegawai hotel itu sambil berjalan menuju toilet yang dimaksud. "Kamu mau kemana?"tanya Rizal menahan langkah Lila. "Saya mau ke toilet, Pak,"jawab Lila berjalan cepat menghindari Rizal. Ia sedikit takut melihat pria itu. Rizal memang melarangnya masuk hotel dan Lila kini justru berkeliaran di tempat itu. Dengan langka
Hantaran Diminta Kembali Lila berdiri di depan sebuah band lengkap. Di hadapannya terlihat meja-meja bundar yang dipenuhi tamu-tamu undangan yang berpakaian mewah. Ballroom itu juga dihias dengan dekorasi pesta yang indah dan berkilau. Lila tak pernah melihat tempat pesta pernikahan semewah itu.Tiba-tiba saja gadis itu menjadi gugup, jantungnya berdegub kencang dan tangannya mulai berkeringat dingin. Ia tidak berlatih ataupun membuat persiapan untuk tampil saat ini.Bagaimana kalau Lila pbertemu Rizal dan pria itu akan memarahinya.Ah, bodoh amat, yang penting ia bisa mendapat uang hari ini dan tak ada urusan dengan pria yang bukan sanak kadangnya itu. Jadi, kenapa harus takut? "Gaes, kita ada teman baru, nih!" Freedy berkata pada anggota band.Ketiga anggota band yang telah siap dengan alat musik yang mereka pegang masing-masing itu menoleh.Mereka melambai sambil tersenyum ramah menatap Lila.Mereka seolah menyalurkan semangat pada Lila. Freedy mengambil standing mikrophon
Hantaran Diminta Kembali"Ayo, ambil makan dan cepat pulang!" Rizal berkata serius. "Tidak, aku mau menikmati pesta ini." ucap Juan sambil memperbaiki letak kursinya agar tepat menghadap ke panggung. "Kalau kamu ada acara lagi, pulang saja duluan!"sambung Juan mantap. Rizal merasa serba salah. Ia tidak mungkin juga meninggalkan Lila sendirian di tempat itu.Bagaimana kalau Juan bisa berkenalan dengan Lila? Lila gadis kampung dan tak terlalu pintar itu pasti bisa dengan mudah "digandeng" Juan. "Apalagi gadis seperti Lila pasti menyukai pria berwajah blesteran yang tampan demi memperbaiki keturunannya,"abtin Rizal nyinyir.Gadis itu sedang patah hati dan Lila akan senang saat ada pria tampan yang mendekatinya. Juan adalah penjaja cinta ulung, Rizal yakin Lila akan jatuh dalam perangkap pria itu. Lila saja mencari lelaki agar bisa dipamerkan pada mantan tunangannya dan tidak mungkin ia akan menerima saja rayuan JuanSiapa yang tak tertarik pada Juan? Pria tampan berwajah bule den
Hantaran Diminta Kembali Rizal mengawasi Juan yang kini bergabung dengan Lila.Biar saja, toh Lila sudah besar dan bisa bertanggung jawab dengan dirinya sendiri. Lagipula Rizal bukan bodyguard penyanyi hajatan itu."Pak Rizal!" sapa suara yang familiar itu seketika membuat Rizal menoleh. Pasangan yang menyapanya itu mendekat sambil menebar senyum cerah mendekati Rizal. "Sendirian, Pak?" tanya Permana, salah seorang staf direksi di kantor tempat Rizal. "Ya, seperti yang kau lihat!" Sahut Rizal singkat. Ia mengangguk pada wanita muda yang menggamit lengan pria itu."Saya pikir bapak datang bersama seseorang." ucap Permana pelan. Tiba-tiba saja merasa telah salah bicara. Wajah pria itu seketika terlihat ketakutan. Permana melihat jelas perubahan mimik muka Rizal. Jika Rizal terlihat sedang badmood, maka hal itu akan menjadi sinyal yang berbahaya baginya. Siapapun tahu bagaimana jika atasannya itu marah."Kenapa berpikir begitu?" sahut Rizal balik bertanya. "Ee, bukankah bapak t
Hantaran Diminta Kembali Lila segera menuju ke kamar mandi. Ia melepas baju, sepatu mahal pemberian Bu Anggraini itu. Segera menggantinya dengan pakaian biasa yang biasa ia pakai. Baju rakyat jelata. Kaos oblong tanpa merk dan celana kain. Ia menatap baju, tas dan sepatu sangat mahal itu.Semua barang bagus itu tidak bisa menutupi jati dirinya yang sebenarnya. Ia tetap Lila, anak pembantu dan sopir. Kemiskinannya telah membuatnya kehilangan mimpinya untuk berumah tangga. Meski ia bisa merubah diri menjadi cinderella sehari, tapi tak ada pangeran yang datang padanya, justru sang direktur kejam itu yang selalu menghinanya.Tak apa dihina, asal Lila tidak kehilangan harga dirinya. Gegas Lila menuju kamar mandi, ia mencuci baju itu dengan hati-hati dengan tangannya. Takut ada yang rusak dari lembaran kain brokat mahal itu. Lila segera mandi dan berharap air dingin itu bisa menghilangkan penat dan rasa panas di hatinya itu. Lila memasukkan semua pakaiannya ke dalam ta
Hantaran Diminta Kembali Motor yang dikendarai Bapak dan Lila berhenti di halaman rumah. Sudah tak ada lagi deretan motor tamu Bi Pur yang terparkir di halaman rumah mereka.Tapi sound system itu masih ada di sana meski tak lagi terdengar suara musik yang menganggu. Lila segera turun dan menuju teras rumah. Bapak mengedarkan pandangan ke sekitar halaman rumahnya yang nampak kotor, banyak sampah dan gelas minuman kemasan bekas itu berserakan di sekitar halaman. Beberapa pot tanaman juga roboh dan rusak.Bapak dan Lila.hanya saling lempar pandang, saling menunjukkan wajah kesal mereka.Lila segera menuju teras rumah yang juga berdebu dan kotor.Lila membuka pintu rumah dan segera masukBapak mengikuti masuk dan segera menuju ke dapur."Bapak enggak kembali ke perumahan?" tanya Lila ketika melihat bapak masih di dapur mencari sesuatu. "Bapak menginap saja, bapak mau membenahi halaman depan yang semrawut dan kotor itu,"ucap bapak sambil beranjak menuju halaman sambil membawa
Hantaran Diminta Kembali"Yud, cepat, ya!" seru Rizal dengan gusar. Ia menatap Lila yang nampak duduk dengan gelisah sambil beberapa kali menghembuskan nafas dengan cepat. "Ambil nafas, sayang!" ucap Rizal sambil mengusap keringat di dahi Lila. "Ambil nafas mulu, sudah ngos-ngosan ini!" seru Lila marah sambil melirik dengan tatapan tajam. Rizal bungkam seketika. "Iya, sabar, ya!" ucap Rizal tetap bersikap tenang sambil mengelus pinggang Lila. Dengan cepat Lila melesakkan dirinya dalam pelukan Rizal. Mencoba tenang dan menikmati sensari nyeri dan mulas yang semakin terasa. "Tenang, ya!" kata Rizal kembali sambil melirik ke depan. Jalanan di depan terlihat padat dan gelap. Banyak lampu terlihat di depan mereka, menandakan kondisi jalan yang sedang ramai. Lila diam, merasakan dada suaminya yang berdegub keras tak beraturan. Menandakan pria itu juga panik dan merasakan ketegangan yang sama. "Macet, pak!" keluh Yuda sambil membuang nafas kasar. Ia melirik Lila di jok belakang den
Hantaran Diminta Kembali Lila menajamkan pandangannya saat ia melihat sosok berbaju putih dengan rok lilit batik berwarna hitam itu, terlihat sibuk di antara meja prasmanan. "Yulia!" seru Lila tak percaya. Gadis yang dipanggil segera menoleh dengan cepat dan tampak terkejut. "Lila! Oh ... maaf, Nyonya!" Yulia menyapa dengan gelagapan. Lila tampak terkejut, ia mendekati Yulia dan menggamit lengan Yulia untuk ke pinggir ruangan. "Ngapain manggil Nyonya?" Lila bertanya sambil mendongakkan dagu. Yulia tersenyum kikuk. "Eh, Nyonya-" Yulia menyebut lagi panggilan resmi itu dengan kaku. "Kenapa harus bersikap formal begitu, kalau teman, ya, sapa saja seperti biasa, Mbak," sela Rizal sambil mendekat. "Maaf, Pak, kan para tamu tamu di sini semua orang terhormat," Sahut Yulia malu-malu sambil membenahi celemek kecil yang melingkari pinggangnya. "Saya kok malah sok akrab sama ...." Yulia tidak melanjutkan ucapannya. "Ya ampun! bisa-bisanya, ya kepikiran begitu?"sergah Lila kes
Hantaran Diminta Kembali Lila berdiri menghadap kaca besar di kamarnya. Ia menipiskan bibir melihat bentuk tubuhnya yang terpantul di kaca itu. Kemudian melempar pandangan ke arah ranjang dengan lelah. Tampak setumpuk baju tergeletak di atas ranjang. "Belum siap, juga?" Rizal berjalan memasuki memasuki kamar dan melihat istrinya itu masih belum bersiap. "Kenapa? Bajunya sudah jelek semua?" Rizal bertanya dengan nada lembut sambil mengamati gaun-gaun itu. "Bukan bajunya yang jelek, aku yang yang terlihat jelek," keluh Lila sambil menatap lagi bayangan dirinya di cermin. Rizal tersenyum menatap wanita yang tengah hamil besar itu. Wanita yang memakai gaun sutra yang flowy itu sudah terlihat begitu anggun dan cantik di matanya. "Kamu cantik dan seksi sekali!" Rizal berkata sambil mengambil selembar scarf untuk Lila. Namun Lila tidak terpengaruh pujian itu. Ia hanya mengira Rizal hanya sedang menghiburnya saja. Menurut Lila, mana ada wanita hamil dengan perut membuncit dan b
Hantaran Diminta Kembali Dimas tersentak, bibirnya sampai terbuka saking terkejutnya. "Bangun, nggak! cari kerja sana!" Sari menghardik sambil menunjukan jari ke pintu ke pintu."Kau tahu aku juga setiap hari pergi melamar kerja," sahut Dimas seraya bangkit dari ranjangnya Ia melihat Sari sudah mengenakan seragam warna khakinya. Wanita hamil itu sudah siap bekerja. "Aku menyuruhmu kerja, bukan hanya mencari kerja!" Sari berseru marah. "Aku kan sudah berusaha, Sari!" Dimas menyahut sambil meruyak rambut dengan kasar. "Berusaha itu ada hasilnya, tapi ini tidak!" Sari memotong dengan suara melengking. "Ingat, aku hampir melahirkan, Mas dan aku masih terus bekerja, bahkan cari obyekan ke sana kemari demi cicilan mobilmu," seru Sari makin emosional. "Iya, iya, aku akan kerja!" Dimas menyahut gusar."Aku seperti ini juga gara-gara kamu!" Dimas balik berteriak dan segera beranjak menuju ke kamar mandi dan menutupnya dengan keras. Bu Eni yang sedang menjemur baju di samping ruma
Hantaran Diminta Kembali Selvi memasuki mobilnya dengan wajah ceria. Sebuah telepon pagi ini membawa kabar yang membuat mood-nya seketika membaik. Tumben pria angkuh itu menelpon, meminta dirinya datang ke kantornya jam sepuluh pagi ini. Rizal tak perlu memohon, Selvi seketika menyanggupi akan datang saat itu juga."Tentu, dengan seneng hati," sahut Selvi dengan nada manja. Selvi melonjak girang, melempar ponsel di atas ranjang dan gegas menuju kamar mandi, memakai baju terbaik dan sedikit mengekspos keindahan tubuhnya, menyemprotkan parfum beraroma seksi seluruh tubuhnya, bahkan ia sibuk memilih sepatu dan tas termahalnya. Semua harus istimewa demi memenuhi panggilan Rizal. "Kamu yakin mau datang memenuhi panggilan Pak Rizal?" Elsa bertanya ragu. Melirik Selvi yang asyik mengemudi sambil bersenandung. "Tentu saja, kapan lagi aku memuaskan rindu pada Zal, kalau tidak mendatanginya pagi ini," sahut Selvi seraya mengibaskan rambut panjangnya. "Entahlah, aku merasa ia akan
Hantaran Diminta Kembali Rizal perlahan membuka pintu kamar. Ia tersenyum melihat sosok yang berbaring di atas ranjang. Lila sudah pulas dengan posisi seenaknya. Kakinya bahkan menggantung begitu saja. Rizal mendekat dan membenahi posisi kaki Lila yang menggantung. Rizal terkejut saat melihat kaki Lila agak bengkak. Diusapnya pelan kaki itu, membuat Lila terusik. Ia hanya menggerakkan kaki dan kembali pulas. Rizal berdiri dan beranjak keluar dari kamar. Rizal segera menuju ruang tengah, karena masih mendengar suara dari televisi dari ruang itu. Ibu dan bapak masih duduk sambil selonjoran di sofa. Rizal dan Lila memang memutuskan menginap di rumah mertuanya itu. "Kenapa belum tidur, Mas?" Bapak bertanya pada menantunya itu. Rizal dengan santai duduk di dekat kaki ibu mertuanya. Bu Eni tersenyum, kebiasaan Rizal saat kecil dulu masih tak berubah hingga ia menjadi dewasa."Belum ngantuk, Pak," sahut Rizal sambil menoleh pada ibu yang kini membenahi letak jilbabnya. "Buk,
Hantaran Diminta Kembali Lila menyalami para tamunya dengan wajah ceria. Sementara para mereka mengucapkan terima kasih dan mendoakan kebaikan untuk Lila. Para tamu mendapat hidangan yang berlimpah dan mendapat sufenir yang mewah.Lila dan Rizal telah menjamu tamunya dengan baik. Mereka tidak membedakan antara tamu relasi Rizal atau para warga kampung dan keluarga, semua berbaur bersama dalam satu ruangan. Hanya berbeda tempat antara tamu pria dan wanita saja. Satu hal yang tak akan mereka lupakan dalam acara itu adalah upaya Sari yang hampir mencelakai Lila dengan mencoba mencampur pil penggugur kandungan itu pada minuman Lila. Para tamu dan tetangga kini sibuk bergunjing, bagaimana nasib Sari setelah ini, apakah wanita hamil itu akan mendekam di penjara untuk waktu yang lama. "Kalau aku yang jadi Lila, akan aku laporkan si Sari ke kantor polisi," bisik Bu Eneng dengan ketus. "Iya, Bu. Ini kejahatan yang direncakanan, efek obat itu berbahaya sekali, Bu!" sahut Bu Ema, wani
Hantaran Diminta Kembali"Pinternya, playing victim!" Yuda berdecak muak. "Aku tidak bersalah!" Sari berteriak histeris mengundang kerumunan para tamu. Mereka merubung, ingin mengetahui perselisihan dua keluarga yang memang sudah sejak lama mereka ketahui itu. Sudah bukan rahasia lagi jika dua keluarga itu tidak akur. Ada yang pro dan kontra, meski tak sedikit yang ikut membenci keluarga Lila karena hasutan Bi Pur dan rasa dengki mereka."Jangan asal menuduh, Mas, kalau tak ada bukti!" Seorang wanita yang merupakan tetangga mereka ikut mendukung. "Bukti ini kurang jelas?" Sentak Yuda menunjukkan pecahan gelas dan butiran tablet yang hampir larut itu. "Pasti ada orang lain yang meletakkan di sana, dan kebetulan Sari yang mengambilkan minuman untuk Lila!" seru Bi Pur berang. "Maksud baik dibalas fitnah!" imbuh Bi Pur memanaskan suasana. "Sungguh aku tidak bersalah, Bu, aku difitnah!" Sari menangis tersedu-sedu sambil bersimpuh. Para tamu yang kebanyakan ibu-ibu itu merasa jat
Hantaran Diminta Kembali Sari takjub melihat suasana acara empat bulanan itu, Kemeriahannya seperti sebuah pesta pernikahan. "Duh, ini berlebihan! mereka mau pamer kalau sudah jadi keluarga sultan!" Bi Pur bergumam nyinyir.Sari hanya diam, dongkol sekaligus iri melibas hatinya. Acara empat bulanan kehamilan Sari tidak semeriah acara ini, biasa saja. Hanya pengajian ibu-ibu kampung. Mereka memasuki tenda yang penuh hiasan bunga segar itu. Seluruh bagian dan isi tenda yang berhias kelambu satin dengan warna pink dan putih itu tak luput dari perhatian mereka. Lila menjadi seorang ratu dengan pakaian yang indah, duduk di kursi putih dikelilingi bunga dan didampingi, suami, orangtua, mertua, bahkan bahkan ipar dan semua keponakannya yang semua memakai baju bernuansa biru muda. Lila seperti ratu dengan kecantikan paripurna. Rizal terlihat beberapa kali melirik dan tersenyum menatap istrinya. Mereka terlihat sangat bahagia. "Perasaan, si Lila makin cantik, ya?"Salsa, adik bu