Hantaran Diminta Kembali Motor yang dikendarai Bapak dan Lila berhenti di halaman rumah. Sudah tak ada lagi deretan motor tamu Bi Pur yang terparkir di halaman rumah mereka.Tapi sound system itu masih ada di sana meski tak lagi terdengar suara musik yang menganggu. Lila segera turun dan menuju teras rumah. Bapak mengedarkan pandangan ke sekitar halaman rumahnya yang nampak kotor, banyak sampah dan gelas minuman kemasan bekas itu berserakan di sekitar halaman. Beberapa pot tanaman juga roboh dan rusak.Bapak dan Lila.hanya saling lempar pandang, saling menunjukkan wajah kesal mereka.Lila segera menuju teras rumah yang juga berdebu dan kotor.Lila membuka pintu rumah dan segera masukBapak mengikuti masuk dan segera menuju ke dapur."Bapak enggak kembali ke perumahan?" tanya Lila ketika melihat bapak masih di dapur mencari sesuatu. "Bapak menginap saja, bapak mau membenahi halaman depan yang semrawut dan kotor itu,"ucap bapak sambil beranjak menuju halaman sambil membawa
Hantaran Diminta Kembali Lila menghentikan kegiatannya memasak. Ia segera mematikan kompor dan mulai menata masakan yang telah matang itu di atas meja makan kecil itu.Kegiatannya terhenti saat ia mendengar suara ponselnya yang berdenting berulang kali.Gegas Lila menuju ke ruang tengah dan mengambil ponsel yang tergelatak di meja makan itu. "Waalaikumsalam, ada apa Yul?" sapa Lila pada sahabatnya itu. "Lila, aku ada tawaran pekerjaan!" Seru Yulia bersemangat. "Lowongan kerja dimana?" tanya Lila dengan antusias."Ke Hongkong?" Sahut Yulia cepat. "Jadi TKW, ya?"tanya Lila ragu-ragu. Ada lowongan yang ditawarkan dengan gaji lumayan besar. Tapi ini di luar negeri. Dan Lila sudah sering mendengar kisah para pejuang devisa itu. Cerita kesuksesan atau kisah pahit mereka yang berjuang di negeri orang. "Aman, kok! kita nanti ada pelatihan dan berangkat melalui agensi yang terpercaya," cerita Yulia meyakinkan. "Mungkin dengan cara ini kita bisa dapat penghasilan besar, La!" Imbuh
Hantaran Diminta Kembali Rizal mencium tangan ibunya dan segera beranjak berjalan menuju ruang depan. "Hati-hati!" seru Ibu itu sambil berdiri di ambang pintu. Rizal melewati Zain, adiknya yang sedang melakukan ritual berpamitan yang berlebihan itu dengan istrinya. Tampak Aiza mencium punggung tangan Zain dan tanpa rikuh Zain mengecup balik punggung tangan istrinya, mesra. "Dasar lebay!" batin Rizal nyinyir. "Demi apa, pagi-pagi bersikap sok mesra di depanku? Pamer?" sungut Rizal dalam hati. Lama menduda membuat Rizal menjadi tukang nyinyir. "Pak Man?" Sapa Rizal pada tukang kebunnya itu. Tapi pria itu hanya diam saja sambil mengelap kaca mobil. Rizal menepuk bahu pria itu pelan tapi reaksinya luar biasa. Pria itu tersentak kaget. "Kenapa? melamun saja?" tegur Rizal datar. "Maaf, Mas. Iya." Pria tua itu tertawa kecil. "Kenapa melamun, Pak?" tanya Rizal sambil menatap Zain yang sudah memasuki mobilnya. Rizal menunggu mobil Zain keluar dari lebih dulu baru mobil Rizal
Hantaran Diminta Kembali Lila mengetuk pintu kaca buram itu pelan. Ia mendorong pintu dan mengangguk pada pria yng duduk di meja besar itu. "Duduk!" perintah pria yang ternyata masih muda itu pada Lila. Mungkin seusia kakak ipar Lila.Lila segera duduk dengan sopan di depan pria yang kini sibuk memeriksa CV milik Lila. "Lulusan sekolah menengah, ya?" tanya pria itu tanpa menoleh pada Lila. Ia sibuk membolak-balik kertas di map itu."Kamu sudah menikah?"tanya pria dengan name tag Satria itu dengan nada datar. "Belum, Pak!"jawab Lila mantap. "Kamu sedang hamil?" Pertanyaan Lila seketika membuat Lila menegakkan badan. Mimik wajahnya langsung bersemu merah.Ia menatap pria dihadapannya itu dengan tatapan curiga. "Kok diam?"Lila tidak menjawab, ia malah menatap Satrio dengan tatapan aneh. Pria itu menyandarkan tubuhnya di kursi dan menatap Lila tajam. "Tinggal jawab "iya" atau "tidak", apa susahnya?"sergah Satria kasar."Kami ini memiliki kebijaksanaan tentang pegawai wa
Hantaran Diminta Kembali"Aku peringatkan kamu! jauhi istriku!"teriak pria itu sambil menuding wajah Rizal. Wajah Rizal merah padam. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Rizal siap melayangkan tangannya. "Sabar, Pak! jangan membalas!" seru Lila panik sambil memeluk tangkai alal itu."Kalau bapak memukul, dia lapor polisi, lo!" sambung Lila lagi. Pelan gadis itu meletakkan alat pelanga dan mengambil ponsel. Ia mulai mengarahkan kamera ponsel itu dengan samar.Seketika tangan Rizal mengendur. Ia menatap pria itu lebih tenang. "Kenapa nggak jadi? ayo pukul, pukul!" seru pria itu marah. Heru segera menyeret pria itu keluar ruangan Rizal dibantu para OB itu. "Lepaskan! Kalian semua akan tahu jeleknya moral pimpinan kalian itu!"seru pria itu masih berteriak meski telah berada di halaman kantor. "Diam kagak!" Seru Heru marah Matanya menantang Pria itu nyalang.Pria itu menatap Heru dengan wajah memburu. Ia tak akan mempermalukan diri dengan bergulat dengan satpam bertubuh tinggi besa
Hantaran Diminta Kembali Lila menghempaskan tubuhnya di sofa tua itu. Sofa satu-satunya yang mereka miliki tetap menjadi tempat ternyaman ketika pulang beraktifitas dan saat bersantai dengan keluarganya. Lapisan sofa itu bahkan ada yang retak terkelupas dimakan usia. Tetapi sang pemilik masih enggan menggantinya dengan kursi lain. Memang belum ada ganti kursi yang layak dan mereka lebih memprioritaskan uang mereka untuk menyambung hidup.Lila melepas sepatu flat usangnya. Gadis itu dengan malas berjalan dan menaruh sepatunya di rak dekat pintu dapur, kemudian beranjak menuju ke meja dapur. Lila menuang air putih itu dan meneguknya cepat. Seketika air putih dingin itu membasahi tenggorokannya, dan membuatnya sedikit merasa segar. Ini adalah hari pertama bekerja yang melelahkan. Ia lelah dan lapar. Lila membuka tudung saji di meja dapur itu. Masih ada sisa masakannya tadi pagi. Masakan sederhana.Lila meneguk ludah saat ia mengingat makanan yang ia beli untuk para karyawan tad
Hantaran Diminta Kembali"Ibu pulang duluan, ya!" pamit Bu RT pada Lila. Wanita itu segera saja mendahului Lila menuju ke rumahnya.Lila segera mendekati mobil yang parkir di depan rumahnya itu.Lila merasa ada firasat tak baik. Ia tak nyaman melihat ibu yang terlihat berwajah muram itu. Ada sesuatu yang terjadi. Lila menoleh ke samping. Bapak sudah berdiri di halaman samping rumahnya dan tampak melepas tali jemuran itu. "Ibu dan bapak pulang?" sapa Lila keheranan. Ia hafal kebiasaan orang tuanya yang akan pulang di hari libur saja."Kamu ngapain di rumah?" teriak ibu marah. Lila tersentak melihat sikap ibu yang tiba-tiba membentaknya. Ibu bahkan mengacuhkan tangan Lila yang terulur akan menyalami ibunya itu."Kenapa, Bu?" tanya Lila heran. Lila melirik Rizal yang berjalan mendekati mereka. "Bibimu menelpon ibu, dia bilang kamu sudah merayu Dimas, suaminya Sari!" seru Ibu marah. Ibu seolah menekankan kata suami Sari itu untuk menyindirnya.Lila menoleh ke belakangnya. Keempat o
Hantaran Diminta Kembali Ibu membuka tudung saji dan menatap masakan yang terhidang di meja itu. Tumis sayuran dingin dan beberapa iris tempe goreng dingin. Ibu mengingat, ibu tadi telah kenyang makan dengan masakan yang enak dan mewah di rumah Bu Anggraini sedangkan Lila di rumah makan seadanya. Itupun hasil masakan Lila sendiri. Ibu memilih berjalan ke dapur. Melihat rak dapur.Tidak ada telor atau mi instan yang bisa dimasak. Ibu akhirnya memilih memanasi sayur untuk diberikan pada Lila. Dalam hati ibu merasa tak tega melihat Lila. Wajar jika Lila berkeras ingin bekerja dan memperbaiki kehidupan mereka. Karena gadis itu mungkin sudah lelah menjalani kesederhanaannya. Dalam hati tentu ia ingin seperti gadis seusianya yang bisa bersenang-senang dan bermain.Ibu dan bapak masih bisa makan enak di tempat mereka bekerja. Tetapi Lila setiap hari menghemat uang dan menerima apa yang diberikan orangtuanya. Pernah beberapa kali ibu membawa makanan pemberian Bu Anggraini, tapi leb
Hantaran Diminta Kembali"Yud, cepat, ya!" seru Rizal dengan gusar. Ia menatap Lila yang nampak duduk dengan gelisah sambil beberapa kali menghembuskan nafas dengan cepat. "Ambil nafas, sayang!" ucap Rizal sambil mengusap keringat di dahi Lila. "Ambil nafas mulu, sudah ngos-ngosan ini!" seru Lila marah sambil melirik dengan tatapan tajam. Rizal bungkam seketika. "Iya, sabar, ya!" ucap Rizal tetap bersikap tenang sambil mengelus pinggang Lila. Dengan cepat Lila melesakkan dirinya dalam pelukan Rizal. Mencoba tenang dan menikmati sensari nyeri dan mulas yang semakin terasa. "Tenang, ya!" kata Rizal kembali sambil melirik ke depan. Jalanan di depan terlihat padat dan gelap. Banyak lampu terlihat di depan mereka, menandakan kondisi jalan yang sedang ramai. Lila diam, merasakan dada suaminya yang berdegub keras tak beraturan. Menandakan pria itu juga panik dan merasakan ketegangan yang sama. "Macet, pak!" keluh Yuda sambil membuang nafas kasar. Ia melirik Lila di jok belakang den
Hantaran Diminta Kembali Lila menajamkan pandangannya saat ia melihat sosok berbaju putih dengan rok lilit batik berwarna hitam itu, terlihat sibuk di antara meja prasmanan. "Yulia!" seru Lila tak percaya. Gadis yang dipanggil segera menoleh dengan cepat dan tampak terkejut. "Lila! Oh ... maaf, Nyonya!" Yulia menyapa dengan gelagapan. Lila tampak terkejut, ia mendekati Yulia dan menggamit lengan Yulia untuk ke pinggir ruangan. "Ngapain manggil Nyonya?" Lila bertanya sambil mendongakkan dagu. Yulia tersenyum kikuk. "Eh, Nyonya-" Yulia menyebut lagi panggilan resmi itu dengan kaku. "Kenapa harus bersikap formal begitu, kalau teman, ya, sapa saja seperti biasa, Mbak," sela Rizal sambil mendekat. "Maaf, Pak, kan para tamu tamu di sini semua orang terhormat," Sahut Yulia malu-malu sambil membenahi celemek kecil yang melingkari pinggangnya. "Saya kok malah sok akrab sama ...." Yulia tidak melanjutkan ucapannya. "Ya ampun! bisa-bisanya, ya kepikiran begitu?"sergah Lila kes
Hantaran Diminta Kembali Lila berdiri menghadap kaca besar di kamarnya. Ia menipiskan bibir melihat bentuk tubuhnya yang terpantul di kaca itu. Kemudian melempar pandangan ke arah ranjang dengan lelah. Tampak setumpuk baju tergeletak di atas ranjang. "Belum siap, juga?" Rizal berjalan memasuki memasuki kamar dan melihat istrinya itu masih belum bersiap. "Kenapa? Bajunya sudah jelek semua?" Rizal bertanya dengan nada lembut sambil mengamati gaun-gaun itu. "Bukan bajunya yang jelek, aku yang yang terlihat jelek," keluh Lila sambil menatap lagi bayangan dirinya di cermin. Rizal tersenyum menatap wanita yang tengah hamil besar itu. Wanita yang memakai gaun sutra yang flowy itu sudah terlihat begitu anggun dan cantik di matanya. "Kamu cantik dan seksi sekali!" Rizal berkata sambil mengambil selembar scarf untuk Lila. Namun Lila tidak terpengaruh pujian itu. Ia hanya mengira Rizal hanya sedang menghiburnya saja. Menurut Lila, mana ada wanita hamil dengan perut membuncit dan b
Hantaran Diminta Kembali Dimas tersentak, bibirnya sampai terbuka saking terkejutnya. "Bangun, nggak! cari kerja sana!" Sari menghardik sambil menunjukan jari ke pintu ke pintu."Kau tahu aku juga setiap hari pergi melamar kerja," sahut Dimas seraya bangkit dari ranjangnya Ia melihat Sari sudah mengenakan seragam warna khakinya. Wanita hamil itu sudah siap bekerja. "Aku menyuruhmu kerja, bukan hanya mencari kerja!" Sari berseru marah. "Aku kan sudah berusaha, Sari!" Dimas menyahut sambil meruyak rambut dengan kasar. "Berusaha itu ada hasilnya, tapi ini tidak!" Sari memotong dengan suara melengking. "Ingat, aku hampir melahirkan, Mas dan aku masih terus bekerja, bahkan cari obyekan ke sana kemari demi cicilan mobilmu," seru Sari makin emosional. "Iya, iya, aku akan kerja!" Dimas menyahut gusar."Aku seperti ini juga gara-gara kamu!" Dimas balik berteriak dan segera beranjak menuju ke kamar mandi dan menutupnya dengan keras. Bu Eni yang sedang menjemur baju di samping ruma
Hantaran Diminta Kembali Selvi memasuki mobilnya dengan wajah ceria. Sebuah telepon pagi ini membawa kabar yang membuat mood-nya seketika membaik. Tumben pria angkuh itu menelpon, meminta dirinya datang ke kantornya jam sepuluh pagi ini. Rizal tak perlu memohon, Selvi seketika menyanggupi akan datang saat itu juga."Tentu, dengan seneng hati," sahut Selvi dengan nada manja. Selvi melonjak girang, melempar ponsel di atas ranjang dan gegas menuju kamar mandi, memakai baju terbaik dan sedikit mengekspos keindahan tubuhnya, menyemprotkan parfum beraroma seksi seluruh tubuhnya, bahkan ia sibuk memilih sepatu dan tas termahalnya. Semua harus istimewa demi memenuhi panggilan Rizal. "Kamu yakin mau datang memenuhi panggilan Pak Rizal?" Elsa bertanya ragu. Melirik Selvi yang asyik mengemudi sambil bersenandung. "Tentu saja, kapan lagi aku memuaskan rindu pada Zal, kalau tidak mendatanginya pagi ini," sahut Selvi seraya mengibaskan rambut panjangnya. "Entahlah, aku merasa ia akan
Hantaran Diminta Kembali Rizal perlahan membuka pintu kamar. Ia tersenyum melihat sosok yang berbaring di atas ranjang. Lila sudah pulas dengan posisi seenaknya. Kakinya bahkan menggantung begitu saja. Rizal mendekat dan membenahi posisi kaki Lila yang menggantung. Rizal terkejut saat melihat kaki Lila agak bengkak. Diusapnya pelan kaki itu, membuat Lila terusik. Ia hanya menggerakkan kaki dan kembali pulas. Rizal berdiri dan beranjak keluar dari kamar. Rizal segera menuju ruang tengah, karena masih mendengar suara dari televisi dari ruang itu. Ibu dan bapak masih duduk sambil selonjoran di sofa. Rizal dan Lila memang memutuskan menginap di rumah mertuanya itu. "Kenapa belum tidur, Mas?" Bapak bertanya pada menantunya itu. Rizal dengan santai duduk di dekat kaki ibu mertuanya. Bu Eni tersenyum, kebiasaan Rizal saat kecil dulu masih tak berubah hingga ia menjadi dewasa."Belum ngantuk, Pak," sahut Rizal sambil menoleh pada ibu yang kini membenahi letak jilbabnya. "Buk,
Hantaran Diminta Kembali Lila menyalami para tamunya dengan wajah ceria. Sementara para mereka mengucapkan terima kasih dan mendoakan kebaikan untuk Lila. Para tamu mendapat hidangan yang berlimpah dan mendapat sufenir yang mewah.Lila dan Rizal telah menjamu tamunya dengan baik. Mereka tidak membedakan antara tamu relasi Rizal atau para warga kampung dan keluarga, semua berbaur bersama dalam satu ruangan. Hanya berbeda tempat antara tamu pria dan wanita saja. Satu hal yang tak akan mereka lupakan dalam acara itu adalah upaya Sari yang hampir mencelakai Lila dengan mencoba mencampur pil penggugur kandungan itu pada minuman Lila. Para tamu dan tetangga kini sibuk bergunjing, bagaimana nasib Sari setelah ini, apakah wanita hamil itu akan mendekam di penjara untuk waktu yang lama. "Kalau aku yang jadi Lila, akan aku laporkan si Sari ke kantor polisi," bisik Bu Eneng dengan ketus. "Iya, Bu. Ini kejahatan yang direncakanan, efek obat itu berbahaya sekali, Bu!" sahut Bu Ema, wani
Hantaran Diminta Kembali"Pinternya, playing victim!" Yuda berdecak muak. "Aku tidak bersalah!" Sari berteriak histeris mengundang kerumunan para tamu. Mereka merubung, ingin mengetahui perselisihan dua keluarga yang memang sudah sejak lama mereka ketahui itu. Sudah bukan rahasia lagi jika dua keluarga itu tidak akur. Ada yang pro dan kontra, meski tak sedikit yang ikut membenci keluarga Lila karena hasutan Bi Pur dan rasa dengki mereka."Jangan asal menuduh, Mas, kalau tak ada bukti!" Seorang wanita yang merupakan tetangga mereka ikut mendukung. "Bukti ini kurang jelas?" Sentak Yuda menunjukkan pecahan gelas dan butiran tablet yang hampir larut itu. "Pasti ada orang lain yang meletakkan di sana, dan kebetulan Sari yang mengambilkan minuman untuk Lila!" seru Bi Pur berang. "Maksud baik dibalas fitnah!" imbuh Bi Pur memanaskan suasana. "Sungguh aku tidak bersalah, Bu, aku difitnah!" Sari menangis tersedu-sedu sambil bersimpuh. Para tamu yang kebanyakan ibu-ibu itu merasa jat
Hantaran Diminta Kembali Sari takjub melihat suasana acara empat bulanan itu, Kemeriahannya seperti sebuah pesta pernikahan. "Duh, ini berlebihan! mereka mau pamer kalau sudah jadi keluarga sultan!" Bi Pur bergumam nyinyir.Sari hanya diam, dongkol sekaligus iri melibas hatinya. Acara empat bulanan kehamilan Sari tidak semeriah acara ini, biasa saja. Hanya pengajian ibu-ibu kampung. Mereka memasuki tenda yang penuh hiasan bunga segar itu. Seluruh bagian dan isi tenda yang berhias kelambu satin dengan warna pink dan putih itu tak luput dari perhatian mereka. Lila menjadi seorang ratu dengan pakaian yang indah, duduk di kursi putih dikelilingi bunga dan didampingi, suami, orangtua, mertua, bahkan bahkan ipar dan semua keponakannya yang semua memakai baju bernuansa biru muda. Lila seperti ratu dengan kecantikan paripurna. Rizal terlihat beberapa kali melirik dan tersenyum menatap istrinya. Mereka terlihat sangat bahagia. "Perasaan, si Lila makin cantik, ya?"Salsa, adik bu