Devinta terduduk lemah, benar-benar tidak ada kesempatan baginya untuk lepas dari Raka. Sayup terdengar, Raka sedang menelpon beberapa orang guna mempersiapkan hari pernikahan keduanya. Tangan Devinta meraih jemari Deva yang kembali melemah, sakit yang diderita Deva bukan penyakit lama yang sempat diidap, kini mengarah pada jantung yang tidak baik. Raka akan membawa Deva berobat ke negara lain setelah kondisi bocah itu stabil. Jemari tangan Deva diciumi lembut Devinta, ia begitu menyesal atas semua yang terjadi. Pandangannya berubah nanar dengan air mata terkumpul di pelupuk mata. Rasanya sedih jika harus mengorbankan putranya, bagaimanapun juga, Deva harus sehat dan stabil. Ia tak punya siapa-siapa selain Raka, kedua orang tuanya sudah membuangnya karena membuat malu. “Lusa kita menikah,” ujar Raka sambil menyeret kursi, duduk tetap di sisi kanan Devinta. “Kita akan menetap di mana?” toleh Devinta dengan tatapan wajah penasaran. “Lihat saja nanti,” seringai Raka membuat Devinta t
Devinta sudah sangat tenang, ia masih duduk di samping Rama sambil terus memegang jemari tangan lelaki yang terbujur lemah tak sadarkan diri. “Ram …,” bisik Devinta pelan. Kedua mata Devinta begitu sedih, terasa jika bagaimana ia menjadi sedih juga terkejut. Raka sendiri tidak di kamar itu, ia bersama Deva yang diberitahu jika mamanya sedang pulang dahulu, nanti kembali lagi. Raka duduk, menatap Deva yang memejamkan mata begitu pulas. Ia lelah setelah menjalani banyak pemeriksaan kesehatannya. Rama menoleh ke belakang, saat pintu terbuka. “Ada apa,” tanya ke Devinta yang berdiri diambang pintu. “Belikan aku alat cukur janggut,” pinta Devinta. “Untuk?” Raka bersedekap. “Rama. Aku nggak suka lihat dia penuh bulu-bulu wajah. Bisa?” Raka mengangguk. Devinta mengucapkan terima kasih lalu berjalan masuk ke dalam kamar, mendekat ke Deva, mencium kening juga kedua pipi putranya. “Kamu tidak mau dengar cerita lebih lengkap tentang semuanya?” tawar Raka. Devinta menggelengkan kepala deng
Mereka merapikan diri masing-masing setelah pergulatan panas di dalam mobil. Raka mencium lama kening Devinta setelah keduanya berdiri di luar mobil sedan mewah itu. “Aku akan ke Hokaido, kamu bebas mau di sini atau bolak balik ke apartemen lebih dulu sebelum ke sini.” “Iya.” Hanya itu respon Devinta, selanjutnya mereka pisah arah tujuan. Setibanya Devinta di lantai tempat Deva di rawat, ia segera masuk ke toilet yang ada di dalam kamar rawat. Segera membersihkan diri dari kegiatan yang tadi dilakukan. Air mata pun luruh, ia sesenggukan, ada apa dengan Raka? Mengapa lelaki itu bersikap berbeda tidak seperti biasanya. Tak tau, jika Raka bisa membuat hatinya menjadi kacau balau, pikirannya juga terselimuti dengan apa yang Raka lakukan kepadanya.Di dalam kereta cepat Shinkansen Hokkaido, Raka beberapa kali mendengkus, ia menatap pemandangan di sisi kiri tempatnya duduk tapi pikirannya justru tertuju ke Devinta. “Jangan terbawa perasaan, Raka, jangan,” gumamnya dengan rahang mengatup r
“Aku … mengikhlaskan kamu pergi, Rama. Maafkan aku karena membuatmu terluka, tapi aku juga berterima kasih karena kamu memberikan Deva sebagai pengganti dirimu,” bisik Devinta di telinga kiri Rama. Ia juga memberikan ciuman lama pada kedua bibi dan berakhir pada bibir lelaki yang sudah tampak lemah. Raka memalingkan wajah saat melihat Devinta melakukan ciuman tadi, rasanya ada yang mengganjal. Raka mendekat, ia berbisik di telinga kanan Rama saat Devinta menggenggam jemari tangan Rama begitu erat. “Rama, Kakak gue satu-satunya … terima kasih selama ini, sejak dulu sudah banyak berkorban untuk gue –” Rasanya kalimat yang akan diucapkan Raka tersangkut di kerongkongan, ia menangis, memeluk erat Rama yang terus berbaring. “Maafin gue, atas semua yang terjadi, Ram. Gue akan jaga dua orang yang gue yakin lo cinta. Deva akan jadi anak gue, gue akan didik dia menjadi laki-laki pemberani dan bertanggung jawab.” Raka semakin sesenggukan, ia memeluk kepala Rama erat. “Ram …,” bisik Raka lagi.
Rezeki kehamilan belum mendatangi Risa, satu hari setelah tiba di Tokyo, ia dibawa ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan. Ternyata Risa tidak hamil, ia kelelahan jadi terlambat datang bulan. Guratan wajah kesedihan menerpa Risa, ia berjalan menyusuri trotoar di sepanjang area menuju ke hotel dengan begitu murung. “Kita bukannya sudah ada Nadia, kenapa kamu kepingin hamil lagi, Sa?” tanya Arkana yang kala itu memakai pakaian yang terlihat santai. Kaos lengan panjang, blue jeans, sepatu kets dan tak lupa kacamata baca yang kini sering ia kenakan. Menambah kesan mature pada suami Risa. “Ya … aku mau merasakan punya anak lagi. Bisa hamil dengan dikelilingi keluarga, suami juga hal-hal baik. Tidak seperti Nadia yang semua serba prihatin.” Risa tersenyum masam, Arkana mengecup puncak kepala Risa. Tak ada sanggahan, yang dikatakan istrinya memang benar. Arkana sendiri merasa memiliki hutang untuk hal itu. Namun, jika memang Risa belum diberikan kehamilan benih darinya, Arkana akan mem
Nadia memastikan tampilan dirinya sesuai dengan yang diinginkan di depan cermin. Ia tersenyum kemudian menyambar sweater warna peach yang akan dikenakan. Langkahnya tampak riang menuju ke ruang makan kamar hotel mewah yang ditempati keluarganya. “Nadia nggak akan lama, Bunda … Ayah,” selorohnya sambil mencium pipi Risa juga Arkana. “Ck. Yakin? Ayah nggak percaya,” sindir Arkana sambil melirik dari balik kacamata baca yang ia kenakan. “Bunda minta kamu jangan aneh-aneh, Nad,” sambung Risa yang tengah mengupas buah apel untuk suaminya makan. “Nadia sama Kak Rana, semua aman,” jawab gadis tujuh belas tahun yang tumbuh menjadi sosok gadis cantik nan anggun. Ya … Nadia sudah besar dan akan duduk di bangku perkuliahan. Mereka ada sedang berada di Tokyo lagi, selain untuk liburan merayakan kelulusan sekolah Nadia, juga karena Arkana ada urusan pekerjaan yang tidak bisa dilepas ke anak buahnya. “Di sini lagi musim panas, kamu pakai sweater apa nggak kepanasan?” sindir Risa sambil melirik
“Sendirian? Maksudnya?” Nadia mengernyit, ia urung menikmati makanan pesanannya. “Kamu bisa jaga rahasia, Nad?” Deva meremas kedua tangannya, Nadia bisa melihat urat-urat menonjol di tangan berkulit putih pemuda itu. Nadia mengulum senyum, ia menoleh, menatap Deva lagi. “Sebentar, aku mau tanya. Ehem ….” Nadia berdeham. “Kita,” tunjuknya dengan jari ke arah Deva juga dirinya. “Sudah lama tidak bertemu, kenapa kamu bisa tau ini aku? Nadia? Yang aku ingat, kamu itu dulu benci sekali sama aku, ‘kan?” Deva menunduk, tersenyum lalu melirik Nadia. “Aku bodoh saat itu, kenapa juga harus marah sama kamu kalau nyatanya memang Mamaku yang salah. Seharusnya kamu yang mendapatkan semua kebahagian, kekayaan, kenyamanan Papa Arkana, bukan aku yang ternyata aku–” Deva diam. “Apa yang kamu ingat dari aku. Maksudku, kita sudah terlalu lama tidak berkomunikasi, dengan sekali lihat kamu tau itu aku?” Nadia menegakkan duduknya, ia meletakkan bungkusan makanan di sisi kirinya. “Apa aku sama sekali tid
“Aku cuma mau jalan-jalan sendiri, Kak, mau nikmati suasana aja,” ujar Nadia beralasan.“Hmmh … yaudah, nanti aku bilang Ayah dan Bunda kamu kalau kamu pergi sama aku, ya. Besok rencana mau kemana? Kita samain dulu sebelum aku bantu kamu berbohong.” “Bilang aja kita mau nonton, sama ke pusat belanja, gimana?!” Nadia begitu tampak bersemangat. Rana mengangguk, ia lalu mengajak Nadia naik ke lantai atas menuju kamar masing-masing. Setibanya di kamar hotel, Nadia di sambut Calvin yang sedang bercanda dengan Arkana yang juga sudah pulang bekerja. “Dari mana kamu? Terlambat lima belas menit,” tegur Arkana. “Pergi sama Kak Rana, Yah. Ayah curiga aja.” Lalu Nadia mengambil alih Calvin dari pangkuan ayahnya. “Calvin main sama Kakak, yuk!” ajaknya. Ia menciumi pipi bayi gembul itu. “Bunda mana, Yah?” Nadia celingukan. “Pergi beli makanan, malas masak katanya, mau beli aja. Kamu makan di mana tadi?” tanya Arkana sambil berjalan ke arah Nadia. Ia menjawab seingatnya, alias tempat yang tadi
Restu “Ma,” panggil Arlan sambil memeluk wanita yang sudah membesarkannya. Keduanya berpelukan semakin erat, melepas rindu setelah Arlan pergi hampir dua bulan lamanya dari rumah itu. Nadia masih menggandeng tangan Kenan yang mengangkat kepala, menatap Arlan dan calon neneknya mengharu biru. Mereka duduk bersama, Arlan dan Nadia juga diperkenalkan dengan calon suami Lisa. “Mama senang, Arlan mau mengerti dan memaafkan Mama.” “Arlan … minta maaf, Ma. Ini semua—“ “Mama paham, Lan,” selanya. “Kita makan siang, yuk. Mama masak sup buntut sapi kesukaan kamu. Nadia, bisa bantu Mama siapkan?” “Iya, Ma, bisa.” Nadia beranjak, walau ada pembantu, tetapi wanita itu ingin Nadia ikut serta menyiapkan, bukan tanpa alasan, ia mau dekat dengan calon menantunya yang sudah ia kenal sejak kecil—semenjak keluarga besar tau jika Nadia anak Arkana. “Ma, apa Mama nggak masalah kalau nanti pernikahana kami dilakukan di rumah orang tua Nadia?” ujarnya sambil menata piring. “Iya, sayang, kenapa harus d
Arlan mondar mandir berjalan di ruang tengah rumah Nadia, bahkan hal itu membuat Kenan terus menatap calon papa sambungnya dengan heran. "Papa, kenapa dari tadi mondar mandir?" tanyanya sambil mewarnai buku gambar. "Nggak apa-apa, Nan. Udah selesai PRnya?" Arlan mendekat, duduk sembari mengusap kepala Kenan penuh kasih sayang. Arlan begitu menyayangi Kenan, benar-benar seperti darah dagingnya sendiri. Nadia berjalan dari arah tangga, ia sudah selesai membersihkan diri. Pekerjaan di butik membuatnya harus pulang jam 8 malam. "Nan, PRnya udah selesai?" Nadia duduk di sebelah Arlan."Sedikit lagi, Ma," jawab Kenan yang masih fokus mewarnai ikan paus. "Setelah selesai tidur, ya," pesan Nadia. "Oke." Kenan mengacungkan ibu jari. Nadia bersandar manja pada bahu kekar Arlan, lalu mengendus bahu tunangannya. "Wangi," bisik Nadia. Arlan menoleh, tersenyum. Ia tadi menjemput Nadia setelah dari kosan, naik ojek online sampai ke butik. Dari butik baru lah ia yang mengemudikan mobil Nadia. "
Arlan belum mendapatkan pekerjaan, semenjak meninggalkan semua yang sebelumnya dimiliki, ia kini tinggal di kosan sederhana sambil terus mengirim lamaran kerja. Ponselnya berbunyi, satu pesan singkat membuatnya mengalihkan pandangan dari laptop hasil dipinjamkan Nadia. Setelah pergi, Arlan bahkan membuka rekening baru untuk mulai menyimpan uangnya. Tetapi kenyataannya ia meminjam uang Nadia untuk mulai hidup barunya. Arlan berdecak, tak mau menggubris pesan singkat itu. Fokusnya kembali menatap laptop, kepintarannya tidak selalu mudah mencari pekerjaan, walau banyak orang menganggapnya begitu. Menjelang siang, Arlan menjemput Kenan, bocah itu tampak senang, bahkan melompat memeluk Arlan yang berjongkok. "Papa nggak kerja?" Pertanyaan polos terucap. Arlan mengusap kepala Kenan lembut. "Libur. Eh, Nan, kita pulang naik buwsay, yuk, seru pasti," ajaknya. "Sama Mama boleh?" Kening Kenan berkerut, seumur-umur, ia bahkan belum pernah naik motor dibonceng siapapun, apalagi busway. "Bo
Acara lamaran dilaksanakan di salah satu restoran favorit Arkana. Nadia yang booking sejak seminggu lalu. Ia dan Kenan tampak rapi dengan busana formal, bahkan Kenan meminta memakai kemeja dengan dasi kupu-kupu. Menggemaskan. Keluarga Nadia sudah hadir, menunggu kedatangan Arlan beserta mama dan keluarga inti lainnya. Risa tersenyum saat melihat putrinya cantik juga dewasa. Tak salah memilih Arlan untuk dijadikan suami. "Nadia, jangan gugup," kata Risa. "Nggak, Bun ... Nadia cuma nggak nyangka kalau sekarang bisa ada diposisi ini dan udah ada Kenan," seloroh Nadia mencoba tampak tenang. "Arlan itu anak baik. Jadi dia pasti nggak akan bikin kamu kecewa." Arkana menyahut. Nadia mengangguk. Keluarga lainnya yang hadir hanya kakak tertua Arkana, karena kedua orang tuanya sudah tidak ada, jadilah sulung dari keluarga yang mewakilkan. Dua saudara kandung Arkana lainnya berhalangan hadir. Menit berganti jam, Nadia mulai gelisah karena Arlan tidak menjawab teleponnya juga membalas chat.
Nadia sibuk di butik juga studio, ia sedang mengurus baju pengantin pernikahan sepupu dan klien lainnya. Kenan datang, ia pulang sekolah di jemput sopir."Mama, hari sabtu besok ada lomba olahraga di sekolah," ujar Kenan. "Mama bisa datang, 'kan?" sambungnya."Aduh ... Kenan, Mama ada acara pernikahan klien Mama, gimana, ya?"Nadia menoleh sejenak sebelum lanjut membantu memasang beberapa payet cantik digaun pengantin yang terpasang pada manekin."Yah ...," keluh Kenan sedih."Acaranya jam berapa?""Jam tujuh pagi, Ma." Kenan duduk di sofa, menatap mamanya bekerja. Tiga asisten Nadia melirik ke arahnya."Mbak Nadia, minta tolong Pak Arlan aja," bisiknya.Nah, Nadia tidak ingat jika sekarang ada Arlan yang pasti senang dimintai tolong apalagi urusannya untuk Kenan.***Hari sabtu tiba, Arlan sudah sampai di depan rumah Nadia. Kenan juga sudah rapi memakai seragam olahraga sekolah, topi, sepatu dan membawa tas berisi handuk kecil, baju ganti juga botol minum."Udah siap, Nan?" sapa Arl
Momen penuh air mata pun selesai, Nadia membantu memakaikan sepatu Kenan, mereka akan berbegas malam mingguan ke mal. Kemana lagi, hiburan instan jika bukan ngemal. Arkana keluar dari kamar mandi, ia baru saja membasuh wajahnya yang sembab karena menangis bahagia.“Ayo,” ajaknya sembari mengusap kepala Kenan yang mengangguk. Nadia menarik tangan Arlan, lalu ia peluk erat. Arlan menenggelamkan wajah di ceruk leher Nadia. “Aku senang,” lirihnya.“Aku juga. Semoga kamu bisa jadi Papa yang baik Kenan dan … jadi … um ….” Nadia malu sendiri. Arlan merenggangkan pelukan, menatap wajah cantik Nadia dengan semburat merah dipipi.“Suami kamu yang begitu besar mencintai kamu,” bisik Arlan tepat didepan wajah Nadia, ia kecup pangkal hidung Nadia begitu lama.“Mama, Ay—“ Kenan geram, ia masuk lalu memukul paha Arlan, lelaki itu mengaduh.“Kenan nggak mau punya adek bayi!” teriaknya kesal.“Hah?!” Arlan dan Nadia kompak terkejut.***Jadi, Kenan ternyata dengar cerita dari teman-temannya di sekolah
Kenan menatap jutek ke Arlan yang duduk menikmati sarapan pagi di rumah Nadia. Dengan mulut penuh mengunyah sereal coklat dengan susu putih, Kenan sepertinya lupa semalam ia tidur dengan lelaki yang dipanggilnya Papa. Arlan tesenyum, lalu meneguk kopi, setelahnya ia bertopang dagu.“Nan, tidurnya nyenyak?” pertanyaan itu membuat Nadia melirik cepat. Ia takut masih pagi sudah terjadi perang dingin.“Hm.” Kenan menjawab dengan enggan.“Kamu tidur sama Om Arlan, Nan,” sambar Nadia dari pada Arlan yang bicara.“Kenan tau,” sambung bocah itu.“Kamu ingat?!” Alran memekik.“Ingat. Terus kenapa?” lirikan Kenan masih menunjukkan ketidak sukaannya.“Kenapa kamu sekarang judes banget. Semalam aja … minta panggil Om, Papa.”“Nggak boleh?” sinis Kenan lagi. “Kenan kenyang. Mama, Kenan mau nonton di kamar, ya.”“Nonton di sini aja, jangan di kamar,” larang Nadia.“Oke, Ma.” Dengan langkah enggan, Kenan menuju ke sofa yang semalam ditiduri Arlan. Lelaki itu menoleh ke Nadia.“Kenan gengsi, Lan, sab
Arlan menggendong Kenan yang tertidur di dalam mobil menuju ke dalam rumah Nadia. Wanita itu menyambut dengan senyuman."Hai," lirih pelan Arlan lalu mencium pipi Nadia. Wanita itu tersenyum seraya menutup pintu rumah. Harum masakan membuat air liur Arlan mengumpul di rongga mulut, ia melirik ke atas meja makan, benar-benar calon istri idaman.Nadia membuka pintu kamar Kenan, Arlan merebahkan perlahan tubuh bocah kecil itu, tak lupa melepaskan sepatu."Jangan dibangunin, biar aja," bisik Arlan."Kamu kemalaman, anakku tidur pake baju sekolah, jorok, Lan," keluh Nadia yang juga berbisik."Udah ... nggak papa, sesekali, kasihan capek banget. Sibuk gambar sama makan di ruang rapat. Terus sama Bu Ratu dibeliin pizza, kenyang banget Kenan."Nadia mengangguk. Arlan menarik pinggang Nadia, ia peluk erat dengan posisi dirinya duduk di kursi meja belajar Kenan."I Miss you," bisik Arlan seraya mengulum senyum. Nadia menangkup wajah Arlan."Aku juga," jawab Nadia. Ia mengecup kening Arlan lama.
Gerakan Arlan guna meluluhkan hati Kenan terus dilakukan. Ia bahkan menyempatkan diri datang ke sekolah bocah itu. Padahal Nadia sudah melarang karena ia yang akan menjemput. Arkana keras kepala dan memaksa ke sekolah. Ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Kenan sudah masuk pekan ke dua sekolah dan info dari Nadia, jika Kenan lanjut les calistung juga drum band cilik hingga pukul tiga sore. Anak TK jaman sekarang, sekolahnya lama. Namun, asiknya di sekolah Kenan, ada jam tidur siang, jadi mirip day care. Arlan masih duduk di dalam mobil, ia memangku laptop, bahkan dirinya melakukan pekerjaan tapi tetap usaha dekat dengan Kenan. "Ya, halo," jawabnya sambil menjepit ponsel dengan bahu di telinga kanan. "Pak Arlan dicari Bu Ratu, apa bisa ke kantor lagi?" Duh, lupa. Arlan ada meeting jam empat dengan Ratu. Sekarang jam tiga kurang, jarak sekolah ke rumah Nadia lalu ke kantor lagi akan memakan banyak waktu. "Bisa," jawab Arlan sambil menggigit bibirnya, ia khawatir pa