Semua sudah siap, Nadia kini sudah bisa bersekolah di tempat semestinya. Ia dan Risa berjalan menuruni anak tangga dengan perlahan. Tatapan Devinta serta Deva begitu dingin saat melihat ke arah dua perempuan yang kini statusnya bagian hidup Arkana. Lelaki itu tersenyum menyambut, tapi Risa dan Nadia segera pamit berangkat, tidak ikut sarapan bersama karena mereka tau diri posisinya di rumah itu. Arkana hanya bisa menghela napas sambil menatap Devinta yang tak acuh sambil menyendok nasi dan lauk ke mulutnya. Di depan gerbang rumah besar itu, mobil sedan mewah berhenti, Raka turun lalu berlari memutar bagasi mobil untuk menghampiri Nadia juga Risa. “Kenapa kamu?” Risa masih kesal dengan Raka, padahal sudah satu minggu lalu sejak pernikahannya dilangsungkan, ia tak bertemu Raka. “Memang kenapa? Ayo Nadia, Om Raka antar sekolah.” Raka membuka pintu belakang, Nadia tampak ragu tetapi tetap masuk ke dalam mobil dengan perlahan sambil menatap bundanya.“Jangan kasih kesedihan ke Nadia lag
Harap bijak membaca part ini. Erangan erotis wanita diatas tubuh lelaki itu menggema di dalam kamar hotel yang tempati keduanya. Devinta mabuk, ia kehilangan kewarasan hingga kini sedang mendapati pelepasan keduanya dengan Raka. Laki-laki itu memburunya, hingga bertemu di klub tempat Devinta menyendiri. Ia bohong kepada Arkana, bilang jika akan pulang ke rumah orang tuanya sejenak, dan lelaki bodoh itu percaya. Rayuan maut Raka ditambah alkohol membuat Devinta kembali hilang akal. Raka tak menyiakan kesempatan, langsung ia membawa Devinta ke tempat itu. Raka akui, Devinta cantik dengan tubuh sempurna. Pantas kakaknya, begitu menggilai wanita yang masih terus bergerak di atas tubuhnya. Raka puas biasa membuat Devinta hilang akal dan adab. Ia istri seorang laki-laki sukses, dan kini sedang bercinta dengan seorang laki-laki yang merupakan adik dari laki-laki yang begitu Devinta cintai dulu. Devinta mendesah nikmat, Raka kembali menyemburkan cairan miliknya di dalam rahim Devinta. “Ras
Risa menuruti kemauan Arkana, ia memasak. Malam itu Risa memasak iga bakar dan puding buah-buahan. Dua masakan sederhana tanpa banyak macam yang biasanya jika ada Devinta, satu meja makan penuh dengan makanan yang ujung-ujungnya tidak habis dimakan. Deva turun dari lantai dua, menghampiri Risa yang sedang menata meja makan. “Kalian mau pergi dari sini, kan.” tanya Deva dengan nada ketus. Risa menoleh, tersenyum seraya mengangguk. Arkana baru tiba, ia berjalan masuk ke dalam rumah, Deva menoleh menatap papanya dengan tatapan kesal. “Mereka besok pergi dari sini, ‘kan, Pa?” tanyanya dengan penuh penekanan. “Kenapa kamu tanyanya begitu, Deva?” Arkana tak percaya putranya bisa bicara seperti itu. “Deva nggak suka! Mama pergi karena mereka!” teriak bocah laki-laki itu lalu kembali ke kamarnya. Arkana menghela napas panjang, ia mengendurkan dasi yang masih melingkar di kerah bajunya. Risa tersenyum masam. “Deva jadi salah sangka dan benci aku sama Nadia. Apa kamu tau, perlakuan Deva
Risa berjalan ke depan rumah, diikuti Nadia yang menyambut ayahnya dengan senyuman. “Ngapain ke sini?” tanya Risa dengan wajah sedikit angkuh, seperti tidak suka dengan kehadiran lelaki itu. Arkana melirik ke mobil terparkir. “Ada Raka,” tanyanya ketus. Tampak dari tatapannya juga langsung menunjukkan ketidak sukaannya. “Iya.” “Nadia udah makan belum? Kamu juga?” Arkana menyodorkan dua kantong plasik besar berisi makanan cepat saji juga ke arah Risa. “Udah, tadi Raka beliin.” Ternyata jawaban Risa membuat Arkana terpancing kesal. Ia berjalan cepat ke arah rumah, masuk melewati Nadia yang mendongak sambil menatap bingung ke ayahnya. “Keluar anda dari sini.” usir Arkana sambil menunjuk ke arah pintu. Raka beranjak dari duduknya, tersenyum dingin sambil memakai jas mahal miliknya. Tanpa bersuara apa pun, Raka berjalan keluar dari rumah itu, tak lupa ia mengecup kening Nadia dan menepuk bahu Risa sebelum menuju ke mobilnya. Risa mengajak Nadia masuk, lalu meminta putrinya menonton T
“Ngapain ke sini lagi, sih,” gumam Risa yang mengintip dari balik gordyn. Arkana kembali berjalan masuk, Risa bersandar pada ambang pintu sambil menatap garang. “Kenapa, nggak boleh nginep di sini.” Arkana terus berjalan hingga duduk bersama Nadia di atas karpet halus. “Home sweet home,” ucap Arkana. Tingkahnya seperti anak kecil yang lama tak pulang ke rumah. Risa tak tau harus apa, ia akhirnya memutuskan ke dalam kamar, meninggalkan Nadia bersama Arkana. Risa membaca buku materi kuliah, sudah hampir satu jam berlalu hingga terdengar suara Nadia yang mengatakan jika ia sudah mengantuk. “Ayo bobo,” ajak Risa. Nadia naik ke atas ranjang, Risa bersiap menyelimuti karena AC cukup dingin saat dipasang disuhu 20 derajat celsius. “Nadia bobo sama Ayah, ya. Mau dibacain cerita nggak? Deva dulu suka Ayah bacain dongeng.” Nadia menggelengkan kepala. “Nadia udah besar,” jawabnya. Arkana tergelak sambil duduk di tepi ranjang. “Yaudah, baca doa gimana?” tawarnya. “Mau, Ayah bisa?” “Ya bisa
Arkana tidak bisa tidur, badannya miring kanan dan kiri, lalu duduk, terlentang lagi, tetap tak bisa memejamkan mata. Ia kesal, lalu mengusak rambutnya. Dilihatnya jam dinding, masih di angka setengah dua belas malam. Kepalanya menoleh ke kiri, tepat pada pintu kamar yang ditiduri Risa bersama Nadi. Arkana mengulum senyum, lalu beranjak sambil membawa bantal yang diberikan Risa. Tangannya memegang gagang pintu, di dalam hati berdoa supaya tidak dikunci, dan benar saja karena pintu terbuka. Arkana berjalan begitu pelan masuk ke dalam kamar dengan AC yang menyejukkan tubuhnya dalam seketika. Ranjang ukuran besar itu memang bukan dirinya yang beli, siapa lagi kalau bukan Raka, walaupun kesal Arkana tetap duduk di tepi ranjang. Ia melihat Risa dan Nadia terlelap, tak tega untuk membangunkan Risa guna meminta izin tidur di kamar itu, Arkana langsung saja merebahkan diri di samping Risa, masa bodo jika nanti Risa marah, baru ia minta maaf dan izin untuk tidur di kamar. Risa bergeliat, lal
Devinta menjadi kelu, lidahnya tak mampu berucap sepatah kata. Hanya mata terus menatap tajam juga tak suka kepada Raka yang masih berbicara, membuka semua kenyataan yang akhirnya perlahan masuk ke dalam diri wanita yang kini sudah tidak tahan dengan lelaki itu. Brak! Ia menggebrak meja, tatapannya penuh kemarahan ke arah Raka yang bertepuk tangan, begitu puas menatap target sudah tidak punya senjata apa pun untu membela diri. “Jadi, bagaimana? Kalian sudah tau siapa saya, dan apa yang terjadi dengan Devinta bersama Kakak saya di masa lalu hingga menghasilkan … Deva.” Kalimat terakhir membuat Arkana menoleh cepat, menatap marah ke Devinta dengan tangan terkepal. “Katakan, kalau yang Raka bilang tadi, bohong, Devinta.” geramnya. Ratu tersenyum tipis, ia tak bersuara, hanya di dalam hatinya merasa puas setelah mengetahui rahasia itu terbuka oleh Raka sendiri. Vikal memijit pangkal hidungnya, ia tak menyangka selama ini adik bungsunya dibohongi oleh istrinya sendiri. “Well, sekarang
“Pulang kerja, aku ke sini jemput kamu dan Nadia,” ujar Arkana, kemudian ia mencium kedua pipi Nadia, tak luput Risa yang ditatap dengan wajah begitu penuh rasa lega. Ia tersenyum, tangannya meraih jemari Risa. “Dandan yang cantik, kamu harus tunjukkan siapa kamu, Sa.” “Nggak perlu, aku mau jadi aku apa adanya,” tolak Risa. “Sesekali, aku mohon.” Bibir Arkana menempel pada kening Risa, tapi kemudian Risa mundur, menjauh dari Arkana. “Jangan seenaknya.” ketus Risa. Arkana meringis, ia melirik Nadia yang hanya bisa tertawa pelan. “Nadia, mau adik cewek atau cowok?” Sontak saja Risa memukul lengan Arkana lalu mendorong suaminya segera keluar dari dalam rumah. “Jangan asal ngomong!” tegur Risa kesal sambil bersedekap di hadapan suaminya yang menatapnya dengan tatapan sayu. “Lupa, kamu istriku, Sa. Kita harus bersa– aduh! sakit! “ keluh Arkana dengan ringisan karena Risa mencubit pinggang lelaki itu. “Biar kamu tau rasa. Kalau ngomong seenaknya. Lagian … kamu pikir aku mau punya ana
Restu “Ma,” panggil Arlan sambil memeluk wanita yang sudah membesarkannya. Keduanya berpelukan semakin erat, melepas rindu setelah Arlan pergi hampir dua bulan lamanya dari rumah itu. Nadia masih menggandeng tangan Kenan yang mengangkat kepala, menatap Arlan dan calon neneknya mengharu biru. Mereka duduk bersama, Arlan dan Nadia juga diperkenalkan dengan calon suami Lisa. “Mama senang, Arlan mau mengerti dan memaafkan Mama.” “Arlan … minta maaf, Ma. Ini semua—“ “Mama paham, Lan,” selanya. “Kita makan siang, yuk. Mama masak sup buntut sapi kesukaan kamu. Nadia, bisa bantu Mama siapkan?” “Iya, Ma, bisa.” Nadia beranjak, walau ada pembantu, tetapi wanita itu ingin Nadia ikut serta menyiapkan, bukan tanpa alasan, ia mau dekat dengan calon menantunya yang sudah ia kenal sejak kecil—semenjak keluarga besar tau jika Nadia anak Arkana. “Ma, apa Mama nggak masalah kalau nanti pernikahana kami dilakukan di rumah orang tua Nadia?” ujarnya sambil menata piring. “Iya, sayang, kenapa harus d
Arlan mondar mandir berjalan di ruang tengah rumah Nadia, bahkan hal itu membuat Kenan terus menatap calon papa sambungnya dengan heran. "Papa, kenapa dari tadi mondar mandir?" tanyanya sambil mewarnai buku gambar. "Nggak apa-apa, Nan. Udah selesai PRnya?" Arlan mendekat, duduk sembari mengusap kepala Kenan penuh kasih sayang. Arlan begitu menyayangi Kenan, benar-benar seperti darah dagingnya sendiri. Nadia berjalan dari arah tangga, ia sudah selesai membersihkan diri. Pekerjaan di butik membuatnya harus pulang jam 8 malam. "Nan, PRnya udah selesai?" Nadia duduk di sebelah Arlan."Sedikit lagi, Ma," jawab Kenan yang masih fokus mewarnai ikan paus. "Setelah selesai tidur, ya," pesan Nadia. "Oke." Kenan mengacungkan ibu jari. Nadia bersandar manja pada bahu kekar Arlan, lalu mengendus bahu tunangannya. "Wangi," bisik Nadia. Arlan menoleh, tersenyum. Ia tadi menjemput Nadia setelah dari kosan, naik ojek online sampai ke butik. Dari butik baru lah ia yang mengemudikan mobil Nadia. "
Arlan belum mendapatkan pekerjaan, semenjak meninggalkan semua yang sebelumnya dimiliki, ia kini tinggal di kosan sederhana sambil terus mengirim lamaran kerja. Ponselnya berbunyi, satu pesan singkat membuatnya mengalihkan pandangan dari laptop hasil dipinjamkan Nadia. Setelah pergi, Arlan bahkan membuka rekening baru untuk mulai menyimpan uangnya. Tetapi kenyataannya ia meminjam uang Nadia untuk mulai hidup barunya. Arlan berdecak, tak mau menggubris pesan singkat itu. Fokusnya kembali menatap laptop, kepintarannya tidak selalu mudah mencari pekerjaan, walau banyak orang menganggapnya begitu. Menjelang siang, Arlan menjemput Kenan, bocah itu tampak senang, bahkan melompat memeluk Arlan yang berjongkok. "Papa nggak kerja?" Pertanyaan polos terucap. Arlan mengusap kepala Kenan lembut. "Libur. Eh, Nan, kita pulang naik buwsay, yuk, seru pasti," ajaknya. "Sama Mama boleh?" Kening Kenan berkerut, seumur-umur, ia bahkan belum pernah naik motor dibonceng siapapun, apalagi busway. "Bo
Acara lamaran dilaksanakan di salah satu restoran favorit Arkana. Nadia yang booking sejak seminggu lalu. Ia dan Kenan tampak rapi dengan busana formal, bahkan Kenan meminta memakai kemeja dengan dasi kupu-kupu. Menggemaskan. Keluarga Nadia sudah hadir, menunggu kedatangan Arlan beserta mama dan keluarga inti lainnya. Risa tersenyum saat melihat putrinya cantik juga dewasa. Tak salah memilih Arlan untuk dijadikan suami. "Nadia, jangan gugup," kata Risa. "Nggak, Bun ... Nadia cuma nggak nyangka kalau sekarang bisa ada diposisi ini dan udah ada Kenan," seloroh Nadia mencoba tampak tenang. "Arlan itu anak baik. Jadi dia pasti nggak akan bikin kamu kecewa." Arkana menyahut. Nadia mengangguk. Keluarga lainnya yang hadir hanya kakak tertua Arkana, karena kedua orang tuanya sudah tidak ada, jadilah sulung dari keluarga yang mewakilkan. Dua saudara kandung Arkana lainnya berhalangan hadir. Menit berganti jam, Nadia mulai gelisah karena Arlan tidak menjawab teleponnya juga membalas chat.
Nadia sibuk di butik juga studio, ia sedang mengurus baju pengantin pernikahan sepupu dan klien lainnya. Kenan datang, ia pulang sekolah di jemput sopir."Mama, hari sabtu besok ada lomba olahraga di sekolah," ujar Kenan. "Mama bisa datang, 'kan?" sambungnya."Aduh ... Kenan, Mama ada acara pernikahan klien Mama, gimana, ya?"Nadia menoleh sejenak sebelum lanjut membantu memasang beberapa payet cantik digaun pengantin yang terpasang pada manekin."Yah ...," keluh Kenan sedih."Acaranya jam berapa?""Jam tujuh pagi, Ma." Kenan duduk di sofa, menatap mamanya bekerja. Tiga asisten Nadia melirik ke arahnya."Mbak Nadia, minta tolong Pak Arlan aja," bisiknya.Nah, Nadia tidak ingat jika sekarang ada Arlan yang pasti senang dimintai tolong apalagi urusannya untuk Kenan.***Hari sabtu tiba, Arlan sudah sampai di depan rumah Nadia. Kenan juga sudah rapi memakai seragam olahraga sekolah, topi, sepatu dan membawa tas berisi handuk kecil, baju ganti juga botol minum."Udah siap, Nan?" sapa Arl
Momen penuh air mata pun selesai, Nadia membantu memakaikan sepatu Kenan, mereka akan berbegas malam mingguan ke mal. Kemana lagi, hiburan instan jika bukan ngemal. Arkana keluar dari kamar mandi, ia baru saja membasuh wajahnya yang sembab karena menangis bahagia.“Ayo,” ajaknya sembari mengusap kepala Kenan yang mengangguk. Nadia menarik tangan Arlan, lalu ia peluk erat. Arlan menenggelamkan wajah di ceruk leher Nadia. “Aku senang,” lirihnya.“Aku juga. Semoga kamu bisa jadi Papa yang baik Kenan dan … jadi … um ….” Nadia malu sendiri. Arlan merenggangkan pelukan, menatap wajah cantik Nadia dengan semburat merah dipipi.“Suami kamu yang begitu besar mencintai kamu,” bisik Arlan tepat didepan wajah Nadia, ia kecup pangkal hidung Nadia begitu lama.“Mama, Ay—“ Kenan geram, ia masuk lalu memukul paha Arlan, lelaki itu mengaduh.“Kenan nggak mau punya adek bayi!” teriaknya kesal.“Hah?!” Arlan dan Nadia kompak terkejut.***Jadi, Kenan ternyata dengar cerita dari teman-temannya di sekolah
Kenan menatap jutek ke Arlan yang duduk menikmati sarapan pagi di rumah Nadia. Dengan mulut penuh mengunyah sereal coklat dengan susu putih, Kenan sepertinya lupa semalam ia tidur dengan lelaki yang dipanggilnya Papa. Arlan tesenyum, lalu meneguk kopi, setelahnya ia bertopang dagu.“Nan, tidurnya nyenyak?” pertanyaan itu membuat Nadia melirik cepat. Ia takut masih pagi sudah terjadi perang dingin.“Hm.” Kenan menjawab dengan enggan.“Kamu tidur sama Om Arlan, Nan,” sambar Nadia dari pada Arlan yang bicara.“Kenan tau,” sambung bocah itu.“Kamu ingat?!” Alran memekik.“Ingat. Terus kenapa?” lirikan Kenan masih menunjukkan ketidak sukaannya.“Kenapa kamu sekarang judes banget. Semalam aja … minta panggil Om, Papa.”“Nggak boleh?” sinis Kenan lagi. “Kenan kenyang. Mama, Kenan mau nonton di kamar, ya.”“Nonton di sini aja, jangan di kamar,” larang Nadia.“Oke, Ma.” Dengan langkah enggan, Kenan menuju ke sofa yang semalam ditiduri Arlan. Lelaki itu menoleh ke Nadia.“Kenan gengsi, Lan, sab
Arlan menggendong Kenan yang tertidur di dalam mobil menuju ke dalam rumah Nadia. Wanita itu menyambut dengan senyuman."Hai," lirih pelan Arlan lalu mencium pipi Nadia. Wanita itu tersenyum seraya menutup pintu rumah. Harum masakan membuat air liur Arlan mengumpul di rongga mulut, ia melirik ke atas meja makan, benar-benar calon istri idaman.Nadia membuka pintu kamar Kenan, Arlan merebahkan perlahan tubuh bocah kecil itu, tak lupa melepaskan sepatu."Jangan dibangunin, biar aja," bisik Arlan."Kamu kemalaman, anakku tidur pake baju sekolah, jorok, Lan," keluh Nadia yang juga berbisik."Udah ... nggak papa, sesekali, kasihan capek banget. Sibuk gambar sama makan di ruang rapat. Terus sama Bu Ratu dibeliin pizza, kenyang banget Kenan."Nadia mengangguk. Arlan menarik pinggang Nadia, ia peluk erat dengan posisi dirinya duduk di kursi meja belajar Kenan."I Miss you," bisik Arlan seraya mengulum senyum. Nadia menangkup wajah Arlan."Aku juga," jawab Nadia. Ia mengecup kening Arlan lama.
Gerakan Arlan guna meluluhkan hati Kenan terus dilakukan. Ia bahkan menyempatkan diri datang ke sekolah bocah itu. Padahal Nadia sudah melarang karena ia yang akan menjemput. Arkana keras kepala dan memaksa ke sekolah. Ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Kenan sudah masuk pekan ke dua sekolah dan info dari Nadia, jika Kenan lanjut les calistung juga drum band cilik hingga pukul tiga sore. Anak TK jaman sekarang, sekolahnya lama. Namun, asiknya di sekolah Kenan, ada jam tidur siang, jadi mirip day care. Arlan masih duduk di dalam mobil, ia memangku laptop, bahkan dirinya melakukan pekerjaan tapi tetap usaha dekat dengan Kenan. "Ya, halo," jawabnya sambil menjepit ponsel dengan bahu di telinga kanan. "Pak Arlan dicari Bu Ratu, apa bisa ke kantor lagi?" Duh, lupa. Arlan ada meeting jam empat dengan Ratu. Sekarang jam tiga kurang, jarak sekolah ke rumah Nadia lalu ke kantor lagi akan memakan banyak waktu. "Bisa," jawab Arlan sambil menggigit bibirnya, ia khawatir pa