"Ehem..."
Suara deheman bersamaan dengan munculnya seseorang dari balik pintu, seketika membuat Alex dan Dewi terlonjak kaget. Keduanya lantas saling menjauh sembari menoleh secara bersamaan.
"Lucas..."
Seruan Dewi yang menatap remaja itu, malah membuat Lucas tertawa riang. Wajah Lucas nampak senang setelah berhasil membuat keduanya terkejut yang di tanggapi Alex dengan gelengan kepala.
"Kebiasaan pengantin baru. Enggak kenal tempat dan waktu. Bikin mengiri yang jomblo aja."
Alex refleks menurunkan telapak tangannya yang berada di kepala Dewi begitu Lucas berjalan menghampiri.
"Lihat-lihat sekeliling dong, Kak. Masa mesra-mesraan di rumah sakit. Untung yang datang cuma aku aja. Coba suster atau dokter yang tadi pagi, kalian pasti udah jadi bahan gosip ke seluruh penjuru rumah sakit ini."
"Siapa yang lagi mesra-mesraan? Lihat ini."
Alex menaruh mangkuk bekas bubur dan gelas susu dengan kasar, setengah melempar hingga terdengar b
Dewi menghela napas lega, begitu turun dari mobil. Menginap di rumah sakit membuatnya rindu rumah.Alex menatap Dewi dengan raut wajah yang sulit dibaca. Ia sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang."Ada apa, Mas?" tanya Dewi cemas, menyadari perubahan sikap suaminya.Alex menggeleng pelan, namun matanya terlihat tajam, seolah ada yang mengganjal dalam pikirannya. Tanpa menjawab, ia masuk kembali ke dalam mobil dan melaju pergi. Dewi hanya bisa berdiri di tempat, perasaan tak enak merayapi hatinya.Setelah mobil Alex menghilang dari pandangan, Dewi kembali ke dalam rumah dengan pikiran yang tidak tenang. Ia merasa ada sesuatu yang tak beres, tetapi tak tahu apa itu. Dewi juga tak sempat bertanya karena suaminya itu pergi dengan terburu-buru. Padahal ia sedang menginginkan sesuatu."Nanti deh bilangnya kalau udah pulang aja," gumam Dewi ketika melihat mobil Alex sudah berjalan keluar pagar.Keesokan harinya, Alex p
Mulut Dewi menganga, kagum melihat rak-rak buku tersusun rapi di ruang kerja Alex. Ruangan itu memiliki suasana yang berbeda dari bagian rumah lainnya. Rak kayu menjulang tinggi memenuhi sisi dinding, dipenuhi buku-buku tebal dengan warna punggung yang beragam. Sebuah lampu meja memancarkan cahaya hangat, menciptakan kesan nyaman namun tegas. Meja kerja Alex terbuat dari kayu jati, kokoh dan terawat, dengan susunan barang yang rapi— seakan mencerminkan pemiliknya.Dewi tidak pernah tahu bahwa Alex memiliki ruang seperti ini. Perasaan ingin tahu membuncah di dadanya. Ia melangkah mendekati meja, menyentuh permukaannya yang halus. Jemarinya tanpa sadar mengetuk permukaan meja kayu itu. Kursi kerja Alex tampak begitu menggoda, hingga tanpa pikir panjang, Dewi mendudukkan diri."Empuk juga," gumamnya, mencoba menahan senyum kecil.Duduk di kursi itu, rasa ingin tahunya semakin membuncah. Ia mulai memerhatikan barang-barang di atas meja.
"Ada apa, Wi?" Dewi mengigit pelan bibirnya sembari memainkan jemarinya. Kebiasaan yang dilakukannya ketika sedang gelisah. Perlahan ia mendongak. Pandangan matanya langsung bertemu dengan mata Alex yang juga tengah menatapnya. "Saya hamil, Pak." Hening... Alex terganga keheranan. Bibirnya yang semula terkatup rapat, kini terbuka sedikit. Kedua alisnya saling bertaut dengan mata yang memandang lurus pada wanita dihadapannya. Cukup lama lelaki itu memandangi Dewi, hingga ia mengedikkan kedua bahunya. "Well, Congrats ya." Dewi seketika melongo. Wajahnya nampak tertegun melihat respon Alex yang nampak datar dan sangat biasa. Setelah berbasa-basi mengucapkan selamat, lelaki itu bahkan telah kembali menatap layar komputer di samping tempat duduknya. Tidak ada wajah syok seperti dirinya ketika baru pertama kali mendengar kabar ini. Sungguh jauh di luar bayangan wanita itu. "Janin yang di perut saya ini anak bapak." "Apa?" Bagai tersambar petir di siang bolong, Perkataan De
"Karena saya sudah memenuhi keinginanmu, maka sekarang giliran kau yang harus menepati janji."Suara dingin Alex menginterupsi Dewi yang sedang menyisir rambutnya dengan wajah tertunduk. Wanita itu sontak mendongak, menatap ke arah cermin di depannya yang memantulkan bayangan Alex. Matanya seketika bertemu pandang dengan lelaki yang juga tengah menatapnya tajam melalui kaca cermin."Kau tidak lupa akan perjanjian awal kita menikah 'kan?" Dewi menghela napas berat. Pertanyaan lelaki itu membuatnya tersenyum getir."Iya. Aku tak mungkin melupakan perjanjian itu," sahut Dewi seraya menaruh sisir di atas meja rias.Suasana dalam kamar itu terasa sangat menegangkan. Terlebih Alex menatap dingin wajah Dewi, nyaris tanpa ekspresi dan membuat wanita itu jadi sangat takut dibuatnya."Ingat ya, Wi. Saya mau menikahimu semata-mata hanya karena anak itu. Dan sesuai dengan perjanjian yang telah kita sepakati sebelumnya, saya akan langsung mengurus surat perceraian setelah kau melahirkan nanti."P
Tanpa banyak bertanya Dewi diam saja saat Alex menyalakan mesin mobil. Sepanjang perjalanan keheningan menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara bising kendaraan. Baik Alex maupun Dewi, keduanya nampak enggan memulai percakapan. Namun sesekali tatapan mata keduanya diam-diam saling melirik satu sama lain."Kenapa kamu senyum-senyum sendiri begitu? Ada yang lucu?" tanya Alex ketika memergoki Dewi yang tengah tertawa pelan."Enggak, Mas. Anu... Itu bukan apa-apa." Dewi mengeleng pelan. Wajahnya yang tertunduk nampak salah tingkah. Menyadari kerutan di kening Alex semakin dalam dengan salah satu alis yang terangkat sebelah saat memandang wajahnya, Dewi pun berdehem pelan."Oh maaf. Biasanya wanita yang sudah menikah di keluarga saya akan memanggil suaminya dengan panggilan mas. Jadi apa boleh kalau aku panggil kamu dengan sapaan mas?" Dewi membungkuk hormat sembari meminta izin untuk memanggil Alex dengan panggilan khusus. Ia merasa perlu mengutarakan keinginannya itu terlebih jarak
"Minuman saya mana? Kamu siapin saya makan tapi nggak siapin minum. Gimana sih?" Dewi menuangkan air putih di gelas Alex yang masih kosong dengan cepat. Ia tidak ingin lelaki itu lebih banyak mengerutu jika tidak segera di turuti keinginannya. Ya, begitulah kepribadian Alex yang diketahuinya selama ini. Dan suaminya itu membawa juga sifat buruknya di kantor yang suka memerintah ke rumah."Ada lagi yang mau diambilin?" tanya Dewi setelah selesai menuangkan air putih."Enggak usah. Kau sudah boleh pergi."Dewi rupanya salah mengartikan sikap Alex. Ia awalnya berpikir Alex akan mengurungkan niatnya dan memperbolehkannya makan. Tapi ternyata lelaki itu tetap menyuruhnya pergi memberi makan ikan. Dengan langkah berat, ia meninggalkan meja makan hendak ke halaman depan rumah. Namun baru beberapa langkah Dewi menjauh, Alex kembali memanggil namanya dari arah meja makan."Wi... Dewi..."Dewi mengeleng heran mendengar seruan Alex yang memanggilnya berulang-ulang. Ia menarik napas panjang, be
Dewi tidak dapat memejamkan mata. Mungkin juga karena di sisi sebelah ranjangnya kosong. Ia menghela napas setelah melirik jam dinding yang tergantung. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Entah apa yang sedang di kerjakan lelaki itu hingga larut malam masih juga berada di ruang kerjanya. "Aduh, sayang. Mama mau tidur tapi, papamu masih sibuk kerja. Sekarang kita tidur duluan saja ya," ucap Dewi sembari mengusap pelan perutnya yang sedikit menonjol. Dewi menghembuskan napasnya kasar. Ia sangat ingin Alex ada di kamar itu, menemaninya tidur semalaman. Tapi saat melihat wajah kesal lelaki itu saat dirinya menyuguhkan secangkir kopi, Dewi malah tidak berani mengatakan keinginannya. Alhasil ia jadi tak bisa tidur sekarang. "Minum susu coklat enak kali ya," gumam Dewi sembari membayangkan kelezatan dari segelas susu cokelat. Dewi yang ingin minum susu, perlahan turun dari ranjang dan berjalan menuju dapur. Namun langkahnya seketika berhenti saat matanya tak sengaja menangkap bay
Lucas menghela napas lega begitu melihat raut wajah Dewi yang berubah sedikit lebih cerah. Di ruang makan yang sederhana namun hangat itu, lampu gantung menerangi meja kayu dengan beberapa piring dan gelas yang belum dibereskan. Aroma teh yang masih tersisa di cangkir Lucas bercampur dengan wangi bunga melati dari vas kecil di tengah meja. "Iya. Maaf ya, Lucas." "Kalau Mbak namanya siapa?" tanya Lucas dengan mata berbinar, seolah ingin mengalihkan suasana yang sempat tegang. "Dewi." "Nama lengkapnya?" "Dewi Sekar Ayu." Lucas mengangguk sembari membulatkan mulutnya. "Mbak Dewi, maafin Lucas ya." Permintaan maaf remaja itu membuat kening Dewi berkerut heran. Angin malam yang dingin menyelinap melalui celah jendela, membuat ia menarik selendang yang melingkar di bahunya lebih erat. "Maaf karena ketidaksopanan Lucas pas nikahan Mbak kemarin. Itu... ehm... waktu itu aku nggak sempat nemuin Mbak karena Kakak. Mbak Dewi pasti kesal ya dan baru bisa melampiaskannya sekarang."
Mulut Dewi menganga, kagum melihat rak-rak buku tersusun rapi di ruang kerja Alex. Ruangan itu memiliki suasana yang berbeda dari bagian rumah lainnya. Rak kayu menjulang tinggi memenuhi sisi dinding, dipenuhi buku-buku tebal dengan warna punggung yang beragam. Sebuah lampu meja memancarkan cahaya hangat, menciptakan kesan nyaman namun tegas. Meja kerja Alex terbuat dari kayu jati, kokoh dan terawat, dengan susunan barang yang rapi— seakan mencerminkan pemiliknya.Dewi tidak pernah tahu bahwa Alex memiliki ruang seperti ini. Perasaan ingin tahu membuncah di dadanya. Ia melangkah mendekati meja, menyentuh permukaannya yang halus. Jemarinya tanpa sadar mengetuk permukaan meja kayu itu. Kursi kerja Alex tampak begitu menggoda, hingga tanpa pikir panjang, Dewi mendudukkan diri."Empuk juga," gumamnya, mencoba menahan senyum kecil.Duduk di kursi itu, rasa ingin tahunya semakin membuncah. Ia mulai memerhatikan barang-barang di atas meja.
Dewi menghela napas lega, begitu turun dari mobil. Menginap di rumah sakit membuatnya rindu rumah.Alex menatap Dewi dengan raut wajah yang sulit dibaca. Ia sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang."Ada apa, Mas?" tanya Dewi cemas, menyadari perubahan sikap suaminya.Alex menggeleng pelan, namun matanya terlihat tajam, seolah ada yang mengganjal dalam pikirannya. Tanpa menjawab, ia masuk kembali ke dalam mobil dan melaju pergi. Dewi hanya bisa berdiri di tempat, perasaan tak enak merayapi hatinya.Setelah mobil Alex menghilang dari pandangan, Dewi kembali ke dalam rumah dengan pikiran yang tidak tenang. Ia merasa ada sesuatu yang tak beres, tetapi tak tahu apa itu. Dewi juga tak sempat bertanya karena suaminya itu pergi dengan terburu-buru. Padahal ia sedang menginginkan sesuatu."Nanti deh bilangnya kalau udah pulang aja," gumam Dewi ketika melihat mobil Alex sudah berjalan keluar pagar.Keesokan harinya, Alex p
"Ehem..."Suara deheman bersamaan dengan munculnya seseorang dari balik pintu, seketika membuat Alex dan Dewi terlonjak kaget. Keduanya lantas saling menjauh sembari menoleh secara bersamaan."Lucas..."Seruan Dewi yang menatap remaja itu, malah membuat Lucas tertawa riang. Wajah Lucas nampak senang setelah berhasil membuat keduanya terkejut yang di tanggapi Alex dengan gelengan kepala."Kebiasaan pengantin baru. Enggak kenal tempat dan waktu. Bikin mengiri yang jomblo aja."Alex refleks menurunkan telapak tangannya yang berada di kepala Dewi begitu Lucas berjalan menghampiri."Lihat-lihat sekeliling dong, Kak. Masa mesra-mesraan di rumah sakit. Untung yang datang cuma aku aja. Coba suster atau dokter yang tadi pagi, kalian pasti udah jadi bahan gosip ke seluruh penjuru rumah sakit ini.""Siapa yang lagi mesra-mesraan? Lihat ini."Alex menaruh mangkuk bekas bubur dan gelas susu dengan kasar, setengah melempar hingga terdengar b
Beberapa orang yang lewat berhenti sejenak, tertegun melihat kejadian itu. Namun, kebanyakan hanya bergegas pergi, menundukkan kepala seolah tak ingin terlibat. Hanya suara langkah terburu-buru dan bisikan pelan yang tersisa, meninggalkan Alex dalam kesendirian melawan rasa sakitnya.Wajah Dave mendekat, terlihat jelas di bawah sorotan lampu jalan yang suram. Matanya menyala dengan amarah yang membara, sementara rahangnya yang tegas tampak mengeras, mencerminkan kebencian yang mendalam. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, namun senyum itu lebih menyerupai ejekan penuh penghinaan daripada ekspresi bahagia. Terdapat kerutan tajam di antara alisnya, menciptakan bayangan gelap yang menutupi sebagian wajahnya. Kilatan di matanya menunjukkan rasa puas setiap kali melihat Alex terpuruk. Dave tidak hanya memancarkan kemarahan, tapi juga kekuasaan—seolah dirinya selalu berada di atas Alex, baik secara fisik maupun emosional."Alex!" seru Dave sambil melayangkan pukulan
Langit malam mulai memerah saat Alex meninggalkan kafe itu. Langkahnya terasa berat, seolah setiap tapak membawa kenangan yang ingin ia lupakan. Jalanan tampak kabur di matanya, bukan karena hujan, melainkan air mata yang ia tahan.Tanpa sadar, ia berakhir di bar yang biasa ia kunjungi ketika semuanya terasa tak terkendali. Suasana bar yang gelap dan berisik seperti tempat sempurna untuk kehilangan diri. Ia memesan vodka dan meminumnya tanpa berpikir panjang.Saat gelas ketiga, pikirannya kembali pada Rachel. Namun kali ini, bayangan Dewi melintas. Wajah istrinya yang tenang, senyum lembutnya saat menyajikan teh di pagi hari.Alex menutup matanya. Rasa bersalah menyelinap masuk. Dewi adalah korban dari kekacauannya sendiri. "Aku terpaksa menikahinya," gumam Alex, lebih kepada dirinya sendiri. Tapi apakah benar hanya itu alasan dia bersama Dewi? Kenapa setiap kali mengingat senyumnya, ia merasakan sesuatu yang hangat?&nbs
Alex memasuki kamar perawatan Dewi di rumah sakit dengan langkah pelan. Suasana ruangan itu terasa jauh lebih sunyi daripada biasanya. Dewi terbaring di ranjang rumah sakit, matanya terpejam, dengan wajah yang pucat.Alex berdiri di sana, memandangi Dewi cukup lama. Tubuhnya terasa lelah, dan hatinya terasa kosong. Keadaan di sekelilingnya seakan tidak bisa mengurangi ketegangan yang masih menjerat dirinya. "Apa yang sudah aku lakukan?" pikirnya, matanya tertunduk. Ia mendesah panjang, lalu berjalan mendekat. Tatapannya melembut saat melihat perut Dewi yang membuncit. Meski ada kehidupan baru yang mereka nantikan, Alex masih merasa asing dengan semua ini. Rasa bersalah yang tak kunjung hilang menyergapnya."Apa aku terlalu keras?" pikirnya.Rachel pernah berkata, "Kalau kau tidak bisa menunjukkan rasa sayangmu, paling tidak jangan membuatnya merasa tidak dihargai." Kata-kata itu terngiang di telinganya, menusuk hatinya yang sudah ra
Pagi itu, suasana ruang rawat Dewi masih sunyi. Pancaran sinar matahari yang menerobos jendela menyentuh lembut permukaan lantai berubin putih, menciptakan kilauan yang menghangatkan. Di sisi ranjang, aroma khas antiseptik bercampur dengan samar bau bunga dari vas kecil di meja samping. Seorang dokter dengan nametag bernama Vincent mengambil tetoskop dari kantung seragamnya."Coba saya periksa dulu. Maaf, bagian sebelah mana yang terasa kram?"Dengan sigap dokter Vincent memeriksa Dewi. Lucas bergeser, berjalan mengampiri Alex yang tengah duduk di sofa."Saya sudah diperbolehkan pulang hari ini 'kan, Dok?""Iya, boleh. Tapi setelah sampai rumah nanti jangan langsung beraktifitas berat dulu ya. Perbanyak istirahat dan hindari stres agar bayinya sehat terus sampai nanti waktunya melahirkan."Dewi mengangguk patuh. Wajahnya sedikit tertunduk, menyadari kesalahannya. Sebelum masuk rumah sakit, ia memang kurang istirahat karena stres memikirkan ca
Suasana ruang inap terasa sunyi, hanya ditemani suara mesin infus yang berdetak pelan dan sesekali langkah kaki perawat di luar. Aroma antiseptik menyeruak, bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Cahaya matahari pagi menembus tirai putih tipis, menciptakan bayangan lembut di dinding. Alex duduk di sofa dekat jendela, tubuhnya condong ke depan, kedua siku bertumpu di lutut, dan pandangannya kosong, menatap lantai tanpa benar-benar melihat.Dewi memandang pria itu sejenak, lalu menghela napas panjang. "Aku tidak perlu ditemani siapapun. Mas juga tidak perlu risau. Nanti kalau dokter sudah mengizinkan pulang, aku bisa pulang sendiri ke rumah Mas. Tenang saja. Aku tidak akan kabur ke mana-mana." Suaranya terdengar pelan, namun cukup tegas, seperti seseorang yang sudah lelah berdebat.Alex menegakkan tubuhnya perlahan, tatapannya tajam, tapi ia masih berusaha menahan diri. "Sudah mulai berani sekarang kamu mengatur-atur saya ya?" Nada bicaranya dingin, tapi m
Ketika Dewi membuka mata, ia melihat Alex duduk di sisinya. Cahaya redup dari lampu memantulkan bayangan wajah pria itu di dinding putih kamar rumah sakit. Pandangan Alex lembut tapi sendu, seolah ada beban yang enggan ia bagi. Mata Dewi mengejap beberapa kali, memastikan ini bukan halusinasi."Mas Alex?" suaranya serak, hampir seperti bisikan.Alex tersenyum kecil sekilas, mengalihkan pandangan sambil mengusap kepala Dewi.Dewi terdiam. Berbagai emosi memenuhi benaknya— kebingungan, marah, lega, dan sesuatu yang lain yang tak bisa ia pahami. Namun saat merasakan usapan telapak tangan Alex yang hangat, perlahan ia yakin kalau tidak sedang bermimpi. Udara kamar terasa dingin, mengingatkan Dewi bahwa pendingin ruangan tetap menyala sepanjang malam. Bau antiseptik khas rumah sakit menyeruak di hidungnya."Sejak kapan kamu di sini, Mas? Udah dari tadi?" tanya Dewi pelan."Baru saja sampai," ucap Alex dengan nad