“Ayo kabur!”
“Jangan kejar kami, Grawira!”
Kedua orang yang tidak kuketahui itu lari terbirit-birit melihat tubuh Grawira berdiri tegap tapi berisi jiwaku, Putra Mahkota Majafie dari Wangsa Mahayana.
Jiwaku yang telah menyatu dengan raga Grawira, bisa merasakan lapar yang teramat. Mungkin selama mati suri Grawira tidak pernah diberi minum atau makanan apapun.
Karena terbiasa mendapat didikan ketat dan berstandar tinggi istana, aku mengesampingkan rasa lapar lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri lebih dulu.
“Aku lupa tidak membawa handuk dan pakaian ganti. Bagaimana ini?” gumamku dengan tubuh segar di dalam kamar mandi.
Di istana, handuk dan pakaianku selalu disiapkan langsung oleh dayang istana di dalam kamar mandi. Sekarang, mau tidak mau aku harus memakai handuk bersama yang digantung di kamar mandi gubuk ini. Handuk setengah basah dan sedikit bau.
Ini adalah kehidupan rakyat biasa dan aku harus bisa beradaptasi dengan baik.
Siapalah aku jika tanpa raga Grawira.
Hanya pakaian-pakaian lusuh bahkan pudar warnanya yang dimiliki Grawira. Entah pemuda ini tidak pernah membeli pakaian karena tidak memiliki uang atau memang tidak suka menjaga penampilan.
“Ayolah, Majafi. Kamu hanya sebuah jiwa yang meminjam raga Grawira. Jangan bersikap kekanakan," gumamku.
Meski usiaku saat ini baru dua puluh tahun, namun didikan dewasa yang kuterima sejak berusia tiga tahun membuatku bersikap lebih bijak dari pada Pangeran Wikrama. Karena aku digadang-gadang akan menggantikan posisi Paduka Raja Dewasingha, ayahku. Namun, kini takdir berkata lain.
Aku harus mati muda dengan cara yang tidak lazim saat memiliki tanggung jawab besar untuk memakmurkan rakyat Mahayana.
Dengan badan yang lebih segar, aku melahap makan malam seadanya yang ada di meja menggunakan etika kerajaan. Lalu mengikat rambut dengan karet gelang yang tergeletak di meja. Seluruh lelaki di era ini, memiliki rambut panjang kecuali para pria tua yang telah habis rambutnya.
"Warma! Nala! Buka pintunya!" seru seorang wanita sambil mengentuk pintu.
Aku membuka pintu gubuk ini meski tidak tahu siapa itu Warma dan Nala. Lalu seorang wanita paruh baya menatapku dengan mata membulat. Mulutnya ternganga bahkan lebah pun bisa masuk. Rambut putihnya disisir sembarang lalu digelung.
"Gra ... Grawira?"
Aku mengangguk ragu.
Wanita itu lalu memelukku erat dengan tangis haru. Aku reflek menjauhkan tubuhnya karena teringat peraturan istana untuk melarang siapa saja memelukku kecuali kedua orang tua, istri, dan anak-anakku.
"Grawira? Kamu nggak ingat Bibi Tyasih?"
Oh ... namanya Bibi Tiyasih.
"Ehm ... maaf, Bi. Aku ... banyak lupa."
"Ya Dewa, kasihan sekali kamu, Wira. Mati suri membuat kamu lupa sama Bibi. Tapi Bibi senang kamu sudah siuman."
Kemudian Bibi mengajakku masuk ke dalam gubuk. Menemaniku melanjutkan makan malam.
"Orang tuamu meninggal satu tahun yang lalu, Wira. Kamu terpukul sekali seperti orang linglung lalu tertabrak bendi hingga tidak sadarkan diri. Hampir dua bulan lamanya."
"Karena tidak punya uang, Bibi hanya bisa memanggil Janggan, tabib murahan untuk memeriksamu. Dia bilang kalau kamu mati suri. Ragamu baik-baik saja tapi jiwamu yang enggan untuk kembali."
Bibi Tyasih memegang kedua tanganku, "Tapi Bibi senang akhirnya kamu mau kembali hidup, Wira. Kamu harus bangkit. Kematian orang tuamu bukan akhir dari segalanya. Masih ada Bibi yang bisa kamu jadikan tempat pulang."
Sosok Bibi Tyasih mengingatkan aku pada Ibunda Ratu. Sikap penuh kasihnya membuat mataku berkaca-kaca sekaligus merindukannya.
"Kalau begitu apa malam ini aku boleh ikut pulang bersama Bibi?"
"Tentu, Wira. Tentu boleh. Ayo kita pergi sekarang, Wira. Kemasi barang-barangmu."
Bibi Tyasih langsung sibuk di kamar sebelah. Entah apa saja yang ia jatuhkan hingga kamar itu berubah berantakan.
"Apa yang Bibi lakukan?" tanyaku.
"Mencari surat ladang milik orang tuamu, Wira. Bibi harap itu bisa kamu pegang sendiri."
Dengan cepat, Bibi mencarinya di kamar itu dan menemukannya di bawah kasur kapuk yang telah tipis dan keras. Matanya berbinar lalu menarik tanganku kelaur rumah.
"Wira, dimana pakaianmu?"
"Di kamar, Bi."
"Kamu tidak mengumpulkannya?"
"Aku tidak tahu harus dimasukkan mana, Bi. Tidak ada tempat untuk ---"
Bibi langsung masuk ke dalam kamar Grawira dan tidak lama ia datang dengan membopong satu bungkus besar pakaian Grawira yang dikumpulkan menjadi satu ke dalam sprei kasur setengah bau itu. Keempat ujungnya ditali menjadi satu, mirip nasi bungkusan.
"Bawa ini, Wira. Ayo kita pergi."
Ini pertama kalinya aku membawa barang seberat ini. Karena selama menjadi Putra Mahkota, dayang-dayang lah yang membawa dan mengurus keperluanku. Sekuat tenaga aku membawa bungkusan kain berisi pakaian Grawira sambil berjalan cepat tanpa menaiki kuda.
Kuda adalah alat transportasi mahal yang hanya dimiliki kerajaan dan orang-orang kaya tertentu.
Kini aku bukan seorang Putra Mahkota Majafi lagi, melainkan hanya seorang Grawira. Pemuda biasa sekaligus rakyat biasa dari Wangsa Panunggalan yang jaraknya cukup jauh dari Wangsa Mahayana, tempat tinggalku yang sebenarnya.
Namun ketika mataku menatap langit malam yang disinari oleh purnama, sosok Sri Dewa, atau malaikat pencabut nyawa yang memalsukan catatan langit tentang kematianku terbang sekilas dengan begitu cepat.
Apa dia akan mencabut nyawa orang lain? Atau dia sedang mengawasiku?
Akhirnya aku tiba di sebuah gubuk bambu yang disinari dua lampu minyak saja. Sedang bagian luar gubuk dibiarkan gelap gulita. Suami Bibi Tyasih hampir jantungan melihat Grawira yang sudah sehat sepenuhnya. Padahal, aku lah yang mengendalikan raga pemuda malang ini. Aku meluruskan kedua kaki dengan rapat sambil bersandar di tiang gubuk. Karena kelelahan membawa bungkusan pakaian sambil berjalan cepat mengimbangi langkah Bibi Tyasih. "Wira, dudukmu seperti orang priyayi saja," celetuknya.Karena terbiasa dengan didikan ketat kerajaan, aku terbiasa bersikap sopan dan santun dalam berbagai kondisi. Meski aku tahu bagaimana cara duduk para rakyat, namun aku tidak bisa melakukannya meski telah berada dalam raga Grawira. "Ini air hangat untukmu, Wira. Maaf, Bibi hanya punya itu."Sebuah gelas dari tanah liat berbentuk cembung berisi air putih hangat. Berbeda dengan yang ada di istana. Gelas-gelas itu terbuat dari perunggu. Aku meneguk air hangat itu dengan etika yang diajarkan istana da
Aku menggelar semua keris lelaki yang bernama Warma di 'peken' atau pasar yang berada di tengah-tengah Desa Sojo. Kebetulan hari masih belum terlalu siang, pengunjung pasar juga masih berlalu lalang membeli kebutuhan, dan ada sebuah meja kayu tak bertuan yang kuangkat ke tengah pasar. Menjual keris-keris ini tidak jauh berbeda dengan ilmu negosiasi yang kupelajari saat di istana. Dan targetnya, aku harus bisa menjual beberapa keris Warma untuk ongkos menuju Wangsa Mahayana. "Bantu aku, Dewa. Bantu aku," gumamku kemudian mengambil dua keris yang terlihat paling menarik perhatian. Aku menghampiri seorang lelaki bertubuh gagah yang hanya memakai celana pendek sebatas lutut berwarna coklat tanpa baju. Kedua lengannya berotot dan rambutnya ditata rapi dengan sedikit gelungan di atasnya. Dan memakai alas kaki dari kulit hewan.Dia pasti orang terpandang atau memiliki jabatan di Wangsa Canggal, tempatku berada saat ini. "Tuan, ada keris baru! Ini dari Wangsa Mahayana! Ini buatan Empu Dha
Tidak ada rotan, akar pun jadi. Jika tidak bisa pergi melalui pintu depan maka aku mencoba melalui pintu belakang. Namun sayangnya, pintu dapur ditahan sesuatu dari luar. Aku geram setengah mati karena aksi melarikan diri ini masih saja tertahan. Andai aku berkata jujur pada Bibi Tyasih dan suaminya, bisa kupastikan mereka akan menertawakanku bak anak kemarin yang baru bermimpi. Padahal, aku benar-benar seorang Putra Mahkota Majafi yang sengaja meminjam raga Grawira, keponakan mereka, untuk satu misi balas dendam dan penyelamatan tahta. Menjadi putra mahkota bukan berarti aku tidak dibekali ilmu taktik mencari strategi. Aku bisa membuat taktik meski tidak sehebat para kesatria atau pemimpin pasukan abdi kerajaan yang khusus ditempa untuk bertarung. Setelah memutar otak, akhirnya aku memiliki ide luar biasa. "Paman, Bibi! Kebakaran! Gubuk kita kebakaran!"Keduanya langsung bangun berjingkat dan kelabakan kesana kemari begitu melihat nyala api dari dapur. Aku sengaja menghidupkan
Kuda yang kunaiki berlari cepat tanpa tuntunan dariku. Membelah rerimbunan hutan dengan melewati sebuah jalan terabasan. Saking kencangnya ia berlari, aku hampir terhuyung ke belakang. Belum lagi dahan pepohonan yang terlalu pendek saat kami melintas. Membuatku siaga dengan segera menunduk tepat di atas punggung kudu atau tubuhku akan tersangkut di dahan raksasa itu. Lalu aku tiba di ujung Wangsa Mahaya, tepatnya di sebuah sawah yang dulu pernah kudatangi untuk dibuatkan saluran irigasi. Agar hasil bertanam rakyatku tidak mengalami kebanjiran ketika musim penghujan membawa air terlalu banyak. Dari sini, aku paham harus berjalan kemana. Memberi komando pada kuda hitam ini agar berlari tidak kencang, aku melihat orang-orang berjalan berlawanan arah denganku tanpa memberi salam atau menundukkan badan. Siapalah aku jika kini berada dalam tubuh Grawira? Tidak ada yang tahu jika yang berpapasan dengan mereka adalah Putra Mahkota Majafi. Mereka mengira aku ini sama dengan penduduk la
Kabar buruk! Rawati tidak bisa menampungku untuk tinggal bersama keluarganya di gubuknya. Apa yang orang pikirkan jika kami tinggal dalam satu atap yang sama namun tidak memiliki hubungan kekerabatan atau pernikahan? Selain itu, Rawati baru mengenalku dan bodohnya aku melanggar norma kesopanan yang ada di masyarakat demi ambisiku. Bukankah aku ini putra mahkota? Bagaimana bisa melupakan adat istiadat Wangsa Mahayana? "Maaf, Wati. Aku tidak bermaksud melukai harga dirimu. Aku hanya ... tidak tahu harus kemana. Aku tidak memiliki sanak saudara di sini dan baru tiba," ucapku dengan nada penyesalan. Wati kemudian berpikir sejenak sambil menekuk kedua bibir indahnya ke dalam mulut. Lalu matanya berbinar menatapku. "Tinggal lah di gubuk nenekku yang tidak jauh dari gubukku, Grawira. Kebetulan nenek tinggal seorang diri disana. Jika ada yang bertanya, bilang saja kamu adalah putra dari saudara jauh nenek." "Baiklah, tapi ... aku membutuhkan pekerjaan, Wati. Aku bisa bertarung. Kemampu
Keluarga Priyayi? Tidak! Tidak! Rawati tidak boleh tahu jika aku ini dari keluarga kerajaan! Akhirnya dengan berat hati, aku mengambil satu tangan neneknya dan mencium sekilas tangan itu untuk pertama kalinya sepanjang hidupku sebagai seorang Putra Mahkota Majafi. Di gubuk neneknya Rawati, otakku terus merangkai rencana bagaimana caranya agar bisa masuk ke dalam istana. Karena Rawati berkata jika ... "Grawira, maaf. Aku tidak mengenal baik orang yang bekerja di departemen keamaan kerajaan." Aku yang kala itu sedang duduk di saung sawah belakang rumah neneknya pun menghela nafas panjang membayangkan satu pintu besar memasuki istana akhirnya gagal. Rawati yang masih memakai seragam sederhana dari istana itu pun terlihat tidak enak hati karena tempo hari sudah berjanji padaku akan membantuku mencari pekerjaan. "Tapi kalau mau, aku bisa mengenalkanmu pada seorang pemilik kedai agar bisa bekerja sebagai pelayanan disana. Bagaimana?" Aku melihat binar ketulusan di mata Rawati tapi
Sepotong bambu panjang yang kebetulan tergeletak tidak jauh dari pagar tembok tinggi Istana Mahayana, kusandarkan di tembok lalu aku mengambil ancang-ancang dari kejauhan. Rawati berdiri di sebelah bambu tersebut dengan ekspresi cemas. Merasa ancang-ancang ini cukup, aku segera berlari sekencang mungkin lalu menapaki bambu panjang tersebut hingga tanganku berhasil meraih ujung tembok pagar. Aku segera menyeimbangkan tubuh ketika akan jatuh lalu tanganku berpegangan pada ranting pohon mangga yang kebetulan terjulur di dekat tembok ini. "Grawira, aku menunggumu disini! Jangan lama-lama!" bisik Rawati di tengah keremangan malam. Hanya rembulan yang menjadi penerang kami. Kepalaku mengangguk lalu segera melihat ke sekeliling. Ada dua prajurit sedang berjaga di depan Istana Kinatah, tempat ragaku terbaring lemah. Lalu aku melompat ke pohon mangga dekat tembok kemudian turun perlahan tanpa menimbulkan suara yang berarti. Beruntung, sebelum mati suri, kepala keamanan istana melatihku
"Bagaimana, Grawira? Apakah berjalan lancar?" tanya Rawati setengah berbisik dengan mata membola dan ekspresi menuntut agar aku segera menjelaskan apa yang telah kualami di dalam istana baru saja. Aku baru saja turun dari batang bambu yang kusandarkan di tembok pagar istana Mahayana lalu menoleh ke kanan dan kiri tanpa menjawab pertanyaan Rawati. Aman! Tidak ada yang mengetahui penyusupan yang kulakukan. Tanganku segera meraih pergelangan tangan Rawati lalu mengajaknya berlari ke tempat yang lebih aman. Berbekal sinar bulan separuh itu, aku menerobos keremangan malam keluar dari lingkungan Istana Mahayana tanpa membuat kebisingan langkah yang berarti ketika melangkahi rerumputan setinggi mata kaki hingga betis. Agar prajurit yang bertugas di dalam istana tidak mendengar suara mencurigakan. Di sebuah semak bambu kuning yang berjarak jauh dari Istana Mahayana, aku menghentikan langkah sembari melepas genggaman tangan di pergelangan tangan Rawati. Tubuhku sedikit membungkuk dengan men
"Bagus!" gumamku lalu tersenyum puas ketika anak panah telah menancap sempurna di pohon pisang bidikanku. Lalu tangan kananku menarik tali kuda dan membuatnya berhenti perlahan. Begitu kepalaku menoleh ke arah dimana Rawati berdiri dan memperhatikan, dia hanya memandangku dengan tatapan banyak kebimbangan. Aku turun dari kuda lalu mengikatkan talinya ke salah satu pohon lalu mendekati Rawati. "Aku tidak memaksamu untuk percaya. Tapi tolong bantu aku. Tolong cari tahu kapan penobatan Pangeran Wikrama akan dilangsungkan." "Bagaimana kalau kamu ternyata seorang pengkhianat?" "Waktuku hanya empat puluh hari lagi. Jika dihitung dari sekarang, tersisa tiga puluh hari saja, Wati. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk berbohong. Lihat saat hari keempat puluh nanti. Raga yang kudiami ini akan kembali menjadi sosok Grawira yang sebenarnya. Aku meminta tolong padamu, Rawati." Kemudian aku berbalik menuju kuda untuk mencari strategi baru bagaimana cara menguak rahasia mati suri yang kualam
"Ampun, Baginda Raja! Saya hanya mengingatkan. Dari pada nanti akan terjadi kudeta seperti Wangsa Samara hingga membuat sang raja dihabisi oleh rakyatnya." Aku memberanikan diri sedikit mendongak untuk melihat raut wajah Baginda Raja, ayahku. Terlihat dia begitu kesal dengan bibir mengerucut dan alis menukik tajam. Lalu Pangeran Wikrama membisikkan sesuatu di telinga Baginda Raja kemudian beliau mengangguk kecil. Ekspresinya sedikit mengendur ketika mendapat bisikan kecil dari Pangeran Wikrama. Entah apa yang adikku itu katakan hingga Baginda Raja menurut. Beliau mengambil nafas sebanyak mungkin lalu menghembuskannya kasar dihadapan para patih yang duduk dihadapannya. "Baiklah, kita tunda seperti rencana awal." Aku ikut melega mendengar keputusan Baginda Raja karena setidaknya aku bisa menyusun rencana selanjutnya. Setidaknya aku harus tahu secara pasti kapan tanggal penobatan Pangeran Wikrama. Begitu acara usai, aku segera menuruni tangga lebih dulu lalu bergerak cepat mening
Setelah mendapat informasi kapan Pangeran Wikrama akan dilantik menjadi putra mahkota, aku tidak kembali ke istana tempat ragaku terbaring lemah. Juga tidak tega jika harus kembali ke sana tapi melihat Putri Mahkota Kayuwangi bersedih hati, namun aku juga sangat ingin tahu bagaimana kabar ketiga putraku. Calon penerusku. Bertepatan dengan langkah yang terasa berat ini, aku melihat rombongan para menteri menuju istana yang ditempati Baginda Raja. Aku hafal wajah dan nama mereka satu demi satu karena setiap kali Baginda Raja melakukan perkumpulan di setiap pagi hari, aku duduk di sebelah Baginda Raja menatap para menteri yang bergelar patih itu. Dengan sigap, aku urung melangkah kembali ke istanaku, melainkan bersembunyi di dekat bangunan yang ada di dekat dapur istana. "Apa yang akan mereka lakukan malam-malam begini ke kediaman Baginda Raja? Apa yang akan mereka bicarakan? Apa ada pembicaraan penting yang sifatnya mendadak?" gumamku sendiri. Kemudian aku makin melangkah mundur
"Pergi kamu dari istanaku, Pangeran Wikrama! Jangan pernah meletakkan kakimu lagi di istana ini!" Pekikan Putri Mahkota Kayuwangi terdengar menggema di pelataran istana yang biasa kutinggali dengannya saat raga ini masih sehat. Ia tengah berhadap-hadapan dengan Pangeran Wikrama yang berdiri tinggi menjulang dengan tubuh gagah dan tangan mengepal. Pakaian indah khas anggota kerajaan yang melekat di tubuh dan mahkota kecil dengan bermatakan intan serta berlapiskan emas yang tersunggi di atas kepalanya, nampak memantulkan sinar rembulan di malam ini. Menjadikannya sosok yang terlihat agung untuk dipuja. Di belakang Pangeran Wikrama ada lima prajurit berpakaian kurang lebih sama denganku, tengah berdiri dengan membawa gulungan kain dan tikar. Untuk apa? "Kamu hanya menantu di Istana Mahayana, Putri Mahkota! Jadi, tidak perlu bersikap jagoan akan melawanku yang jelas-jelas adalah keturunan dari kerajaan ini!" ucapnya tegas. "Walau aku menantu, tapi ini adalah istanaku dengan Putra
"Aku menagih janjimu, Wira. Baru aku akan menjawab pertanyaanmu yang lain," Rawati berucap dengan sungguh-sungguh.Kedua mata bulatnya menatapku tanpa ragu dengan anak rambutnya yang terlepas dari ikatan lalu tertiup semilir angin.Kurasa tidak masalah jika mengatakan kenyataan yang sebenarnya tentang jati diri ini. Dan berharap Rawati percaya dan tetap membantuku. Setelah membetulkan posisi duduk bersilaku di atas saung yang dibangun dari potongan bambu dan beratap jerami, aku membalas tatapan Rawati dengan sama lekatnya. "Aku bukan Grawira.""Bukan Grawira? Apa maksudmu? Kamu pemberontak?" tanyanya dengan kedua alis berkerut dan mata menyipit. "Bukan," ucapku dengan gelengan kepala tegas."Lalu, siapa dan apa tujuanmu?" tanyanya lebih menuntut dengan tatapan makin tajam. Setelah menghela nafas panjang dengan tatapan tak lekang dari wajah Rawati, aku kembali membuka suara."Aku ingin menggagalkan penobatan Pangeran Wikrama yang akan dijadikan sebagai putra mahkota Wangsa Mahayana.
Betapa terkejut neneknya Rawati yang bernama Narti karena mendapatiku pulang ke gubuk dengan pakaian prajurit Istana Mahayana. Meski beliau tidak lagi muda namun ingatannya tidak mungkin salah karena tadi siang saat aku pergi dari gubuk masih mengenakan baju rumahan berlengan panjang. "Ya Dewa! Kenapa kamu bisa memakai seragam prajurit, Wira?" "Aku ... bekerja untuk istana, Nek. Tapi, tolong nenek jangan bilang pada siapapun ya? Aku ... malu." Malu hanyalah senjata bagiku agar Nenek Narti tidak mengatakan hal ini pada tetangga. Aku hanya tidak mau ada yang mengendus perbuatan burukku dengan melucuti pakaian prajurit itu dan meninggalkannya di semak-semak. Setidaknya, tidak boleh ada yang mengendus gerak-gerik ini sebelum tiba saatnya aku menggagalkan penobatan Pangeran Wikrama. "Nek, berjanjilah padaku untuk menyembunyikan hal ini dari tetangga," pintaku. "Kenapa harus disembunyikan? Bukannya pekerjaan sebagai prajurit istana itu adalah derajat yang terhormat karena bisa melay
"Bagaimana, Grawira? Apakah berjalan lancar?" tanya Rawati setengah berbisik dengan mata membola dan ekspresi menuntut agar aku segera menjelaskan apa yang telah kualami di dalam istana baru saja. Aku baru saja turun dari batang bambu yang kusandarkan di tembok pagar istana Mahayana lalu menoleh ke kanan dan kiri tanpa menjawab pertanyaan Rawati. Aman! Tidak ada yang mengetahui penyusupan yang kulakukan. Tanganku segera meraih pergelangan tangan Rawati lalu mengajaknya berlari ke tempat yang lebih aman. Berbekal sinar bulan separuh itu, aku menerobos keremangan malam keluar dari lingkungan Istana Mahayana tanpa membuat kebisingan langkah yang berarti ketika melangkahi rerumputan setinggi mata kaki hingga betis. Agar prajurit yang bertugas di dalam istana tidak mendengar suara mencurigakan. Di sebuah semak bambu kuning yang berjarak jauh dari Istana Mahayana, aku menghentikan langkah sembari melepas genggaman tangan di pergelangan tangan Rawati. Tubuhku sedikit membungkuk dengan men
Sepotong bambu panjang yang kebetulan tergeletak tidak jauh dari pagar tembok tinggi Istana Mahayana, kusandarkan di tembok lalu aku mengambil ancang-ancang dari kejauhan. Rawati berdiri di sebelah bambu tersebut dengan ekspresi cemas. Merasa ancang-ancang ini cukup, aku segera berlari sekencang mungkin lalu menapaki bambu panjang tersebut hingga tanganku berhasil meraih ujung tembok pagar. Aku segera menyeimbangkan tubuh ketika akan jatuh lalu tanganku berpegangan pada ranting pohon mangga yang kebetulan terjulur di dekat tembok ini. "Grawira, aku menunggumu disini! Jangan lama-lama!" bisik Rawati di tengah keremangan malam. Hanya rembulan yang menjadi penerang kami. Kepalaku mengangguk lalu segera melihat ke sekeliling. Ada dua prajurit sedang berjaga di depan Istana Kinatah, tempat ragaku terbaring lemah. Lalu aku melompat ke pohon mangga dekat tembok kemudian turun perlahan tanpa menimbulkan suara yang berarti. Beruntung, sebelum mati suri, kepala keamanan istana melatihku
Keluarga Priyayi? Tidak! Tidak! Rawati tidak boleh tahu jika aku ini dari keluarga kerajaan! Akhirnya dengan berat hati, aku mengambil satu tangan neneknya dan mencium sekilas tangan itu untuk pertama kalinya sepanjang hidupku sebagai seorang Putra Mahkota Majafi. Di gubuk neneknya Rawati, otakku terus merangkai rencana bagaimana caranya agar bisa masuk ke dalam istana. Karena Rawati berkata jika ... "Grawira, maaf. Aku tidak mengenal baik orang yang bekerja di departemen keamaan kerajaan." Aku yang kala itu sedang duduk di saung sawah belakang rumah neneknya pun menghela nafas panjang membayangkan satu pintu besar memasuki istana akhirnya gagal. Rawati yang masih memakai seragam sederhana dari istana itu pun terlihat tidak enak hati karena tempo hari sudah berjanji padaku akan membantuku mencari pekerjaan. "Tapi kalau mau, aku bisa mengenalkanmu pada seorang pemilik kedai agar bisa bekerja sebagai pelayanan disana. Bagaimana?" Aku melihat binar ketulusan di mata Rawati tapi