Home / Pendekar / Hamba Belum Mati, Paduka! / Ambillah Sebagai Upah Kebaikanmu

Share

Ambillah Sebagai Upah Kebaikanmu

Author: DAUN MUDA
last update Last Updated: 2023-07-11 13:52:53
Kabar buruk!

Rawati tidak bisa menampungku untuk tinggal bersama keluarganya di gubuknya. Apa yang orang pikirkan jika kami tinggal dalam satu atap yang sama namun tidak memiliki hubungan kekerabatan atau pernikahan?

Selain itu, Rawati baru mengenalku dan bodohnya aku melanggar norma kesopanan yang ada di masyarakat demi ambisiku. Bukankah aku ini putra mahkota? Bagaimana bisa melupakan adat istiadat Wangsa Mahayana?

"Maaf, Wati. Aku tidak bermaksud melukai harga dirimu. Aku hanya ... tidak tahu harus kemana. Aku tidak memiliki sanak saudara di sini dan baru tiba," ucapku dengan nada penyesalan.

Wati kemudian berpikir sejenak sambil menekuk kedua bibir indahnya ke dalam mulut. Lalu matanya berbinar menatapku.

"Tinggal lah di gubuk nenekku yang tidak jauh dari gubukku, Grawira. Kebetulan nenek tinggal seorang diri disana. Jika ada yang bertanya, bilang saja kamu adalah putra dari saudara jauh nenek."

"Baiklah, tapi ... aku membutuhkan pekerjaan, Wati. Aku bisa bertarung. Kemampu
DAUN MUDA

enjoy reading ...

| Like
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Apa Tujuanmu Sebenarnya?

    Keluarga Priyayi? Tidak! Tidak! Rawati tidak boleh tahu jika aku ini dari keluarga kerajaan! Akhirnya dengan berat hati, aku mengambil satu tangan neneknya dan mencium sekilas tangan itu untuk pertama kalinya sepanjang hidupku sebagai seorang Putra Mahkota Majafi. Di gubuk neneknya Rawati, otakku terus merangkai rencana bagaimana caranya agar bisa masuk ke dalam istana. Karena Rawati berkata jika ... "Grawira, maaf. Aku tidak mengenal baik orang yang bekerja di departemen keamaan kerajaan." Aku yang kala itu sedang duduk di saung sawah belakang rumah neneknya pun menghela nafas panjang membayangkan satu pintu besar memasuki istana akhirnya gagal. Rawati yang masih memakai seragam sederhana dari istana itu pun terlihat tidak enak hati karena tempo hari sudah berjanji padaku akan membantuku mencari pekerjaan. "Tapi kalau mau, aku bisa mengenalkanmu pada seorang pemilik kedai agar bisa bekerja sebagai pelayanan disana. Bagaimana?" Aku melihat binar ketulusan di mata Rawati tapi

    Last Updated : 2023-07-13
  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Kapan Penobatan Itu?

    Sepotong bambu panjang yang kebetulan tergeletak tidak jauh dari pagar tembok tinggi Istana Mahayana, kusandarkan di tembok lalu aku mengambil ancang-ancang dari kejauhan. Rawati berdiri di sebelah bambu tersebut dengan ekspresi cemas. Merasa ancang-ancang ini cukup, aku segera berlari sekencang mungkin lalu menapaki bambu panjang tersebut hingga tanganku berhasil meraih ujung tembok pagar. Aku segera menyeimbangkan tubuh ketika akan jatuh lalu tanganku berpegangan pada ranting pohon mangga yang kebetulan terjulur di dekat tembok ini. "Grawira, aku menunggumu disini! Jangan lama-lama!" bisik Rawati di tengah keremangan malam. Hanya rembulan yang menjadi penerang kami. Kepalaku mengangguk lalu segera melihat ke sekeliling. Ada dua prajurit sedang berjaga di depan Istana Kinatah, tempat ragaku terbaring lemah. Lalu aku melompat ke pohon mangga dekat tembok kemudian turun perlahan tanpa menimbulkan suara yang berarti. Beruntung, sebelum mati suri, kepala keamanan istana melatihku

    Last Updated : 2023-07-14
  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Apa Yang Kamu Tunggu, Grawira?

    "Bagaimana, Grawira? Apakah berjalan lancar?" tanya Rawati setengah berbisik dengan mata membola dan ekspresi menuntut agar aku segera menjelaskan apa yang telah kualami di dalam istana baru saja. Aku baru saja turun dari batang bambu yang kusandarkan di tembok pagar istana Mahayana lalu menoleh ke kanan dan kiri tanpa menjawab pertanyaan Rawati. Aman! Tidak ada yang mengetahui penyusupan yang kulakukan. Tanganku segera meraih pergelangan tangan Rawati lalu mengajaknya berlari ke tempat yang lebih aman. Berbekal sinar bulan separuh itu, aku menerobos keremangan malam keluar dari lingkungan Istana Mahayana tanpa membuat kebisingan langkah yang berarti ketika melangkahi rerumputan setinggi mata kaki hingga betis. Agar prajurit yang bertugas di dalam istana tidak mendengar suara mencurigakan. Di sebuah semak bambu kuning yang berjarak jauh dari Istana Mahayana, aku menghentikan langkah sembari melepas genggaman tangan di pergelangan tangan Rawati. Tubuhku sedikit membungkuk dengan men

    Last Updated : 2023-07-16
  • Hamba Belum Mati, Paduka!    Setelah Kamu Memenuhi Janji

    Betapa terkejut neneknya Rawati yang bernama Narti karena mendapatiku pulang ke gubuk dengan pakaian prajurit Istana Mahayana. Meski beliau tidak lagi muda namun ingatannya tidak mungkin salah karena tadi siang saat aku pergi dari gubuk masih mengenakan baju rumahan berlengan panjang. "Ya Dewa! Kenapa kamu bisa memakai seragam prajurit, Wira?" "Aku ... bekerja untuk istana, Nek. Tapi, tolong nenek jangan bilang pada siapapun ya? Aku ... malu." Malu hanyalah senjata bagiku agar Nenek Narti tidak mengatakan hal ini pada tetangga. Aku hanya tidak mau ada yang mengendus perbuatan burukku dengan melucuti pakaian prajurit itu dan meninggalkannya di semak-semak. Setidaknya, tidak boleh ada yang mengendus gerak-gerik ini sebelum tiba saatnya aku menggagalkan penobatan Pangeran Wikrama. "Nek, berjanjilah padaku untuk menyembunyikan hal ini dari tetangga," pintaku. "Kenapa harus disembunyikan? Bukannya pekerjaan sebagai prajurit istana itu adalah derajat yang terhormat karena bisa melay

    Last Updated : 2023-07-23
  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Aku Ini Putra Mahkota Majafi

    "Aku menagih janjimu, Wira. Baru aku akan menjawab pertanyaanmu yang lain," Rawati berucap dengan sungguh-sungguh.Kedua mata bulatnya menatapku tanpa ragu dengan anak rambutnya yang terlepas dari ikatan lalu tertiup semilir angin.Kurasa tidak masalah jika mengatakan kenyataan yang sebenarnya tentang jati diri ini. Dan berharap Rawati percaya dan tetap membantuku. Setelah membetulkan posisi duduk bersilaku di atas saung yang dibangun dari potongan bambu dan beratap jerami, aku membalas tatapan Rawati dengan sama lekatnya. "Aku bukan Grawira.""Bukan Grawira? Apa maksudmu? Kamu pemberontak?" tanyanya dengan kedua alis berkerut dan mata menyipit. "Bukan," ucapku dengan gelengan kepala tegas."Lalu, siapa dan apa tujuanmu?" tanyanya lebih menuntut dengan tatapan makin tajam. Setelah menghela nafas panjang dengan tatapan tak lekang dari wajah Rawati, aku kembali membuka suara."Aku ingin menggagalkan penobatan Pangeran Wikrama yang akan dijadikan sebagai putra mahkota Wangsa Mahayana.

    Last Updated : 2023-07-31
  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Saatnya Bergerak!

    "Pergi kamu dari istanaku, Pangeran Wikrama! Jangan pernah meletakkan kakimu lagi di istana ini!" Pekikan Putri Mahkota Kayuwangi terdengar menggema di pelataran istana yang biasa kutinggali dengannya saat raga ini masih sehat. Ia tengah berhadap-hadapan dengan Pangeran Wikrama yang berdiri tinggi menjulang dengan tubuh gagah dan tangan mengepal. Pakaian indah khas anggota kerajaan yang melekat di tubuh dan mahkota kecil dengan bermatakan intan serta berlapiskan emas yang tersunggi di atas kepalanya, nampak memantulkan sinar rembulan di malam ini. Menjadikannya sosok yang terlihat agung untuk dipuja. Di belakang Pangeran Wikrama ada lima prajurit berpakaian kurang lebih sama denganku, tengah berdiri dengan membawa gulungan kain dan tikar. Untuk apa? "Kamu hanya menantu di Istana Mahayana, Putri Mahkota! Jadi, tidak perlu bersikap jagoan akan melawanku yang jelas-jelas adalah keturunan dari kerajaan ini!" ucapnya tegas. "Walau aku menantu, tapi ini adalah istanaku dengan Putra

    Last Updated : 2023-08-02
  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Titisan Dewa Yang Tidak Bisa Menjadi Panutan

    Setelah mendapat informasi kapan Pangeran Wikrama akan dilantik menjadi putra mahkota, aku tidak kembali ke istana tempat ragaku terbaring lemah. Juga tidak tega jika harus kembali ke sana tapi melihat Putri Mahkota Kayuwangi bersedih hati, namun aku juga sangat ingin tahu bagaimana kabar ketiga putraku. Calon penerusku. Bertepatan dengan langkah yang terasa berat ini, aku melihat rombongan para menteri menuju istana yang ditempati Baginda Raja. Aku hafal wajah dan nama mereka satu demi satu karena setiap kali Baginda Raja melakukan perkumpulan di setiap pagi hari, aku duduk di sebelah Baginda Raja menatap para menteri yang bergelar patih itu. Dengan sigap, aku urung melangkah kembali ke istanaku, melainkan bersembunyi di dekat bangunan yang ada di dekat dapur istana. "Apa yang akan mereka lakukan malam-malam begini ke kediaman Baginda Raja? Apa yang akan mereka bicarakan? Apa ada pembicaraan penting yang sifatnya mendadak?" gumamku sendiri. Kemudian aku makin melangkah mundur

    Last Updated : 2023-08-03
  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Berkuda Sekaligus Memanah

    "Ampun, Baginda Raja! Saya hanya mengingatkan. Dari pada nanti akan terjadi kudeta seperti Wangsa Samara hingga membuat sang raja dihabisi oleh rakyatnya." Aku memberanikan diri sedikit mendongak untuk melihat raut wajah Baginda Raja, ayahku. Terlihat dia begitu kesal dengan bibir mengerucut dan alis menukik tajam. Lalu Pangeran Wikrama membisikkan sesuatu di telinga Baginda Raja kemudian beliau mengangguk kecil. Ekspresinya sedikit mengendur ketika mendapat bisikan kecil dari Pangeran Wikrama. Entah apa yang adikku itu katakan hingga Baginda Raja menurut. Beliau mengambil nafas sebanyak mungkin lalu menghembuskannya kasar dihadapan para patih yang duduk dihadapannya. "Baiklah, kita tunda seperti rencana awal." Aku ikut melega mendengar keputusan Baginda Raja karena setidaknya aku bisa menyusun rencana selanjutnya. Setidaknya aku harus tahu secara pasti kapan tanggal penobatan Pangeran Wikrama. Begitu acara usai, aku segera menuruni tangga lebih dulu lalu bergerak cepat mening

    Last Updated : 2023-08-10

Latest chapter

  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Kepercayaan Tidak Penuh

    "Bagus!" gumamku lalu tersenyum puas ketika anak panah telah menancap sempurna di pohon pisang bidikanku. Lalu tangan kananku menarik tali kuda dan membuatnya berhenti perlahan. Begitu kepalaku menoleh ke arah dimana Rawati berdiri dan memperhatikan, dia hanya memandangku dengan tatapan banyak kebimbangan. Aku turun dari kuda lalu mengikatkan talinya ke salah satu pohon lalu mendekati Rawati. "Aku tidak memaksamu untuk percaya. Tapi tolong bantu aku. Tolong cari tahu kapan penobatan Pangeran Wikrama akan dilangsungkan." "Bagaimana kalau kamu ternyata seorang pengkhianat?" "Waktuku hanya empat puluh hari lagi. Jika dihitung dari sekarang, tersisa tiga puluh hari saja, Wati. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk berbohong. Lihat saat hari keempat puluh nanti. Raga yang kudiami ini akan kembali menjadi sosok Grawira yang sebenarnya. Aku meminta tolong padamu, Rawati." Kemudian aku berbalik menuju kuda untuk mencari strategi baru bagaimana cara menguak rahasia mati suri yang kualam

  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Berkuda Sekaligus Memanah

    "Ampun, Baginda Raja! Saya hanya mengingatkan. Dari pada nanti akan terjadi kudeta seperti Wangsa Samara hingga membuat sang raja dihabisi oleh rakyatnya." Aku memberanikan diri sedikit mendongak untuk melihat raut wajah Baginda Raja, ayahku. Terlihat dia begitu kesal dengan bibir mengerucut dan alis menukik tajam. Lalu Pangeran Wikrama membisikkan sesuatu di telinga Baginda Raja kemudian beliau mengangguk kecil. Ekspresinya sedikit mengendur ketika mendapat bisikan kecil dari Pangeran Wikrama. Entah apa yang adikku itu katakan hingga Baginda Raja menurut. Beliau mengambil nafas sebanyak mungkin lalu menghembuskannya kasar dihadapan para patih yang duduk dihadapannya. "Baiklah, kita tunda seperti rencana awal." Aku ikut melega mendengar keputusan Baginda Raja karena setidaknya aku bisa menyusun rencana selanjutnya. Setidaknya aku harus tahu secara pasti kapan tanggal penobatan Pangeran Wikrama. Begitu acara usai, aku segera menuruni tangga lebih dulu lalu bergerak cepat mening

  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Titisan Dewa Yang Tidak Bisa Menjadi Panutan

    Setelah mendapat informasi kapan Pangeran Wikrama akan dilantik menjadi putra mahkota, aku tidak kembali ke istana tempat ragaku terbaring lemah. Juga tidak tega jika harus kembali ke sana tapi melihat Putri Mahkota Kayuwangi bersedih hati, namun aku juga sangat ingin tahu bagaimana kabar ketiga putraku. Calon penerusku. Bertepatan dengan langkah yang terasa berat ini, aku melihat rombongan para menteri menuju istana yang ditempati Baginda Raja. Aku hafal wajah dan nama mereka satu demi satu karena setiap kali Baginda Raja melakukan perkumpulan di setiap pagi hari, aku duduk di sebelah Baginda Raja menatap para menteri yang bergelar patih itu. Dengan sigap, aku urung melangkah kembali ke istanaku, melainkan bersembunyi di dekat bangunan yang ada di dekat dapur istana. "Apa yang akan mereka lakukan malam-malam begini ke kediaman Baginda Raja? Apa yang akan mereka bicarakan? Apa ada pembicaraan penting yang sifatnya mendadak?" gumamku sendiri. Kemudian aku makin melangkah mundur

  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Saatnya Bergerak!

    "Pergi kamu dari istanaku, Pangeran Wikrama! Jangan pernah meletakkan kakimu lagi di istana ini!" Pekikan Putri Mahkota Kayuwangi terdengar menggema di pelataran istana yang biasa kutinggali dengannya saat raga ini masih sehat. Ia tengah berhadap-hadapan dengan Pangeran Wikrama yang berdiri tinggi menjulang dengan tubuh gagah dan tangan mengepal. Pakaian indah khas anggota kerajaan yang melekat di tubuh dan mahkota kecil dengan bermatakan intan serta berlapiskan emas yang tersunggi di atas kepalanya, nampak memantulkan sinar rembulan di malam ini. Menjadikannya sosok yang terlihat agung untuk dipuja. Di belakang Pangeran Wikrama ada lima prajurit berpakaian kurang lebih sama denganku, tengah berdiri dengan membawa gulungan kain dan tikar. Untuk apa? "Kamu hanya menantu di Istana Mahayana, Putri Mahkota! Jadi, tidak perlu bersikap jagoan akan melawanku yang jelas-jelas adalah keturunan dari kerajaan ini!" ucapnya tegas. "Walau aku menantu, tapi ini adalah istanaku dengan Putra

  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Aku Ini Putra Mahkota Majafi

    "Aku menagih janjimu, Wira. Baru aku akan menjawab pertanyaanmu yang lain," Rawati berucap dengan sungguh-sungguh.Kedua mata bulatnya menatapku tanpa ragu dengan anak rambutnya yang terlepas dari ikatan lalu tertiup semilir angin.Kurasa tidak masalah jika mengatakan kenyataan yang sebenarnya tentang jati diri ini. Dan berharap Rawati percaya dan tetap membantuku. Setelah membetulkan posisi duduk bersilaku di atas saung yang dibangun dari potongan bambu dan beratap jerami, aku membalas tatapan Rawati dengan sama lekatnya. "Aku bukan Grawira.""Bukan Grawira? Apa maksudmu? Kamu pemberontak?" tanyanya dengan kedua alis berkerut dan mata menyipit. "Bukan," ucapku dengan gelengan kepala tegas."Lalu, siapa dan apa tujuanmu?" tanyanya lebih menuntut dengan tatapan makin tajam. Setelah menghela nafas panjang dengan tatapan tak lekang dari wajah Rawati, aku kembali membuka suara."Aku ingin menggagalkan penobatan Pangeran Wikrama yang akan dijadikan sebagai putra mahkota Wangsa Mahayana.

  • Hamba Belum Mati, Paduka!    Setelah Kamu Memenuhi Janji

    Betapa terkejut neneknya Rawati yang bernama Narti karena mendapatiku pulang ke gubuk dengan pakaian prajurit Istana Mahayana. Meski beliau tidak lagi muda namun ingatannya tidak mungkin salah karena tadi siang saat aku pergi dari gubuk masih mengenakan baju rumahan berlengan panjang. "Ya Dewa! Kenapa kamu bisa memakai seragam prajurit, Wira?" "Aku ... bekerja untuk istana, Nek. Tapi, tolong nenek jangan bilang pada siapapun ya? Aku ... malu." Malu hanyalah senjata bagiku agar Nenek Narti tidak mengatakan hal ini pada tetangga. Aku hanya tidak mau ada yang mengendus perbuatan burukku dengan melucuti pakaian prajurit itu dan meninggalkannya di semak-semak. Setidaknya, tidak boleh ada yang mengendus gerak-gerik ini sebelum tiba saatnya aku menggagalkan penobatan Pangeran Wikrama. "Nek, berjanjilah padaku untuk menyembunyikan hal ini dari tetangga," pintaku. "Kenapa harus disembunyikan? Bukannya pekerjaan sebagai prajurit istana itu adalah derajat yang terhormat karena bisa melay

  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Apa Yang Kamu Tunggu, Grawira?

    "Bagaimana, Grawira? Apakah berjalan lancar?" tanya Rawati setengah berbisik dengan mata membola dan ekspresi menuntut agar aku segera menjelaskan apa yang telah kualami di dalam istana baru saja. Aku baru saja turun dari batang bambu yang kusandarkan di tembok pagar istana Mahayana lalu menoleh ke kanan dan kiri tanpa menjawab pertanyaan Rawati. Aman! Tidak ada yang mengetahui penyusupan yang kulakukan. Tanganku segera meraih pergelangan tangan Rawati lalu mengajaknya berlari ke tempat yang lebih aman. Berbekal sinar bulan separuh itu, aku menerobos keremangan malam keluar dari lingkungan Istana Mahayana tanpa membuat kebisingan langkah yang berarti ketika melangkahi rerumputan setinggi mata kaki hingga betis. Agar prajurit yang bertugas di dalam istana tidak mendengar suara mencurigakan. Di sebuah semak bambu kuning yang berjarak jauh dari Istana Mahayana, aku menghentikan langkah sembari melepas genggaman tangan di pergelangan tangan Rawati. Tubuhku sedikit membungkuk dengan men

  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Kapan Penobatan Itu?

    Sepotong bambu panjang yang kebetulan tergeletak tidak jauh dari pagar tembok tinggi Istana Mahayana, kusandarkan di tembok lalu aku mengambil ancang-ancang dari kejauhan. Rawati berdiri di sebelah bambu tersebut dengan ekspresi cemas. Merasa ancang-ancang ini cukup, aku segera berlari sekencang mungkin lalu menapaki bambu panjang tersebut hingga tanganku berhasil meraih ujung tembok pagar. Aku segera menyeimbangkan tubuh ketika akan jatuh lalu tanganku berpegangan pada ranting pohon mangga yang kebetulan terjulur di dekat tembok ini. "Grawira, aku menunggumu disini! Jangan lama-lama!" bisik Rawati di tengah keremangan malam. Hanya rembulan yang menjadi penerang kami. Kepalaku mengangguk lalu segera melihat ke sekeliling. Ada dua prajurit sedang berjaga di depan Istana Kinatah, tempat ragaku terbaring lemah. Lalu aku melompat ke pohon mangga dekat tembok kemudian turun perlahan tanpa menimbulkan suara yang berarti. Beruntung, sebelum mati suri, kepala keamanan istana melatihku

  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Apa Tujuanmu Sebenarnya?

    Keluarga Priyayi? Tidak! Tidak! Rawati tidak boleh tahu jika aku ini dari keluarga kerajaan! Akhirnya dengan berat hati, aku mengambil satu tangan neneknya dan mencium sekilas tangan itu untuk pertama kalinya sepanjang hidupku sebagai seorang Putra Mahkota Majafi. Di gubuk neneknya Rawati, otakku terus merangkai rencana bagaimana caranya agar bisa masuk ke dalam istana. Karena Rawati berkata jika ... "Grawira, maaf. Aku tidak mengenal baik orang yang bekerja di departemen keamaan kerajaan." Aku yang kala itu sedang duduk di saung sawah belakang rumah neneknya pun menghela nafas panjang membayangkan satu pintu besar memasuki istana akhirnya gagal. Rawati yang masih memakai seragam sederhana dari istana itu pun terlihat tidak enak hati karena tempo hari sudah berjanji padaku akan membantuku mencari pekerjaan. "Tapi kalau mau, aku bisa mengenalkanmu pada seorang pemilik kedai agar bisa bekerja sebagai pelayanan disana. Bagaimana?" Aku melihat binar ketulusan di mata Rawati tapi

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status