Lelah mengitari mall dari ujung ke ujung, gerombolan gadis yang memutuskan hedon di hari yang cerah ini serempak beristirahat di salah satu food court. Belanja sepertinya memang sebuah solusi untuk meredam stres sebentar, meskipun pada akhirnya kening jadi sedikit berdenyut kala diam-diam memeriksa saldo via m-banking.Tidak semua tentunya, jelas tidak berlaku untuk Vivianne si sultan sejak dalam kandungan. Tapi biarlah sesekali begini. Toh kedok self reward plus belanja bersama seperti ini tak bisa sering- sering dilakukan.Lama keheningan mengisi mereka sebelum akhirnya celetukan Kanaya membuat empat pasang mata disana membelalak kaget. “Gue pingin bikin tattoo deh!” Serempak semuanya melebarkan telinganya lalu mengusap kembali seakan habis mendengar bisikan gaib.“W-wait, gue gak salah denger, kan?” celetuk Kiran yang bangkit lebih dulu dan menempeli Kanaya dengan dramatis. Kanaya berdecak malas, “gue pengen bikin tatto!” tegasnya lagi. Yang benar saja? Si polos Kanaya ingin m
“Nar, lo baik-baik aja?” Kiran tak heran kalau Dinara tak banyak bicara, hanya saja diamnya Dinara kali ini juga disertai raut dingin yang mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang terjadi. Sebagai teman sejak lama, bagaimana bisa Kiran abai begitu saja dengan perubahan mood yang siginifikan itu? Makan malam mereka tentunya penuh keriuhan. Pukul sepuluh malam, baru semua manusia itu beranjak pergi. Makan hanya satu jam, sisanya jelas dihabiskan untuk lebih banyak ghibah sampai resto hampir tutup. Kiran yang sejak di resto sudah curiga dengan perubahan Dinara langsung menawarkan untuk mengantar sahabatnya itu pulang. Kebetulan memang rumah mereka masih yang paling searah kalau dibandingkan dengan ciwi lainnya. Sembari menyetir, dia melirik Dinara yang benar-benar memandang lurus jalanan dihadapannya. Sepertinya gadis itu tak punya niatan untuk menjawab pertanyaannya. “Masalah Sandi?” Dinara mengerjap sebentar seolah baru sadar dari lamunannya. Kepalanya menoleh ke kanan—menyadari ba
“Kak! Yuk turun! Mama bawa makanan banyak banget!” Dinara tak sadar ini pukul berapa. Netranya menyipit saat Dikta membuka paksa gorden warna abu-abu di kamarnya sehingga cahaya matahari seakan merangsak masuk secara tiba-tiba. Terlihat sangat sulit untuk menyesuaikan, kelopak matanya rasanya seperti lebih tebal dan pedih daripada biasanya. Dikta yang bayangannya belum seratus persen full HD terlihat mendekatinya. Baru setelah sepersekian detik Dinara sadar bahwa sang adik tengah menatapnya heran dari jarak yang cukup dekat. “Sebelum turun kompres mata dulu deh kayaknya! Takut mama sama papa khawatir!” ujar Dikta sebelum lagi-lagi menarik seimut Dinara sehingga gadis yang sama sekali tak punya pembelaan itu kembali terkesiap. “Ini jam berapa sih? Tumben mama udah sampai rumah,” keluh Dinara. Seingatnya, kedua orang tuanya itu masih belum sampai rumah semalam. Dikta memutar matanya, “udah siang, mbak! Jam sebelas lho ini! Mama sama papa baru aja pulang.”Dikucek sebentar matanya y
Senyuman sok ramah menyebalkan itu jelas tengah berusaha untuk memancing keluar jiwa bar- bar Dinara. Saking seringnya bertemu dengan senyuman Selena, Dinara jadi begitu muak sekarang. "Aku pergi sesekali, nggak ada salahnya, kan?" balas Dinara tenang. Padahal dalam hati dia sudah mencak- mencak ingin mengeluarkan sapaan penuh kebun binatang yang diajarkan Julie dan Kiran sebelumnya. Tapi Dinara ingat, dia tidak perlu melakukan atau menanggapi dengan hal- hal yang semacam itu. Semakin dia menunjukkan emosinya, semakin puas juga si lawan yang memang selalu ingin membuatnya lepas kendali. Mengapa dia harus menurunkan value hanya karena kadal satu ini?"Kamu sudah benar- benar selesai, kan?" Selena bicara lagi lalu setelah itu dengan sok asik menambahkan kalimatnya, "ups, maksudku sudah benar- benar selesai perawatan atau apapun itu, kan?" Dinara masih mempertahankan rautnya, nyaris tersenyum remeh untuk membalas provokasi kurang menyenangkan yang dilakukan Selena. "Tentu, aku sedan
Banyak yang terjadi dalam seminggu belakangan dan ditengah seluruh keriwehan itu, Dinara benar-benar menjalani hidupnya yang super produktif.Pagi-pagi sekali Dinara sudah berada di bandara. Meski hubungannya mungkin berakhir, Dinara masih harus menepati janjinya dengan mantan atasannya—Alana Yasmin. Yap, hari ini dia harus berangkat ke Bali untuk memenuhi undangan pernikahan Alana dan Arkasa yang dihelat tertutup. Dinara sudah menyiapkan jawaban seandainya dia ditanyai terkait dengan dirinya dan Sandi. Namun sebisa mungkin Dinara benar-benar hanya ingin menghindar dari topik itu sebenarnya.Masker hitam yang menutupi hidung dan mulutnya terasa sedikit mengganggu karena pernafasannya terasa agak tersendat. Mungkin efek berangkat subuh-subuh, udara dingin agak menggelitik hidungnya.Kali ini dia berangkat bersama dengan rekan-rekannya selama bekerja sebelumnya. Mereka yang tadinya dijadwalkan berangkat jumat sore, ternyata justru bisa mendapatkan libur penuh dari perusahaan. “Hhh mas
Pernikahan putra putri dari keluarga tersohor itu punya tarikan megah dan eksklusif apalagi deretan tamu yang hadir benar-benar hanya pesohor dan kerabat dekat masing-masing. Setiap orang yang masuk adalah pilihan dan punya tiket masing-masing untuk menjangkau areal VVIP tersebut. Tidak ada istilah plus satu dari siapapun. Tak heran bahkan istri ataupun tunangan dari undangan manapun tetap tak akan bisa ikut masuk kecuali nama mereka memang dituliskan dalam undangan. Asumsi Dinara, itu adalah alasan mengapa pada akhirnya kekasih paksaan milik Sandi itu pada akhirnya tidak berada disini juga. Haruskah dia senang mengetahuinya?Tidak juga, tidak terlalu penting sebenarnya. Sekarang ini Dinara tengah menghadapi hal lainnya yang lebih menegangkan. Gadis itu berdiri dengan heels dua belas senti di depan pintu utama dan dengan senyuman paling ramahnya menyapa setiap undangan yang melakukan registrasi. Dia benar-benar berusaha menjadi versi paling ramahnya sekalipun ini terasa agak kurang
"Nar, pacar lo punya adik tiri?" Baru saja mencoba untuk menghapus riasan berat di matanya, Stecia dan Kalila tiba- tiba saja sudah berada di dalam kamarnya. Kedua gadis itu bahkan masih compang- camping dengan makeup yang belum sepenuhnya terhapus dan mengenakan pakaian tidur. Melalui pantulan cemin, Dinara bisa melihat bagaimana wajah syok keduanya, jauh lebih parah daripada Dinara yang kamarnya tiba- tiba dibuka paksa. "Hm?" Hanya deheman yang dia gunakan sebagai tanda untuk merespon. Dinara lebih memilih untuk meneruskan menempel kapas berteteskan micellar oil untuk menghapus riasan waterproof di bagian mata. Seakan tak begitu terpengaruh oleh keberadaan dua onggok rekan kerjanya itu. "Jadi bener cewek yang tadi mereka bawa itu anak haramnya Tuan Seno Arsena?" tanya Stecia lagi. Kalila kini sudah menggoyang- goyangkan bahu Dinara. Berusaha mendapatkan respon lebih dari Dinara yang dia yakini pasti lebih tahu tentang kebenaran ini. "Lo udah tahu, Nar?" tanya Kalila. Mau
Kamu bebas. Sandi masih ingat bagaimana gemuruh dadanya saat itu. Dia pikir mereka bisa kembali seperti semula—seperti sebelum hubungan keduanya tercegat oleh misi bawah tanah keluarganya. Tapi ternyata Dinara justru punya pilihan lain. Salahkah Sandi tak melibatkan Dinara dalam rencananya dulu? Apakah ini sudah terlambat bagi mereka? “Kamu bebas mengencani siapapun dan melakukan apapun. Aku nggak akan mengganggu kamu selama itu dan mungkin setelahnya.” Hampir emosi karena bukan ini yang dia inginkan. Apakah seburuk itu kesalahannya sehingga Dinara tak mau kembali padanya? “Aku nggak berpaling, Nar! Aku nggak selingkuh! Tell me! Aku tahu aku salah karena nggak melibatkan ataupun memberitahu kamu lebih dulu, tapi ini nggak adil buat aku!” Sandi masih duduk meskipun amarah hampir menguasai dirinya sementara Dinara justru nampak super tenang dan bahkan bisa menyajikan senyum tipis. “Kamu nggak salah. Nggak ada yang salah dengan tidak memberitahukan aku apa yang mau kamu lakukan un
Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari dan seterusnya sampai tak terasa bahwa waktu berjalan terlalu cepat. Ini tepat dua tahun setelah malam dimana Dinara dan Sandi digoda untuk membicarakan pernikahan oleh kedua pihak keluarga. Tidak langsung mengiyakan. Malam itu mungkin titik balik hubungan keduanya. Alih-alih menerima usulan duo mami untuk langsung menikah, baik Sandi maupun Dinara sepakat mengundurnya. Sandi benar-benar menepati janjinya untuk menunggu Dinara. Gadis itu ingin menikah setelah mereka berdua cukup settle. Baginya, terlalu dini untuk berpuas diri pada keadaan. Apalagi saat itu keduanya masih dalam misi untuk bisa naik jabatan. Sampai akhirnya, tiga bulan lalu Sandi memantapkan diri melamar Dinara. Alhasil, hari ini keduanya berjalan di altar dan mengucap janji sehidup semati. Hari dimana rasanya tidak akan pernah siap dia jalani. Pada kenyataannya, hari itu terjadi juga. Dua tahun belakangan bukan waktu yang mudah. Setelah beragam drama dan
Sore ini Sandi sudah mewanti-wanti Dinara untuk pulang bersama. Rencananya hari ini Sandi mau pulang ke rumah keluarganya, sekalian mengantar Dinara. Tidak lupa bahwa mereka tetangga, kan? Sandi menyetir dengan satu tangan, tak lupa satunya lagi dia gunakan untuk sesekali menggenggam jemari Dinara. Sandi Bucin Arsena selalu punya tingkah menggemaskan yang kadang membuat Dinara jadi geleng- geleng kepala.Netra si cantik akhirnya tertuju pada gantungan polaroid yang dipasang Sandi tempo hari. Menampakkan foto lawas mereka saat liburan dulu.“Eh, kamu masih ada foto ini? Ya ampun, padahal nggak lebih dari dua tahun, tapi kok kita kelihatan muda banget ya?” Sandi tersenyum tipis, akhirnya Dinara notice keberadaan selfie mereka waktu liburan di Nusa Penida dulu. “Waktu itu soalnya belum terlalu mikirin kerjaan,” respon santai Sandi ternyata langsung dicegat oleh Dinara. Keningnya berkerut, “ah enggak juga. Waktu itu aku kan juga udah kerja,” ucapnya. Sandi tersenyum tipis, “ya tapi w
Ketidaktenangan Sandi berlanjut. Setelah pesan menyebalkan pagi itu, Sandi harus kembali menahan kecemburuannya saat menemukan Dinara tertawa lepas di cafe depan kantor barunya bersama dengan Valdi. Yap, Valdi yang itu! Valdi rekan kerja Dinara di kantor lama Dinara yang sempat membuat Sandi agak insecure karena lelaki itu kelihatan punya perangai yang mirip dengan Dinara. Sebagai sama-sama lelaki, Sandi pun menyadari bahwa Valdi punya intensi khusus pada Dinara. Apa lagi kalau bukan naksir?Kok bisa-bisanya mereka bertemu lagi disin? Bukankah jarak antara kantor lama dan kantor Dinara yang sekarang cukup jauh, ya?Sandi yang berniat mengajak Dinara untuk makan siang bersama pun mengurungkan niatnya sebentar. Dia menjaga jarak dan mengamati keduanya dari posisi agak jauh. Meskipun sebenarnya hatinya ketar-ketir mendapati pemandangan itu. Dibanding teman-teman lelaki Dinara yang lain, Sandi paling tidak suka pada Valdi. Pasalnya, radar Sandi menangkap bahwa Valdi ini juga golongan le
Sandi mengerutkan kening sejak subuh tadi. Tangan kanannya masih sibuk mengutak-atik ponsel milik Dinara yang menyala. Sejak pertama kali mereka berpacaran dua tahun lalu, ini mungkin kali pertama Sandi nekat mengusik privasi gadisnya itu. Dia melirik Dinara yang masih terlelap disampingnya, memastikan bahwa gadis itu masih berada di alam kapuk. Kalau sampai Dinara tahu dia melakukan ini, entah pasal saling percaya mana lagi yang akan Dinara gaungkan.Lelaki itu menahan gemeretak di gigi, sorot matanya yang sebenarnya kurang tidur ini terlihat jelas. Awalnya dia baik-baik saja sampai ketika dia menyadari bahwa ponsel Dinara terus saja menyala dan mendentingkan nada pertanda pesan masuk. Sandi yang gemas akan hal itu pada akhirnya berusaha untuk mengaktifkan mode hening. Alangkah terkejutnya dia saat menemukan beragam notifikasi dari nomor yang tak dikenal serta nama-nama asing di akun instagram Dinara. Maka itulah yang mengawali aktivitas stalking Sandi. Menjudge pria-pria yang meng
“Apa kabar Dinara?” Satu kalimat pendek yang Alana layangkan pertengahan januari lalu membuka kembali komunikasi antar mantan rekan kerja itu. Alana tak mau banyak basa-basi dan langsung menawarkan pekerjaan meskipun dia tahu Dinara masih dalam masa menyelesaikan studinya. Alana cukup tahu kapasitas kerja Dinara Jeandra. Dia mengenal Dinara sejak gadis itu masih magang di perusahaan lama. Apa yang dia tawarkan saat itu juga merupakan sesuatu yang fleksibel yang untungnya disanggupi oleh Dinara sendiri. Meskipun pada awalnya wanita muda itu agak meragukan dirinya sendiri. Bisa dibilang, Alana pada akhirnya dengan percaya memberikan posisi tetap pada Dinara. Syukur juga Dinara berkesempatan lulus lebih awal sehingga dia bisa kembali ke Indonesia lebih dulu. Dan disinilah dia sekarang. Tanah kelahirannya yang amat dia rindukan. Berdiri dengan anggun memperkenalkan diri sebagai junior manager salah satu cabang perusahaan milik keluarga Alana. Pertemuannya dengan Sandi disini pun sebe
“Kalau bukan karena Kak Alana, gue nggak bakal bela-belain dateng, sih!” Arkasa tertawa kecil menyambut kedatangan sepupu kesayangannya yang berjalan kearahnya dengan wajah setengah cemberut. Tapi siapapun tahu bahwa raut itu jelas dibuat-buat karena beberapa detik kemudian si pelaku justru menjabat tangan Arkasa dengan santai dan menampilkan senyuman lebarnya. Wajahnya jadi agak lucu, kontras dengan setelan desainer serta sisiran rambutnya yang ditata rapi. Lelaki itu kemudian lanjut bersalaman dengan pemilik utama perhelatan, Alana Diandra Yasmin. “Katanya lo maraton kesini setelah dari acaranya Damian, ya?” tanya Alana memastikan info yang dia dapat dari asistennya.Sang suami lebih dulu menambahi, “Udah makin sering gantiin Om Seno di event-event gede! Tinggal nunggu peresmian aja sih kalau gini,” godanya.Sandi Arsena memasang wajah malas, pun menggeleng sebagai tanggapan lanjutan. Memang setelah hampir setahun mengabdi di anak perusahaan, akhirnya secara resmi Sandi diperkena
Memang benar bahwa waktu adalah hal paling berharga yang tak boleh disia-siakan. Rasanya baru sebentar berkunjung ke museum, foto-foto di beberapa bagian town square, belanja ke toko buku dan lanjut mengisi perut di restoran terdekat. Namun sekarang ini langit gelap telah menyapa dua insan berbeda gender yang tengah berjalan kaki menyusuri jalanan malam Cambridge. Jangan tanya kenapa destinasi wisata keduanya jadi terlihat akademis begitu. Mau bagaimana lagi? Tempat semacam itulah yang dimiliki oleh salah satu wilayah institusi pendidikan ini. Dinara paling malas kalau harus berkendara jauh, sementara Sandi juga tidak terlalu mengenal banyak tempat disana. Maka dari itu keduanya memilih untuk berwisata sesuai panduan di internet, mendatangi tempat-tempat sekitar mereka yang jadi pilihan turis. Dinara sempat membeli beberapa buku dan sangat menikmati kunjungannya. Sementara Sandi sih sebenarnya sama sekali tidak masalah mau kemanapun, poin pentingnya adalah dia harus menghabiskan wak
Terbangun dari mimpi indahnya yang seakan hanya berlangsung dua detik. Dinara mendapati dirinya telah berada dalam kamar asrama—masih dengan pakaian semalam karena gadis itu ternyata justru ketiduran. Melirik jam di meja, masih ada waktu sekitar dua jam sebelum dia harus ke kampus untuk mengumpulkan hardcopy tugas. Semuanya sudah siap, Dinara tinggal mandi dan siap-siap sedikit lalu berjalan menuju kampus yang hanya sekitar lima menit dari asrama. Pandangannya kini tertuju pada langit-langit kamar, memandang kosong atau bahkan lebih tepatnya memutar kembali memori semalam yang masih berbekas. Kali pertama dia melangkah lebih jauh dengan Sandi—maksudnya ya belum sampai dijebol tapi sepertinya ini sudah sangat intim baginya.Dinara masih ingat pandangan kelam dan bibir bengkak Sandi dihadapannya, begitu juga selatannya yang jelas terasa mengganjal. Cahaya remang-remang dan bahkan mereka hanya berdua dini hari kemarin. Meskipun Sandi berhasil menyentuh kulitnya lebih banyak, tetap saja
Pada akhirnya, dua insan yang sempat terpisah jarak dan waktu itu hanya bisa duduk dalam diam. Dinara yang masih berusaha menenangkan lidahnya yang terbakar serta Sandi yang merasa terlalu meluap-luap hingga berprasangka buruk begitu saja. Canggung? Tentu. Setelah semua yang terjadi, bagaimana bisa Sandi bersikap seolah tak terjadi apa-apa? Itu yang mendasari pada akhirnya kata maaf meluncur beberapa kali. Meskipun sebenarnya Dinara masih sedikit gondok menghadapinya.“Besok kamu ada kelas jam berapa?” tanya Sandi pada akhirnya.Dinara meliriknya sebentar, “sekitar pukul sebelas, hanya submit tugas,” jawabnya. Sandi mengangguk paham, “aku disini seminggu kedepan. Kapan ada waktu luang? Temenin jalan-jalan, bisa?” tanya Sandi lagi.“Kemana?” Dinara mau, tapi sejujurnya dia tidak terlalu tahu banyak tempat disini. Seperti yang sudah dia jelaskan sebelumnya, Dinara bahkan sama sekali belum sempat jalan-jalan. “Kemana aja. Kamu nggak akan nyasar, kok!” ucap Sandi seolah menjawab kekh