"Bukan gitu maksud saya, kalau semisal kita gak jodoh gimana? Padahal kita sudah menjalin hubungan beberapa bulan terakhir ini."
"Yasudah mau gimana lagi? Jodoh ditangan Tuhan kan bukan ditangan penciptanya?""Yakin gak patah hati?""Patah hati hal wajar, tapi yauda lah."Daffa tersenyum kecut mendengar jawaban Mazaya. Sepertinya wanita didepannya benar - benar belum juga membuka hati untuk kearah yang lebih serius, begitu batinnya berkata.***Gelar S2 telah tersemat pada dirinya, namun untuk posisi pekerjaan masih sebagai Manajer Personalia. Ya, memang bukan itu alasannya melanjutkan sekolah S2. Namun, ia hanya ingin memperdalami ilmu yang ia minati. Entah apa yang ia pikirkan sehingga memilih jurusan itu, bahkan di Keluarganya hanya ia seorang lah yang memilih jurusan Psikolog."Congraduation Bu Mazaya." Seru Tim Personalia.Teeeetttt... Tet.. Tet.. Teeeeettt...Suara terompet menggema diseluruh RuanFlashback Dering ponsel terdengar nyaring, sontak membuat si pemilik mengalihkan atensinya dari layar laptop ke layar ponsel miliknya."Assalamu'alaikum."[0822XXXXXX : Wa'alaikum salam, Zafir antum dimana?]"Wa'alaikum salam. Ane di Rumah Mal, biasa sibuk sama kerjaan. Ada apa? Tumben banget hubungi ane, ada yang urgent?"[0822XXXXXX : Cuma mau klarifikasi, itu beneran si kembang pesantren dipinang sama Daffa?]"Maksud antum siapa Mal?"[0822XXXXXX : Antum beneran gak tau kabar? Ane lihat status Whatsapp Maemunah sepupu Ratih. Daffa meminang Ratih Fir.]"Seriusan?"[0822XXXXXX : Loh ane pikir antum tau sama berita ini, yasudah ane kirim ya fotonya. Assalamu'alaikum.]"Wa'alaikum salam."Zafir sedikit termenung setelah memutuskan panggilan dari Kemal - Rekan satu Pesantrennya. Hingga diamnya pria itu menjadi atensi khusus sang Istri."Ada apa Bang? Kok melamun?"Zafi
Tanpa basa basi ia membuka pintu Ruangan tersebut dan mendapati Daffa tengah sibuk dengan Laptop didepannya."Aku butuh penjelasan kamu Mas!""Mazaya? Assalamu'alaikum Zay." Daffa berdiri menghampiri Mazaya dan hendak meraih tangan wanita itu namun ia memundurkan tubuhnya."Wa'alaikum salam, bisa kita bicara? Aku gak akan lama biar gak jadi fitnah.""Ya, kita duduk dulu." Daffa mempersilahkan duduk dan Mazaya memilih kursi didepan pria itu."Jadi apa yang ingin kamu bicarakan? Hm?" Lanjutnya."Kita sudahi hubungan ini Mas." Mazaya dengan tegasnya mengatakan hal itu, tanpa air mata yang menetes meski dengan gigi yang gemertak dan sembari menggigit bibir bawahnya."Zay?""Kenapa Mas? Ada yang mau kamu jelasin sama aku?"Daffa tidak mengatakan apapun, seakan lidahnya kelu saat hendak mengatakan sesuatu pada Mazaya. Suara kursi berdecit, ia mendongakkan kepala dan mendapati Mazaya yang tengah berdiri dari k
Ratih tengah menemui kedua orang tua Daffa, ingin sekali ia menanyakan mengenai wanita yang ia dapati didalam ruangan kerja Daffa dua hari yang lalu. Pasalnya saat ia menanyakan mengenai wanita itu, Daffa diam saja dan enggan untuk menjawab. Hanya kedua orang tuanya adalah satu - satunya jalan ninja untuk mengetahui dan mengenal lebih mengenai Pria yang hendak menjadi suaminya."Maa shaa Allah masakan kamu enak sekali Ratih, ya kan Umi?" Mufid memberikan pujian pada calon menantunya, sedangkan Maryam hanya tersenyum tipis mendengar hal itu. Berbeda dengan Ratih yang tengah tersenyum puas karena pujian Mufid."Alhamdulillah Abi, itu tadi juga dibantuin sama Umi waktu masak.""Ah itu hal wajar." "Oh iya Abi Umi, boleh Ratih tanya - tanya?""Iya boleh - boleh, kamu mau tanya mengenai apa?""Emmm.. Maaf sebelumnya. Ratih cuma mau tanya, apa Bang Daffa punya kekasih?"Uhuk.. Uhuk..Mufid tersedak saat mendengar pert
Didalam sebuah Cafe, Mazaya tengah bersama rekan satu tim untuk merayakan penobatan karyawan terbaik untuk Jena dan Rendi. Mazaya merupakan atasan yang royal untuk semua timnya, bahkan ia tidak segan - segan merogoh uang yang tidak sedikit untuk tim personalia saat mereka berulang tahun atau sekedar berkumpul dan acara yang lain.Tidak dupungkiri jika rasa sakit hatinya masih menjalar, namun ia tidak ingin menunjukkan pada siapapun. Meski semua Keluarganya mengetahui hal itu, dan para tim nya menangkap hal yang tidak wajar saat Mazaya berubah menjadi atasan worka holic. "Bu May, kapan berangkat Umrohnya?" Tanya Rinda. Ah ya, Mazaya mendapatkan paket umroh dari Irawan, Tim, dan Istri Irawan. Kenapa ia melupakan hal itu? Apa karena rasa sakit yang dirasakan menutup semua ingatannya? Atau karena kesibukannya akhir - akhir ini sehingga ia melupakan hal itu? "Nanti saya cek keberangkatannya, Mbak Zahra sudah menyiapkan tiketnya kok." Dustanya. Padah
Mazaya mendapat pesan teks dari sang Ayah ketika ia berada di Ruang Kerjanya. Sang Ayah memintanya untuk datang ke Kantor Tour and Travel milik kedua orang tuanya. Ia mengiyakan permintaan sang Ayah, dan sore ini telah berada di Kantor tersebut. Ternyata disana sudah ada Mafaza serta Eran, entah apa yang ingin dikatakan sang Ayah kepadanya sehingga ada kedua Kakaknya ditempat itu."Jadi kenapa Ayah ngumpulin kita bertiga disini?""Enggak, Ayah gak ngumpulin kalian bertiga. Eran memang lagi janji temu sama jamaah nya, Mafaza kebetulan aja ada disini karena habis janjian sama Ibu mertuanya di PIM.""Oh kirain ada apa. Terus kenapa Ayah nyuruh Zaya kesini?""Oh itu. Ayah cuma mau konfirmasi aja, betul kamu mau umroh lagi?""Hmmm.. Udah tau dari Mbak Zahra ya?""Iya, jadi?""Iya Zaya mau Umroh, emang kapan sih keberangkatannya?""Minggu depan. Kebetulan Masmu juga berangkat karena ada Jamaahnya yang minta dia ikut."
Seperti yang dikatakan Zafir, sore ini Mazaya tengah berada di Lapangan tenis Komplek. Langit muram dan menghitam, namun tidak mematahkan semangat Mazaya untuk bermain meski ia hanya menggunakan mesin pelontar bola. Semakin lama diperhatikan, ritme permainan semakin cepat. Bahkan pundak Mazaya tampak sedikit bergetar dan sesekali tangannya mengusap kedua pipinya. Hujan rintik tak membuatnya berhenti bermain, Daffa melihat hal itu dari dalam mobil sontak menghampiri wanita muda itu."Mazaya stop!" Daffa meraih raket milik Mazaya."Apa - apaan sih Mas?" Mazaya menatap nanar Daffa, ia menunjukkan ekspresi tidak bersahabat. Bahkan Daffa menangkap mata Mazaya sembab seperti menangis, namun hal itu hanya terlihat samar karena air hujan."Hujan Zay, stop dulu mainnya." Daffa menarik pergelangan tangan Mazaya, namun mendapat tepisan dari wanita itu."Apa peduli kamu Mas?""Jelas saya peduli sama kamu Mazaya!" Tatapnya dengan rahang sedi
Jalanan macet, tidak bergerak sama sekali. Mazaya hanya pasrah dibalik kemudi, sedangkan Mafaza mendengus kesal sembari mengoceh."Ada apa didepan Pak?" Mafaza membuka jendela dan bertanya pada seorang pria dengan sepeda motornya."Ada kecelakaan didepan Neng. Mending puter balik deh, gak gerak sama sekali soalnya. Ambulance sama polisi belum dateng juga.""Oh yaudah Pak, makasih." Ia hanya manggut - manggut mengerti.Mafaza melirik kearah Mazaya, saudara kembarnya itu tampak tenang. Sama sekali tidak ada kegelisahan terpancar pada raut wajahnya, sesekali wanita disebelahnya menggulir ponsel ditangannya."Gak usah sok sibuk, gak ada pacar." Cibir Mafaza."Ih suka - suka gue.""Cih.. mending puter balik aja deh, lewat sana aja.""Gimana mau puter balik sih Za, puterannya aja masih didepan. Semua kendaraan gak ada yang gerak, kecelakaannya parah emang? Sampai - sampai gak ada yang berani lewat.""Gak tau,
Keluarga Ratih beserta kedua orang tua Daffa tengah berada di Rumah Sakit setelah mendengar kabar mengenai kemalangan yang dialami oleh wanita muda itu.Daffa masih dengan wajah datarnya saat seorang Dokter menjelaskan bahwa sang calon istri mengalami patah tulang dibagian leher dan terjadi Epidural Hematoma.Epidural hematoma atau perdarahan extradural adalah kondisi saat darah mengumpul di area epidural, yaitu area diantara tulang tengkorak dan lapisan duramater. Duramater adalah membran atau lapisan terluar dari mening (selaput otak dan tulang belakang) yang menyelimuti dan melindungi otak dan tulang belakang.Sontak saja hal itu membuat semua orang yang berada ditempat itu terlihat syok, terutama kedua orang tua Ratih tentunya. Sedangkan Rika hanya dapat menangis histeris, pasalnya yang memiliki ide untuk makan bakso dan menyeberangi jalan tanpa menggunakan jembatan penyeberangan adalah dirinya. Tak henti - hentinya ia menyalahkan diri sendiri, sedangk