Silmi memiringkan badannya. "Anti mempunyai firasat? Baik apa buruk?" Salwa mengangguk. "Buruk. Tapi ana tak yakin apakah ini firasat atau curiga," ucapnya sambil teringat sikap Aditya berapa hari terakhir. Pergi lebih cepat dan pulang lebih malam. Datang mudah marah, minimal diam, atau langsung tidur.Silmi menatapnya penuh tanya, tetapi sahabatnya urung bersuara. "Inti dari masalah, anti ingin melakukan sesuatu karena firasat itu?"Salwa mengangguk. "Ini sangat di luar kebiasaan ana. Setiap ingin berbuat diam-diam untuk memastikan, ana merasa bersalah karena memata-matai."Ini sangat jauh dari dunianya yang selama ini memegang kejujuran dan kepercayaan. "Setiap ingin berbuat diam-diam, ana teringat wamakaru, wamakarallah.**""Tapi dia bukan musuhkan?"Salwa menggeleng. Ingin rasanya bercerita siapa yang dicurigai kepada Silmi. Curiga pada suami sendiri, rasanya memalukan buatnya. Selama bersama Salman, tidak pernah sedikitpun ia menyimpan curiga."Tapi anti harus bisa membedakan
Ia mengambil ponsel untuk mengabari Aditya, tetapi urung ketika melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan jam sembilan. Jika perjalanan sejam, jam sepuluh baru sampai ke rumahnya. Ia memutuskan mengambil air wudu dan salat sunnah. Dalam doanya yang panjang hanya dua nama yang ia sebut, Aditya dan Salsabila. Dua nama itu telah membuatnya lupa sakit yang tadi mendera. Mintalah campur tangan Allah, insya Allah, Dia akan selalu melindungimu. Setelah berdoa, ia mengambil mushaf. Terus membaca sekuat dia mampu.*** Setelah berdoa, ia mengambil mushaf. Terus membaca sekuat dia mampu.*** Hasrat sudah di ubun-ubun, Aditya pun kali ini tidak ingin mengendalikan diri. Danum semakin di atas awan. Namun, ia ingin melakukan permainan tarik ulur, menyaksikan Aditya setengah gila. "Kita makan dulu ya. Perutku lapar." Danum menarik tangan Aditya, tetapi malah dirinya terpe
Salwa melepaskan pelukannya. Ia menatap wajah Aditya. Mengapa Aditya berubah lagi?*** Di Jakarta. Cahya mendapatkan laporan dari ketua kamar santriwatinya kalau Salsabila berapa hari ini selalu menangis di malam hari tanpa tau sebabnya. Bertepatan Setya sedang keluar kota, ia memutuskan malam ini tidur di kamar santriwati, Di sebuah paviliun di belakang rumah orang tua Setya. Jadwal menghafal setelah salat Isya. Setiap santriwati telah mengambil posisinya masing-masing, mencari tempat yang nyaman untuk menghafal. Beberapa orang sengaja menghafal di taman belakang. Cahya mencari Salsabila yang tidak kelihatan di ruang tengah. Ia masuk ke kamar, terlihat Salsabila menangis, meringkuk di samping ranjang, dekat lemarinya. "Salsa, kenapa?" tanya Cahya dengan sedikit panik. Salsabila tidak menjawab, ia hanya menangis dan memeluk Cahya. "Ustadzah.""Kenapa? Kangen Umi ya?" tanya Cahya sambil mengelus jilbab yang membungkus kepala Salsabila. Salsabila mengangguk. Cahya melepaskan pe
Hanya super sekian detik pesan sudah terbalas dengan stiker jempol.**Danum menyewa sebuah kamar di hotel mewah yang berdampingan dengan sebuah mall. Sengaja memilih dekat mall, karena ia ingin menghabiskan seharian bersama Aditya. Jika ingin menonton bioskop, mencoba makanan berbagai menu, atau sekadar shopping, mereka tinggal menyeberang ke mall. Dari restoran di lantai dua, ia bisa melihat taman di depan mall juga orang berlalu lalang keluar masuk mall. Selain itu, restoran ini selalu terlihat sepi, dapat membuatnya lebih leluasa Kenangan masa kecil kembali mengulang dalam memori. Cintanya pada Aditya bukanlah cinta sekejap. Aditya teman sekelas kakaknya waktu SMA. Aditya sering main ke rumah, untuk mengerjakan pr atau sekadar nongkrong bareng di halaman rumahnya. Aditya sangat baik padanya yang waktu itu masih SMP. Memperlakukannya seperti adik sendiri. Namun berbeda dengan Danum, baginya i
"Minuman itu?" lirih Salwa. Suaranya terdengar sengau. Sensai panas mulai mencekik tenggorokannya.Aditya tersentak. Ia baru menyadari, Salwa telah menghabiskan minumannya. Danum tidak disadari sejak kapan ia menghilang.Ia segera memegang bahu Salwa. "Kita ke rumah sakit!"Salwa menggeleng. Ia duduk di kursi. Napas mulai tidak beraturan. "Andaipun ini racun, tentu sudah terlambat. Kita pulang ya.""Tapi …." Aditya semakin panik."Dit!" ucap Salwa lemas. Sensasi panas makin menggerayangi badannya. Ia meletakkan kepalanya ke atas meja. "Sewa kamar di sini saja. Di luar macet. Pandangan Aditya tertuju pada selembar kartu kunci kamar. Ia mengambil kartu itu."Bertahanlah! Kumohon," ucapnya bergetar. Sambil mengangkat badan Salwa. Salwa hanya menjawab dengan senyuman tipis, mata terpejam. Badan Salwa sudah terkulai lemas. Aditya membopongnya dengan setengah berlari.
Salwa tersentak. "Kamu juga membenciku?!"Aditya mengangguk. "Aku … aku sendiri merasa gila jika memikirkan hal itu." Aditya meraih kedua tangan Salwa. "Aku tidak bisa berjanji padamu. Aku takut, perasaanku tiba-tiba berubah lagi. Aku minta satu hal padamu."Salwa mengerutkan keningnya."Kau harus melindungiku. Demi Allah, aku sangat takut berpisah denganmu. Setiap aku bertemu dengannya, ada sesal di hati, tetapi aku tidak bisa mengendalikannya." Hening. Salwa menarik napas, setelah beberapa lama terdiam. "Kamu mengakui telah bermain dengannya. Lalu …." Tiba-tiba ia merasa takut mengucapkannya. "Lalu?""Apa kamu … pernah … melakukan itu dengannya?""Itu? Ooh. Tidak. Tidak pernah.""Kenapa kalian bertemu di sini? Siapapun pasti membayangkan ke arah situ jika melakukan pertemuan di sini.""Kuakui … kami hampir melakukannya, tapi Alhamdulillah selalu gagal."Kening Salwa mengerut tajam. "Seperti yang sudah kukatakan padamu, tiba-tiba saja aku memiliki perasaan yang gila. Namun, tiba-
Kening Bayu mengerut tajam, akibat nada Aditya yang tak biasa. Salwa menepuk bahu Aditya. Anita bertanya dengan isyarat, Salwa hanya membalasnya dengan kedipan mata. Bayu salah satu idola Aditya dalam dunia entrepreneur. Apapun yang diminta Bayu, ia selalu berusaha mengabulkan. Jangankan marah, untuk protes saja ia perlu pikir panjang. Kini mengapa Aditya berani marah pada Bayu? Salwa menghela napas. Dibanding mencari Haikal, justru Aditya lebih memerlukan perhatiannya. Ia bertanya-tanya ada apa Aditya? Mungkinkah Aditya di bawah pengaruh sihir?"Bayu, minta bantuannya ya. Ibunya sedang tidak baik," jelas Salwa. "Ibunya? Kamu ada bertemu dengan ibunya?" sela Anita. Salwa mengangguk. Ia kembali menusuk potongan buahnya dengan garpu kecil. "Dia ada datang ke rumah. Dia berubah banyak. Dapat dimengerti bagaimana rasanya kehilangan seorang putra," sahut Salwa sambil menyuapkan buah ke mulut Aditya.
"Oke, aku mengerti." "Tapi ada kalanya, kita perlu berhati-hati dalam meminta. Jangan sampai didominasi keegoisan atau emosi sesaat."Aditya mengernyit. "Dulu pernah, aku seharian menunggumu di halaman rumah. Malam hari barulah kamu datang, tapi datang bersama Danum, kakak dan ayahnya. Aku langsung menyeberang saat melihatmu, tapi kamu masih sibuk membantu ibumu melayani tamu. Aku benar-benar kesal waktu itu. Saat itu aku menggerutu, suatu saat kau hanya milikku. Tidak ada seorangpun yang boleh memilikimu, kecuali aku izinkan. Aku tidak menyangka sepertinya gumaman itu dikabulkan. Maafkan aku." "Kok minta maaf. Aku malah senang sekali."Salwa mengedikkan bahunya. "Aku merasa seperti mengekang jodohmu. Lihatlah baru sekarang kau baru menikah. Untung akhirnya kita berjodoh. Kalau Salman tidak mendua, mungkin kamu selamanya menjomlo," ujar Salwa sambil terkekeh.Aditya tertawa. "Berarti aku harus ber
“Memang Sanad nggak punya cinta? Dia sudah punya istri,” bantah Salwa.“Kalau orang memerhatikan, Sanad itu pria dingin banget," ucap Anita.“Di perusahaan, semua orang tahu, kalau hubungan suami istri mereka hanya seperti ikatan profesionalisme saja,” imbuh Bayu.“Malah aku melihat tatapan Sanad lebih berwarna ke Tera dan putranya dibanding Hayati.” Anita menimpali. “Aku tidak memerhatikan itu. Tapi kalau dilihat kondisi Evan, wajarlah jika Sanad menaruh perhatian pada Tera," sambung Salwa.“Di perusahaan Sanad itu seperti apa, Bayu?” tanya Aditya ke Bayu. “Secara persen saham punyaku lebih tinggi, tapi dia cukup berpengaruh. Tidak ada yang bisa mengabaikan atau membantah pendapatnya kecuali aku. Itu pun karena sahamku lebih tinggi. Coba saja kalau tinggi dia sedikit saja, habislah aku.”Seketika di ruangan itu tertawa. “Tapi jangan khawatir, aku sa
Kalau memang jodoh, langkah sejauh apapun akan bertemu kembali.***“Ops.” Bayu datang bersama Anita. Aditya menarik diri. Salwa tak kuasa mencegah wajahnya untuk tidak merona. “Kalau masuk ketuk dulu, atau salam kek,” gerutu Aditya, sambil duduk ke sofa.Bayu hanya memasang wajah nyengir. Ia meletakkan kantong kertas, lalu duduk di samping Aditya. Anita menyerahkan buket bunga kepada Salwa. “Selamat ya.”"Terima kasih, Nit."“Sama-sama. Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Anita sambil menduduki kursi di samping ranjang Salwa. “Alhamdulillah. Terima kasih, Nit,” ucap Salwa sambil menciumi aroma bunga. “Kenapa terlihat kaku sekali?” protes Anita. Salwa tertawa. “Bukan begitu. Kalau diberi, harus berterima kasih, meski kepada orang terdekat.”Anita tersenyum tipis. “Kalian sudah mengalami hari-hari berat. Refreshinglah. Apa perlu kita liburan bareng?” Anita memutar badannya ke arah Bayu dan Aditya. “Kalian ada usul. Ke mana?
Seketika tubuhnya limbung. *** “Bagaimana keadaan Haikal?” Aditya mencubit pipinya geram, sampai meringis. “Aku sangat mengkhawatirkanmu, tapi Haikal yang pertama kali kamu tanyakan setelah sadar!”“Bagaimana keadaan Haikal?” desak Salwa. Aditya mengembuskan napasnya. Ia memasang wajah kecewa. Namun, Salwa semakin panik dibuatnya.“Bagaimana keadaannya?”Tanpa suara ia mengambil ponselnya di atas nakas. Ia menyentuh ikon aplikasi warna hijau dan melakukan panggilan video di sebuah nama. Ia menyerahkan ponsel itu ke Salwa.Mata Salwa membelalak. Penuh tanya, tapi Aditya enggan menjawab. “Assalamu ‘alaikum. Hallo, Tante!” Wajah Haira menghiasi layar ponsel.“Wa alaikum salam warahmatullah. Haira, bagaimana keadaan Haikal?” “Alhamdulillah baik, Tante.” Haira mengalihkan ponselnya hingga muncul wajah Haik
Zaid mengangguk. “Iya, kan?! Kamu juga pasti ingin selalu bersamanya sampai di akhirat kelak?!”***Dari start setelah subuh sampai zuhur, Salwa memperoleh bacaan 16 juz, setelah salat Juhur serta makan siang, ia kembali memulai bacaannya dan berhasil mendapatkan 5 juz. Ia tidak menyangka kalau bacaannya bisa selancar itu. Karena dari dulu, ia tak kunjung berhasil mengkhatamkan setoran, kecuali secara berkala per tiga juz. Ia mulai menghafal setelah hijrah. Tadinya menghafal hanyalah sebagai bekal, setidak di juz 30. Siapa sangka, menghafal menjadi candu baginya, sampai akhirnya menikah. Semangatnya bertambah berkat dukungan Salman, tetapi pada saat yang bersamaan banyak rintangan yang dihadapinya.Hafalan bubar, sudah menjadi makanannya selama berproses menghafal sebagai ibu rumah tangga. Satu hal yang disyukuri dalam dirinya, ada rasa memiliki hafalan itu, sehingga selalu ia sempatkan mengulang. Sampai saatnya berani berkeinginan ikutan tes di pondok. Sayangnya, saat usahanya habi
“Tapi …?”“Aku tidak tega meninggalkanmu.” Ia meletakkan kepalanya di bahu Aditya.Aditya mencebik. “Tidak tega meninggalkanku atau tak kuasa meninggalkanku?” goda Aditya. Salwa merasakan wajahnya menghangat. “Mungkin dua-duanya.”Aditya tersenyum bangga. “Kalau begitu istirahatlah lebih awal. Supaya besok kamu lebih fit.”Mendadak wajah Salwa merengut. Aditya mencubit pipinya. “Jangan mengujiku. Aku pun ingin malam ini menjadi malam panjang, karena besok aku akan tidur sendiri, tapi bagiku kesehatanmu lebih penting.”Salwa terdiam. Memainkan bibir, entah apa yang dipikirkannya. Aditya memegang bahu Salwa, hingga perempuan itu berdiri. Ia mengangkat tubuh Salwa, lalu meletakkan di atas ranjang. “Tidurlah. Aku ingin melihat wajahmu lebih lama,” ucap Aditya setelah merapikan selimut di badan Salwa. “Peluk aku!” rengek Salwa. Aditya terkekeh.
Salwa tersenyum. Ia menggaet lengan Aditya, menyandarkan kepala ke bahu, lalu memejamkan mata.*** Salwa tak kuasa menahan tangis, melihat Haikal yang tak sadarkan diri di ruang ICU yang hanya bisa ia lihat lewat kaca. Berbagai selang yang tidak diketahui Salwa namanya, bergelayutan di badan Haikal. “Jangan dilihat kalau membuatmu tidak kuat,” ucap Aditya setelah menelungkupkan wajah Salwa ke bahunya.“Ini gara-gara aku,” isaknya.“Tidak ada yang bisa disalahkan dari kejadian ini. Aku yakin, ia melakukannya dengan suka rela, jadi kamu harus kuat sebagai bentuk terima kasih padanya.”Salwa beralih kepada Jamilah yang duduk di bangku panjang ruang tunggu. Salman yang duduk di samping, terus memberikan dukungan kepada Jamilah. “Maafkan aku,” ucap Salwa tanpa berani mengangkat wajah. “Aku tau, permohonan maaf, tidak bisa membalikkan keadaan, tapi aku tidak tahu lagi melakukan apa selain
"Jagalah diri baik-baik. Jika kanu terluka, aku pun ikut terluka."~Aditya~***“Ya, Hallo!” Aditya menjauh dari jalanan. Namun, ketika sudah terlanjur jauh, barulah ia menyadari. Ia menatap panggilan di layar ponselnya tanpa nama. Ini jebakan.Decit mobil terdengar jelas. “WA, AWAS!” Teriaknya sambil berlari mendekati Salwa.***Dari kejauhan Danum menatap nanar. Inilah kesempatannya, setelah sekian lama ia menunggu. Selama mengintai, hatinya terus tergerus luka. Ia melihat jelas perhatian Aditya semakin membesar terhadap perempuan yang hanya tinggal beberapa meter dengannya. Kini ia tidak peduli lagi hari esok. Baginya sekarang menuntaskan rasa sakit hati yang terlanjur berdarah-darah.“Meski aku tidak bisa lagi memilikinya, setidaknya kamu juga tidak boleh memilikinya. Meski kita harus mati bersama.”Ia mengambil ponselnya, lalu melakukan panggilan dengan nomor yang baru saja dibelinya. “Hallo!” Ia hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas. Matanya terus menatap nanar mangsa di
Di balik pintu kamar Salman memegang dadanya yang terasa nyeri. Waktu telah berlalu, tetapi ia masih belum bisa membuang perasaannya pada ibu dari anaknya. *** Salwa sedikit tersentak, ketika bangun tidak mendapati Aditya di sampingnya. Ia memasang telinga, barangkali ada bunyi dari dalam kamar kecil, kenyataannya nihil. Ia keluar kamarnya, terlihat lampu sudah menyala di mushola kecil mereka. Ia melangkah pelan hingga sampai ke tempat yang dituju. Terlihat Aditya sedang bersujud. “Masya Allah,” batinnya. Seumur pernikahan, baru kali ini Aditya bangun sendiri untuk salat Tahajud. Ia berbalik ke kamar, bergegas ke kamar kecil, berwudu, mengenakan mukena, lalu duduk di belakang Aditya. Sesaat Aditya terkesiap melihatnya setelah salam. “Sudah bangun?” tanya Aditya.Salwa mengangguk. “Masih ingin salat kan? Kita berjamaah ya!” “Sayang sekali, aku ingin berdoa.”
Setelah selesai salat Isya orang-orang berpencar. Aditya bergegas turun setelah melihat orang yang diperhatikannya sejak tadi telah keluar masjid. “Assalamu ‘alaikum,” ucap Aditya. Laki-laki itu berpaling. “Wa ‘alaikum salam.” Sesaat Aditya terpana dengan penampilan laki-laki itu. Wajah putih bersih, sedikit cambang di dagu membuatnya terlihat lebih berwibawa. Pembawaan sifat tawadhu membuat laki-laki itu terlihat semakin sempurna di matanya. “Anda …?” Aditya mengulurkan tangannya. “Saya Aditya, suami Salwa. Kita pernah bertemu di acara pernikahan kami kemarin di Nagara.”“Oh iya ya. Saya baru ingat.” Laki-laki itu menyambut tangan Aditya. “Saya Zaid. Istri kita dua sahabat, tapi baru sekarang kita bisa bertegur sapa.”“Maafkan saya. Kalian menyempatkan diri datang ke Nagara, sedang baru sekarang saya menyempatkan diri menyapa. Saya minta maaf.”Zaid tertawa