Hajatan Tetangga
#Tetangga_tak_tahu_kami_kaya
Part 5.
Ada pengajian bulanan ibu-ibu komplek, kali ini giliran rumah Bu Bondan. Sebenarnya aku malas datang, akan tetapi lagi-lagi suami menyuruhku.
"Itu pengajian, Mah, gak perlu undangan," begitu alasan suami.
"Malas, Pah, orang itu sukanya menghina," kataku dengan wajah cemberut.
"Gak boleh gitu, Mah, silaturahmi harus dijalin dengan tetangga, gak usah dengarin omongan orang," bujuk suami lagi.
Sudah jadi kebiasaan di lingkungan komplek, pengajian ibu-ibu berubah jadi ajang pamer makanan. Yang jadi tuan rumah akan menjamu tamu dengan makanan enak. Seakan-akan berlomba-lomba di rumah siapa yang makanannya paling enak. Jemaah pengajian pun berlomba-lomba memakai perhiasan mahal. Ajang pamer tas branded. Kadang aku berpikiran ini arisan atau pengajian?
Akulah yang pertama datang, sebagai tetangga paling dekat, aku menawarkan diri untuk bantu- bantu. Akan tetapi jelas sekali terlihat wajah tak suka dari Bu Bondan.
"Jaga dulu hidangannya, ya, Bondan, liat-liat, nanti pindah tempat ke kantong kresek," kata Bu Bondan pada anak bungsunya yang bernama Bondan.
Tentu saja aku tersinggung, seakan-akan dia menuduh aku akan mengambil makanannya. Karena baru aku yang datang. Tanduk di kepala rasanya tumbuh. Nasihat suami sudah tak bisa masuk ke otakku.
"Maaf, Bu, gak usah sindir-sindir gitu," kataku protes.
"Siapa yang nyindir? memang betul koq, orang sekarang gitu, pulang ngaji isi tasnya rendang." kata Bu Bondan lagi.
Tak tahan dengan hinaan Bu Bondan, aku pulang dengan berurai air mata, kutinggalkan acara yang baru saja mulai.
"Napa, Mah?" tanya suami.
"Aku capek, Pah, aku lelah jadi bahan hinaan," tangisku pecah.
"Udah, Mah, sabar," kata suami seraya mengelus rambutku.
"Pah, aku juga ingin pakai perhiasan kayak orang-orang, aku juga ingin buat hajatan," kataku di sela isak tangis.
"Iya, Mah, sabar,"
"Sabar, sabar, sampai kapan?"
"Kalau mereka pamer, lalu Mamah balas dengan pamer, apa bedanya Mamah dengan mereka?" kata suami lagi.
"Pokoknya aku lelah, Pak, capek dihina terus." kataku seraya masuk kamar.
"Mah, jangan gitu dong, Mah," bujuk suami seraya memijit kakiku.
"Papah nggak peka, gak ngerti perasaan wanita, peka napa, Pah," kataku seraya membenamkan wajah di kasur.
"Mah!"
"Dasar suami gak peka!"
Aku sudah tak peduli, sakit rasanya dihina terus, punya suami juga selalu suruh mengalah. Mungkin aku sudah jadi bahan ghibahan di pengajian itu, terbayang mulut ember Bu Bondan, kakakku juga akan ikut menggunjingku.
"Mah, Papah pergi, Ya," pamit suami pagi itu.
"Iya, Pah," jawabku singkat tanpa menoleh. Gak salim juga seperti biasanya.
"Koq gak datang ngaji kemarin, Bu Yanti?" tanya tetangga depan rumah ketika aku menyiram bunga.
"Kurang enak badan, Bu," jawabku berbohong, padahal yang betul adalah kurang enak hati karena terus dihina.
"Kata Bu Bondan, Bu Yanti tak datang karena menghindari giliran, seharusnya kan bulan depan giliran Ibu," kata tetangga itu lagi.
Betul dugaanku, aku telah jadi bahan ghibahan di pengajian itu.
"Gak lah, Bu, memang aku kurang enak badan," jawabku seraya berharap dia tak bertanya lagi.
Bu Bondan datang, mungkin dia mendengar kami bicara.
"Memang kalau giliran kita bisa habis gaji sebulan," kata, Bu Bondan.
"Gak lah, Bu, tiga ratus ribu juga udah cukup, buat lontong atau mie," kata tetangga depan rumah.
"Malulah kalau cuma lontong, di rumah lain makan rendang, masa di rumah kita cuma lontong," kata, Bu Bondan sambil melirikku.
Merasa obrolan tak sehat lagi, aku segera masuk rumah dengan perasaan kesal.
Sore itu jam sudah menunjukkan angka enam, suami belum juga pulang, padahal biasanya dia pulang jam setengah lima. Aku jadi merasa bersalah, mungkin suami kesal karena tingkahku.
Sayup-sayup terdengar suara motor vega R suami, aku kenal betul dengan suara motor itu, motor itulah satu-satunya kenderaan suami semenjak aku mengenalnya.
Aku berdiri di depan pintu menyambut suami, akan tetapi aku terkejut, di belakang suami ada mobil pic up, lalu mobil itu berhenti di depan rumah. Di atas mobil tersebut ada motor scoopy keluaran terbaru.
"Motor siapa, Pah?" tanyaku karena mereka menurunkan motor tersebut.
"Kita, Mah, biar Mamah bisa bergaya dikit," kata suami sambil membantu menurunkan motor.
Aku masih bingung ketika kami masuk rumah, suami menyerahkan kotak kecil.
"Untuk, Mamah," kata suami sambil tersenyum.
Segera kubuka kotak kecil itu, ternyata isinya kalung dan cincin.
"Ini emas, Pah?"
"Ya, Iya, itukan ada suratnya." jawab suami.
"Ikeeeennn," teriak suami memanggil anak tunggalnya. Iken adalah panggilan sayang suami pada Makmur anak kami, katanya itu panggilan untuk anak lelaki di daerah asal mertua.
Makmur yang lagi main di belakang rumah lalu datang tergopoh-gopoh.
"Wah, scoopy baru," kata Makmur seraya mengelus jok motor baru itu.
"Ini untukmu," kata suami seraya menyerahkan tas kecil bertulisan ponsel.
Makmur memeriksa isi tas itu, ternyata isinya HP andorid merk Oppo. "Yeeeesss," kata Makmur seraya menuniukkan kepalan tangannya. Dia tampak senang sekali, matanya berbinar, memang sudah lama dia ingin HP andorid. Di komplek ini hanya dia anak yang belum punya HP, bahkan yang masih kelas tiga SD pun ada HP-nya.
"Hei!" kata suami seraya menunjuk Makmur.
"Oh, lupa, Pah, Alhamdulillah," kata Makmur seraya sujud syukur.
"Haa, gitu, bukannya yes yes entah apa," kata suami.
"Pah, dari mana Papah dapat duit?" tanyaku heran.
Bagaimana tidak heran, Itu motor sudah dua puluhan juta, perhiasan sepuluh juta, HP baru lagi. Jangan-jangan suami menerima tawaran yang lima puluh juta itu?
"Jangan bilang lagi Papah suami gak peka ya, Mah," jawab suami.
"Pah, Papah terima tawaran Erwin itu, Ya?" tanyaku lagi.
"Gak, Mamah, udah, itu motor impianmu, besok kalau ada pengajian jangan minder lagi ya, Mah,"
"Pah?" tanyaku lagi, tapi suami sudah ngeloyor ke kamar mandi.
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kaya.Rasa penasaran terus saja menghantuiku, dari mana suami dapat duit? Rasa penasaran juga yang membuat aku diam-diam memeriksa saku celananya ketika dia solat. Astaga! masih ada segepok uang di sakunya. Jangan-jangan suami sudah bertemu lagi dengan Erwin? Jangan-jangan? Ah, berbagai macam pertanyaan bergelayut di kepala. "Pah, uang Papah banyak, ya?" kataku ketika kami hendak tidur. "Mamah periksa kantong Papah?" tanya suami. "Iya, Pah, maaf, memang uangnya dari mana?" tanyaku lagi. "Udah, Mah, pokoknya halal," jawab suami acuh tak acuh. "Maaf, Pah, maafkan sikapku yang kekanakan," kataku lagi seraya merebahkan kepala di dada bidangnya. "Iya, Mah, Papah juga minta maaf, belum bisa membutuhi kebutuhanmu," kata suami seraya mengelus rambutku. Sampai akhirnya aku tertidur di dadanya. Aku memang istri yang manja, sudah lima belas tahun berumah tangga aku masih sering ngambek tak jelas, masih suka bermanja-manja ketika mau tidur. Besok
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaSemenjak punya motor baru, Bu Bondan selalu mencibir bila aku lewat di depan rumahnya, mana pula tak ada jalan lain, hanya itu satu-satunya jalan. Akan tetapi nasihat suami supaya jangan dipedulikan masih bisa kujalani. Apapun katanya, pura-pura saja enggak dengar. Pagi itu aku sedang menyiram bunga yang ada di halaman. Sekalian cuci motor baruku. Bu Irma tetangga depan rumah datang. "Selamat pagi, Bu Yanti," sapanya ramah. Dari sekian banyak warga komplek, hanya ibu ini satu-satunya yang ramah padaku. "Pagi juga, Bu," jawabku seraya menghentikan aktivitas. "Motor baru, Ya, Bu?" katanya lagi. "Iya, Bu," jawabku singkat. "Boleh minta sedikit srenya, Bu Yanti," "Boleh, boleh, ambil saja, Bu," Di sekitar pekarangan rumah memang ada beberapa tanaman yang sudah ada sejak dulu, mulai dari sre, kunyit, jeruk nipis ada di sini. Suami suka berkebun. Bu Irma lalu masuk dan mengambil sendiri sre itu. Bu Bondan datang. "Lagi ngapain, Bu Irma
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaMakmur anakku boncengan sama suami, sedangkan aku bawa scoopy baru. Kami jalan malam itu, ketika lewat di depan rumah Bu bondan, suami bunyikan klakson untuk menyapa Pak Bondan yang kebetulan duduk di teras rumahnya. "Malam, Pak," sapa suami sambil melambaikan tangan. "Gak pernah kutuan!" teriak Bu Bondan yang ternyata berdiri di depan pagar rumahnya. Mungkin dia lagi mengintip kami. Aku hanya tersenyum melihat kebingungan suami dengan perkataan Bu Bondan. Sepanjang jalan melewati komplek semua mata seakan tertuju kepada kami, atau perasaanku saja yang begitu. Akan tetapi setiap orang seperti menatap lain pada kami. Aku pengen makan bakso, Makmur pengen ayam penyet sedangkan suami pengen nasi soto. Tak ada warung yang sekaligus menjual itu semua, jadilah kami kunjungi warung satu persatu. Pertama warung ayam penyet menuruti kemauan Makmur, baru warung bakso, terakhir soto Medan. Norak, ya. "Apa maksudnya gak pernah kutuan, Mah?" tany
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaAku langsung berlari ke kamar, tempat kotak kecil itu berada, di situ ada surat hibah dan sertifikat tanah. Ada juga surat nikah almarhum mertua beserta surat penting lainnya.Benar saja kotak kayu berukiran itu sudah terbuka, isinya berserakan di lantai."Pah, Papahh!" teriakku histeris.Suami datang, akan tetapi dia tetap tenang, suamiku ini memang tipe orang yang tak mudah panik. Akan tetapi masalah begini sudah sepantasnya panik."Tenang, Mak, ambil napas panjang dulu," kata suami, dasar!"Papah gimana, sih, surat hibah itu, Pah, hilang, Papah malah suruh ambil napas?" kataku setengah berteriak."Tenang, Mah, sudah Papah antisipasi ini," kata suami."Antisipasi, antisipasi, macam pengacara aja sekarang omongan Papah," kataku seraya memunguti surat lain yang berserakan.Tanpa di suruh, tetangga kiri kanan masuk r
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaSuami tidur siang di dalam rumah. Ini untuk yang pertama kali suami tidur siang, selama ini dia anti dengan yang namanya tidur siang, kalau lagi libur dia berkebun di belakang rumah. Aneh memang, akan tetapi itulah suamiku.Akhir-akhir ini memang selalu ada untuk yang pertama kali, pertama kali beli perhiasan, pertama kali makan diluar. Bukan karena suami anti makan atau anti penyedap rasa. Bukan, akan tetapi begitulah, kami hidup dalam kesederhanaan. Kalaupun aku pengen bakso, paling suami beli yang sudah dibungkus, makannya di rumah.Aku masih duduk di bangku kayu depan rumah. HP jadul terus kupantengi, mana tahu Pak Abdul telepon balik. Ada motor besar berhenti depan rumah. Seorang pria turun dari motor tersebut. Aku kenal pria itu, dia Pak Lubis, pengacara yang pernah datang ke rumah."Selamat pagi, Bu," kata Pak Lubis seraya menyalamiku."Pagi juga, Pak, suami saya la
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaPart 11Perjalanan menuju rumah Elsa terasa lama, aku penasaran seperti apa Elsa ini."Makasih ya Mah," kata suami sambil melihat wajahku di kaca spion."Makasih untuk apa, Pah?" jawabku seraya mengencangkan pegangan."Makasih telah cemburu," kata suami."Idihh, Papah," aku mencubit pinggangnya."Cemburu itu tandanya cinta," kata suami lagi."Iya, Pah, mamangnya siapa si Elsa ini? Sudah lama kenal? Kenal di mana?" tanyaku lagi."Udah, Mah, nanti juga ketemu," kata suami seraya membelokkan motor ke satu komplek perumahan elit.Setelah lapor ke satpam dan meninggalkan KTP, kami lanjut masuk. Suami menghentikan motor di depan rumah besar. Lalu menekan bel. Tak berapa lama kemudian muncu
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaRumah yang kami tempati kini rumah petak yang hanya ada satu kamar. Jaraknya dari komplek sekitar dua kilometer. Karena memang tak punya banyak barang acara pindahan kami lebih mudah. Tak sampai setengah hari sudah selesai semua. Suami tak cerita lagi soal tanah empat hektar, bagaimana lanjutannya aku juga tak tahu. Sifat suami yang memang pendiam dan tertutup. Bahkan dia bisa merahasiakan simpanannya selama lima belas tahun. Akan tetapi aku yakin dan percaya suami berbuat demi kebaikan kami. Keesokan paginya aku datang lagi ke komplek itu, ditemani Makmur anakku kami naik motor baru. Aku ingin melihat bagaimana bunga-bunga yang tak bisa kubawa. Di pintu masuk komplek sekuriti yang berjaga menunduk hormat padaku. Ini tak biasa, biasanya bila aku yang lewat dia akan pasang wajah sangar. Apa sekuriti ini sudah tahu yang sebenarnya? Aku terkejut melihat bunga-bunga itu, banyak yang sudah tercabut dari potnya, ada juga yang potnya ikut hila
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaPov Bu BondanPertama pindah ke komplek ini aku sudah gerah melihat tetangga sebelah rumah. Semua rumah sama modelnya kecuali rumah itu. Lahannya lebih luas akan tetapi bangunannya lebih pantas disebut kandang ayam dari pada rumah.Bagaimana tak disebut kandang ayam, dindingnya saja masih dari anyaman bambu, jaman yang sudah modern begini, di komplek perumahan tergolong elit, masa ada rumah dinding bambu? kan gak level.Begitu kami pindah kemari yang pertama kuprotes adalah rumah itu, pihak developer berjanji akan mengusir mereka, akan tetapi menunggu ada alasan untuk mengusir.Di komplek ini aku termasuk yang paling tua, penghuni di sini rata-rata pasangan muda hanya kami pasangan pensiunan. Bondan anak bungsuku sudah remaja. Kami termasuk terlambat beli rumah. Sudah tua baru bisa beli, itu pun dengan cara kredit.Pernah suatu pagi aku bertandang ke rumah tetangga
Tiba sudah hari keberangkatan Pak Abdul, entah kenapa aku merasa sedih sekali. Baru beberapa bulan kurasakan bagaikan punya mertua. Kini Pak Abdul akan pergi lagi.Tak terasa air mataku menetes ketika melepas Pak Abdul di Bandara. Aku salim seraya berurai air mata."Jangan nangis, Maen, kita akan tetap berhubungan, kan ada WA?" kata Pak Abdul seraya membelai rambut ini.Akan tetapi aku justru makin menangis, sedih rasanya perpisahan ini. Pak Abdul berangkat juga, tujuannya masih ke Malaysia, dari Malaysia kemudian baru ke Arab Saudi. Pak Abdul benar-benar melepas semua hartanya yang tertinggal. Elsa dapat pabrik dan satu rumah, sedangkan kami dapat dua rumah. Habis sudah semua harta Pak Abdul. Keponakannya dari pihak istri pun masing-masing dapat satu rumah."Kalau ada kabar aku kenapa-kenapa di Mekkah, tak usah kalian repot-repot datang, ada yang urus aku di sana, satu lagi pintaku, tolong urus makam istri dan dua putriku, jangan
"Makmur!" teriakku memanggil anak tunggalku tersebut.Makmur datang dengan tergopoh-gopoh, rambutnya masih basah, dia hanya memakai handuk. Mungkin dia terkejut mendengar suara panggilan yang menggelelegar. Yah, memang beginilah Mamahnya ini, suaranya bisa mengalahkan suara enggang, mudah marah, suami bilang sumbu pendek."Makmur, kau sebarkan video Ibu ini, Ya?" Tanyaku dengan nada tegas."Gak koq, Mah, video itu aja udah hapus dari HP-ku, Ibu itu yang hapus," jawab Makmur."Hei, kecil-kecil sudah pandai bohong ya, terus siapa lagi kalau bukan kau?" hardik Bu Bondan."Makmur, sini dulu, Nak, sekarang jelaskan bagaimana bisa tersebar," kataku sambil merangkul pundak Makmur, kasihan juga melihatnya dia dibentak Bu Bondan."Aku hanya kirim ke Bang Bondan, terus Ibu ini marah lalu menghapus sendiri dari HP-ku," jawab Makmur."Untuk apa kau kirim sama Bondan, Nak?" Aku melunakkan nada bicara, dia
Dendam BerkaratPov Pak AbdulHidupku terus dibayang-bayangi rasa bersalah, karena ketelodoranku istri dan dua orang putriku pergi untuk selama-lamanya. Aku merasa tak berguna, tak bisa melindungi orang-orang yang paling kusayangi.Tiga pusara berdekatan itu kudatangi lagi, di nisan tertulis nama orang-orang yang paling kusayang di dunia ini. Aku terduduk menangis sesenggukan. Mereka pergi untuk selama-lamanya karena keegoisanku, seandainya dulu aku tak berbisnis kotor, seandainya dulu kuturuti kata istri. Mungkin ..."Aku berjanji akan menuntut balas pada orang-orang yang membuat kita harus berpisah, aku berjanji," batinku seraya memandangi tiga pusara itu.Tadinya aku sudah ikhlas dengan kepergian mereka yang paling kucintai, mungkin Tuhan lebih sayang pada mereka, aku akan turuti permintaan terakhir istriku. Taubat, ya, aku bertaubat, melepas semua bisnis tak jelas, menjual hampir seluruh properti. Menghabiskan waktu di Arab Sa
"Makmur, sini dulu kau?" kudengar Bu Bondan memanggil anakku si Makmur. Saat itu aku seperti biasa menyiram bunga. Makmur kebetulan lewat depan rumah Bu Bondan, dia mau pergi main ke rumah kawannya.Penasaran kumendekat mencoba menguping pembicaraan mereka. Akan tetapi aku tak dengar juga. Penasaran juga, kulihat Bu Bondan seperti marah, dan anakku menunduk lalu mengeluarkan HP-nya. Terus Bu Bondan memainkan HP tersebut. Ada apa ya?"Makmur!" kupanggil anakku seraya datang mendekati mereka."Hei Bu Yanti, HP itu berbahaya untuk anak sebesar dia, mentang-mentang kaya anak-anak pun dikasih HP," kata Bu Bondan."Dia sudah SMP, Bu Bondan, sudah wajar punya HP," jawabku kemudian."Wajar sih, wajar, tapi dia rekam orang sembarangan," kata Bu Bondan."Kau rekam apa, Makmur?" selidikku."Pesta kita itu, Mah, itu yang kutunjukkan sama Mamah tempo hari," jawab Makmur."Oh, itu, maaf, Bu Bon
Pov Bu BondanGara-gara uang cicilan rumah yang kutilep suamiku jadi berubah total. Dia yang dulu bisa kuatur dan kendalikan kini berubah seratus delapan puluh drajat. Biasanya dia selalu mendukung apapun tindakanku, memusuhi siapapun yang kumusuhi. Dia yang dulu bagaikan anjing manis yang selalu setia kini berubah jadi kucing nakal. Setelah tiga hari dia tak pulang, aku sungguh terkejut ketika dia pulang di tengah malam, bersamanya ada seorang wanita muda, tak cantik memang. Akan tetapi dia muda tentu saja aku kalah. "Apa-apaan ini, Bang?" tanyaku sambil berkacak pinggang. "Maaf, Dek, aku sudah jenuh dengan prilakumu, suami sendiri pun kau gosipkan entah ke mana-mana, aku sudah berusaha menutup aibmu tapi kau buka sendiri," jawab suami. "Ini siapa?" tanyaku seakan tak percaya. "Ini adik madumu, masih kau ingat pernah bilang silakan aku menikah lagi," jawab suami. Aku lalu mengingat-ingat, banyak sudah yang kubilang tentang suami, oh, aku baru sadar, waktu itu orang lagi ramai
Pondok yang ada di sudut halaman rumah jadi tempat kesukaan suami. Setiap sore dia suka duduk di situ sambil memandangi bunga dan kolam ikan. Seperti sore itu ketika aku menyiram bunga dia seperti duduk termenung."Ada apa, Pah? Melamun aja dari tadi?" tanyaku sambil terus menyiram bunga."Papah sedang berpikir, Mah, apa yang akan kita lakukan sebagai bentuk rasa syukur kita?" kata suami."Buat saja entah apa, Pah, bangun masjid kek, bangun sekolah mengaji kek, atau kawin lagi kek?" jawabku sambil melirik bagaimana reaksinya."Pas sekali," tiba-tiba suami bersorak sambil turun dari pondok."Papah mau kawin lagi?" mataku melotot.Suami memegang kedua pipiku, lalu mencium kening ini, "ide Mamah memang paten," kata suami.Tentu saja aku terheran-heran, ide yang mana?Suami lalu sibuk dengan andorid-nya, aku menghentikan aktivitas, sambil melirik HP suami. Lalu dia menelepon ent
Rumah telah selesai seratus persen, tinggal mengisi perabotan. Kami mulai belanja sofa dan tempat tidur. Beberapa truk toko perabotan mulai berdatangan. Ketika truk yang mengangkat springbed terpaksa berhenti di depan rumah Bu Bondan karena menunggu truk lain keluar. Bu Bondan mulai kumat penyakitnya.Dia memarahi supir truk karena parkir depan rumahnya. Aku yang mengawasi penurunan barang sempat mendengar keributan Bu Bondan."Hei, gak ada otak kau ya, parkir sembarangan di depan rumah orang," kata Bu Bondan."Maaf, Bu, hanya sebentar tunggu itu keluar, lagian gak nutupi pintu, koq," kata si sopir."Mentang-mentang beli springbed baru, harus parkir di depan rumah orang, maksudnya apa coba? Pamer, apa lagi," Bu Bondan mengoceh sendiri.Aku hanya tersenyum mendengar ocehan Bu Bondan, aku tahu dia hanya kepanasan melihat springbed merk ternama itu. Penyakitnya irinya memang belum sembuh. Kasihan juga melihatnya. Apa kami
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaPov Bu BondanSuamiku yang dulu selalu menurut apa mauku kini mulai bertingkah, dia mulai tak mau dukung aku bila mengghibah, aku benci penolakan.Pagi itu kami bertengkar hebat, masalahnya adalah uang cicilan rumah yang nunggak, dia paksa aku bayar, karena memang uangnya sudah dia berikan. Tadinya aku yakin cicilan akan diputihkan bila kami semua warga komplek kompak tidak bayar. Makanya uang yang diberikan suami kubelikan gamis dan tas branded. Akan tetapi dugaanku keliru, kami tetap harus bayar. Hanya denda yang dihilangkan.Sorenya suami tak pulang, ketika kuhubungi dia tak mau pulang kalau cicilan rumah itu belum beres. Aku harus bagaimana? Uangnya sudah kubelikan tas, sepatu dan gamis baru, bila dijual kembali pun tak akan cukup untuk bayar sampai sudah jalan empat bulan.Solusinya cuma satu, cicilan harus mereka putihkan. Aku akan ajak warga komplek untuk kompak jangan mau baya
Pagi itu tanpa sengaja aku menguping Pak Abdul lagi menelepon. Saat itu masih subuh, aku terbangun mendengar suara Pak Abdul, sementara suami dan anakku masih tidur. Pak Abdul memang menginap lagi di rumah malam itu."Ambil saja semua pembayaran rumah itu, aku puas cara kerjamu," kata Pak Abdul entah berbicara dengan siapa."Iya, iya, gunakan semua koneksi yang ada, jangan ragu kalau masalah dana," kata Pak Abdul lagi."Setelah ini selesai aku pulang, kuserahkan sama kau dua rumahku, kerjakan dengan rapi," Pak Abdul lanjut menelepon.Aku pura-pura tak mendengar saja, lanjut ke kamar mandi dan cuci piring bekas makan kami tadi malam. Selanjutnya kubangunkan anak dan suami, kami berempat solat subuh berjamaah. Baru Pak Abdul pamit mau mengerjakan sesuatu, begitu katanya.Siang harinya aku dan suami makan di luar, rumah makan padang jadi pilihan suami kali ini, dia memesan gulai kepala ikan kakap. Dia memang suka it