Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kaya"Pah, nanti kalau kita kaya aku ingin punya taman bunga," kataku pada suami. Malam itu kami lagi duduk berdua di depan TV."Beli mobil gak jadi, Mah?" jawab suami, matanya tetap pokus ke layar TV."Gak usah, Pah, lagian gak perlu kali," jawabku kemudian."Perlulah, Mah, kalau kita pergi bertiga sama Makmur, kan gak muat di motor."."Gak usah, Pah, nanti punya mobil Papah bertingkah,""Bertingkah bagaimana, Mah?""Kan punya mobil, tampan lagi, nanti digaet pelakor,""Hahaha,""Ketawa sih, Pah?""Mah, ujian itu bermacam-macam, kita sudah melewati ujian kemiskinan selama lima belas tahun, kita lulus, Mamah bisa sabar, kini Tuhan mungkin menguji kita dengan kekayaan, kita harus lulus juga, Mah, jangan berpikir yang macam-macam." kata suami panjang lebar.Suami memang jarang bicara, akan tetapi jika bicara selalu mengena.&nb
Dua minggu berlalu, entah kenapa aku rindu taman bungaku, entah sudah bagaimana nasibnya. Aku kini tak boleh lagi asal pergi ke sana, kata suami kalau mau ke sana harus sama suami. Istilah suami aku ini sumbu pendek, mudah meledak bila diusili orang."Pah, kita lihat rumah kita, Yuk?" ajakku di suatu pagi di hari minggu ketika suami libur kerja."Itu belum rumah kita, Mah," jawab suami."Jadi rumah siapa, Pah? tanahnya semua punya kita?""Perkaranya sudah didaftarkan ke pengadilan, Mah, sebelum putusannya keluar kita tak boleh melakukan aktivitas pembangunan," kata suami menjelaskan."Rumit kali, Pah, terus bagaimana taman bungaku?" tanyaku lagi."Mau diapakan lagi, tunggulah, Mah, urusannya kelar, baru kalau mau berkebun bunga satu hektar pun silakan," kata suami."Papah sih, ada urusan yang mudah malah mau yang sulit." kataku sewot."Sabar, napa, Mah?" suami tetap terlihat tenan
Pak Abdul Sani (Preman insyaf)Untuk melengkapi cerita penulis coba menceritakan latar belakang Pak Abdul menghibahkan tanah empat hektar, kali ini penulis akan pakai pov 3.Syukur dan Abdul adalah teman akrab sejak muda. Akan tetapi punya nasib yang jauh berbeda. Mereka berdua sama-sama berasal dari desa. Mengadu nasib di kota Medan. Kerasnya kehidupan jalanan membuat mereka jadi penjahat kecil-kecilan. Mulai dari copet di pasar sambu, sampai memeras orang yang datang dari desa.Syukur dan Abdul muda pernah dipenjara karena kasus pencurian. Sejak keluar dari penjara jalan hidup mereka seperti beda jauh. Syukur pilih bertaubat, dan bekerja yang halal. Tidak dengan Abdul, penjara justru membuat dia makin tenggelam di dunia hitam.Syukur jadi tukang becak sedang Abdul jadi kepala keamanan di klub malam.Suatu hari Abdul menawarkan kerjasama dengan Syukur, Abdul punya ambisi membuka klub malam sendiri, akan tetapi terbent
"Pah, sesekali kita liburan napa, Pah, kek orang-orang," kataku di suatu sore. Saat itu suami lagi asyik dengan HP barunya."Mau liburan ke mana, Mah, kampung kita gak punya," jawab suami tanpa mengalihkan pandangan dari layar HP.Semenjak Pak Abdul suruh buat WA, suaminya memang beli HP baru, dia beli dua sekaligus, untukku dan untuknya. Akan tetapi sejak punya HP, suami seperti keasyikan sendiri. Pulang kerja tak lagi urus kebun, karena kebun memang sudah tak ada lagi. Langsung main HP sampai magrib."Jumat kan tanggal merah, Pah, berarti ada waktu tiga hari, kita liburan yuk?" ajakku lagi."Ya, kita memang liburan, tapi di rumah saja," jawab suami."Papah ini kayaknya gak bakal lulus ujian ini," kataku seraya melirik layar HP-nya."Ujian apaan sih, Mah?" tanya suami seraya melihatku sekilas, hanya sekilas, kemudian asyik lagi dengan android-nya."Papah yang bilang, hidup itu ujian, kita sud
"Papah!" teriakku lagi, akan tetapi suami tak ada, dia memang pergi cari Makmur, lalu ku hubungi lewat telepon. "Papah, Makmur, Pah," kataku begitulah telepon tersambung. "Iya, Mah, kenapa Makmur?" "Makmur diculik, Pah," Tak sampai sepuluh menit suami sudah datang, dia tak lagi tenang seperti biasa, rupanya kalau soal anak dia panik juga. Kuperlihatkan pesan yang masuk ke messenger-ku. Pesan dari seseakun bernama "Pencari keadilan", suami lalu melihat dan meneliti pesan itu, entah apa yang ada di pikiran suami. "Pah, anakku, kembalikan anakku, Pah," kataku seraya menangis histeris. "Iya, Mah, tenang, dulu, Mah," kata suami. "Tenang, tenang, itu aja Papah dari dulu," tangisku makin menjadi. Gawaiku berbunyi ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal, segera kuangkat. 'Jika ingin anak Anda selamat, turuti apa yang kami katakan," kata seseorang dari seberamg. Suami lalu meminta HP itu, kuhidupkan speaker sebelum memberikan pada suami. "Halo, siapa Anda? Apa yang Anda inginka
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaPov ErwinPunya paman seorang mafia itu ngeri-ngeri sedap. Ngeri-nya bila beliau ngamuk, sedapnya bisa jadi beking bila kita ada masalah. Bahkan aparat pun bila tahu aku keponakan Abdul Sani akan seganPamanku Abdul Sani adalah pengusaha sukses yang betul-betul mulai dari nol. Mulai dari punya kafe punggir jalan sampai pemilik hotel. Kebanyakan bisnisnya memang seputar dunia malam. Itulah yang membuat beliau disebut orang mafia.Aku dan ayah yang sakit-sakitan diboyong Paman dari desa. Waktu itu aku masih SMP, sekolahku dibiayai Paman, ayahku juga ditanggung pengobatannya. Selepas SMA aku kuliah di salah satu Perguruan tinggi swasta di kota Medan. Ambil jurusan hukum, kata Paman aku berbakat jadi pengacara.Setelah lulus, aku langsung magang di salah satu firma hukum kenalan Paman Abdul. Lokot Lubis namanya. Di sinilah aku mulai tahu seluk beluk kota ini."Hid
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kaya"Makin tinggi pohon, makin kencang angin meniupnya." Begitu kata Bu Elsa ketika kami bertemu di kantor polisi dalam rangka melaporkan Erwin dan kelompoknya."Maksudnya, Bu?" tanyaku kemudian."Kalian tiba di masa puncak, akan makin banyak cobaan untuk kalian, semoga kalian bisa bertahan, karena banyak orang bisa tabah dan sabar ketika miskin, akan tetapi berulah setelah kaya,""Tidak akan, Bu, justru karena kami sudah merasakan bagaimana kesulitan hidup bisa membuat kami menghargai dan menjaga bila dititipkan Tuhan Harta," kata suami bijak.Mungkin Erwin tidak sadar atau bisa juga sudah menyerah, dengan mudah dia ditangkap polisi. Dia dijerat dengan pasal berlapis. Penculikan, pembunuhan, pemalsuan surat tanah. Sedangkan Pak Lubis lari entah kemana. Konon dia jadi buronan. Dipikir-pikir aneh juga, dia sudah mapan sebagai pengacara, akan tetapi masih berbuat yang seperti itu.&nbs
Pov Erwin 2Aku mendadak kaya, punya jabatan di dewan komisaris perusahaan pengembang, jabatan yang hanya sekedar penghargaan memang. Akan tetapi aku berubah total. Dapat dana segar dua milyar yang kubagi dua dengan Pak Lubis.Aku selalu mewanta-wanti pihak pengembang supaya jangan mengganggu keluarga Subur, biar saja mereka di, situ, suatu hari, aku yakin mereka akan pindahan sendiri. Yang kukawatirkan bila mereka diganggu bisa saja mereka mengadukan ke Paman, kalau Paman sampai tahu, bisa hancur aku, semoga saja paman cepat meninggal.Yang kutakutkan terjadi juga, entah dari mana mereka dapat nomor Pak Abdul, entah angin apa yang membuat Pamanukan itu tiba-tiba bisa ditelepon, padahal dia itu paling sulit untuk dihubungi. Hari itu tiba-tiba paman menelepon."Hei, Win! Maksudmu apa sekarang? mau cari mati kau?" begitu langsung perkataan Pak Abdul. Pamanku ini orangnya tegas, dia dulu pernah memotong tangan orang yang coba mencuri uangnya.&nbs
Tiba sudah hari keberangkatan Pak Abdul, entah kenapa aku merasa sedih sekali. Baru beberapa bulan kurasakan bagaikan punya mertua. Kini Pak Abdul akan pergi lagi.Tak terasa air mataku menetes ketika melepas Pak Abdul di Bandara. Aku salim seraya berurai air mata."Jangan nangis, Maen, kita akan tetap berhubungan, kan ada WA?" kata Pak Abdul seraya membelai rambut ini.Akan tetapi aku justru makin menangis, sedih rasanya perpisahan ini. Pak Abdul berangkat juga, tujuannya masih ke Malaysia, dari Malaysia kemudian baru ke Arab Saudi. Pak Abdul benar-benar melepas semua hartanya yang tertinggal. Elsa dapat pabrik dan satu rumah, sedangkan kami dapat dua rumah. Habis sudah semua harta Pak Abdul. Keponakannya dari pihak istri pun masing-masing dapat satu rumah."Kalau ada kabar aku kenapa-kenapa di Mekkah, tak usah kalian repot-repot datang, ada yang urus aku di sana, satu lagi pintaku, tolong urus makam istri dan dua putriku, jangan
"Makmur!" teriakku memanggil anak tunggalku tersebut.Makmur datang dengan tergopoh-gopoh, rambutnya masih basah, dia hanya memakai handuk. Mungkin dia terkejut mendengar suara panggilan yang menggelelegar. Yah, memang beginilah Mamahnya ini, suaranya bisa mengalahkan suara enggang, mudah marah, suami bilang sumbu pendek."Makmur, kau sebarkan video Ibu ini, Ya?" Tanyaku dengan nada tegas."Gak koq, Mah, video itu aja udah hapus dari HP-ku, Ibu itu yang hapus," jawab Makmur."Hei, kecil-kecil sudah pandai bohong ya, terus siapa lagi kalau bukan kau?" hardik Bu Bondan."Makmur, sini dulu, Nak, sekarang jelaskan bagaimana bisa tersebar," kataku sambil merangkul pundak Makmur, kasihan juga melihatnya dia dibentak Bu Bondan."Aku hanya kirim ke Bang Bondan, terus Ibu ini marah lalu menghapus sendiri dari HP-ku," jawab Makmur."Untuk apa kau kirim sama Bondan, Nak?" Aku melunakkan nada bicara, dia
Dendam BerkaratPov Pak AbdulHidupku terus dibayang-bayangi rasa bersalah, karena ketelodoranku istri dan dua orang putriku pergi untuk selama-lamanya. Aku merasa tak berguna, tak bisa melindungi orang-orang yang paling kusayangi.Tiga pusara berdekatan itu kudatangi lagi, di nisan tertulis nama orang-orang yang paling kusayang di dunia ini. Aku terduduk menangis sesenggukan. Mereka pergi untuk selama-lamanya karena keegoisanku, seandainya dulu aku tak berbisnis kotor, seandainya dulu kuturuti kata istri. Mungkin ..."Aku berjanji akan menuntut balas pada orang-orang yang membuat kita harus berpisah, aku berjanji," batinku seraya memandangi tiga pusara itu.Tadinya aku sudah ikhlas dengan kepergian mereka yang paling kucintai, mungkin Tuhan lebih sayang pada mereka, aku akan turuti permintaan terakhir istriku. Taubat, ya, aku bertaubat, melepas semua bisnis tak jelas, menjual hampir seluruh properti. Menghabiskan waktu di Arab Sa
"Makmur, sini dulu kau?" kudengar Bu Bondan memanggil anakku si Makmur. Saat itu aku seperti biasa menyiram bunga. Makmur kebetulan lewat depan rumah Bu Bondan, dia mau pergi main ke rumah kawannya.Penasaran kumendekat mencoba menguping pembicaraan mereka. Akan tetapi aku tak dengar juga. Penasaran juga, kulihat Bu Bondan seperti marah, dan anakku menunduk lalu mengeluarkan HP-nya. Terus Bu Bondan memainkan HP tersebut. Ada apa ya?"Makmur!" kupanggil anakku seraya datang mendekati mereka."Hei Bu Yanti, HP itu berbahaya untuk anak sebesar dia, mentang-mentang kaya anak-anak pun dikasih HP," kata Bu Bondan."Dia sudah SMP, Bu Bondan, sudah wajar punya HP," jawabku kemudian."Wajar sih, wajar, tapi dia rekam orang sembarangan," kata Bu Bondan."Kau rekam apa, Makmur?" selidikku."Pesta kita itu, Mah, itu yang kutunjukkan sama Mamah tempo hari," jawab Makmur."Oh, itu, maaf, Bu Bon
Pov Bu BondanGara-gara uang cicilan rumah yang kutilep suamiku jadi berubah total. Dia yang dulu bisa kuatur dan kendalikan kini berubah seratus delapan puluh drajat. Biasanya dia selalu mendukung apapun tindakanku, memusuhi siapapun yang kumusuhi. Dia yang dulu bagaikan anjing manis yang selalu setia kini berubah jadi kucing nakal. Setelah tiga hari dia tak pulang, aku sungguh terkejut ketika dia pulang di tengah malam, bersamanya ada seorang wanita muda, tak cantik memang. Akan tetapi dia muda tentu saja aku kalah. "Apa-apaan ini, Bang?" tanyaku sambil berkacak pinggang. "Maaf, Dek, aku sudah jenuh dengan prilakumu, suami sendiri pun kau gosipkan entah ke mana-mana, aku sudah berusaha menutup aibmu tapi kau buka sendiri," jawab suami. "Ini siapa?" tanyaku seakan tak percaya. "Ini adik madumu, masih kau ingat pernah bilang silakan aku menikah lagi," jawab suami. Aku lalu mengingat-ingat, banyak sudah yang kubilang tentang suami, oh, aku baru sadar, waktu itu orang lagi ramai
Pondok yang ada di sudut halaman rumah jadi tempat kesukaan suami. Setiap sore dia suka duduk di situ sambil memandangi bunga dan kolam ikan. Seperti sore itu ketika aku menyiram bunga dia seperti duduk termenung."Ada apa, Pah? Melamun aja dari tadi?" tanyaku sambil terus menyiram bunga."Papah sedang berpikir, Mah, apa yang akan kita lakukan sebagai bentuk rasa syukur kita?" kata suami."Buat saja entah apa, Pah, bangun masjid kek, bangun sekolah mengaji kek, atau kawin lagi kek?" jawabku sambil melirik bagaimana reaksinya."Pas sekali," tiba-tiba suami bersorak sambil turun dari pondok."Papah mau kawin lagi?" mataku melotot.Suami memegang kedua pipiku, lalu mencium kening ini, "ide Mamah memang paten," kata suami.Tentu saja aku terheran-heran, ide yang mana?Suami lalu sibuk dengan andorid-nya, aku menghentikan aktivitas, sambil melirik HP suami. Lalu dia menelepon ent
Rumah telah selesai seratus persen, tinggal mengisi perabotan. Kami mulai belanja sofa dan tempat tidur. Beberapa truk toko perabotan mulai berdatangan. Ketika truk yang mengangkat springbed terpaksa berhenti di depan rumah Bu Bondan karena menunggu truk lain keluar. Bu Bondan mulai kumat penyakitnya.Dia memarahi supir truk karena parkir depan rumahnya. Aku yang mengawasi penurunan barang sempat mendengar keributan Bu Bondan."Hei, gak ada otak kau ya, parkir sembarangan di depan rumah orang," kata Bu Bondan."Maaf, Bu, hanya sebentar tunggu itu keluar, lagian gak nutupi pintu, koq," kata si sopir."Mentang-mentang beli springbed baru, harus parkir di depan rumah orang, maksudnya apa coba? Pamer, apa lagi," Bu Bondan mengoceh sendiri.Aku hanya tersenyum mendengar ocehan Bu Bondan, aku tahu dia hanya kepanasan melihat springbed merk ternama itu. Penyakitnya irinya memang belum sembuh. Kasihan juga melihatnya. Apa kami
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaPov Bu BondanSuamiku yang dulu selalu menurut apa mauku kini mulai bertingkah, dia mulai tak mau dukung aku bila mengghibah, aku benci penolakan.Pagi itu kami bertengkar hebat, masalahnya adalah uang cicilan rumah yang nunggak, dia paksa aku bayar, karena memang uangnya sudah dia berikan. Tadinya aku yakin cicilan akan diputihkan bila kami semua warga komplek kompak tidak bayar. Makanya uang yang diberikan suami kubelikan gamis dan tas branded. Akan tetapi dugaanku keliru, kami tetap harus bayar. Hanya denda yang dihilangkan.Sorenya suami tak pulang, ketika kuhubungi dia tak mau pulang kalau cicilan rumah itu belum beres. Aku harus bagaimana? Uangnya sudah kubelikan tas, sepatu dan gamis baru, bila dijual kembali pun tak akan cukup untuk bayar sampai sudah jalan empat bulan.Solusinya cuma satu, cicilan harus mereka putihkan. Aku akan ajak warga komplek untuk kompak jangan mau baya
Pagi itu tanpa sengaja aku menguping Pak Abdul lagi menelepon. Saat itu masih subuh, aku terbangun mendengar suara Pak Abdul, sementara suami dan anakku masih tidur. Pak Abdul memang menginap lagi di rumah malam itu."Ambil saja semua pembayaran rumah itu, aku puas cara kerjamu," kata Pak Abdul entah berbicara dengan siapa."Iya, iya, gunakan semua koneksi yang ada, jangan ragu kalau masalah dana," kata Pak Abdul lagi."Setelah ini selesai aku pulang, kuserahkan sama kau dua rumahku, kerjakan dengan rapi," Pak Abdul lanjut menelepon.Aku pura-pura tak mendengar saja, lanjut ke kamar mandi dan cuci piring bekas makan kami tadi malam. Selanjutnya kubangunkan anak dan suami, kami berempat solat subuh berjamaah. Baru Pak Abdul pamit mau mengerjakan sesuatu, begitu katanya.Siang harinya aku dan suami makan di luar, rumah makan padang jadi pilihan suami kali ini, dia memesan gulai kepala ikan kakap. Dia memang suka it