Bab 93"Ma, please." Kubuat wajah memelas agar mama tahu perasaanku. "Wanita ini tentemu," ungkap Mama menundukkan kepala. "Berarti dia adiknya Mama?" Mama diam tak merespon. Kalau Tante Aura adalah tanteku artinya adik mama atau papa. Kenapa harus menyogok adiknya sendiri memang apa yang mereka rahasiakan dari aku. "Bukan, saya bukan adiknya. Saya ini adik dari ibu kandungmu," ucap wanita di hadapan Mama lantang. Tubuhku hampir terhuyung, kalau dia adiknya ibu kandungku artinya aku bukan anak mama. Ya Tuhan cobaan apa ini. "Intan kamu tak apa?" Mama menahan tubuhku agar tak terjatuh. Hal yang tak pernah kuketahui kini terungkap. Aku masih belum bisa mencerna ucapan dari Tante Aura. "Ma, apa benar yang dikatakannya?" "Benar. Dia adik ibu kandungmu, wanita yang melahirkanmu." Seketika itu suara mama berubah menjadi tangisan. Tangisan yang tak kumengerti. Seharusnya aku yang menangis kenapa mama yang melakukan itu. "Ma, kenapa?" Aku berhak tahu kenapa sebesar ini dan sudah m
Bab 94 POV Mama(Masa Lalu)Langkah kakiku gontai menuju tempat itu. Aku mengandeng putri kesayangan. Kedua netra nampak kecewa tapi aku tak akan membiarkan kesedihannya berlarut. Aku tahu aku salah telah merahasiakan semuanya. Kini, aku berdiri di makam seorang wanita yang dicintai suamiku. Aku hanya bisa berdoa semoga mereka bahagia di akhirat walau di dunia mereka tak bersatu. "Ma, mereka?" "Mereka meninggal di tahun yang sama hanya beda dua bulan saja papamu menyusulnya. Wanita yang telah dicintai olehnya." Sungguh sakit hati ini mengatakan hal sesungguhnya. Tapi, aku lebih sakit lagi ketika Intan akan pergi meninggalkanku. Putriku yang mengobati luka dengan senyum dan manjanya. Semua ini dimulai dari masa lalu yang menyakitkan hati. Kukuatkan tubuh ini agar bisa menyelesaikan semuanya. Satu persatu kejadian berputar bagaikan kaset rusak. "Mas, kita harus menikah suka atau tidak." Aku berada di sebuah kontrakan sederhana berdiri di hadapan seseorang berwajah bimbang. Aku m
Bab 95 "Dewi!" Kedua netraku membulat melihat seorang pria gagah dengan balutan jas. "Papa!" Aku malu menatap lelaki cinta pertamaku. Darimana ia tahu aku berada di sini. Tidak, ia tak boleh dengan apa yang terjadi. "Kamu ngapain di hotel?" tanya Papa menatapku dengan rambut basah. "Hanya menginap. Aku suntuk di rumah." Alasan yang tepat untukku. Aku tak mengizinkan Papa untuk masuk. Bisa gawat kalau ia masuk. Jangan sampai ia tahu. Aku yakin Papa akan membunuh pria bule itu. "Pulanglah, kasihan Mama sendirian." "Papa tahu dari mana aku di sini?" "Mobilmu. Masa kamu lupa ini hotel milik siapa?" Aku baru ingat hotel ini milik sepupu Papa. Ada sebagian saham Papa di sini. Suara ponsel Papa berdering, ia segera berpamitan karena ada meeting di hotel ini untung saja Papa tak masuk ke dalam. Kamar hotel ini seperti kamar kandang ayam.Kututup pintu perlahan dan bernapas lega. Setidaknya, saat ini aku aman. Aku segera mengenakan kembali pakaian dan pergi dari kamar ini. **"D
Bab 96(Masa Lalu Mama) "Aku ingin bicara." Bahasa Indonesianya terdengar fasih sepertinya dia sudah lama berada di Indonesia atau bisa saja salah satu orang tuanya keturunan Indonesia. "Aku tak punya urusan denganmu." Kuambil pakaian yang tergeletak di lantai dan meletakkan kembali ke tempat semula. "Benarkah? Apa kamu tak akan menyesal?" Salah satu alisnya terangkat. "Lihatlah, baik-baik!"Hal yang tak aku duga ia memperlihatkan video aku dengannya ketika malam itu. Astaga, sadar tak sadar aku memeluknya. Aku bagaikan wanita binal melakukan hal seperti itu. Sungguh miris sekali. "Ikut aku atau akan aku sebarkan, Dewi," ancamnya dengan tatapan tajam yang menusuk ke jantung. Dari mana dia tahu nama kesayangan keluargaku, ini tak boleh dibiarkan terjadi. Hanya keluargaku yang dapat memanggil nama Dewi sedangkan yang lain tidak. "Ikut aku! Aku tak main-main." Suaranya semakin ditekan. Tangannya menyentuh lembut bagian belakangku. Sungguh menjijikkan lelaki ini. Kenapa aku bisa b
Bab 97 "Anggara, aku ...." "Eh, ada Anggara. Apa kabar calon mantu Mama," sapa Mama muncul di balik pintu rumah. Tanyanya menenteng beberapa belanjaan. "Baik, Ma. Habis belanja?" Mama duduk di dekat kami, aku belum sempat berbicara. Lebih baik aku rahasiakan saja demi kebaikanku juga. Hari pernikahan kami tiba, aku tak pernah menemui Mike lagi. Aku sudah berjanji tak akan melayani pria bejat itu. Nomor ponsel yang lama, aku buang dan aku ganti dengan yang baru. Acara pernikahan kami begitu meriah. Banyak para tamu undangan datang memberikan selamat. Wajah Anggara tampak biasa saja. Aku memaklumi karena ia belum bisa mencintaiku. Hingga malam tiba, aku mengenakan lingerie pilihan mertuaku. Ia bilang kalau Anggara suka warna hitam. Hal yang aku takutkan adalah malam ini. Anggara mendekatiku, menatap tanpa berkedip. Tak ada pria yang tak mau diberikan hidangan seperti ini. "Minum dulu, Mas," panggilku mesra. Ia meneguk air yang sudah aku siapkan. Kami hanya melakukan pemanasan
Bab 98Aku tak menyangka kalau pria berengsek itu masih berada di Indonesia. Apakah dia menetap di negara kelahiranku ini. Segera bersembunyi agar ia tak mengangguk lagi. Kehidupan rumah tanggaku sudah bahagia. Kedua tangan mereka saling bertautan. Beberapa saling berpandangan, terlihat sekali mereka saling mencintai. Wanita dalam genggamannya sepertinya orang Indonesia walau rambut di cat piring. Apakah aku cemburu, tentu saja tidak. Tak ada perasaan apapun di hati ini. Bagiku hanya saja satu pria dalam hidup ini yaitu suamiku. Anggara terlihat mulai mencintai. Setiap sikap dan tutur katanya lembut dan membuatku semakin terbuai. Anggara semoga saja cinta ini selalu ada selamanya. Aku yakin akan ada pelangi setelah badai. Ku buang napas lega ketika mereka keluar dari mall dan segera masuk ke dalam taksi. Sungguh diluar dugaan. Baru saja masuk ke mall sudah bertemu pria berengsek itu. Berharap pria itu pergi selamanya dari negara Indonesia. Aku memutuskan untuk pulang saja. Moodk
"Ma. Mama ...." "Dewi. Mama di mana?" Wajah Mama nampak lingkung. Ia mencari sesuatu. Sesuatu yang terlihat hilang. "Mama di kamar utama. Maaf, kamar Mama tak bisa kami jangkau. " Kamar Mama berada di lantai satu. Para pelayan terpaksa membawanya ke lantai bawah. "Mama, harus pergi!" Seketika itu wajah Mama berubah panik. Tubuhnya hendak bangkit namun aku tahan karena tak ingin sesuatu mempengaruhi kesehatannya. "Mama, mama mau ke mana?" Mama terdiam sejenak, tatapannya kosong. Aku hendak membawanya kembali terbaring. Tetapi, Mama menolak. "Mama harus pergi!" "Mama mau pergi, Dewi antar, ya?Mama menoleh ke arahku. Ia langsung menarik tanganku kasar. Entah ke mana wanita itu akan mengajakku pergi. Hingga kamu berada di dalam mobil. "Kita mau ke mana, Nyonya," tanya supir telah siap untuk melajukan kendaraan. Tiba-tiba Mama terisak dan menutup Wajahnya. Tangan Mama membuka pintu dan berlari ke dalam rumah. Aku hanya bisa memanggil Mama dan mengejarnya. Pintu kamar Mama te
POV Dewi (Masa Lalu) "Maaf, maafkan Mas. Dewi. Semua ini terjadi tanpa diduga." Aku dan suamiku berada di dalam kamar sedangkan wanita itu pulang entah ke mana."Kamu jahat Mas. Kenapa seperti ini caranya." Kupukul dada bidang pria itu. "Demi Tuhan. Semua ini terjadi tanpa sengaja. Aku sungguh menyesal." "Kamu menyesal setelah ia mengandung anakmu. Apa jangan-jangan itu bukan anak kandungmu, Mas." Aku ingat ketika mereka putus karena suamiku mengetahui pekerjaan gadis desa itu adalah seorang wanita malam. "Bukan, Mas salah menduga. Mas membuktikan ketika malam itu terjadi. Ia masih perawan dan yang aku lihat waktu itu bukan Ariana tapi Aura, saudara kembarnya." Tubuhku bergetar hebat. Apa dia bilang seorang perawan. Hampir saja aku terhuyung kalau saja tak ada tangan Anggara, pria yang telah menjadi suamiku. "Dia bukan wanita malam ternyata kembarannya. Maka dari itu izinkan Mas menikahinya." Kedua netra suamiku tampak berbinar. Aku bisa melihat cahaya cinta di kedua netra m
Aku menatap langit begitu cerah, begitu juga suasana pagi ini. Wanita berkebaya putih dengan hijab senada duduk di samping pria yang akan menghalalkannya. Suara bayi menangis berada di sampingku. Bayi itu milik Lisa. Lisa telah melahirkan seorang anak perempuan. Bayi mungil berwajah mirip dengan ibunya. "Mungkin dia haus," ucapku mengusap kepala mungil bayi berusia dua bulan..Wanita yang dipercaya menjaga anak Lisa segera mengambil susu dalam botol. Susu itu bukan susu kaleng atau susu sapi. Tetapi, susu asli dari ibunya langsung yang diambil dan disimpan dalam lemari pendingin. Bayi mungil itu langsung menyedot ASI dalam botol dot dengan cepat. "Kasihan, haus ya." Gemas sekali melihat anak itu. Kuusap perut yang semakin membesar. Sebentar lagi anak ini juga lahir. Tinggal menunggu waktu yang tepat. Ijab kabul mulai di lontarkan. Mas Bro telah memenuhi keinginan Lisa. Ia telah belajar salat dan mengaji. Di hadapan Lisa melantunkan ayat suci Al-Quran. Lisa menerima Mas Bro se
Bab 142 "Mas ngapain di situ?" Aku menoleh ke arah belakang, Rita datang menghampiriku. Ia duduk di samping sambil ikut menikmati keindahan malam. "Bagus pemandangannya." "Tadi acaranya meriah banget, ya. Pengantinnya juga cantik dan serasi.""Iya, Intan selalu cantik," pujiku tanpa menyadari perkataan yang terlontar. "Oh, pantesan dari tadi kamu itu lihatin Intan terus ternyata belum move on!" Rita bertolak pinggang. Ia menjewer telingaku hingga hampir terlepas. "Aduh! Aduh! Sakit Rita!" "Kamu tadi bilang cantik." "Intan perempuan pasti cantik masa aku bilang ganteng. Gak lucu kan?" Rita melepaskan tarikannya dari telingaku. Aku mengusap pelan telinga yang kini terlihat memerah. "Kamu itu cemburu aja. Kamu juga cantik, kok. Gak kalah sama Intan." "Apanya cantik. Boro-boro beli skincare, serum atau pelembab. Pakai bedak sama lipstik aja sudah bersyukur." "Kamu gak pakai bedak juga masih cantik." "Gombal! Mana ada?" "Ada, buktinya kamu." Aku mencolek dagu Rita. Bagaimanap
Bab 141 Setelah aku menganti pakaian. Aku menghampiri putraku di dalam kamar. Jari mungil Bayu menari di atas buku gambar. Memberikan warna yang tepat dan sesuai. "Bayu sedang apa?" tanyaku lembut dan bersahabat. "Mewarnai," ucap anakku polos. Aku menatap hasil gambar anakku. Ia pandai menggambar dan melukis. Hobi baru saat ini. "Siapa yang mengajari kamu?" "Papa." Kuusap lembut surai anakku. Aroma shampo sejak dulu masih sama dan tak berubah. "Bayu, tadi dipanggil Om Rey kok begitu?" Aku mulai bertanya perlahan mungkin ada hubungannya dengan mimpi Bayu kala itu. Ia mengatakan kalau aku tak boleh menikah. "Om Rey akan ambil mama dari Bayu," ucap anakku polos. Tangannya tak berhenti mewarnai. Aku mengernyit heran, apakah ada orang yang berbicara hal tidak-tidak dengannya."Gak mungkin. Kamu anak Mama. Gak ada yang bisa memisahkan kita." Bayu duduk dan menyilangkan kaki. Tatapan polosnya membuatku semakin gemas. "Dulu Papa nikah lagi dan pergi meninggalkan Bayu. Ia memilih T
Bab 140 Kami mengikuti Om Leo bersama gadis muda. Ia tampak seperti anak kuliahan. Usianya sekitar dua puluh tahun. Om Leo tampak mengusap paha gadis yang mengenakan rok mini itu. Suara manja terdengar di bibirnya. Aku pastikan kalau hasrat Om Leo sedang naik. Mata yang pernah aku lihat ketika ia melihat bagian sensitifku. "Bagaimana aku makan makanan ini kalau pakai masker?" keluh Rey yang sejak tadi menatap makanannya. "Pindah duduk di sini. Mereka tak akan bisa melihat wajahmu." Rey mengikuti apa yang aku sarankan, pria itu makan dengan lahap. Aku mencegah kepalanya agar tak menoleh ke arah Om Leo. "Makan saja jangan tengok-tengok." "Calon istriku luar biasa," pujinya menatapku. Kami memilih duduk di dekat pot besar jadi tubuh Rey tertutup tanaman itu. Om Leo juga tak menyadari kehadiran kami di sini. Rey sudah selesai dengan makanannya. Aku meminta pelayan untuk membungkusnya saja. Segera membayar tagihan restauran dan bangkit dari duduk. "Papa masih di dalam kenapa kita
Bab 139Kaki Rey sudah lebih baik, aku selalu menemaninya ke mana saja. Serly sudah pulang ke Indonesia. Sedangkan Tante Aura masih ada urusan di negara ini.Adel sudah kembali ke rumahnya. Aku bahagia melihat keadaan Bundanya Adel. Ia masih mengingatku tak seperti dulu. Ganggu jiwanya sudah sembuh. Adel dan Om Arga saling bekerja sama untuk merawatnya. Mereka Keluarga yang kompak apalagi On Arga mampu menjadi sosok ayah untuk Adel. "Kalau kita sudah menikah kamu mau anak berapa?" tanya Rey ketika kami berjalan-jalan ke taman. Suasana dan cuaca hari ini sangat mendukung kami untuk menikmati keindahan negara Singapura. Rey, masih mengunakan kursi roda. "Nikah aja belum sudah tanya mau anak berapa?" "Ya, namanya rencana masa depan. Jadi harus di perkirakan." "Memangnya kamu sanggup berapa?" Kehentikan langkah di depan air mancur. Aku berdiri tepat di hadapan Rey, kuangkat dagu ke arah pemuda itu. "Kamu mau ronde berapa?" godanya mengerlingkan mata. "Nakal!" Kujewer telinganya p
Bab 138 Aku dan Serly telah berada di bandara Singapura. Reyhan dan teamnya berada di sini. Kami berjalan menuju hotel Reyhan. Sengaja aku tak menghubungi pria itu untuk memberikan sedikit surprise. Langkahku lebih cepat sebelumnya, Serly tampak kelelahan. "Haduh, pelan-pelan bisa gak si Bu Bos?" "Eh, ini udah pelan. Kamu aja pakai sepatu tinggi begitu. Apa gak lelah?" "Ini sepatu pemberian pacarku jadi aku pakai biar ia senang." "Dasar bucin. Kita ini jalan-jalan jauh bukan ke mall atau ke cafe." "Lebih bucin lagi terbang ke luar negeri demi sang kekasih." Aku hanya tertawa pelan, kita berdua memang sama-sama bucin. Kulangkahkan kaki memasuki sebuah hotel mewah. Hotel bintang lima memiliki keindahan yang tak bisa ditandingi. Pemandangan luar biasa bagi para wisatawan. Singapura memiliki ciri khas keindahan sendiri. "Kita akan ke mana?" tanya Serly mengandeng tanganku. "Kita ke kamar hotelnya.""Memang kamu tahu tempatnya?" "Ya ampun, tentu saja tahu. Ayo kita tanya resep
Bab 137 Aku dan Serly menghampiri pria pengkhianat di perusahaanku. Sebelum pria itu kabur aku telah memberikan jebakan untuknya. Kubuat dana di perusahaan berkembang pesat. Ia pasti tahu akan hal itu karena pegawai yang mengkhianatiku berada di bagian keuangan. Lagi-lagi ia melakukan pengeluaran tak terduga. Bukti ini nyata dan bisa menjadi barang bukti. "Apa yang tejadi dengan keuangan perusahaan ini? Bagaimana bisa menurun drastis begini. Padahal pemasukan berjalan seperti biasa." Kuletakkan berkas yang dibuat oleh pria itu. Pria yang sejak tadi tampak gelisah. "Memang seperti itu keadaan perusahaan kita." "Gak mungkin." Kulipat tangan di dada menatap pengkhianatan perusahaan. Wajah pria berusia empat lima tahun duduk di depanku. Ia tak sanggup menatapku. "Mengapa ada pengeluaran yang tak aku mengerti di sini!" Kutunjuk berkas keuangan bulan ini. "Oh, itu untuk keperluan perusahaan ini." "Gak mungkin kepentingan perusahaan sebanyak tiga puluh juta. Coba katakan padaku un
Bab 136 Ku injak rem dengan cepat. Seorang wanita merentangkan tangan di depan kendaraan roda empat milikku. Untung saja kakiku segera menginjak rem dengan capat. Seorang gadis berdiri menatap manik aku. Aku kenal wajah itu. Ia adalah Lisa, adik Rita. "Tolong aku! Tolong!" Aku melihat pria yang berada di club. Ia mengejar Lisa dengan tatapan marah. Kubuka pintu mobil dan Lisa segera masuk ke dalam. Wajah Lisa tampak pucat. Aku menginjak gas dengan cepat hingga mobilku melanju meninggalkan pria yng masih mengejar Lisa. "Cepat Mba! Cepat!" Suara teriakkan Lisa membuatku terkejut. Pria itu masih mengejar kami. Kulihat dia dari kaca spion kembali ke mobilnya. "Mba Intan, cepatan! Tolong aku!" "Tenang Lisa. Kasih aku ketenangan." Lisa diam dan hanya terisak. Aku tahu ia memiliki masalah yang tak rumit. Wajah Lisa menoleh ke arah belakang. Mobil yang dikendarai pria itu berada di belakangku. Ku injak lagi gas lebih kencang agar pria itu tak dapat mengejar mobilku. Semua mobil y
Bab 135 Senyum menyeringai terlihat jelas. Mba Nita tersenyum sinis menatapku penuh arti. "Tanda tangan saja!" "Aku gak bisa, Mba. Aku gak bisa."Sebagai seorang ibu aku tak bisa melakukan hal itu. Aku tak ingin hidupku jauh dari anak. Pikiran mereka licik dan tak berbobot. Aku akui klo diri ini juga pernah melakukan hal licik dan jahat. "Lalu kamu ingin menjadi istri suamiku selama begitu. Jangan mimpi. Mas Bromo hanya memiliki istri satu yaitu aku. Hanya aku." Aku menundukkan kepala dan menatap Mas Bro sejenak. Kenapa pria tua itu berubah ketika berada di samping istri pertamanya. "Mas, aku ini seorang Ibu. Tak ingin jauh dari anakku." Aku memang jahat dan licik tapi aku juga akan menjadi seorang ibu. "Lebih baik tanda tangan saja. Kamu masih muda. Kamu masih memiliki jalan panjang. Kami akan merawatnya." Ucapan Mas Bro terdengar bijak. Apakah ia bisa dipercaya atau hanya berpura-pura saja. Sedangkan di belakang mba Nita ucapannya begitu manis. Pria itu begitu sayang kepad