Pov DavidYudi dan beberapa anak buahnya memasuki sebuah klub mewah. Klub yang dulu sering aku kunjungi dengannya. Yudi adalah sahabat dekatku sewaktu kuliah. Entah ada dendam apa hingga melakukan hal tersebut. Tak pernah memperlihatkan rasa suka di hadapanku. Lihat saja Yudi. Aku akan membuat perhitungan kepadamu tak akan memberi ampun. Tak peduli berapa banyak anak buah yang berada di sampingmu.Melangkahkan kaki masuk ke klub mencari bajingan itu dan akan kuhajar sampai sisa nyawa. Aku tahu posisi pintu klub bagian belakang. Tak ada penjaga di sana, biasanya para karyawan masuk melalui pintu tersebut. Memastikan keadaan sepi, bergegas masuk ke dalam. Lampu berkelap-kelip mengikuti irama musik Dj. Banyak para wanita berpakaian sexy dan terbuka. Memperlihatkan lekuk tubuhnya tanpa merasa risih. Hal ini sudah biasa aku lihat, aku tak akan tergoda mereka. Lebih menyukai wanita milik orang lain daripada penjaja cinta.“Hai Om, booking kita dong,” rayu salah satu dari mereka. Tak pedu
Menarik tubuh Yudi yang lemas akibat bogeman di wajah dan perut. Entah sudah berapa pukulan melayang. Melayangkan belati hendak menusuk perutnya. Tangan Yudi menahan dan memukul tubuhku. Belati terlepas dari genggaman dan terpental ke lantai. "Elu gak bisa bunuh gua." Yudi menatap tajam. Apa yang aku lakukan tak membuat dirinya jengah. "Elu, tak pantas hidup." Aku tak peduli lagi hukuman apa yang akan aku dapati. Dendam dan rasa benci menyiksa hati. Dia penyebab semuanya. Kebahagiaanku terenggut paksa. Yudi hendak meraih belati tersebut, tanganku segera menarik tubuhnya dan menendang perut kekar tanpa tertutup sehelai benang pun. Yudi berteriak meminta tolong. Suaranya mengema di kamar."Tolong! tolong!" “Bodoh! Mau teriak atau menjerit gua gak peduli. Elu harus mati!” Melayangkan belati yang berhasil aku raih sebelum lelaki itu merebut kembali. Suara pisau menusuk daging berkali-kali tak peduli noda merah membasahi. kulayangkan belati itu hingga tak ada suara lagi dari bibir pr
“Pak David sedang apa malam-malam di sini?” tanya pengendara motor hitam yang hendak aku tikam. “Kamu?” Memasukkan kembali belati ke dalam celana.“Saya Ridwan. Karyawan Bapak bagian cleaning servis. Bapak mau ke mana?”“Saya mau ke rumah sakit.” Aku mengatakan daerah tujuanku. Lokasi rumah sakit masih satu kota dari sini. “Wah, lumayan jauh Pak. Bagaimana kalau saya antar?” “Boleh.”Segera mengamankan belati agar Ridwan tak curiga. Aku kira mantan karyawan yang sering aku marahi telah melupakan dan dendam kapadaku. Ternyata, mereka masih baik dan hormat kepada mantan bos. Mobil polisi melewati kami, tubuhku menegang. Menyembunyikan wajah dari mereka di balik tubuh Ridwan.Tak berapa lama kemudian, suara ambulan melewati kami. Aku tak menoleh sedikitpun, ingatanku kembali berputar. Mengingat kejahatan yang telah aku lakukan. Setidaknya, perasaan tak ada beban telah membuat Yudi mati di tanganku. Ridwan mengunci mulutnya, ketika beberapa kali menanyakan sesuatu kepadaku dan aku tak
“Berita terkini di temukan tiga mayat dalam kamar di sebuah klub Jakarta Selatan. Korban mendapatkan luka tusukan berkali-kali hingga meninggal dunia. Diantaranya Yudi Damar 45 tahun, Bagas 28 tahun dan mayat belum diketahui identitasnya bergenre waria tanpa sehelai pakaian di tubuh korban.”Mataku terbelalak salah satu nama dan foto sesuai dengan om Yudi, bapak biologis Adel. Belum aku mempertemukan mereka, lelaki itu sudah meninggal dunia. Malang sekali nasibnya. Segera mengambil ipad dan mencari tentang berita tersebut.Mencari di kolam pencarian dengan kode pembunuhan klub hari ini. Tak lama kemudian, muncul beberapa berita berkaitan dengan berita tersebut. Membaca berita online berbentuk artikel kriminal. Sadis, satu kata untuk kejadian itu.Foto Om Yudi terpasang di artikel tersebut. Siapa yang membunuh lelaki itu. Tanganku merogoh ponsel di tas bernuansa coklat disesaki dua huruf, menghubungi nomor om Arga melalui ponsel pintarku
"Kita mau ke mana, sih?" tanya Adel menatapku dan om Arga."Nanti juga tahu.""Om, emang siapa yang meninggal. Kalian berpakaian serba hitam atau kalian mau ngedate couple begini." Adel terkekeh. Kami hanya tersenyum tipis. "Ih, kalian kenapa diem aja?""Gak apa. Kamu ikut kita.""Oke, aku akan ikut kalian. Tapi, traktir es krim.""Beres!""Bu Bos, paling baik!"Selama perjalanan Adel selalu berbicara dan tertawa. Wajahnya ceria dan mengemaskan.Kendaraan hari ini tak terlalu padat. Perjalann kami lancar tanpa ada embel-embel macet.Mobil om Arga memasuki pemakaman. Jenazah om Yudi belum sampai. Kami menunggu tepat di lubang kuburan yang baru selesai digali."Om, siapa yang meninggal?" tanya Adel untuk kedua kalinya.Om Arga tak menjawab pertanyaan keponakannya. Tak lama kemudian, datang ambulan membawa jenazah.Tak ada sanak saudara yang datang menghadiri
Betapa senangnya Bayu melihat adik kandung satu ayah. Mama tak keberatan dengan kehadiran bayi ini. Menjelaskan keadaan Rita."Kejahatan seseorang bukan berarti kita balas dengan jahat." Ucapannya kala itu.Bayu gemas dengan bayi mungil mas Ilham."Siapa nama dede aku, Mama?""Belum dikasih nama. Nanti, kita tanya papa." Menimang bayi mungil mirip mas Ilham."Bagaimana kalau kita kasih nama Delon?" "Ehm, bagaimana ya? Boleh juga."Delon, nama yang bagus. Sayang sekali ibunya tak mau mengurusnya. Bayi yang malang. Semoga kelak nasibmu lebih beruntung.Aku tahu mas Ilham begitu menyanyangi anak ini. Matanya berkaca-kaca ketika mengungkapkan keinginanku."Apa Mas mengizinkannya? Aku yakin Bayu pasti senang bila bertemu adiknya. Tak bermaksud apa-apa. Hanya sementara saja hingga keadaan Rita membaik. Gak mungkin juga bayi ini kamu bawa kerja ke luar seperti ini. Setelah, keadaanmu membaik. K
POV Ilham Aku menatap jendela, langit berwarna biru sinar matahari menyinari dunia. Kendaraan terlihat dari lantai tiga rumah sakit yang kini merawat Rita. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mencari nafkah, sekolah, dan para ibu-ibu sibuk di dapur menyiapkan makanan. Sedangkan aku, duduk di pinggir brankar rumah sakit memijat kaki Rita. Seharusnya bekerja untuk melanjutkan hidup. Perut keroncongan belum terisi sejak semalam. Rita dioper ke rumah sakit yang lebih besar. Keadaannya semakin kacau. Ia seperti terkena babyblues atau mungkin gila. Tubuh yang dulu ramping dan cantik kini berubah kurus dan kusam. Tanganku menyentuh kulitnya, menekan perlahan agar rasa lelah dan pegal hilang. Bagaimana dengan aku, tubuh ini terasa remuk. Aku hanya bisa menunggu perawat mengantar makanan dan memakan sisa dari istriku. Uang yang aku miliki hanya cukup untuk ongkos angkot. Malang bener nasibku. "Mas, aku bosan makanan di sini. Pengen nasi Padang," ungkapnya menatap bubur nasi di se
POV Ilham Seketika itu juga pandanganku buram. Suara orang-orang berteriak dan menghampiri tubuhku. Aku hanya bisa mendengar tanpa berbicara. Tubuh ini terasa hancur dan remuk dan aku tak tahu apa-apa lagi. Kubuka mata perlahan, ruangan nuansa putih mengelilingi pandanganku. Seseorang berdiri tak jauh dari sisiku. Perlahan membuka, kakiku terasa sakit dan kepala pusing."Sudah sadar?" tegurnya ketus. Kedua tangan mendekap di perut menatapku tak suka. "Tante, aku kenapa?" Sejak menikah dengan Rita aku masih memanggilnya dengan sebutan Tante tak pernah memanggilnya ibu. "Kamu itu bikin repot aja. Sudah tahu istri dirawat malah ikut-ikutan." Aku menatap bagian kaki terbalut perban. Menyentuh kepala juga begitu. Mungkin saja orang-orang membawaku ke sini. Rumah sakit yang sama dengan Rita. "Kamu itu kalau jalan hati-hati. Kenapa bisa tertabrak." Tante Vivi ketus sekali,apa dia tak mengerti kalau aku sedang sakit. Untung saja aku memiliki BPJS kalau tidak bisa runyam ini. Biaya hi
Aku menatap langit begitu cerah, begitu juga suasana pagi ini. Wanita berkebaya putih dengan hijab senada duduk di samping pria yang akan menghalalkannya. Suara bayi menangis berada di sampingku. Bayi itu milik Lisa. Lisa telah melahirkan seorang anak perempuan. Bayi mungil berwajah mirip dengan ibunya. "Mungkin dia haus," ucapku mengusap kepala mungil bayi berusia dua bulan..Wanita yang dipercaya menjaga anak Lisa segera mengambil susu dalam botol. Susu itu bukan susu kaleng atau susu sapi. Tetapi, susu asli dari ibunya langsung yang diambil dan disimpan dalam lemari pendingin. Bayi mungil itu langsung menyedot ASI dalam botol dot dengan cepat. "Kasihan, haus ya." Gemas sekali melihat anak itu. Kuusap perut yang semakin membesar. Sebentar lagi anak ini juga lahir. Tinggal menunggu waktu yang tepat. Ijab kabul mulai di lontarkan. Mas Bro telah memenuhi keinginan Lisa. Ia telah belajar salat dan mengaji. Di hadapan Lisa melantunkan ayat suci Al-Quran. Lisa menerima Mas Bro se
Bab 142 "Mas ngapain di situ?" Aku menoleh ke arah belakang, Rita datang menghampiriku. Ia duduk di samping sambil ikut menikmati keindahan malam. "Bagus pemandangannya." "Tadi acaranya meriah banget, ya. Pengantinnya juga cantik dan serasi.""Iya, Intan selalu cantik," pujiku tanpa menyadari perkataan yang terlontar. "Oh, pantesan dari tadi kamu itu lihatin Intan terus ternyata belum move on!" Rita bertolak pinggang. Ia menjewer telingaku hingga hampir terlepas. "Aduh! Aduh! Sakit Rita!" "Kamu tadi bilang cantik." "Intan perempuan pasti cantik masa aku bilang ganteng. Gak lucu kan?" Rita melepaskan tarikannya dari telingaku. Aku mengusap pelan telinga yang kini terlihat memerah. "Kamu itu cemburu aja. Kamu juga cantik, kok. Gak kalah sama Intan." "Apanya cantik. Boro-boro beli skincare, serum atau pelembab. Pakai bedak sama lipstik aja sudah bersyukur." "Kamu gak pakai bedak juga masih cantik." "Gombal! Mana ada?" "Ada, buktinya kamu." Aku mencolek dagu Rita. Bagaimanap
Bab 141 Setelah aku menganti pakaian. Aku menghampiri putraku di dalam kamar. Jari mungil Bayu menari di atas buku gambar. Memberikan warna yang tepat dan sesuai. "Bayu sedang apa?" tanyaku lembut dan bersahabat. "Mewarnai," ucap anakku polos. Aku menatap hasil gambar anakku. Ia pandai menggambar dan melukis. Hobi baru saat ini. "Siapa yang mengajari kamu?" "Papa." Kuusap lembut surai anakku. Aroma shampo sejak dulu masih sama dan tak berubah. "Bayu, tadi dipanggil Om Rey kok begitu?" Aku mulai bertanya perlahan mungkin ada hubungannya dengan mimpi Bayu kala itu. Ia mengatakan kalau aku tak boleh menikah. "Om Rey akan ambil mama dari Bayu," ucap anakku polos. Tangannya tak berhenti mewarnai. Aku mengernyit heran, apakah ada orang yang berbicara hal tidak-tidak dengannya."Gak mungkin. Kamu anak Mama. Gak ada yang bisa memisahkan kita." Bayu duduk dan menyilangkan kaki. Tatapan polosnya membuatku semakin gemas. "Dulu Papa nikah lagi dan pergi meninggalkan Bayu. Ia memilih T
Bab 140 Kami mengikuti Om Leo bersama gadis muda. Ia tampak seperti anak kuliahan. Usianya sekitar dua puluh tahun. Om Leo tampak mengusap paha gadis yang mengenakan rok mini itu. Suara manja terdengar di bibirnya. Aku pastikan kalau hasrat Om Leo sedang naik. Mata yang pernah aku lihat ketika ia melihat bagian sensitifku. "Bagaimana aku makan makanan ini kalau pakai masker?" keluh Rey yang sejak tadi menatap makanannya. "Pindah duduk di sini. Mereka tak akan bisa melihat wajahmu." Rey mengikuti apa yang aku sarankan, pria itu makan dengan lahap. Aku mencegah kepalanya agar tak menoleh ke arah Om Leo. "Makan saja jangan tengok-tengok." "Calon istriku luar biasa," pujinya menatapku. Kami memilih duduk di dekat pot besar jadi tubuh Rey tertutup tanaman itu. Om Leo juga tak menyadari kehadiran kami di sini. Rey sudah selesai dengan makanannya. Aku meminta pelayan untuk membungkusnya saja. Segera membayar tagihan restauran dan bangkit dari duduk. "Papa masih di dalam kenapa kita
Bab 139Kaki Rey sudah lebih baik, aku selalu menemaninya ke mana saja. Serly sudah pulang ke Indonesia. Sedangkan Tante Aura masih ada urusan di negara ini.Adel sudah kembali ke rumahnya. Aku bahagia melihat keadaan Bundanya Adel. Ia masih mengingatku tak seperti dulu. Ganggu jiwanya sudah sembuh. Adel dan Om Arga saling bekerja sama untuk merawatnya. Mereka Keluarga yang kompak apalagi On Arga mampu menjadi sosok ayah untuk Adel. "Kalau kita sudah menikah kamu mau anak berapa?" tanya Rey ketika kami berjalan-jalan ke taman. Suasana dan cuaca hari ini sangat mendukung kami untuk menikmati keindahan negara Singapura. Rey, masih mengunakan kursi roda. "Nikah aja belum sudah tanya mau anak berapa?" "Ya, namanya rencana masa depan. Jadi harus di perkirakan." "Memangnya kamu sanggup berapa?" Kehentikan langkah di depan air mancur. Aku berdiri tepat di hadapan Rey, kuangkat dagu ke arah pemuda itu. "Kamu mau ronde berapa?" godanya mengerlingkan mata. "Nakal!" Kujewer telinganya p
Bab 138 Aku dan Serly telah berada di bandara Singapura. Reyhan dan teamnya berada di sini. Kami berjalan menuju hotel Reyhan. Sengaja aku tak menghubungi pria itu untuk memberikan sedikit surprise. Langkahku lebih cepat sebelumnya, Serly tampak kelelahan. "Haduh, pelan-pelan bisa gak si Bu Bos?" "Eh, ini udah pelan. Kamu aja pakai sepatu tinggi begitu. Apa gak lelah?" "Ini sepatu pemberian pacarku jadi aku pakai biar ia senang." "Dasar bucin. Kita ini jalan-jalan jauh bukan ke mall atau ke cafe." "Lebih bucin lagi terbang ke luar negeri demi sang kekasih." Aku hanya tertawa pelan, kita berdua memang sama-sama bucin. Kulangkahkan kaki memasuki sebuah hotel mewah. Hotel bintang lima memiliki keindahan yang tak bisa ditandingi. Pemandangan luar biasa bagi para wisatawan. Singapura memiliki ciri khas keindahan sendiri. "Kita akan ke mana?" tanya Serly mengandeng tanganku. "Kita ke kamar hotelnya.""Memang kamu tahu tempatnya?" "Ya ampun, tentu saja tahu. Ayo kita tanya resep
Bab 137 Aku dan Serly menghampiri pria pengkhianat di perusahaanku. Sebelum pria itu kabur aku telah memberikan jebakan untuknya. Kubuat dana di perusahaan berkembang pesat. Ia pasti tahu akan hal itu karena pegawai yang mengkhianatiku berada di bagian keuangan. Lagi-lagi ia melakukan pengeluaran tak terduga. Bukti ini nyata dan bisa menjadi barang bukti. "Apa yang tejadi dengan keuangan perusahaan ini? Bagaimana bisa menurun drastis begini. Padahal pemasukan berjalan seperti biasa." Kuletakkan berkas yang dibuat oleh pria itu. Pria yang sejak tadi tampak gelisah. "Memang seperti itu keadaan perusahaan kita." "Gak mungkin." Kulipat tangan di dada menatap pengkhianatan perusahaan. Wajah pria berusia empat lima tahun duduk di depanku. Ia tak sanggup menatapku. "Mengapa ada pengeluaran yang tak aku mengerti di sini!" Kutunjuk berkas keuangan bulan ini. "Oh, itu untuk keperluan perusahaan ini." "Gak mungkin kepentingan perusahaan sebanyak tiga puluh juta. Coba katakan padaku un
Bab 136 Ku injak rem dengan cepat. Seorang wanita merentangkan tangan di depan kendaraan roda empat milikku. Untung saja kakiku segera menginjak rem dengan capat. Seorang gadis berdiri menatap manik aku. Aku kenal wajah itu. Ia adalah Lisa, adik Rita. "Tolong aku! Tolong!" Aku melihat pria yang berada di club. Ia mengejar Lisa dengan tatapan marah. Kubuka pintu mobil dan Lisa segera masuk ke dalam. Wajah Lisa tampak pucat. Aku menginjak gas dengan cepat hingga mobilku melanju meninggalkan pria yng masih mengejar Lisa. "Cepat Mba! Cepat!" Suara teriakkan Lisa membuatku terkejut. Pria itu masih mengejar kami. Kulihat dia dari kaca spion kembali ke mobilnya. "Mba Intan, cepatan! Tolong aku!" "Tenang Lisa. Kasih aku ketenangan." Lisa diam dan hanya terisak. Aku tahu ia memiliki masalah yang tak rumit. Wajah Lisa menoleh ke arah belakang. Mobil yang dikendarai pria itu berada di belakangku. Ku injak lagi gas lebih kencang agar pria itu tak dapat mengejar mobilku. Semua mobil y
Bab 135 Senyum menyeringai terlihat jelas. Mba Nita tersenyum sinis menatapku penuh arti. "Tanda tangan saja!" "Aku gak bisa, Mba. Aku gak bisa."Sebagai seorang ibu aku tak bisa melakukan hal itu. Aku tak ingin hidupku jauh dari anak. Pikiran mereka licik dan tak berbobot. Aku akui klo diri ini juga pernah melakukan hal licik dan jahat. "Lalu kamu ingin menjadi istri suamiku selama begitu. Jangan mimpi. Mas Bromo hanya memiliki istri satu yaitu aku. Hanya aku." Aku menundukkan kepala dan menatap Mas Bro sejenak. Kenapa pria tua itu berubah ketika berada di samping istri pertamanya. "Mas, aku ini seorang Ibu. Tak ingin jauh dari anakku." Aku memang jahat dan licik tapi aku juga akan menjadi seorang ibu. "Lebih baik tanda tangan saja. Kamu masih muda. Kamu masih memiliki jalan panjang. Kami akan merawatnya." Ucapan Mas Bro terdengar bijak. Apakah ia bisa dipercaya atau hanya berpura-pura saja. Sedangkan di belakang mba Nita ucapannya begitu manis. Pria itu begitu sayang kepad