Malam pun tiba, Rena dan Firhan sudah berjanji akan bertemu di caffe daerah downton malam ini.Mereka sepakat untuk bertemu di atas lorong penghubung antara dua masjid besar di dekat rumah Rena, dan kemudian berangkat bersama menuju caffe.Musim dingin sudah beranjak semakin menggigilkan tubuh, sekitar 17°c di malam hari, membuat kedua tangan merapatkan dua sisi jaket untuk lebih menghangatkan tubuh.Mobil yang mereka tumpangi melesak dengan sangat cepat, membuat mereka sampai hanya dalam waktu lima menit. Mereka turun di sebuah gang besar dan berjalan menuju caffe yang mereka tuju.“Musim dingin seperti ini, aksi kejahatan semakin meningkat Ren,” tegur Firhan memulai pembicaraan.“Ya, meski begitu orang-orang ini masih tetap beraktifitas di malam hari,” jawab Rena antusias.“karena kejahatan itu tergantung keberuntungan individual, siapa yang berhati-hati, dia aman, tapi ada juga yang tak sadar dirinya diintai,” kata Firhan membeberkan.“Betul,” sahut Rena.“Maka dari itu kita butuh
Memandangi lamat-lamat anak tangga yang meliuk sehingga tidak terlihat siapa yang sedang berjalan disana. Sedetik kemudian, muncullah seseorang itu yang ternyata pemilik rumah yang mereka sewa.“Assalamu’alaikum Baba,” sapa Rena.Semua lega, karena bukan Inda yang muncul di hadapan.“’alaikumussalam,” balas pria paruh baya itu.“Rena, hati-hati ya, jangan memberi masuk laki-laki di rumah,” Baba itu mengingatkan layaknya seorang bapak yang menasehati anaknya.“Tidak Baba, mereka ini teman-teman saya. Mereka hanya mengantar saya sampai sini,” kata Rena menurut“Oke...Oke...” jawab baba dan langsung permisi berlalu.Baru saja Rena hendak menutup gerbang, berpamit pada Firhan dan Zein. Inda tiba-tiba muncul dari balik dinding tangga. Semua sontak kebingungan, ingin rasanya berlari terbirit bersembunyi dari penglihatan Inda. Namun terlambat, wanita cerdas itu lebih dulu memergoki mereka yang masih berdiri mematung di balik gerbang.“Kalian?” tanya Inda yang tak kalah bingung.“Emmm... Inda
Sunset telah menyapa sang kyai muda yang tengah menyeruput secangkir teh di ruang keluarga. Rapi mengenakan set jas hitam dengan rambut yang berkilau memancarkan kesegaran. Pagi itu Jiddan bersiap untuk menuju kantor, meminta izin atas pengunduran diri untuk pemberangkatannya ke Cairo.Sudah sampai di gedung depag. Jiddan mulai berjalan melewati lantai dasar yang sudah ramai pegawai berlalu lalang membawa berkas kerjanya masing-masing.“Pagi Pak Jiddan,” sapa wanita bagian penyelenggara haji dan umrah.“Pagi Bu,” Jiddan membalas sapaan itu.Menjadi pegawai termuda di kantor, membuat Jiddan memiliki banyak idola di kalangan wanita. Mulai dari yang termuda hingga yang sudah paruh baya. Bahkan mereka yang sudah memiliki anak pun dengan sengaja mendekati Jiddan. Apalagi berita bahwa istri Jiddan sedang berada jauh darinya, membuat mereka lebih leluasa mendapat peluang curi-curi perhatian padanya.Menyusuri ruang-ruang yang tampak sepi. Baru teringat, tiga hari ini, sebagian pegawai cuti
Mengikuti langkah pegawai muda dari ruang kerja Dani, serta berbincang ringan bersamanya, membuat Luna terkesan akan pertemuan pertamanya di kantor. Bagi Luna, memandang ketampanan Jiddan membuatnya lupa akan segala trauma yang ia rasakan terhadap laki-laki. Kini, Luna mulai membuka hati kembali karena pertemuan itu.“Disini ruang interview kamu, silahkan masuk,” mereka telah berada di depan pintu ruang penyelenggara haji dan umroh.“Terimakasih ya Jiddan, besok kita masih bisa bertemu kan?” harap Luna.Jiddan memandang Luna tak mengerti. Jelas mereka pasti akan bertemu lagi jika Luna diterima disana.“Eh... Ehm... Maksud saya, besok kamu masuk kantor kan?” gugup Luna mencari alasan agar harapannya tak diketahui oleh Jiddan. Namun, Jiddan nampak memandanginya lagi tak mengerti. Jelas, Jiddan akan masuk kerja lagi besok, karena menjadi pegawai negeri tidak bisa bolos tanpa alasan.“Aduh maaf saya terlalu gugup. Semoga saya segera bekerja disini. Doakan saya ya Jiddan,” Luna mengakui k
Jiddan cepat bergegas menuju mobil miliknya yang terparkir di halaman kantor, karena memahami kode mata dari Luna yang hendak dibawa rekan kerjanya.Memantau keduanya yang sudah berada dalam mobil, dan mulai mengatur arah keluar gerbang. Jiddan pun dengan segera menginjak pedal gas, mengikuti mereka dari kejauhan.DING DING DINGPonselnya berbunyi, menunjukkan panggilan masuk dari yang tercinta.“Assalamu’alaikum Sayang,” ucapnya yang tetap memperhatikan kemana mobil Dani melesak.“Wa’alaikumussalam Mas. Mas ayo kita videocall. Ada yang ingin aku tanyakan Mas,” pinta Inda yang mengalihkan panggilan ke videocall.“Oke Sayang. Mau bertanya tentang apa bidadariku?” goda Jiddan, kini wajah keduanya sudah saling menatap.“Mas sedang diperjalanan ya?” Selidik sang bidadari.“Iya Sayang. Luna dalam bahaya,” tak sadar Jiddan menyebut nama Luna di hadapan istrinya.“Luna siapa Mas?”“Luna pegawai baru di kantor Sayang,” kefokusannya semakin buyar saat Jiddan melihat lampu merah sedang menyala
Mereka telah memasuki mobil bersama. Sebagai rekan kerja, Luna dengan santai menduduki kursi depan, bersebelahan dengan Jiddan. Tanpa diketahui, ternyata seseorang telah memotret mereka dari balik pohon.“Kamu terlalu baik padaku Jidan. Untuk yang kesekian kalinya aku berterimakasih padamu,” ucap Luna.“Itu kewajibanku sebagai laki-laki Lun, menjaga kaum wanita agar tetap terhormat,” kalimat Jidan mampu melesak menembus ruang hati Luna, hingga menyunggingkan senyum tipis dari bibir manis Luna yang sudah tersipu memandangi pepohonan di sepanjang jalan.***Sementara itu, dibalik ke gagahan pria misterius yang akhir-akhir ini telah menaruh dendam pada Jidan, memicingkan mata, memburu napas kesal, menelpon seseorang untuk diperintah.“Kekuatan yang dimilikinya saat ini, hanyalah ibunya. Serang ibunya sekarang juga!” seru pria itu dengan tegas penuh kebencian.“Siap Bos,” sahut seseorang dari balik ponsel.***Mobil Jidan sudah di jalur menuju rumah Luna, sekitar tiga puluh menit lagi, me
Memasuki ruangan atas panggilan umi Ruqayya. Hati kembali bertanya ada apa gerangan yang ingin umi sampaikan pada Naya.Ia duduk di kursi yang terletak di sebelah umi, sementara Jidan duduk di sofa yang terletak di belakang Naya.Umi memandangi Naya, begitu juga Naya yang sudah berkaca-kaca memandangi wajah paruh baya yang sudah seperti ibunya sendiri.“Kalian harus segera menikah,” ucap umi melirik bergantian pada Naya dan Jidan.Tanpa komentar, Naya membiarkan Jidan untuk berbicara terlebih dahulu.Tiba-tiba ponsel Jidan berbunyi. Menunjukkan panggilan dari Inda. Dengan terpaksa, Jidan menghentikan panggilan tersebut, menaruh kembali ponselnya ke dalam saku jas.“Nanti pesantren bagaimana jadinya Nang, kalau tanpa seorang wanita yang mendampingi kamu?”“Mi... Kita fokus untuk kesembuhan Umi dulu ya? Setelah itu kita bicarakan lagi,” rayu Jidan pada umi.“Umi sudah tidak punya banyak waktu lagi Nang untuk kalian,” sambil mengelus tangan lembut Naya, wanita paruh baya meneteskan buli
“Sepertinya Naya tidak bisa menginap disini Mi. Ada sesuatu yang harus Naya urus di asrama malam ini,” Naya mencoba beralasan. Sebenarnya dia tidak mau kalau harus bermalam satu ruangan dengan kyainya. Apa kata dunia?“Apa urusan itu lebih penting dari Umi?” pertanyaan tersebut cukup membuat Naya kehabisan kata-kata.Naya kembali melirik Jidan, Jidan mengangguk ringan mengisyaratkan untuk menuruti perintah umi.“Insyallah Naya akan tidur disini Umi,” kata Jidan. “Apa Umi mau makan sesuatu?” tanyanya.“Umi mau bubur ayam saja Nang,” jawab umi.“Nay? Mau makan apa?” tanya Jidan menoleh pada Naya.“Apa saja Pak Kyai,” sahut Naya.“Oke, saya keluar dulu. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi saya ya?”“Baik Pak Kyai,”Jidan bergegas keluar, waktu baru saja menunjukkan pukul tujuh malam. Sebelum membeli makanan, Jidan berhenti sebentar di sebuah super market untuk membeli beberapa cemilan dan perlengkapan menginap.Sudah mendapatkan apa yang ingin dibeli, Jidan berhenti sejenak dan melihat t
Jum’at, 13 maret 2023. Acara akad dan walimatul ‘ursy akan dilaksanakan. Semua persiapan selama tiga minggu lalu telah berbuah pada hari ini.Koordinasi pengurus yang sangat solit hingga terlihat begitu memuaskan. Mulai dari pengaturan para santri, tata letak dekorasi, serta sususan acara telah siap dimulai pada detik ini.Acara sakral, yaitu pengucapan janji suci, akan segera dimulai. Para tamu agung mulai berbondong menuju masjid dengan pelataran yang sangan indah. Dikhiasi bunga-bunga cantik bernuansa putih hijau, kursi-kursi yang berjejer rapi berselimutkan putih, karpet merah yang terbentang Panjang hingga tangga masjid yang sudah di dekor lengkungan bunga di depannya sebagai tempat penjemputan mempelai wanita saat ijab qabul telah dilantunkan. Semua tersusun rapi dan sangat khidmat.“Jidan sudah siap?” tanya penghulu.“Insyallah siap,” jawabnya mantap.“Ankahtuka wazawwajtuka Inayatu Shalihah binti H. Hasan Asy-Syadzuli bi mahril madzkur haaaalan,”“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha
“Sofi,” panggil Inda yang sangat mengerti apa yang sedang terjadi pada Sofia.“Ya Ka,” Sofia menoleh masih dengan wajah lesunya.“Dengarlah apa yang dikatakan oleh hatimu,” titah Inda tiba-tiba.Sofia hanya mengangguk lalu kembali berlalu.“Banyak yang menderita hatinya di rumah ini karena aku,” ucap Inda menyesal.“Kalau saja Ustadzah Inda saat itu tidak berterus terang memberitahu perasaan Kana pada Pak Kyai. Mungkin sampai kapanpun Kana akan terjerat oleh rasa yang membingungkan itu, dan menjadi benalu di rumah tangga Ustadzah. Karena untuk pergi dari pesantren ini pun Kana tidak mampu. Ternyata, cinta Kana pada pesantren ini, ketulusan Kana pada Umi dan Abi lebih besar dari apapun,”Inda terdiam, tertegun mendengar ucapan Kana.“Hingga akhirnya, Kana menemukan hikmah saat Kana berada di kampung. Seorang pria yang selama ini hanya sibuk dalam mempertaruhkan nyawa seseorang datang untuk menyatakan perasaannya dan telah berhasil membuka fikiran Kana dan memberi ruang padanya,”“Janga
“Tapi…”“Kenapa?”“Naya malu Pak Kyai,”“Malu pada siapa?”“Anak santri. Mereka belum mengetahui acara ini. Dengan pergi berdua seperti ini, Naya khawatir ini akan menjadi fitnah,”Jidan menghela napas memperbaiki posisi duduknya berhadapan dengan Naya.“Kana,” panggil Jidan.“Baik Pak Kyai,” sahut Kana yang muncul dari ruang keluarga.“Tolong kumpulkan semua pengurus disini sekarang,”“Sekarang Pak Kyai?” tanya Kana memastikan.“Ya,”“Nggeh Pak Kyai,” angguk Kana lalu bergegas keluar mengerjakan perintah Jidan.Naya terbelalak mendengar ucapan Jidan yang tiba-tiba memanggil semua pengurus untuk berkumpul disini. Keputusan itu, pasti karena ucapannya barusan yang merasa malu karena para santri belum ada yang tahu.“Pak Kyai?” suaranya lirih tak percaya.“Kita cukup memberitahu pengurus saja kan?”“Kenapa tiba-tiba begini Pak Kyai? Pak Kyai semakin membuat Naya malu,” ujarnya mengerucutkan bibir manisnya.“Siap-siap saja dengan tanggapan mereka nanti,”Mendengar kalimat itu, wajah Naya
Dua hari kemudian, kondisi bayi dalam kandungan Inda dinyatakan normal, dan sudah diperbolehkan pulang.Sore hari, Inda dan Jidan sudah sampai di halaman pesantren. Suasana yang tenang, beberapa kegiatan masih berlangsung. Ada yang sedang menghafal di gazebo, ada yang sedang gotong royong membersihkan kamar masing-masing, dan ada juga yang sedang mengikuti ekstrakulikuler karena hari ini adalah hari minggu, dimana kegiatan kesenian dijadwalkan pada hari itu sebagai waktu refreshing bagi para santri.Juga, di area lahan kosong yang terletak di samping rumah pengasuh terlihat Pak Maman sedang mengkordinasi para pegawai yang mulai merancang Pembangunan sebuah rumah yang akan dihadiahkan untuk Naya nanti.“Apa Naya sudah memilih desain interiornya Mas?” tanya Inda yang melihat-lihat area tersebut.“Dia masih melihat-lihat katalog yang diberikan arsitek kemarin Sayang,” jawab Jidan santai.“Assalamu’alaikum Ustadzah?” sapa para santri yang berlalu didekatnya dan tak lupa mereka menyalami J
Sungguh ingin ia mempertahankan sang mantan agar dapat kembali padanya. Sudah sejauh ini ia memperjuangkan sang kekasih, berharap masih ada ruang baginya untuk mendapat cinta yang selama ini telah ia pupuk hanya untuk wanita pemilik wajah anggun nan cantik, yang matanya mampu meluluh lantakkan hati yang memandangnya, yang senyumnya mampu meruntuhkan benteng pertahanan.‘In, siapa yang akan menutup luka yang tergores dalam di hati ini In? Aku masih menyayangimu bahkan entah sampai kapan. Bisakah kamu melihat itu In? aku akan selalu menunggumu’ Pemandangan di balik jendela bus menuju kota Jakarta terasa sedang mengiba ikut merasakan pilunya cinta seorang pria yang baru saja menerobos masuk dalam kehidupan sang mantan. Dengan penuh resiko dan bahaya.KLING KLINGPonsel Zein berbunyi. Panggilan dari Firhan sang wakil keamanan.“Halo assalamu’alaikum Han,”“wa’alaikumussalam Zein,” jawab Firhan tergesa. “Zein gawat Zein. Ada pengeroyokan antar kekeluargaan di distrik 10 Zein,”Zein terteg
TAK TAK TAKLangkah kaki terdengar gagah mendekat memasuki ruang tunggu.“Sofi. Bagaimana keadaan Kakak?” panik Jidan.“Kak Inda masih harus istirahat Kak,” jawab Sofia.Zein hanya melirik sinis pada Jidan dan Naya yang baru saja sampai di ruangan itu. Jidan melangkah sampai di depan Zein yang hanya duduk tak menghiraukan kedatangan Jidan.“Silahkan tinggalkan ruangan ini,” perintah Jidan pada Zein.Zein beranjak dari kursinya dan memandang tajam pada lawan bicaranya.“Jika kamu tidak bisa membahagiakannya. Lepaskan dia dari jerat hidupmu yang rumit itu!” ucapannya penuh penekanan dan mengintimidasi.“Apa hak kamu berbicara seperti itu hah?” cecar Jidan.“Aku. Tidak akan pernah menyerah untuk ini! Ingat itu!”“CUKUP!” teriak Sofia menghentikan perdebatan keduanya. “Jika masih ada yang belum selesai antara kalian, kenapa kamu meminta aku untuk memulai suatu hubungan Kak Zein? Kenapa?” derai air mata tak sanggup untuk dibendung. Kenyataan itu cukup menyakitkan bagi Sofia yang hanya menj
Pagi yang segar di hari sabtu, Inda memutuskan untuk memulai harinya dengan menyirami tanaman bunga di halaman depan rumah. Para santri pun yang hendak masuk ke kelas berlalu Lalang menyapanya dengan santun, beberapa mereka menyalami Inda dengan takzim.“Kamu tau gak Ser? Kemarin Pak Kyai pergi sama Ka Naya loh!”“Kemana ya kira-kita?”“Kalo akau perhatiin ya, akhir-akhir ini Ka Naya selalu dipanggil ke rumah pengasuh tau,”Tak sengaja Inda mendengar percakapan segerombol santriwati sedang membicarakan suaminya dengan ketua putri. Rasanya tidak etis sekali ada pembicaraan seperti itu di pesantren ini, terlebih itu menjurus kepada fitnah nantinya.Larut dalam fikiran, seketika perut Inda terasa nyeri seperti ada yang meremasnya dengan kuat. Inda merintih kesakitan, wajahnya memucat, tubuhnya membungkuk menahan sakit. Selang air yang semula di tangan, ia jatuhkan seketika.Dua oran santriwati yang melihat Inda hampir terjatuh di tanah, segera berlari untuk menopang tubuh Inda. Seluruh s
“Kyai?” panggil Naya.“Ya?” sahut Jidan.“Apa Ustadzah Inda telah menyiapkan semua isi tas Pak Kyai?” tanya Naya yang masih terkesima dengan ketelatenan Inda dalam menyiapkan perjalanan Jidan.“Iya. Kenapa?”“Masyaallah sekali Pak Kyai, sangat lengkap dan rapi,” puji Naya.“Kamu sudah membuka semua bagian?” tanya Jidan memastikan. Naya menggeleng.“Di bagian paling besar, itu berisi pakaian, termasuk handuk kecil dan sapu tangan, di bagian ke tiga, ada perlengkapan untuk perawatan mulut. Dan yang paling kecil ini, Inda berpesan,”kalau ada receh kembalian, taruh disini ya Mas, biar dompet Mas tidak gembung” Begitu katanya,”Naya tersenyum mendengar penjelasan Jidan, kemudian menunduk merasa insecure denga napa yang dilakukan Inda untuk Jidan. Dia tidak yakin bahwa dirinya akan seperfeksionis Inda atau malah menyusahkan mereka.“Kamu, tetaplah jadi dirimu sendiri. Aku akan mencintaimu dengan apa adanya dirimu,” kata Jidan melihat perubahan sikap Naya.“Terimakasih Pak Kyai,” ucap Naya
Waktu itu telah tiba. Hari dimana Jidan dan Inda akan segera berangkat menemui ibunda Naya.Jam dinding menunjukkan pukul delapan pagi, seperti jadwal yang sudah ditentukan, Inda akan pergi untuk memeriksakan kehamilannya terlebih dahulu Bersama Jidan.Setelah mengantri menunggu giliran, akhirnya Inda dan Jidan sudah berada di ruangan dan akan segera dilakukan USG yang ditangani langsung oleh bidan Laila.“Sepertinya Ustadzah terlalu banyak fikiran ya?” tebak Laila.“Tidak juga sih Dok, biasa saja, tidak ada yang saya fikirkan berlebihan,” tanggapan Inda mencoba mengelak.“Harus badrest dulu ya Ustadzah. Jangan terlalu melakukan yang berat-berat dulu,”“Apa melakukan perjalanan jauh akan berpengaruh pada bayi kami Dok?”“Kemana?”“Bandung misalnya,”“Emmm. Sepertinya tidak bisa Ustadzah, khawatir terjadi sesuatu pada bayinya nanti,”Inda hanya melirik pada sang suami. Mengisyaratkan hari ini ia tidak akan bisa menemani sang suami.“Baik kalau begitu Dok, terimakasih ya Dok,” ucap Jida