“Kamu sangat kecewa padaku? Atau benci padaku? Aku sudah siap akan hal itu Zein. Mulai detik ini, aku harap kamu bisa dengan mudah melupakanku, sebagaimana kamu dengan mudahnya meninggalkanku saat itu,” ratap Inda memandangi Zein lamat-lamat, menerka setelah ini mungkin tidak akan ada lagi pertemuan dengannya.“Aku pamit!” kata terakhir Inda sebagai penutup pertemuan.Dengan gontai wanita anggun itu berjalan meninggalkan Zein yang masih membeku di sana, sesekali menyeka pipi yang sudah basah akibat butiran bening yang berderai tiada henti.“Ka Zein,” tegur Sasa yang telah sampai di samping sang kakak, dengan penuh kebingungan melihat Zein dan Inda berpisah di tengah perjalanan, ia mengayun-ayunkan tangan Zein agar cepat tersadar dari lamunannya.Matanya masih memandangi dengan pandangan begitu pilu pada wanita pujaan hati yang sudah jauh sendiri berjalan di depan sana.“Ayo pulang,” ajak Zein dengan berat melangkahkan kaki menerima kenyataan yang baru saja ia dengar.“Ada apa Ka? Kal
Satu minggu berlalu, masalah bersama keluarga Fikri, santri yang masih berada di rumah sakit, ternyata mengalami kerusakan pada tulang pipi karena terbentur dinding gedung, mengharuskan Jiddan berurusan dengan pihak hukum. Pengurusan berkas keberangkatannya ke Cairo pun, terpaksa harus pending hingga masalah pesantren selesai.Jiddan bersama Hanan juga pakde Khoirul, datang memenuhi panggilan kuasa hukum, dimana di sana turut hadir juga keluarga Fikri.“Keponakan saya sampai sekarang ini belum bisa keluar dari rumah sakit Pak,” keluh paman Fikri pada kuasa hukum yang duduk di hadapan mereka.“Saya minta keadilan pada bapak untuk pesantren Hidayah ini,” cecarnya.“Sabar Pak, silahkan duduk kembali,” seru hakim.Ruang sidang tertutup terasa panas karena suasana yang mencekam, pasalnya, keluarga santri tersebut telah menyeret Jiddan ke jalur hukum hingga semua menjadi rumit. Awalnya, mereka hanya meminta denda, namun entah apa maksudnya mereka menuntut Jiddan kembali dengan emosi yang ta
Jiddan tak mampu membuka mata, hingga umi datang membawa obat, ia masih terpejam, namun hati tetap terjaga. Dalam hati, hanya satu nama yang selalu ia pikirkan.‘’Indana Zulfa Helwatun, apakah kamu baik-baik saja?’ gumamnya dalam hati.“Nang, minum dulu obatnya yuk,” seru umi dengan lembut seraya menopang tubuh Jiddan untuk duduk, menumpuk bantal agar Jiddan bisa bersandar dengan nyaman.“Maafkan Umi dan Abi telah menyerahkan semua ini padamu Nang,” ucap lirih wanita paruh baya sambil memandangi putra sulungnya yang sedang meneguk obat.“Jiddan baik-baik saja Mi. Umi dan Abi sendiri yang telah mendidik Jiddan untuk mandiri dan bertanggung jawab. Sekaranglah saatnya Jiddan untuk mengamalkan apa yang Jiddan dapat,” kilah Jiddan.“Istirahatlah dulu ya Nang, Umi pamit ke kamar,” umi beranjak dari duduknya seraya mengusap lembut pipi putra sulungnya.***Pagi buta, Kana telah menyiapkan bubur ayam yang dipesan umi semalam untuk sarapan Jiddan. Ia letakkan bubur ayam yang siap antar di meja
Mengirim pesan pada seorang ketua putri? Ada apa?.(Siang disana nanti saya minta waktunya ya? Terimakasih Naya) beberapa detik kemudian tanda hijau itu menghilang tanda offline pemiliknya.‘Apakah Ustadzah ingin bertanya keadaan pesantren? Atau...’ gumamnya sambil berpikir menerka dalam bayang.Teringat sesuatu, Naya beranjak menuju rumah pengasuh.“Mbak Kana, bagaimana kabar Pak Kyai? Apa baik-baik saja?” tanya Naya saat Kana sudah membukakan pintu untuknya.“Pak Kyai demam, sebaiknya beliau harus tenang dan fresh dulu, apa ada pertemuan lagi dengan pengurus?”“Hah? Sampai demam? Pak Kyai meminta saya untuk bertemu nanti malam sih, tapi kalau kondisi Pak Kyai masih belum sehat, mungkin ditunda lagi,” kaget Naya mendengar kabar sang kyai.“Saya kesini hanya ingin...”“Naya? Kenapa di depan gitu? Disuruh masuk dong Kan,” tiba-tiba umi muncul dari balik pintu, memutus obrolan Kana dan Naya.“Iya Umi. Ka silahkan masuk dulu Ka,” ajak Kana mempersilahkan.“Eh gak usah Mbak, saya disini s
Apa yang harus ia lakukan sekarang? Untuk langsung membalas, rasanya ia tidak siap.Sementara itu, pesan masuk dari nomor baru beberapa menit yang lalu telah muncul di baris atas.[Assalamu’alaikum Naya, simpan nomor saya ya? Akhirnya bisa mengirim pesan seperti ini, terimakasih Nay] isi pesan dari nomor baru itu.Kepala Naya terasa pening, mengapa sesuatu yang tidak masuk akal, terjadi dalam waktu bersamaan.Untuk saat ini, ia tidak membalas apapun untuk keduanya.***Hari beranjak sore, aktifitas santri sudah dimulai kembali hingga malam. Namun, rasa bimbang yang melanda sedari siang belum juga terusir dalam pikiran.[Maaf Ustadzah, Naya baru sempat membalas pesan Ustadzah][Sampai saat ini, Naya tidak tahu harus menjawab apa, apakah Ustadzah yakin dengan hal ini?] Naya memberanikan diri untuk membalas.Inda [ Semua sudah menjadi pertimbanganku Nay, ketika aku memutuskan pergi meninggalkan Mas Jiddan][Sekarang, apa kamu siap untuk itu Nay? Silahkan kamu pikirkan. Satu yang harus ka
“Apa Inda sudah menyampaikan padamu? Tentang pernikahan kamu dan Jiddan?” pertanyaan itu sontak membuat Naya terbelalak tegang.“Emmm... Anu Mi,” Naya terkikuk, tidak tahu juga ini yang akan dibahas oleh umi b“Sudah Mi tadi siang,”“Kami berharap kamu bisa menerima ini, kamu sudah kami anggap sebagai anak Umi dan Abi Nak, menikahlah dengan Jiddan ya Nak?”“Naya masih trauma Mi, Naya takut untuk menjadi yang kedua,” bayangan satu tahun lalu pun muncul seketika, menghadirkan goresan perih di dalam hati.***“Saya mencintaimu Naya, maukah kamu menjadi istriku?” pinta pria tampan di hadapannya.Ruang kelas bawah tampak sunyi, hanya mereka berdua yang berada di ruang tersebut, duduk berhadapan di kursi paling depan, hanya satu meja panjang yang menjadi jarak antara mereka. Pria tampan itu memandanginya lamat-lamat, memancarkan keseriusan dalam ungkapan demi ungkapan yang terlontar dari mulut.“Maaf Ustadz, maaf sekali, bukankah Ustadz sudah memiliki istri? Saya tidak mau menjadi orang keti
Wajah tampan dengan rambut menyembul di atas kepala, mengenakan kaos merah bata yang membalut tubuh gagah nan bersih bersinar yang tengah berdiri terheran di depan pintu.“Sedang diskusi apa?” tanya Jiddan penasaran.“Tidak Nang, kami hanya diskusi sedikit tentang kegiatan pondok,” jawab umi Ruqayyah menutupi percakapan mereka barusan.‘Umi berbohong? Berarti Pak Kyai tidak tahu soal perjodohan ini?’ gumam Naya ikut heran.“Bukannya masih sakit?” umi memastikan.“Ah... Sakit sedikit mah sebentar juga hilang,” kilah Jiddan.“Jangan dipaksakan Nang, kamu harus istirahat total dulu,”“Sudah Mi, Jiddan sudah sembuh,” tersenyum memastikan keadaannya pada umi.*** Setelah berbicara pada Naya, umii bersantai sejenak menonton acara tv kesukaan di ruang keluarga.Dan kemudian Jiddan datang menghampiri, lalu memandangi wanita paruh baya yang mulai menua di hadapannya itu.“Sudah puas memandangi Umi begitu?” celetuk umi tanpa menoleh ke arah anak sulungnya.Jiddan tersenyum mendapati umi yang s
BUG BUG BUG!Bunyi gedoran pintu terdengar kuat tergesa-gesa, Jiddan terkesiap dan langsung bergegas keluar. Disana sudah ada Naya dan Hanan, berdiri dengan wajah panik.“Ada apa Naya? Ustadz Hanan?”“Sepertinya kita diserang lagi Pak Kyai,” jawab Hanan “Tiga puluh santri kurang lebih mengalami muntah-muntah, ,” panik Hanan.“Santriwati pun begitu Pak Kyai,” timpal Naya.“Innalillah... Naya, cepat telpon dokter Imas,” perintah Jiddan “Ustadz Hanan tolong kumpulkan santri putra yang sakit di masjid, dan santri putri di mushalla”Maka, tengah malam itu juga pesantren kembali diserang, lebih dari seratus santri saat ini terkena serangan senyap ilmu hitam itu.Malam menjadi bising dengan pergerakan pengurus yang mengevakuasi santri. Jiddan cepat mengambil sorban pusaka peninggalan kyai Nur.“Pak Kyai, ada apa?” tanya Kana menghampiri Jiddan yang hendak menuju kamar.“Lebih dari seratus santri terkena sihir, Kan,”“Hah?” mata Kana melebar tak percaya, mengatupkan tangan menutup mulut.“Ka
Jum’at, 13 maret 2023. Acara akad dan walimatul ‘ursy akan dilaksanakan. Semua persiapan selama tiga minggu lalu telah berbuah pada hari ini.Koordinasi pengurus yang sangat solit hingga terlihat begitu memuaskan. Mulai dari pengaturan para santri, tata letak dekorasi, serta sususan acara telah siap dimulai pada detik ini.Acara sakral, yaitu pengucapan janji suci, akan segera dimulai. Para tamu agung mulai berbondong menuju masjid dengan pelataran yang sangan indah. Dikhiasi bunga-bunga cantik bernuansa putih hijau, kursi-kursi yang berjejer rapi berselimutkan putih, karpet merah yang terbentang Panjang hingga tangga masjid yang sudah di dekor lengkungan bunga di depannya sebagai tempat penjemputan mempelai wanita saat ijab qabul telah dilantunkan. Semua tersusun rapi dan sangat khidmat.“Jidan sudah siap?” tanya penghulu.“Insyallah siap,” jawabnya mantap.“Ankahtuka wazawwajtuka Inayatu Shalihah binti H. Hasan Asy-Syadzuli bi mahril madzkur haaaalan,”“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha
“Sofi,” panggil Inda yang sangat mengerti apa yang sedang terjadi pada Sofia.“Ya Ka,” Sofia menoleh masih dengan wajah lesunya.“Dengarlah apa yang dikatakan oleh hatimu,” titah Inda tiba-tiba.Sofia hanya mengangguk lalu kembali berlalu.“Banyak yang menderita hatinya di rumah ini karena aku,” ucap Inda menyesal.“Kalau saja Ustadzah Inda saat itu tidak berterus terang memberitahu perasaan Kana pada Pak Kyai. Mungkin sampai kapanpun Kana akan terjerat oleh rasa yang membingungkan itu, dan menjadi benalu di rumah tangga Ustadzah. Karena untuk pergi dari pesantren ini pun Kana tidak mampu. Ternyata, cinta Kana pada pesantren ini, ketulusan Kana pada Umi dan Abi lebih besar dari apapun,”Inda terdiam, tertegun mendengar ucapan Kana.“Hingga akhirnya, Kana menemukan hikmah saat Kana berada di kampung. Seorang pria yang selama ini hanya sibuk dalam mempertaruhkan nyawa seseorang datang untuk menyatakan perasaannya dan telah berhasil membuka fikiran Kana dan memberi ruang padanya,”“Janga
“Tapi…”“Kenapa?”“Naya malu Pak Kyai,”“Malu pada siapa?”“Anak santri. Mereka belum mengetahui acara ini. Dengan pergi berdua seperti ini, Naya khawatir ini akan menjadi fitnah,”Jidan menghela napas memperbaiki posisi duduknya berhadapan dengan Naya.“Kana,” panggil Jidan.“Baik Pak Kyai,” sahut Kana yang muncul dari ruang keluarga.“Tolong kumpulkan semua pengurus disini sekarang,”“Sekarang Pak Kyai?” tanya Kana memastikan.“Ya,”“Nggeh Pak Kyai,” angguk Kana lalu bergegas keluar mengerjakan perintah Jidan.Naya terbelalak mendengar ucapan Jidan yang tiba-tiba memanggil semua pengurus untuk berkumpul disini. Keputusan itu, pasti karena ucapannya barusan yang merasa malu karena para santri belum ada yang tahu.“Pak Kyai?” suaranya lirih tak percaya.“Kita cukup memberitahu pengurus saja kan?”“Kenapa tiba-tiba begini Pak Kyai? Pak Kyai semakin membuat Naya malu,” ujarnya mengerucutkan bibir manisnya.“Siap-siap saja dengan tanggapan mereka nanti,”Mendengar kalimat itu, wajah Naya
Dua hari kemudian, kondisi bayi dalam kandungan Inda dinyatakan normal, dan sudah diperbolehkan pulang.Sore hari, Inda dan Jidan sudah sampai di halaman pesantren. Suasana yang tenang, beberapa kegiatan masih berlangsung. Ada yang sedang menghafal di gazebo, ada yang sedang gotong royong membersihkan kamar masing-masing, dan ada juga yang sedang mengikuti ekstrakulikuler karena hari ini adalah hari minggu, dimana kegiatan kesenian dijadwalkan pada hari itu sebagai waktu refreshing bagi para santri.Juga, di area lahan kosong yang terletak di samping rumah pengasuh terlihat Pak Maman sedang mengkordinasi para pegawai yang mulai merancang Pembangunan sebuah rumah yang akan dihadiahkan untuk Naya nanti.“Apa Naya sudah memilih desain interiornya Mas?” tanya Inda yang melihat-lihat area tersebut.“Dia masih melihat-lihat katalog yang diberikan arsitek kemarin Sayang,” jawab Jidan santai.“Assalamu’alaikum Ustadzah?” sapa para santri yang berlalu didekatnya dan tak lupa mereka menyalami J
Sungguh ingin ia mempertahankan sang mantan agar dapat kembali padanya. Sudah sejauh ini ia memperjuangkan sang kekasih, berharap masih ada ruang baginya untuk mendapat cinta yang selama ini telah ia pupuk hanya untuk wanita pemilik wajah anggun nan cantik, yang matanya mampu meluluh lantakkan hati yang memandangnya, yang senyumnya mampu meruntuhkan benteng pertahanan.‘In, siapa yang akan menutup luka yang tergores dalam di hati ini In? Aku masih menyayangimu bahkan entah sampai kapan. Bisakah kamu melihat itu In? aku akan selalu menunggumu’ Pemandangan di balik jendela bus menuju kota Jakarta terasa sedang mengiba ikut merasakan pilunya cinta seorang pria yang baru saja menerobos masuk dalam kehidupan sang mantan. Dengan penuh resiko dan bahaya.KLING KLINGPonsel Zein berbunyi. Panggilan dari Firhan sang wakil keamanan.“Halo assalamu’alaikum Han,”“wa’alaikumussalam Zein,” jawab Firhan tergesa. “Zein gawat Zein. Ada pengeroyokan antar kekeluargaan di distrik 10 Zein,”Zein terteg
TAK TAK TAKLangkah kaki terdengar gagah mendekat memasuki ruang tunggu.“Sofi. Bagaimana keadaan Kakak?” panik Jidan.“Kak Inda masih harus istirahat Kak,” jawab Sofia.Zein hanya melirik sinis pada Jidan dan Naya yang baru saja sampai di ruangan itu. Jidan melangkah sampai di depan Zein yang hanya duduk tak menghiraukan kedatangan Jidan.“Silahkan tinggalkan ruangan ini,” perintah Jidan pada Zein.Zein beranjak dari kursinya dan memandang tajam pada lawan bicaranya.“Jika kamu tidak bisa membahagiakannya. Lepaskan dia dari jerat hidupmu yang rumit itu!” ucapannya penuh penekanan dan mengintimidasi.“Apa hak kamu berbicara seperti itu hah?” cecar Jidan.“Aku. Tidak akan pernah menyerah untuk ini! Ingat itu!”“CUKUP!” teriak Sofia menghentikan perdebatan keduanya. “Jika masih ada yang belum selesai antara kalian, kenapa kamu meminta aku untuk memulai suatu hubungan Kak Zein? Kenapa?” derai air mata tak sanggup untuk dibendung. Kenyataan itu cukup menyakitkan bagi Sofia yang hanya menj
Pagi yang segar di hari sabtu, Inda memutuskan untuk memulai harinya dengan menyirami tanaman bunga di halaman depan rumah. Para santri pun yang hendak masuk ke kelas berlalu Lalang menyapanya dengan santun, beberapa mereka menyalami Inda dengan takzim.“Kamu tau gak Ser? Kemarin Pak Kyai pergi sama Ka Naya loh!”“Kemana ya kira-kita?”“Kalo akau perhatiin ya, akhir-akhir ini Ka Naya selalu dipanggil ke rumah pengasuh tau,”Tak sengaja Inda mendengar percakapan segerombol santriwati sedang membicarakan suaminya dengan ketua putri. Rasanya tidak etis sekali ada pembicaraan seperti itu di pesantren ini, terlebih itu menjurus kepada fitnah nantinya.Larut dalam fikiran, seketika perut Inda terasa nyeri seperti ada yang meremasnya dengan kuat. Inda merintih kesakitan, wajahnya memucat, tubuhnya membungkuk menahan sakit. Selang air yang semula di tangan, ia jatuhkan seketika.Dua oran santriwati yang melihat Inda hampir terjatuh di tanah, segera berlari untuk menopang tubuh Inda. Seluruh s
“Kyai?” panggil Naya.“Ya?” sahut Jidan.“Apa Ustadzah Inda telah menyiapkan semua isi tas Pak Kyai?” tanya Naya yang masih terkesima dengan ketelatenan Inda dalam menyiapkan perjalanan Jidan.“Iya. Kenapa?”“Masyaallah sekali Pak Kyai, sangat lengkap dan rapi,” puji Naya.“Kamu sudah membuka semua bagian?” tanya Jidan memastikan. Naya menggeleng.“Di bagian paling besar, itu berisi pakaian, termasuk handuk kecil dan sapu tangan, di bagian ke tiga, ada perlengkapan untuk perawatan mulut. Dan yang paling kecil ini, Inda berpesan,”kalau ada receh kembalian, taruh disini ya Mas, biar dompet Mas tidak gembung” Begitu katanya,”Naya tersenyum mendengar penjelasan Jidan, kemudian menunduk merasa insecure denga napa yang dilakukan Inda untuk Jidan. Dia tidak yakin bahwa dirinya akan seperfeksionis Inda atau malah menyusahkan mereka.“Kamu, tetaplah jadi dirimu sendiri. Aku akan mencintaimu dengan apa adanya dirimu,” kata Jidan melihat perubahan sikap Naya.“Terimakasih Pak Kyai,” ucap Naya
Waktu itu telah tiba. Hari dimana Jidan dan Inda akan segera berangkat menemui ibunda Naya.Jam dinding menunjukkan pukul delapan pagi, seperti jadwal yang sudah ditentukan, Inda akan pergi untuk memeriksakan kehamilannya terlebih dahulu Bersama Jidan.Setelah mengantri menunggu giliran, akhirnya Inda dan Jidan sudah berada di ruangan dan akan segera dilakukan USG yang ditangani langsung oleh bidan Laila.“Sepertinya Ustadzah terlalu banyak fikiran ya?” tebak Laila.“Tidak juga sih Dok, biasa saja, tidak ada yang saya fikirkan berlebihan,” tanggapan Inda mencoba mengelak.“Harus badrest dulu ya Ustadzah. Jangan terlalu melakukan yang berat-berat dulu,”“Apa melakukan perjalanan jauh akan berpengaruh pada bayi kami Dok?”“Kemana?”“Bandung misalnya,”“Emmm. Sepertinya tidak bisa Ustadzah, khawatir terjadi sesuatu pada bayinya nanti,”Inda hanya melirik pada sang suami. Mengisyaratkan hari ini ia tidak akan bisa menemani sang suami.“Baik kalau begitu Dok, terimakasih ya Dok,” ucap Jida