Tobias terus menggenggam tangan Geby sambil memperhatikan layar monitor di depan mereka yang belum bisa berhenti membuat haru.
"Percayalah kita bisa melalui ini," bisik Tobias untuk meyakinkan Geby sambil mengecup punggung tangan wanita itu yang berada dalam genggamannya.
Geby masih berbaring dengan seorang dokter yang sedang menggerakkan alat USG di atas kulit perutnya yang masih rata, untuk bisa melihat kondisi janinnya dari beberapa sisi.
Geby sudah beberapa kali menghapus benih air mata harunya yang sudah tak terukur lagi karena akhirnya bisa melihat mahluk kecil yang sedang tumbuh dan berdenyut-denyut di dalam rahimnya. Kehamilannya sudah masuk sembilan minggu. Geby tahu perjuangannya tidak akan mudah tapi Geby menginginkannya, Geby tetap menginginkan benih Jeremy yang se
YUK KASIH VOTE UNTUK MENDUKUNG CERITA INI, BANTU PROMOSIIN DI GRUP MEMBACA JUGA BOLEH , POKOKNYA LUV U^.^
"KAU HARUS MATI!" tekan Tobias dengan rahangnya yang mengeras kaku. ***** Rumah keluarga Harlot di kawasan Medina merupakan salah satu hunian paling elit dengan pekarangan luas yang masih ditumbuhi banyak pepohonan besar dan halaman belakang langsung menghadap ke danau Washington. Tempat tinggal yang sangat nyaman dibanding rumah mereka dulu di Manhattan, karena tidak ada kebisingan di sini dan udaranya terasa jauh lebih sehat untuk dihirup. Mereka juga bisa langsung memarkir yacht di halaman belakang. Sudah hampir delapan tahun keluarga Harlot pindah ke kawasan Medina. Mereka juga bertetangga dengan rumah keluarga Loghan yang sekarang sudah lama tidak ditempati. Rasanya seperti kembali ke masa lalau, Geby jadi ingat lagi semua kenangannya ketika dulu masih tinggal bersama di rumah keluarganya, ketika sepupu-sepupunya belum menikah, ketika mereka masih sering berkumpul bersama, dan tentunya ketika dia masih belum mengenal James Loghan. Kadang Geby juga hampir
Geby yakin dirinya sedang bermimpi karena hal terakhir yang dia lihat tentang Jeremy Loghan adalah saat pria itu berjalan pergi keluar dari pintu rumah keluarganya. Geby tidak melihatnya lagi dan tidak akan bisa melihatnya lagi. Rasanya hampir sama seperti ketika dirinya hanya mendengar suara tembakan peluru yang menembus kepala Walker tanpa pernah benar-benar melihat sendiri ketika Jeremy mengarahkan peluru tajam itu ke kepala kudanya kecuali hanya di dalam mimpi. Kali ini di dalam mimpinya Geby melihat Jeremy berada di atas tandu yang baru dikeluarkan dari ambulance dan Tobias berdiri di sampingnya dengan setelan rapi. Tobias membuka kain tudung yang semula menutup tubuh Jeremy dan Geby benar-benar tidak sanggup ketika harus melihat jejak luka di sekujur tubuh Jeremy yang sudah mulai memucat dan kebiruan. Pria itu sudah tidak bernapas, tidak bisa bergerak, tidak bisa bicara atau meneriakinya lagi, dan entah dia pergi ke mana. Geby hanya tahu jika dirinya tidak akan
Yang Geby lihat cuma kegelapan, dia juga sedang tidak bisa meraih apapun, tapi dia tetap merasakan bagaimana kewanitaanya sedang diserang. Geby tidak tahu kenapa matanya harus ditutup padahal tangannya sudah terikat dan tidak bisa kemana-mana dengan seorang pria menunggangi tubuhnya. Kecuali siapapun itu dia hanya tidak mau terlihat. Padahal ingatan terakhir Geby ia masih berada di rumah keluarganya dan sekarang Geby merasa tubuhnya juga sudah ditelanjangi. Geby merasa kedua buah dadanya sedang dicengkram seperti digunakan sebagai pegangan sementara pria itu terus melakukan penetrasi ke dalam tubuhnya. Rasanya penuh dan sesak, walupun tidak sakit tapi tetap saja mengerikan. Geby sudah sepenuhnya sadar dan dapat merasakan dengan pasti jika dirinya sedang disetubuhi oleh seorang pria yang tidak mau ia lihat atau dikenali. Bibir pria itu terasa panas menangkup kedua puncak payudara Geby bergantian. Geby hanya merasa semakin tidak benar tapi lumatan lembut dan pa
"Oh sial!" pekik Geby ketika berdiri di depan cermin. "Apa ini?" Geby melihat jejak kemerahan di sepanjang sisi lehernya dan mustahil untuk ia tutupi karena dia hanya mengenakan baju berleher rendah. "Aku tidak bisa keluar seperti ini!" tegas Geby ketika berpaling pada Jeremy. Tanpa bicara apa-apa Jeremy mengambil kemejanya untuk ia pakaikan kepada Geby. Geby juga cukup diam ketika pria itu bantu mengancingkan kemeja tersebut dan merapikan rambutnya sebelum dia ajak keluar. Begitu keluar dari kamar Geby langsung memeluk Tobias yang benar-benar sudah nyaris bosan menunggu mereka berdua. "Terimakasih." Geby juga mencium sepupuny
Geby langsung tersenyum begitu melihat Jeremy yang terlihat tampan. Jeremy benar-benar datang dengan setelan rapi layaknya menantu yang baik, dan kali ini sedang mencium punggung tangan sang bibi yang menyambutnya di depan pintu. Walaupun terkejut dengan kedatangan pemuda itu, tapi Jeremy Loghan tetap lah pria yang karismatik. Dia muda, tampan dan pastinya kaya raya. Pesona yang sulit untuk di tolak apalagi ketika dia sedang ingin bersikap manis. Geby tahu jika pria itu sedang berusaha untuk menjadi menantu yang baik untuk keluarganya. Geby masih berdiri di tengah anak tangga ketika Jeremy mendongak dari punggung tangan sang bibi dan langsung menatapnya dengan sepasang netra birunya yang seperti kombinasi langit cerah yang cemerlang tapi juga dalam, netra biru yang indah. Jeremy sudah berjanji pada Tobias untuk datang menjemput Geby l
Jeremy memang memperlakukannya dengan lembut di bawah sana, tapi tidak dengan bibirnya. Pria itu tetap keras penuh keinginan seolah tubuh Geby adalah sesuatu yang bisa dia nikmati dengan ditelan. Dalam kondisi matanya yang masih tertutup Geby hanya bisa merasakan tiap tangkupannya yang basah dan mendengarkan suaranya yang berdecak penuh nikmat, bukan hanya dari bibir Jeremy tapi juga dari bibirnya sendiri. Semuanya sedang sangat panas dan kacau tanpa dapat dipilah lagi dari mana sumbernya. Jika saja kulit Geby bisa dikelupas untuk bisa melebur dengan tubuh lelakinya maka ia pun rela, rela meresap hingga ke tulang rusuknya. Tubuh Jeremy semakin bergetar, meraung-raung seperti citah jantan yang sedang menaungi tubuh buruannya yang nikmat, tubuh yang sedang tidak boleh asal ia koyak meskipun rasa lapar itu sudah semakin membabi buta.
Geby sudah duduk di kursi pesawat memperhatikan Tobias Harlot dari jendela, pemuda itu masih melambai setelah tadi memberi begitu banyak pesan agar Geby berhati-hati menjaga kondisi kehamilannya. Kali ini kandungan Geby baru memasuki bulan ke tiga, usia yang masih sangat rawan untuk kehamilan yang juga sangat beresiko. Walaupun mereka menggunakan jet pribadi dengan fasilitas dokter dan sangat nyaman namun Jeremy tetap Khawatir ketika membawa Geby dalam penerbangan panjang. Jeremy merasa tetap harus membawa Geby pulang ke Yorkshire karena tahu Geby mencintai tempat itu sama halnya seperti dirinya. Sebenarnya Jeremy juga suka tinggal di Yorkshire, meskipun bukan tanah kelahirannya tapi Jeremy juga tumbuh dan dibesarkan di sana. Jeremy ingin kelak anak-anaknya juga bisa dibesarkan di rumah tersebut, dan lima anak sekaligus pastinya juga akan segera membuat rumah keluarga Loghan kemba
Napas Geby memang ikut tersengal dan sesak tapi dirinya tidak apa-apa Jeremy langsung meraup tubuhnya yang masih berlutut di lantai dan memeluknya erat-erat. "Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa, " gumam Geby agar Jeremy tidak merasa terlalu bersalah dan cemas. Meskipun ini bukan kali pertama Jeremy membuat Geby hampir tersendak karena harus menelan cairan kental ke tenggorokannya, tapi sekarang kondisi Geby sedang hamil dan masih rutin muntah setiap pagi. Mestinya Jeremy memang harus lebih bisa menahan diri, karena itu juga salah satu pelajarannya sebagai calon orang tua, sama halnya dengan pelajaran 'bersabar'. Jeremy mengangkat tubuh Geby untuk ia ajak berendam di jacuzzi yang sudah diisi dengan air hangat. Setelah melepas pakaiannya pelan-pelan Jeremy benar-benar mulai memberikan p
Salju mulai menebal di pertengahan Desember dan sampai puncaknya di bulan Januari. Padang rumput yang luas sudah sempurna diselimuti salju. Meskipun para kuda termasuk hewan yang paling tahan terhadap cuaca dingin, tapi biasanya justru para pekerja yang semakin enggan membawa kuda keluar istal. Cuma Jared yang terlihat tetap tidak keberatan untuk berkeliaran di cuaca yang sudah semakin membeku, menurutnya kuda-kuda tersebut tidak hanya cukup di beri tumpukan jerami kering, mereka perlu bergerak utuk terus bugar dan mempertahankan panas tubuhnya. Mateo memperhatikan Jared yang sudah beraktifitas sejak pagi, seolah sama sekali tidak mengenal rasa dingin meskipun napasnya terlihat berkabut. "Kubuatkan minuman panas untukmu!" Mateo mengangkat segelas coklat panas utuk dia tunjukkan pada Jared yang masih sibuk membawa kuda-kuda berputar di sekitar istal. "Sebentar lagi Paman!" Jared berputar sekali lagi sebelum kemudian memasukkan kuda-kuda ke dalam istal. Paling tidak dua jam dalam se
Semua pekerja istal ikut berkumpul di beranda samping rumah utama mengelilingi meja besar di area dapur kekuasaan Carolina. Jadi jangan heran jika juru masak bertubuh subur itu jadi yang paling jumawa jika ada yang berani melanggar aturannya. Carolina sudah menyiapkan bebagai menu masakan dan seperti biasa para pria-pria tua itu selalu rakus. "Kemari, Jared. Sudah kuambilkan sup untukmu." "Karena dia masih muda dan tampan jadi kau paling memanjakannya?" "Diam kau, Kakek Tua! " Carolina tidak menghiraukan dia tetap menarik lengan Jared yang kebetulan terakhir tiba. Anelies sudah ikut duduk di tengah meja makan bersama mereka semua dan ikut menertawakan entah lelucon apa karena Jared memang sudah tertinggal. Anelies menoleh padanya dan tersenyum. "Ingat anak muda jangan coba menggoda nona kami, cukup Carolina saja. " Carolina langsung memukul punggung sepupunya itu dengan spatula. Selain sepupunya, paman Carolina dulu juga bekerj
Anelies duduk di atas batu agak datar di antara semak rumput tidak terlalu tinggi, gadis itu menyingkirkan sisa terakhir pakaiannya, membiarkan Jared melihatnya. Tungkai rampingnya yang lembut terlihat sepeti kaki peri ketika Anelies menjejak ke tepian batu tempatnya sedang duduk setengah berbaring. Jared langsung melompat turun dari punggung kuda, menyambar pakaian Anelies untuk menutupi tubuh gadis itu. "Satu minggu yang lalu usiaku sudah genap tujuh belas tahun aku sudah cukup dewasa untuk berbuat apa saja, dengan siapa saja. Kau tidak perlu khawatir, aku juga sudah pernah melakukannya," ucap Anelies pada Jared yang masih coba menutupi tubuh Anelies sekenanya. "Aku tidak akan apa-apa." Anelies mencekal tangan Jared yang hendak berdiri dan gadis itu masih menengadah se
Jared kembali melihat daun pintu kamar yang sedikit terbuka, dia tahu apa ayang akan terjadi jika dirinya tetap melangkah, tapi setiap kali rasa penasaran itu selalu tumbuh lebih besar untuk menenggelamkan sisa kewarasannya. Dirinya juga akan hancur tak tertolong dan tidak bisa dihentikan, dia bisa mengubah erangan kenikmatan menjadi jeritan bersimbah darah. Tubuhnya akan mulai bergetar meningkat semakin panas, terus bergolak seolah nadinya memang dialiri magma. Jared akan meregang dan mengerang sendiri dalam rasa kejang yang menyiksa dengan sangat luar biasa sampai akhirnya ia akan tersentak dari tidurnya dan terduduk dengan sisa jantung berdentam-dentam.Sudah lewat tengah malam, ketika Jared kembali terbangun dengan telapak tangan bergetar dan mengepal. Napasnya berderu kasar dan sama sekali belum bisa menjinakkan ritme jantungnya yang liar. Mimpi mengerikan itu kembali menerjang beru
Anelies tidak menyangkan jika bibir seorang pria akan terasa seperti ini. Hangat dan tebal bertekstur tapi tetap lembut ketika menakup dan mengaisnya dalam lumatan. Gairahnya berbeda, tidak seperti ketika dia sekedar 'flirting' bersama teman laki-laki di sekolah.Napasnya pria dewasa lebih panas merongrong untuk terus dipenuhi kemauannya. Lidahnya bisa disebut lembut tapi juga kasar dengan caranya menjerat mangsa dengan tepat. Pria itu liar, besar, panas bergemuruh penuh nyali.Jared masih menakup pipi Anelies dengan kedua telapak tangannya yang hangat sampai gadis itu cukup menengadah untuk menyambut hisapannya.Entah kemana perginya udara yang tadi nyaris membeku karena kali ini atmosfer di sekitar mereka tiba-tiba menjadi panas seperti uap sup jamur mereka yang terlupakan.Anelis merasa tengkuknya mulai dicengkeram, cukup keras tapi tidak tahu kenapa sepertinya dia juga tidak mau pria itu berhenti memperlakukannya seperti itu. Bibirnya kembali digigit
Sebentar lagi akan menghadapi musim dingin dan beberapa tahun belakangan ini musim dingin bisa menjadi lebih ekstrim, bahkan tahun kemarin sampai mencapai titik terendah minus 10 derajat celcius di bulan Januari. Dari sekarang semua pengurus istal harus bersiap agar dapat bertahan sampai musim semi tahun depan. Semua penghangat di istal harus dipersiapkan dan memastikan semua mesinnya berfungsi dengan baik. Karena sudah lama tidak digunakan kali ini juga menjadi pekerjaan tambahan Jared untuk memastikan semua penghangat masih berfungsi normal. Sebenarnya kemarin Mato sudah hendak memanggil tukang servis tapi Jared melarangnya dan menawarkan diri karena itu kadang hanya Mato yang menemaninya bekerja sampai malam ketika harus melembur pekerjaan tersebut. Sebagai kepala pengurus istal Mato juga merasa ikut bertanggung jawab dan tentunya dia juga menyukai Jared yang tidak pernah pilih-pilih pekerjaan. Dia mau memegang pekerjaan apa saja
"Jared ..!" pekik gadis yang sedang ia himpit ke sudut istal. Tangan rapuhnya mencengkram erat pada pagar tiang pengait kuda, berusaha mencari pegangan apa saja ketika tubuhnya semakin bergoncang-goncang. Jared terus mendesaknya meskipun tau gadis itu sudah sangat kesakitan dan berulang kali memohon agar dirinya berhenti. "Kau sakit ...." pekiknya sekali lagi "Oh ...!" "Hentikan! kau menyakitiku .... " Tapi Jared tetap tidak bisa berhenti, dia senang melakukannya dan justru semakin terpacu untuk menumbukkan pingulnya lebih keras lagi. Dirinya sangat besar keras dan kejang, sekujur tubuhnya panas seperti api ketika sedang terbakar seperti ini. Sebenarnya Jared sangat membenci kek
Jared sudah kembali memakai celana panjangnya meskipun tubuh dan rambut di kepalanya masih basah menetes-netes ketika menghampiri gadis muda yang sedang merintih kesakitan di atas rumput. "Maaf apa kau tidak apa-apa?" "Kakiku terkilir." "OH, Tuhan!" Jared segera mengangkat tubuh gadis itu utuk dia bawa ke dalam pondok. Jared mendorong daun pintu dengan kaki panjangnya kemudian mendudukkannya di tepi ranjang. "Bagian mana yang sakit?" Jared buru-buru memeriksa karena gadis itu mulai menangis disertai air mata. "Ini sakit sekali..." dia masih merintih sambil memegangi lututnya sampai tidak terlalu perduli dengan pria yang sedang berjonkok di depannya. "Tarik napasmu pelan-pelan biar kuperiksa." "Kau tidak bisa!" buru-buru dia mencegahnya. " Aku memakai celana!" baru kemudian gadis itu sadar jika dia juga tidak mengenal pemuda yang coba menolongnya itu. "Apa kau mau aku memanggilkan seseorang?" Jared juga terlihat
Jared pergi tanpa berpamitan dengan siapapun bahkan paman dan bibinya pun juga tidak tahu. Jared pergi hanya dengan membawa ransel seperti biasanya ketika dia berangkat bekerja. Cuma ada beberapa lembar pakaian di dalam benda tersebut. Jared bukan tipe pria yang bakal mau repot mengurusi penampilannya, baginya yang terpenting tubuhnya bersih rambutnya pun selalu kelewat panjang untuk bercukur. Sampai Jared pergi kemarin, paman dan bibinya juga tidak tahu jika ia sudah di usir dari bengkel Norton dan sedang jadi pengangguran. Meskipun kemarin Josephine mengatakan bahwa ayahnya ingin dirinya bekerja lagi, tapi Jared yakin itu juga cuma kerena Josephine yang memohon lagi kepada ayahnya. Jared kenal sifat tuan Norton, mustahil dia mau menarik ucapannya kembali hanya untuk pemuda tak berguna seperti dirinya meskipun ia terbukti tidak bersalah.