Malam merangkak naik kira-kira mungkin pukul 9 malam saat ini, Dinda baru saja kembali dari mini Market milik Bu Retno yang dia jaga tepat didekat kampusnya.
Kini dia akan pulang ke kos-kosan yang jaraknya tidak jauh dari kampus paling juga 15 menit bisa cepat juga jika dia melewati jalan potong, hanya saja pasti jalanan sangat gelap ia pun memutuskan memesan sebuah ojek online.
Tidak terlalu lama ojek pun datang dan segera menghantarkan Dinda ke kos-kosannya, malam ini dia akan tidur sendirian Melana siang tadi diminta pulang oleh sang ibu sebab ayahnya sakit, sungguh Dinda pun ingin pulang hanya saja nanggung jika hanya sehari dua hari.
Kurang dari 10 menit Dinda pun tiba di hunian berbentuk rumah berlantai tiga itu yang memang seluruhnya adalah hunian kos-kosan, tepat didepan pagar masuk kos-kosan itu.
“Ciaaaa....Cia....jangan lari....Cia!”
Dinda yang tengah membayar ongkos menoleh suara teriakan anak kecil itu dan dia tampak mengejar seekor kelinci malam-malam seperti ini.
“Terimakasih, Mba...” Ojek pun pergi,
Sementara Dinda tidak masuk ia terus melihat anak kecil yang sendirian itu. “Pussss pusss....” Dinda menyampingkan tas selempangnya ia pun segera merendahkan tubuhnya.
Beruntungnya kelinci yang berlari kencang itu segera berlari kepada Dinda, membuat bocah kecil itu berhenti dan memajukan bibirnya.
“Dia Cia bukan puss pus....”
Dinda pun tertawa, ia menggendong kelinci itu, “Hi Cia kenalin aku kak Dinda, lalu yang punya ini namanya siapa.”
Bocah kecil itu seperti tengah mengkhawatirkan sesuatu ia menoleh kebelakang, “Nama aku Egar...” Jawabnya sedikit celat, “Ayo kita pulang Cia nanti papa marah.” Bocah kecil itu pun mengulurkan dua tangannya meminta kelinci miliknya.
Dinda ingat ini anak dari penghuni rumah besar didepan yang mencuci mobil bersama ayahnya kemarin. “Oke, ini Cia kamu pulang ya...nanti papa marah.” Dinda pun memberikannya.
“Edgar! Edgarrrrrrrr!”
Suara panggilan dari seorang pria terdengar disana, membuat anak lelaki itu pun melambai.
“Daa....kakak Dinda!” Ia pun segera pergi dari sana, Dinda mengulas senyuman saat anak itu pergi dan menyambut lambaian tangan Edgar.
Dari sebuah carpot lelaki dewasa yang tidak lain adalah ayah anak lelaki itu melihat ke arah Dinda lalu memberi anggukan seulas senyuman seperti menyapa dan segera merangkul anaknya masuk kedalam rumah.
Dinda masih berdiri disana membalas senyuman orang yang sudah berlalu pergi itu, seketika Dinda tertawa, "Woy Dinda what are you doing!" menepuk dahinya sendiri dan pergi.
Sungguh pesona yang membuat jantung berdebar padahal hanya sebuah senyuman klise dari wajah tampan, Dinda segera naik ke lantai atas kamar kosannya lewat tangga disamping rumah lantai 3 itu.
***
Semangkuk mie rebus panas yang masih mengepul sudah Dinda buat dimeja sembari mengerjakan tugasnya didepan laptop, melantai didepan sebuah meja kecil, tidak lama Dinda merasakan tiupan angin-angin mengusiknya saat ia lihat kearah jendela ternyata dia lupa menutup jendela.
Gadis dengan piyama tedy bear yang baru selesai mandi itu pun segera bangkit dan naik ke atas ranjangnya untuk menutup jendela itu, namun nyatanya Jendela ini bukan lupa di kunci namun sebuah engselnya lepas membuatnya miring dan tidak mau menutup.
Dinda pun terus berusaha menarik-nariknya kuat namun tetap tidak bisa, hingga ia pun keluar berusaha menutup dari balkon kecil kamarnya.
Angin terasa begitu kuat tampaknya akan turun hujan, jelas saja Dinda pun menjadi resah jika ini tidak di tutup mungkin saat hujan deras airnya akan merembes kedalam kamar dan angin kencang akan mengganggu tidurnya.
Dinda terus memukul-mukul dengan tangannya, sungguh ia tidak paham harus bagaimana, bahkan tangannya terasa sudah sakit, Dinda masuk kedalam lagi mencari sebuah benda yang mungkin bisa membuat pintu yang sedikit turun itu naik dan tertutup.
Sialnya tidak ada apapun yang ia rasa bisa menggantikan sebuah palu atau batu Dinda pun kembali membawa tangan kosong berusaha mengangkat tapi sia-sia.
Tanpa Dinda sadari seorang lelaki tampak memperhatikan Dinda dari balkon lainnya sudah dari saat Dinda membuka pintu balkon hingga setengah jam disana.
"Ehemmm!!"
Lelaki itu pun berdehem suaranya sangat jelas di heningnya malam itu, Dinda pun menoleh kebelakang dan ia lihat yang berdeham itu adalah Ayah dari anak bernama Edgar itu tampak jelas walau pencahayaan lantai dua ditempat lelaki itu tamaram
“Coba angkat dari sebelah kanan bawah!” Dia bersuara jelas sembari memperagakam tangannya.
Dinda pun mengangguki lalu mencoba melakulan yang lelaki itu katakan, dengan tenaga yang sedikit kuat Dinda pun mengangkat ke atas.
GDBRUAAAAAKkkkkkkkkkk.....
Jendela terlepas seketika beruntung Dinda segera menepi reflek menutup kedua telinganya sebab suara jatuh itu begitu menggelegar.
Seketika penghuni kos-kosan lain pun pada keluar kamar dan melihat yang terjadi tampak Dinda yang mematung ditempat memegangi telinganya.
“Kenapa...”
“Ada apa?”
Disana adalah kos-kosan perempuan para penghuni disana kelas perempuan dan tidak paham tentang memperbaiki, jangan kan untuk membantu memperbaiki mereka berbasa-basi saja enggan, ada yang langsung masuk lagi setelah melihat Dinda dan ada yang membicarakannya didepan.
Namun ada seorang wanita yang terlihat dewasa mendekat pada Dinda. “Rusak Ya jendelanya?”
Dinda pun mengangguk, “Iya, tadi sih hanya miring lalu saya coba naikin malah lepas.”
Wanita itu mengangguk, “Hubungi saja ibu kos besok juga dateng, aduh...yang sabar ya, coba tutup pakai kardus dulu deh, mau numpangi tidur dikamar saya ada ibu saya datang.”
“Ah, iya...iyaa nggak apa-apa kok,” Dinda menggerakkan tangannya menolak.
“Oh ya kenalin, aku Bunga itu kamar ku disebelah kamu.” Wanita itu mengulurkan tangannya.
“Dinda.” Sambut Dinda kemudian.
“Hem, kalau gitu aku duluan Ya Din, besok masuk kerja pagi.”
Wajah Dinda menampilkan rasa bersalah,”Maaf ya, sudah mengganggu istirahan Kak Bunga dan yang lain.”
“Its oke, di kos-kosan itu biasa!” Wanita itu pun segera berlali dari sana dan masuk kedalam kamarnya.
Dan kesialan itu akhirnya di ratapi sendiri, tidak lagi ia ingat mie rebusnya yang mengepul tadi, kini yang terpenting bagaimana keadaannya saat ini.
“Tuhan...” Dinda pun mengeluh, Dimana mendapatkan kardus-kardus.
Dinda pun melihat dari pembatas balkon mungkin saja dibawa sana ada kotak-kotak, Dinda menutup pintu kamarnya, segera memutuskan turun ke lantai bawah yang mana barang kali ada kardus disana.
Sial.
Saat akan turun gerimis pun turun, terpaan angin membawa air pun mengenai Dinda, dia tidak pedulikan itu, sungguh akan bagaimana dia saat ini, netranya mencari-cari bawah sana di antara barang-barang yang menumpuk namun tidak ada, hingga ia pun keluar gerbang mencari di tumpukan sampah kertas namun sama selali tidak ada apapun.
Tidak lama Dinda menoleh suara dari gesekan pagar yang terbuka, seorang lelaki keluar dari sana bercelana pendek dan kaus hitam pas-pas ditubuh, Ia membawa sebuah lipatan benda dan sebuah palu menutupi wajahnya oleh gerimis yang deras.
“Eh—“ Dinda sontak saja terkesiap.
“Naiklah kita pasang sebuah terpal untuk menutupi jendelamu, pagi besok segeralah hubungi pemilik kos-kosan.” Lelaki itu naik meninggalkan Dinda yang terperangah disana kemudian Dinda pun mengikuti naik.
Dinda diam tidak bersuara, takut juga menyelimuti dirinya seorang lelaki dewasa tetangga rumahnya mungkin suami dari seseorang membantu Dinda disana, lelaki itu pun tidak berbicara apapun hanya sibuk menempeli dengan paku sebuah terpal berbahan plastik itu kejendela Dinda.
Lelaki itu juga basah sebab gerimis itu menempiasi hingga ke balkon kecil teras kamar kosan Dinda itu.
“Maaf— jadi basah...”
Tangan kekar itu terus memaku tanpa merespon sesekali ia mengusap wajahnya yang basah sengan lengannya Dinda pun bingung dia harus apa.
“Menepilah disitu basah!” Lelaki itu berucap tanpa melihat paham Dinda yang tidak enakkan sehingga ia ragu untuk masuk.
“Ah tidak apa-apa nanggung, maaf mas saya merepotkan.” Mas? Dinda juga bingung harus memanggil apa, aneh sekali rasanya ini.
“Sudah selesai! Jika malam ini hujan lebat saya rasa tidak ada masalah, baiklah! Selamat malam...” Lelaki itu hendak berlalu.
“E-eh Mas, tunggu! Bayar berapa?” Dinda menggaruk pelipisnya.
Lelaki itu menaikan senyum simpulnya melihat Dinda, "2 lembar daun mangga berlapis emas ada?”
Dinda terperangah, “Ha, Apa?” Dinda menggaruk dahinya, Dia sedang bercanda Dinda Oon kenapa jadi enggak nyambung sih.
“Saya Kairo, Papanya Edgar...terimakasih sudah membantu Edgar menangkap Cia...” Senyuman tulus terbit diwajah tampan lelaki itu kepada Dinda yang masih mematung dan dia segera dia hilang dari sana sudah turun cepat ketangga.
Dinda menggeleng bodoh, bisa-bisanya dia terdiam di terpaan hujan hingga akhirnya Dinda pun kepembatas balkon melihat lelaki itu yang sudah menyebrangi jalanan memasuki rumahnya dan menutup pagar segera.
“Papanya Edgar!” Panggil Dinda membuat lelaki itu menoleh keatas sana. “Terimakasih...”
Kairo melengkungkan senyuman tipisnya tidak menjawab dia pun menghilang diterasnya masuk kedalam rumah.
Next »
Sejak kejadian malam seminggu yang lalu itu Dinda tidak lagi bertemu dengan Kairo dan Edgar, rumah besar itu tampak tidak berpenghuni namun mobilnya tampak terparkir disana. Padahal Dinda keesokan harinya setelah malam itu dan kaca jendelanya sudah dibenarkan pihak kos-kosan, Dinda berinisiatif membawa banyak sekali snack untuk Edgar dari tempat ia bekerja ingin memberi ucapan terimakasih karena Kairo ayahnya sudah membantu Dinda. Sebenarnya sih merasa tidak enak hati mau memberi seperti itu takut Mamanya Edgar salah paham, tapi mungkin dia akan memberikannya dengan mengajak Edgar nongkrong di teras kos-kosan bersama Melana namun sampai hari ini belum juga dilakukan bahkan snacknya sudah hampir habis dimakani Melana. Melana pun mentertawakan dia, bisa-bisa menunggu anak dari bapak-bapak yang menjadi hero, bisa-bisa di tuding pelakor kamu Din.
Aktivitas kembali dimulai yang mana pagi hari dalah waktu tersibuk untuk seorang Adinda, beberapa barang tampak berantakan di ranjang mulai dari tas hingga beberapa buku, sama halnya dengan Melana rekan satu kamar Dinda yang tidak kalah sibuknya."Ehemmm..Mel, coba deh kamu fikirkan...” Dinda berbicara sembari merapikan rambutnya dikaca ia baru selesai mandi dan akan pergi ke Bank dan beberapa tempat untuk mengurusi segala kartu dan identitasnya yang hilang bersama dompetnya itu.Melana yang sedang memakai pakaian pun menoleh, “Coba yang lain kali ya Din, mumet dah disuruh coba mikir mulu, nggak di kampus dikos-kosan juga.”Dinda pun tertawa, “Melan serius, aku mau cerita ini....”“Kaya ngelamar aja serius, cerita ya cerita aja kali!” gerutu Melana terus mengancing susah payah kem
Dinda masih melihat pada Cairo berharap mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, “Hem, iya istri—Mas...eh...mamanya Edgar dimana?” ulangi Dinda, dan Dinda juga bingung harus memanggil tetangganya ini apa. Lelaki itu mengulas senyuman seakan paham Dinda yang bingung, “Panggil Khai saja, dirumah atau dilingkungan keluarga saya biasa mereka memanggil saya Khai, kecuali dirumah sakit.” Adinda berfikir positive tidak ingin terlalu kepedean yang mana lelaki yang baru ia kenal tidak lain adalah tetangganya ini mau menghantarkannya lalu mereka berada dalam jarak yang dekat dan di meminta memanggilnya dengan nama seperti yang keluarganya panggil, ini tidak lain sebab dia kemarin tahu Dinda kecopetan, ini hal biasa hanya sebuah bentuk peduli sesama. “Mas Khai?” Kairo pun mengulas senyuman, “Ya terserah, apapun itu sama saja.”
Setelah lama menunggu akhirnya sepupu dari Kairo akhirnya menghampiri, lelaki bernama Ervan itu begitu terkesiap melihat Kairo bersama seorang wanita.“Calon, kakak ipar?” Lelaki itu lantas langsung menembakin Kairo padahal belum bertegur sapa.Sebuah lengkungan tipis terbit di bibir Kairo,“ Kenanalin, Dinda teman saya.”ucap Kairo membuat Dinda memberikan anggukan untuk membenarkan ucapan Kairo.Lelaki itu masih saja tersenyum penuh artia seakan tidak mempercayai itu, “Baiklah, terserah apapun itu,” Ervan mengulurkan tangannya, “Saya Ervan sepupu Khai, ayah saya dan ayah Khai adik kakak.”Dinda pun menymbut uluran tangan Ervan, “Saya Dinda.”Segera Kairo melepaskan tangan Ervan dari Dinda.“Dinda masih sangat muda, tidak cocok deng
Akhirnya Dinda pun menuruti ajakan Edgar, Dinda duduk dibelakang kemudian Edgar pun meminta berpindah pula ketempat Dinda.Sebenarnya atas ajakan Edgar atau aku saja yang ganjen pakai ikut segala, Dinda menggeleng samar atas sikapnya.Edgar tampak sangat akrab sekali dengan Dinda, dia mengutarakan banyak hal dengan Dinda padahal mereka baru beberapa kali bertemu namun entah bagaimana dia begitu cepat akrbabnya.“Apakah hanya karena aku tawari jajan kemarin?” Dinda mengendikkan bahunya bingung, ia terus mendengarkan Edgar bercerita panjang lebar.“Kakak sekolahnya jauh? Sekolah Edgar dekat rumah Oma, disana dijauh...”“Sekolah kakak deket, Cuma jalan kaki sudah sampai.” Dinda mengusap pipi chubby Edgar.“Kak
Edgar menyudahi bermainnya ia pun kembali ke meja yang mereka pesan bersamaan dengan makanan yang dipesan juga sudah datang, Edgar memilih duduk disebelah Dinda dan Kairo diseberang mereka. “Wah, Kakak Dinda sama papa sama ya suka makan nasi goreng salted egg?” Dinda terperangah,beneran dipesan sama-samaan sama dia? Telur asin? Astaga mana nggak bisa makan yang asin-asin lagi,Dinda mencoba untuk suka, ia pun melengkungkan senyuman. “Hemmm...kenapa? Edgar nggak suka?” Edgar menggeleng seraya menjulurkan lidahnya, “Nggak enak, Edgar sukanya chesse, ayo kita makan.” Iya emang, nggak enak! Seleranya bapak-bapak apakah seperti ini? Mengacuhkan Kairo didepan mereka, Edgar dan Dinda tampak terus saling bercanda sembari menyantap makan
“Mel, Melanaa!” Teriak Dinda didepan kelasnya saat melihat Melana yang berlalu bersama teman-temannya, mereka beda jam kuliah juga beda jurusan membuat keduanya memang jarang bisa sama ke kampus.Melana pun berhenti saat Dinda berlari mendekat, “Masuk pagi Din? kata kamu cuma ngikutin mata kuliah Pak Ronal nanti siang?”“Aku ambil yang pagi nanti siang kakak mau jemput ke kampus, aku nginap ditempat kak Nancy ya dua hari ini dia mau pergi, bawa baby sama anak balitanya susah kalau nggak adababy sitterlagian juga besok libur kan.”“Jadi nginap ni ceritanya, Mas Khai dan anak sambung nanti cariin!”Dinda bersemu malu, “Apaan sih, sudah sana pergi! Aku cuma mau laporan itu aja, mau kemana kalian?”“Mau kerumah sa
Di tempat ini Dinda bisa melihat jelas bagaimana sosok Kairo menjadi sorotan banyak wanita muda, para ibu-ibu yang tertarik untuk jadi calon anak mereka, Dinda masih menatapi Kairo dari jauh dan sang ibunda Kairo sangat bangga pada anaknya itu.Banting bukan Din? Kamu siapa hanya bocah ingusan?Lihat yang menggandrungi dia, sesama dokter, bisnis women, model, nah ituOMGitu anak pengusaha terkenal itu kan? Lihat Dinda pada seorang gadis yang sedang menyodorkan makanan pada Kairo.Dinda mengendikkan bahunya,Whatever... Dinda merasa memang bukan siapapun, kenal juga karena Edgar dan semua karena Edgar yang mulai membuat Dinda merasa nyaman menjadi pendengar dan teman baik untuk Edgar.Dinda pun mengacuhkan Kairo disana ia masih menggandeng Kennan sang keponakan untuk berjalan ke tempat lain mencari Edgar.
Beberapa bulan kemudian. “Assalamualaikum, Papa pulang!” Suaran Kairo didepan pintu rumah menggema hingga keseluruhsisi rumah besar itu. Segera mungkin Adinda dan Edgar bersembunyi, mereka inginmemberikan Kairosurprisedi hari ulang tahunnya ini, Kairo merasa aneh biasanya saat dijam-jam dia akan pulang bekerja istri dan anak-anaknya sudah menunggunya didepan pintu namun hari ini tidak ada sambutan apapun. “Mamaaaa! Edgar…Putih…” Mereka pun tertawatertahanmendapati Kairo mencari mereka, namun Putihbayi5 bulanyang belum mengertiitubergemingmengeluarkan suara centilnya, “Papaa papa…” Ssssst…
Seminggu sudah usia baby putih, Adinda dan Kairo kini masih menempati kediaman orang tua Kairo menunggu rumah baru mereka sedikit direnovasi, Rumah keluarga Kairo bertambah ramai dengan kehadiran bayi mungil itu sebab sudah sejak Edgar seusia sekarang dan dan anak-anak dari Bella dan Jasmine sudah besar juga, lama sekali tidak ada kehadiran bayi dirumah keluarga itu.Putih menjadi sesuatu yang menggemaskan diperebutkan disana, dia merupakan cucu perempuan paling kecil dari 6 cucu Rifandhiya yang kebanyakan adalah anak laki-laki kecuali anak Jasmine cucu petama Rifandiya. Di pagi hari yang cerah dengan matahari yang terbilang tidak terlalu terik lelaki setengah abad ayah Kairo itu sedang berkeliling kediamannya menggendong Baby Putih sembari sedikit berjemur.Lelaki itu hampir tidak pernah melakukan hal seperti ini sebab dia menetap diluar kota sebelumnya dan jarang sekali banyak waktu bersama para cucunya, namun saat ini anak-anakanya sudah melarang d
Meninggalkan semua masalah yang ada dirumahnya Kairo, dan mendapatkan izin, Kairo segera membawa Adinda kerumah sakit, dengan supir dan pembantu yang menghantarkan Adinda dan Edgar Kesana tadi, Adinda benar-benar merasakan kesakitan yang teramat sedari tadi ia merasakannya hanya saja kepanikan hilangnya Kairo membuat dia menepiskan rasa sakit itu.Sampai di mobil terus saja bibir Adinda menggerutu sembari menahan sakit, memarahi suaminya sepanjang jaloan tidak berhenti.“Kamu kebangetan tahu nggak! Ini semua karena kamu,” Adinda meremasi tangan Kairo yang memeganginya mengelukan sakitnya.“Sayang tahan dulu marahnya, fokus dulu...oh Tuhan kamu sepertinya sudah pembukaan ini.” Pahma Kairo akan itu.“Kamu buat saya strees! Kamu tahu nggak sedari tadi saya sudah nahani sakit! Ceritain ada apa di
7 Bulan kemudian. Kemeriahan acara baby shower yang di adakan oleh keluarga Dinda juga Kairo begitu meriah di sebuah resto berbintang lima, seluruh keluarga besar menghadiri acara keluarga itu, bertemakan putih-putih, Kairo dan Adinda masih merahasiakan jenis kelamin anak kedua mereka dan memang tidak ingin membagikannya hingga lahiran nanti namun yang terpenting adalah perkembangannya cukup baik. Tidak ada yang perlu dikeluhkan kata Kairo sikap istrinyalah yang terlalu banyak keluhan dan maunya, setiap hari ada saja keinginan anehnya yang ia sebut dengan mengidam. Meminta suaminya bekerja dengan kemeja Bunga-bunga, makan es kelapa muda langsung dibawah pohonnya, berenang disebuah sungai, memancing ikan, yang paling menyebalkan adalah selalu pergi ke salon dan meminta suaminya ikut juga melakukan perawatan seperti dia. Lebih tepatnya hanya dibua
Sebuah pantai nan Indah dibagian timur Indonesia menjadi tempat Kairo dan Adinda honeymoon sekaligus baby Moon, perkembangan bayi dalam kandungan Adinda cukup baik, dia pun tidak mengalami gejala morning sickness yang parah hanya saja memiliki mood swing yang selalu aneh dan menyebalkan, kerap kali menangis tanpa sebab, marah kejelasan dan mencemburui yang bukan-bukan.Meninggalkan Edgar merupakan rasa yang sulit untuk Dinda, dia merasa kasihan dan tidak tega sebab Adinda sudah berjanji kemanapun mereka bertiga akan selalu bersama-sama namun sang mertua melarang itu, bagaimanapun keduanya butuh waktu untuk berduaan.Bagaimana pun Adinda adalah ibu baru yang harusnya menikmati waktu berduaan yang banyak bersama suaminya apa lagi hamil muda, termasuk diluar mengasuh Edgar demi kewarasan jiwa dan emosional tidak ada yang tahu dalam kondisi hamil Adinda mengalami keluhan yang tertahan.
“Dindaa kenapa duduk dilantai semen seperti itu, itu dingin! Kenapa juga kamu makan nenas-nenas muda itu kamu nggak sayang anak kamu!” Hermita begitu marahnya saat ia lihat yang ditangan Adinda adalah potongan nenas muda, “Kalau Kairo tahu pasti kamu dimarahi!”Adinda terkesiap mendapatkan pekikkan dari Mama Kairo tersebut, ia begitu terperangah bahkan buah yang sudah di tangannya hendak masuk mulut pun menjadi jatuh, “Mama—““Ayo masuk kedalam,” Dengan menarik nafasnya Hermita mendekat pada Adinda lalu membantunya bangkit, Kini dia memang jauh lebih berisi dari sebelumnya dulu, “Widya bawain sedikit rujaknya untuk Dinda jangan kasih yang terlalu asam-asam apa lagi nenas itu tajam loh!” Hermita menuntun Adinda masuk kerumah.Para pekerja rumah disana saling berpandangan mereka tahu belakan
Pagi-pagi sekali Adinda bangun, ia segera mencari tas Kairo yang mana lelaki itu semalam membawa tespack untuk istrinya itu, Adinda segera bergegas turun mencari tas Kairo lalu segera kekamar mandi saat hari padahal masih gelap dan Kairo pun masih terlelap.Adinda memanjatkan doa ia mulai memasukan alat pemeriksaan itu pada urinnya dan ia pun menunggu sejenak hasilnya.Dinda merasakan jantung yang berpacu cepat, ia begitu deg-degan akan hasilnya menghitung detik waktu seperti yang ada tata cara pemakaian membuat beberapa detik saja terasa sangat lama.Hingga waktu yang ditunggu tiba, Adinda segera mengangkat hasil pada benda berbentuk digital itu dan hasilnya, seketika membuat dia berkaca-kaca.Adinda menangis, air matanya luruh, Adinda segera memeluk benda itueratdan bergegas keluar dari kamar mandi tidak sabar men
Hari beranjak sore, Adinda tengah menyiapkan makanan untuk keluarga kecilnya, sementara Kairo sedang berada diluar merapikan sedikit halaman kecil dirumah mereka dan Edgar bermain sepeda diluar sana.Tib-tiba saja dari pintu dapur Edgar muncul ia hendak kedapur untuk minum.“Ma!” Adinda terkesiap entah sejak kapan Edagr sudah disana, Ia yang sedang memasak kemudian menoleh melihat pada Edgar.“Ya sayang? Edgar bikin kaget ih!”Edgar pun sumringah tertawa lebar memperlihatkan gigi-gigi kelincinya, “Kata mama kalau manggilnya mama, nanti Edgar akan punya adik tapi mana adiknya.”Adinda seketika tertawa, “Hemm…Edgar sudah ingin punya adik?”“Kan mama bilang nanti Edgar kalau punya adik bisa punya tem
Setelah Adinda berhasil mengambil barang-barang milik Edgar secara paksa mereka pun segera pergi mencari penginapan, sebuah taksi sudah membawa ketiganya namun dalam keadaan yang bergitu histeris, Edgar menangis tidak berhenti ia begitu ketakutan terus meminta pada sang papa yang memeluknya agar mereka segera pulang ke Jakarta.Edgar merasa jika dia masih disana kemungkinan untuk kembali lagi bersama Renata cukup besar, “Papa Edgar mau pulang! Edagr mau pulang kerumah kita, Edgar nggak mahu kembali keLA! PAPA TOLONG!”Kairo menebak Renata pasti membuat Edgar tertekan hinga membuat dia seperti ini, “Tidak akan ada yang pernah bisa membawa Edgar dari papa, apa lagi mama Edgar.”Hiksss hiksss, “Edgar mau pulang…Edgar mahu pulang!”Adinda disebelah Kairo mencoba menena