Bener-bener emang Ibu satu ini ya..
Tatiana— Lengkapnya Tatiana Sujatmiko. Gadis berusia delapan belas tahun itu merupakan anak tunggal dari pengusaha mebel asal Semarang. Meski demikian, Tatiana lahir dan besar di Jakarta.Seperti kebanyakan anak Metropolitan lainnya, Tatiana dekat dengan hiburan malam. Setiap malamnya ia bahkan tak pernah berada di rumah. Ia dijuluki sebagai The Girl of Senoparty. Selain itu Tatiana cukup rebel alis suka sekali memberontak. Seluruh larangan orang tuanya merupakan hal yang harus ia laksanakan. Ibarat kata— larangan adalah suatu perintah untuk dilakukan.Contohnya seperti malam ini,“Muach!!” Tatiana mencium pipi Soraya. Gadis itu meninggalkan bekas saliva di pipi putih sang mama.“Mau ke mana kamu Tiana?” tanya Januar yang tak lain merupakan papa Tatiana. Pria berusia empat puluh enam tahun itu menelisik penampilan sang putri. Tak ada satu pun bagian yang terlewat dari pengamatan Januar.“Biasa, Pah.”“Biasa apa?!” Sentak Januar. Jangan katakan putrinya akan berpesta sampai pagi di kela
“Dikin, lepasin gue!!”Tatiana meronta-ronta ingin dilepaskan. Dikedua sisi tubuhnya, Sadikin dan papanya memegangi lengannya. Mereka mengangkat dirinya, membuat kakinya terseret-seret hingga mengikuti langkah keduanya.“Papa, Tiana nggak mau. Papa jahat!” Tatiana seakan tahu mengapa ia sampai berada di sebuah pondok pesantren ketika terbangun. Tak mungkin papanya ingin menjadi donatur. Pria itu pasti ingin meninggalkannya di negeri entah berantah ini.“Papa! Lepas, Papa!” Pinta Tatiana, mengiba.“Diam, Tiana! Papa lakuin semua ini karena sayang sama kamu.” Sebenarnya Januar tak tega. Tapi mau bagaimana lagi. Putrinya harus mendapatkan pendidikan agama agar jalan hidupnya berubah. “Satu tahun aja, Sayang. Tolong sekali ini aja, kamu nurut sama kata Papa, ya?”“Nggak mau! Papa nggak sayang Tiana!”Apa yang Tatiana alami sukses menjadi tontonan warga pondok pesantren. Banyak anak yang tengah menuju ke masjid, berhenti berjalan untuk menonton aksi Tatiana.Mereka memekik kala Tatiana men
Menyaksikan bagaimana perilaku dan lugasnya Tatiana dalam mengumpat, Kyai Sholeh telah memutuskan hal besar. Pria itu akan membimbing Tatiana secara privat bersama keluarganya, sebelum melepaskan Tatiana pada khalayak umum, ke tengah-tengah para santrinya.Hal tersebut turut Kyai Sholeh beritakan kepada Januar. Dengan dalih demi kebaikan Tatiana sendiri, ia meminta restu papa Tatiana. Mengharapkan ridho pria itu selagi dirinya memberikan keistimewaan.Beruntung Januar dapat mengerti keputusannya. Laki-laki yang sedang menempuh perjalanan kembali ke Jakarta itu secara penuh memasrahkan putrinya ke tangan Kyai Sholeh. Apa pun yang sekiranya baik untuk sang putri, ia menyertakan izinnya tanpa harus dipertanyakan kepadanya.“Alhamdulillah kalau begitu Mas Janu. Untuk sementara, Tatiana akan tinggal di ndalem bersama saya dan keluarga. Untuk sementara, biarkan kami yang menangani Tatiana.” Ucap Kyai Sholeh ditengah-tengah sambungan teleponnya.‘Nggih, Mas Sholeh. Pangapunten kalau saya mer
Khoiron, pria itu mengangguk, “baik Umi. Akan Khoir ingatkan besok,” ucapnya sebelum melangkahkan kakinya cepat. Ia sungguh takut jika Tatiana akan menyentuhnya lagi. Selama ini, memandang wanita pun ia tidak berani, kecuali itu keluarga dan mahramnya. Khoiron begitu menjaga dirinya. Menghindari dosa sekecil apa pun untuk mendapatkan keridhoan serta kemurahan hati Sang Ilahi pada kehidupan kekalnya kelak.“Astagfirullah, Ya Allah. Ampunilah dosa-dosa, Hamba. Jauhkanlah Hambamu ini dari hal-hal yang menjerumuskan Hamba pada kemurkaanmu, Ya Rabb.” Panjatnya merasa telah melakukan hal yang salah.Khoiron membersihkan dirinya. Pada sepertiga malam menuju datangnya waktu subuh, pria itu tak pernah melelapkan diri. Ia menghabiskan penantiannya untuk menghadap Sang Pencipta dengan lantunan ayat suci. Sampai waktu itu tiba, Khoiron sama sekali tidak beranjak dari sajadahnya. Barulah ketika adzan subuh berkumandang, ia bergegas menuju masjid bersama ayahanda dan kakeknya.“Abi dengar dari Umi,
“Nggak mau! Tiana nggak mau nikah sama dia!!”Tatiana kabur. Ia mendorong tubuh Aisyah, mencari celah supaya bisa berlari menjauh. Sumpah menikah muda tidak pernah ada di dalam kamus Tatiana. Ia dibuang papanya untuk berguru, mencari kitab suci ke barat, bukannya dipinang dengan bismilah oleh pria yang dirinya benci.“Le! Kok malah dlongop! Dikejar calon istrimu,” sentak Kyai Sholeh melihat keterdiaman putranya.Jujur— Khoiron masih belum dapat mengumpulkan nyawanya. Kesadarannya seakan ditarik naik ke awang-awang, setelah mendapatkan perilaku tidak terpuji santriwati sang ayah. Pria itu mengerjap, mencoba menata puing-puing jiwanya yang berserakan ke segala arah.“Ya Allah,” desah Kyai Sholeh.“Umi, tolong. Minta bantuan ke anak-anak. Tatiana nggak tahu daerah sini, Umi,” kepanikan menjalari Kyai Sholeh. Ia takut hal buruk menimpa Tatiana. Putri sahabatnya itu dititipkan kepadanya, menjadi amanah yang begitu besar untuk dirinya jaga.“Ndak akan jauh, nanti dia papasan dengan Zahra,”
Niat Khoiron meminang Tatiana sudah bulat. Ia memang tidak memiliki perasaan apa pun terhadap gadis itu. Mengenalnya pun baru satu hari. Pertemuan-Pertemuan mereka pun tak pernah berjalan baik. Selalu ada ketegangan yang menyertai perjumpaan itu. Sejak awal bertemu, sinar permusuhan bahkan selalu ditampakkan untuk dirinya.Namun sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab, ia harus dapat memperbaiki kesalahan— yah, walau kesalahan tersebut jelas tidak berasal dari dirinya. Tapi dirinya jelas diseret masuk ke dalam lembah dosa yang sama. Kepada perbuatan yang tidak semestinya dilakukan seorang insan yang belum terikat tali pernikahan.“Nak Khoir, saya rasa tidak perlu. Kamu tidak harus mengorbankan diri karena kenakalan putri saya.”Dua jam setelah sahabatnya memberikan kabar mengenai tindakan nekat sang putri, Januar langsung bertolak menuju Semarang. Bersama sang istri, ia pergi menggunakan pesawat dari Jakarta. Melakukan penerbangan singkat lalu dijemput oleh anak sahabatnya di
“Makanya jangan aneh-aneh jadi anak! Lagian kamu, Tiana. Anak gadis main sosor aja!”Di kamar tamu yang dijadikan tempat keluarga kecil Tatiana beristirahat, telinga Tatiana tak bisa lolos dari merepetan Januar— sang papa. Gadis itu masih saja dimarahi karena tindakan arogan dan jahilnya kepada anak Kyai Sholeh yang kerap dipanggil ‘Gus,’ di lingkungan pondok pesantren itu.“Khilaf, Pah! Dia sih gegayaan nggak mau dipegang! Tiana kan jadi pengen ngerjain.”“Nah, sekarang nikmatin hasil dari kejahilan kamu,” sambung Soraya.Kedua orang tua Tatiana terpaksa menerima pinangan Kyai Sholeh untuk putranya. Mereka tak dapat berbuat apa-apa ketika ancaman penjara membayangi diri putri kesayangan mereka.“Tahu dia bakal ngacau begini, nggak Papa pesantrenin, Mah,” desah Januar meraup wajah tampannya. Pria berusia empat puluhan itu memandang putrinya lalu menarik telinga anak itu, “ya Allah, Nak! Kamu yang Papa harap bisa berubah, malah makin-makin di sini!”“Pah sakit, Pah!” Erang Tiana membua
Khoiron membaringkan tubuh Tatiana ke atas pembaringannya. Sebuah ranjang yang tak bisa dikatakan lebar sebab ia berdiam hanya seorang. Tangannya menyentuh pinggiran niqab yang Tatiana kenakan. Berniat melepaskan kain berwarna hitam itu agar tak mengganggu jalannya pernapasan sang istri yang pingsan.Tatiana— gadis yang berada di hadapannya bernama Tatiana Sujatmiko. Nama yang ia ikrarkan dihadapan kakek, abi dan ayah mertuanya. Nama yang ia lantunkan untuk menjadi pendamping hidupnya agar dapat menyempurnakan ibadahnya terhadap Sang Khalik.Persis seperti apa yang adiknya ceritakan, parasnya begitu rupawan. Garis wajahnya kecil dengan dagu meruncing. Bulu matanya lentik. Hidungnya mancung dan kedua bibirnya yang kerap ia dengar mengumpat, ternyata begitu tipis.“MasyaAllah, sungguh indah ciptaan Mu, ya Rabb.”Selain umi dan adiknya, Khoiron tak pernah memuji sosok lain. Mata dan hatinya terjaga, menginginkan keindahan yang dapat ia reguk ketika itu halal baginya.Seperti sekarang con
“Mas Adnan, emang Ibu salah ya?”Tatiana menyangga kepalanya menggunakan tangan. Ia tidur menyamping, menatap putranya kesayangannya.“Jawab dong, Mas. Ibu nggak salah kan, ya?”Khoiron mengulum bibirnya. Istrinya sedang mencari pembenaran, hanya saja kepada orang yang salah.Apa yang istrinya harapkan dari seorang bayi mungil tak berdosa? Pembelaan?! Jelas Adnan belum bisa melakukannya. Putranya mereka masih tak memiliki daya untuk hal itu. Tunggu usianya bertambah, nanti Adnan akan dapat diajak berkomunikasi.“Adnan, mah! Ibu hopeless nih. Ayah juga ngambek ke Ibu. Ibu jadi nggak ada temennya, Mas.”“Kok bawa-bawa Ayah, Bu? yang ngambek bukannya Ibu, ya?”“Mas diem!”Lucu sekali istrinya. Dia yang mogok bicara pada semua orang, tapi malah mengaku menjadi pihak tersakiti. Mana mengelabui anak sendiri. Sungguh nakal!“Mas dianggurin nih?! Mentang-mentang sudah punya Mas Adnan sekarang.”“Aduh! Ada yang ngomong, siapa sih! Ganggu quality time aku sama anakku aja deh!”Khoiron terkikik.
“Uh, gemesinnya anak Ibu. Ibu pengen gepengin kamu, Dek.”Khoiron yang baru saja memasuki kamar, kontan berlari mendekati ranjang. “Adek! Istighfar! Jangan gepengin Adnan!” Ucap, pria itu panik. Gemasnya sang istri sungguh membahayakan. Masa anak sendiri mau dibuat gepeng.“Bercanda, Mas Khoir!”“Huh!” Khoiron melepaskan napasnya. Ia pikir istrinya serius ingin menggepengkan anak mereka.“Umi gimana, Mas? Udah dipanggilin dokter belum?”“Udah sadar kok..” Khoiron mendudukan dirinya disamping Tatiana. Tangannya yang besar menggenggam telapak kecil anak lelakinya. “Nggak sampai harus manggil dokter. Umi cuman kaget aja, Dek.”Jangan kan uminya, abinya kalau berada di kamar, pasti juga akan ikut pingsan. Ia tidak mengira kalau kenakalan istrinya sampai bisa membuat heboh satu komplek.“Hehe.. Mama dulu juga pingsan, Mas.” Cengir Tatiana. Mamanya sampai dilarikan ke rumah sakit saat rumahnya di demo. Akhirnya masalah diselesaikan oleh orang tua Brandon. Mereka hanya perlu mengganti mobil
“Adek— Kenapa nangis? Masih sakit?”Tatiana menggelengkan kepalanya. Tidak ada lagi sakit yang dirinya rasakan. Semua rasa sakit itu telah terbayar kontan seluruhnya.“Kenopo, Nduk? Ngomong ke Mbah.”Tidak hanya Khoiron, Kyai Dahlan dan semua orang yang menjaga Tatiana ikut dibuat bertanya-tanya.“Huwaaaa!!”“Oeek!”Jeritan Tatiana lalu bersaing dengan tangis anak lelaki yang dirinya lahirkan satu jam lalu.“TIANA!” Hardik Soraya. Gara-gara suara melengking Tatiana, cucu lelakinya kaget dan terbangun.Tatiana yang dimarahi kontan saja tambah kejar. Tangisnya semakin keras lagi ketika pintu ruang perawatannya terbuka, menampilkan sosok Brandon dan Zahra.“Mas Khoir, hwaaa!!”“Adek, Ya Allah. Sebenernya Adek kenapa? Bilang ke Mas, Dek.” Pinta Khoiron. Anak mereka membutuhkan ibunya, tapi bagaimana bisa mendiamkan anak lelakinya kalau Tatiana saja histeris tanpa sebab.“Kenapa baby lahirnya lebih cepat, hiks! Harusnya waktu mereka nikahan!!” Tatiana terisak-isak sembari mencengkram kemej
“Bosen!” Berengut Tatiana.Semua orang berkegiatan di luar sedangkan dirinya menjadi makhluk mati segan, hidup tak mau. Selain tidur dan menonton drama-drama, ia tak melakukan apa pun di rumah.Mama dan papa yang biasanya menemani kesehariannya, hari ini mendadak memiliki acara bersama teman-teman mereka. Ia ditinggalkan tanpa perasaan.“Sebenernya, gue ini hamil apa lumpuh?! Masa mau ngapa-ngapain dilarang? Mau ikut juga nggak boleh! Parah mereka!”Tatiana bosan maksimal. Zahra dan Brandon masih kuliah. Sejak mempunyai hubungan signifikan dengan adik iparnya, sahabatnya itu berubah menjadi sangat rajin.Brandon hampir tidak menerima usulannya untuk membolos. Ajakannya tadi ditolak mentah-mentah, padahal ia sudah memohon agar Brandon skip kelas terakhirnya hari ini. Hasilnya malah dibalas dengan sebuah quote tidak nyambung.Inilah Jalan Kebenaran.Sedikit agak-agak memang Brandon sekarang. Perubahannya tak seasyik dulu, meski perubahaan tersebut Tiana anggap baik. Setidaknya Brandon t
Betapa senangnya Tiana. Di lingkungan pondok pesantren milik keluarga suaminya, orang-orang begitu ramah terhadapnya. Tidak hanya itu, mereka pun menghormatinya. Tak lagi memandangnya sebelah mata seperti dulu.“Sore Ning Tiana, Ning Zahra.” Sapa sekumpulan santriwati ketika melewatinya“Sore..” Tatiana melambai-lambaikan tangannya sebagai balasan. Saat ini dirinya sedang jalan-jalan sore ditemani oleh adik iparnya.“Coba aja di komplek hawanya seadem ini ya, Ra. Betah Mbak jalan kaki jauh.”“Mau disini aja Mbak, selama hamil? Umi pasti seneng loh bisa jagain Mbak Tiana.”“Nggak mau ah!” Ucap Tatiana. Ia ini tipe istri yang tidak bisa berjauhan dari suami tampannya. Ditinggal bekerja seharian saja sudah rindu, apalagi kalau harus tidak bertemu beberapa hari. Terkena mala rindu yang ada nantinya.“Pengen nggak pulang, tapi Mas Khoirnya harus kerja.”Kalau Tatiana pikir-pikir lagi, semenjak suaminya bergabung di perusahaan, intensitas mereka bertemu jadi berkurang. Di kampus mereka bisa
Tatiana menggosok kedua matanya. Ia yakin jika indera penglihatannya tidak salah. Ia melihat Zahra menyunggingkan senyuman sesaat sebelum menundukkan kepalanya.Beberapa detik yang lalu, adik iparnya itu masih menangis sesenggukkan. Tatiana jelas tahu alasan mengapa Zahra menangis. Dia tidak ingin menikah dengan orang yang tak dicintai— kata lainnya, Zahra sudah memiliki seseorang di dalam hatinya.‘Tapi kok?’ bingung Tatiana, masih belum dapat mencerna perubahaan yang terjadi pada diri sang adik ipar.“Monggo-Monggo, masuk ke dalam.” Ajak Kyai Dahlan, mempersilahkan para tamunya. Pria paruh baya itu turut membawa serta cucu perempuannya. Hari ini Zahra merupakan bintang utama yang akan duduk disampingnya. Nanti setelah lamaran selesai, barulah dirinya menyambut hangat kedatangan cucu kesayangannya.Ruang tamu Ndalem yang tak luas, kini terpenuhi oleh kerabat-kerabat dekat yang Tatiana kenali. Perempuan itu duduk ditengah-tengah mama dan ibu mertuanya.Suaminya sendiri duduk tak jauh
Tepat satu minggu telah berlalu sejak pertemuan keduanya dengan Brandon di café. Brandon mengatakan jika pemuda itu akan secepatnya bertandang, membawa orang tuanya ke pondok pesantren.Selama tujuh hari itu pula, Khoiron sebagai kakak juga menyampaikan amanat kakeknya. Memberitahukan Zahra tentang niat baik seorang pemuda terhadapnya.Seperti apa yang sudah Khoiron terangkan kepada sang istri, Zahra menerimanya. Meski pun belum mengetahui siapa gerangan yang meminang dirinya, adik Khoiron itu memasrahkan seluruhnya pada kakeknya. Hal tersebut merupakan bentuk baktinya. Zahra yakin, pilihan kakeknya tidak mungkin salah.“Mas.. Mas Khoir ngerasa nggak sih, kalau akhir-akhir ini, Zahra tuh keliatan murung banget?”Jika Tatiana tak salah menilai, keceriaan Zahra meredup sejak suaminya memberitahukan khitbah atas diri sang adik ipar. Zahra memang pendiam, tapi diamnya kali ini terasa berbeda. Tatiana dapat merasakan kesedihan dalam
“Cantiknya Mas, masih ngambek ya?!”Khoiron melakukan toelan pada lengan Tatiana. Semalam dirinya diusir dari kamar. Istrinya itu tidak mau berbagi ranjang dengan orang menyebalkan seperti dirinya. Meski tak bertahan sampai pagi, tetap saja istrinya marah. Sekarang wanitanya sedang mogok bicara. Setiap kali diajak berinteraksi, dia akan mencari cara untuk membalas perilakunya tadi malam.“Ra, kayak ada yang ngomong! Siapa sih?!” Tatiana menjauhkan lengannya. Ia lalu membersihkan jejak sentuhan Khoiron, membuat Khoiron terkekeh dengan aksi yang Tatiana lakukan.“Kamu, Ti. Nggak boleh gitu kalau ngambek. Dosa loh, Ti.” Tegur Januar.“Buat hari ini, Tiana berani dosa!”Tatiana benar-benar kesal. Semalam sudah sampai tahap pengusiran pun, suaminya bertahan dengan kebungkamannya. Kekesalan Tatiana bertambah karena dirinya tak bisa tidur tanpa laki-laki itu.Alhasil, Tatiana harus sedikit me
“Mas Khoir..” Suara lembut Tatiana mengalun, membuat Khoiron menutup berkas yang tengah dirinya baca.“Dalem, Adek.” Sahut Khoiron tak kalah lembut. Kepalanya berputar, melihat sang istri yang duduk menghadapnya di atas ranjang mereka.“Pripun, Sayang? Adek butuh sesuatu?” tanya Khoiron.“Adek mau cerita.”Senyum Tatiana yang meneduhkan hati Khoiron, menjalar pada diri laki-laki itu. Sudut bibirnya melengkung dan kepalanya mengangguk. “Nggih.. Sebentar ya. Mas simpan berkasnya dulu.” Tuturnya sebelum menyimpan kembali berkas-berkas pekerjaannya ke dalam tas.Begini saja rasa cinta Tatiana bertambah menjadi berkali-kali lipat. Suaminya selalu menyediakan banyak waktu untuknya meski dalam keadaan sibuk sekali pun. Tatiana merasa begitu dicintai karena hal sekecil itu.“Sambil Mas pijitin kakinya ya, Dek. Adeknya rebahan aja.”“Nggak