Mulut Tatiana terbuka, menguap cukup lebar. Wanita itu merasa jenuh juga pada akhirnya. Menurut Tatiana, jam bergerak begitu lambat saat ia sedang tak bersama sang suami.
Entah hanya perasaannya saja atau memang begitulah cara kerja sepasang suami istri. Namun ia kerap kali merasa seperti itu setiap kali ditinggal bekerja.
“Bosen nggak sih, Bran?”
Tatiana melirik Brandon. Pria itu tengah membaca buku. Sejak mengenal suaminya lebih dekat, sahabatnya jadi gila belajar. Kemajuan sih— tapi tidak asyik juga. Ia kehilangan teman bermain jadinya.
“Mau MOLE-an?” tawar Brandon. Ia menutup buku bacaannya.
“Gue udah lama nggak pernah log in. Udah turun rank kali. Males ah main sama para beban.”
Tatiana bingung. Ia tidak tahu harus melakukan apa untuk membunuh kebosanannya. Khoiron sendiri tadi sudah mengirimkan pesan jika laki-laki itu akan memimpin rapat bersama papanya.
‘Nggak a
“Mas Khoir..” Suara lembut Tatiana mengalun, membuat Khoiron menutup berkas yang tengah dirinya baca.“Dalem, Adek.” Sahut Khoiron tak kalah lembut. Kepalanya berputar, melihat sang istri yang duduk menghadapnya di atas ranjang mereka.“Pripun, Sayang? Adek butuh sesuatu?” tanya Khoiron.“Adek mau cerita.”Senyum Tatiana yang meneduhkan hati Khoiron, menjalar pada diri laki-laki itu. Sudut bibirnya melengkung dan kepalanya mengangguk. “Nggih.. Sebentar ya. Mas simpan berkasnya dulu.” Tuturnya sebelum menyimpan kembali berkas-berkas pekerjaannya ke dalam tas.Begini saja rasa cinta Tatiana bertambah menjadi berkali-kali lipat. Suaminya selalu menyediakan banyak waktu untuknya meski dalam keadaan sibuk sekali pun. Tatiana merasa begitu dicintai karena hal sekecil itu.“Sambil Mas pijitin kakinya ya, Dek. Adeknya rebahan aja.”“Nggak
“Cantiknya Mas, masih ngambek ya?!”Khoiron melakukan toelan pada lengan Tatiana. Semalam dirinya diusir dari kamar. Istrinya itu tidak mau berbagi ranjang dengan orang menyebalkan seperti dirinya. Meski tak bertahan sampai pagi, tetap saja istrinya marah. Sekarang wanitanya sedang mogok bicara. Setiap kali diajak berinteraksi, dia akan mencari cara untuk membalas perilakunya tadi malam.“Ra, kayak ada yang ngomong! Siapa sih?!” Tatiana menjauhkan lengannya. Ia lalu membersihkan jejak sentuhan Khoiron, membuat Khoiron terkekeh dengan aksi yang Tatiana lakukan.“Kamu, Ti. Nggak boleh gitu kalau ngambek. Dosa loh, Ti.” Tegur Januar.“Buat hari ini, Tiana berani dosa!”Tatiana benar-benar kesal. Semalam sudah sampai tahap pengusiran pun, suaminya bertahan dengan kebungkamannya. Kekesalan Tatiana bertambah karena dirinya tak bisa tidur tanpa laki-laki itu.Alhasil, Tatiana harus sedikit me
Tepat satu minggu telah berlalu sejak pertemuan keduanya dengan Brandon di café. Brandon mengatakan jika pemuda itu akan secepatnya bertandang, membawa orang tuanya ke pondok pesantren.Selama tujuh hari itu pula, Khoiron sebagai kakak juga menyampaikan amanat kakeknya. Memberitahukan Zahra tentang niat baik seorang pemuda terhadapnya.Seperti apa yang sudah Khoiron terangkan kepada sang istri, Zahra menerimanya. Meski pun belum mengetahui siapa gerangan yang meminang dirinya, adik Khoiron itu memasrahkan seluruhnya pada kakeknya. Hal tersebut merupakan bentuk baktinya. Zahra yakin, pilihan kakeknya tidak mungkin salah.“Mas.. Mas Khoir ngerasa nggak sih, kalau akhir-akhir ini, Zahra tuh keliatan murung banget?”Jika Tatiana tak salah menilai, keceriaan Zahra meredup sejak suaminya memberitahukan khitbah atas diri sang adik ipar. Zahra memang pendiam, tapi diamnya kali ini terasa berbeda. Tatiana dapat merasakan kesedihan dalam
Tatiana menggosok kedua matanya. Ia yakin jika indera penglihatannya tidak salah. Ia melihat Zahra menyunggingkan senyuman sesaat sebelum menundukkan kepalanya.Beberapa detik yang lalu, adik iparnya itu masih menangis sesenggukkan. Tatiana jelas tahu alasan mengapa Zahra menangis. Dia tidak ingin menikah dengan orang yang tak dicintai— kata lainnya, Zahra sudah memiliki seseorang di dalam hatinya.‘Tapi kok?’ bingung Tatiana, masih belum dapat mencerna perubahaan yang terjadi pada diri sang adik ipar.“Monggo-Monggo, masuk ke dalam.” Ajak Kyai Dahlan, mempersilahkan para tamunya. Pria paruh baya itu turut membawa serta cucu perempuannya. Hari ini Zahra merupakan bintang utama yang akan duduk disampingnya. Nanti setelah lamaran selesai, barulah dirinya menyambut hangat kedatangan cucu kesayangannya.Ruang tamu Ndalem yang tak luas, kini terpenuhi oleh kerabat-kerabat dekat yang Tatiana kenali. Perempuan itu duduk ditengah-tengah mama dan ibu mertuanya.Suaminya sendiri duduk tak jauh
Betapa senangnya Tiana. Di lingkungan pondok pesantren milik keluarga suaminya, orang-orang begitu ramah terhadapnya. Tidak hanya itu, mereka pun menghormatinya. Tak lagi memandangnya sebelah mata seperti dulu.“Sore Ning Tiana, Ning Zahra.” Sapa sekumpulan santriwati ketika melewatinya“Sore..” Tatiana melambai-lambaikan tangannya sebagai balasan. Saat ini dirinya sedang jalan-jalan sore ditemani oleh adik iparnya.“Coba aja di komplek hawanya seadem ini ya, Ra. Betah Mbak jalan kaki jauh.”“Mau disini aja Mbak, selama hamil? Umi pasti seneng loh bisa jagain Mbak Tiana.”“Nggak mau ah!” Ucap Tatiana. Ia ini tipe istri yang tidak bisa berjauhan dari suami tampannya. Ditinggal bekerja seharian saja sudah rindu, apalagi kalau harus tidak bertemu beberapa hari. Terkena mala rindu yang ada nantinya.“Pengen nggak pulang, tapi Mas Khoirnya harus kerja.”Kalau Tatiana pikir-pikir lagi, semenjak suaminya bergabung di perusahaan, intensitas mereka bertemu jadi berkurang. Di kampus mereka bisa
“Bosen!” Berengut Tatiana.Semua orang berkegiatan di luar sedangkan dirinya menjadi makhluk mati segan, hidup tak mau. Selain tidur dan menonton drama-drama, ia tak melakukan apa pun di rumah.Mama dan papa yang biasanya menemani kesehariannya, hari ini mendadak memiliki acara bersama teman-teman mereka. Ia ditinggalkan tanpa perasaan.“Sebenernya, gue ini hamil apa lumpuh?! Masa mau ngapa-ngapain dilarang? Mau ikut juga nggak boleh! Parah mereka!”Tatiana bosan maksimal. Zahra dan Brandon masih kuliah. Sejak mempunyai hubungan signifikan dengan adik iparnya, sahabatnya itu berubah menjadi sangat rajin.Brandon hampir tidak menerima usulannya untuk membolos. Ajakannya tadi ditolak mentah-mentah, padahal ia sudah memohon agar Brandon skip kelas terakhirnya hari ini. Hasilnya malah dibalas dengan sebuah quote tidak nyambung.Inilah Jalan Kebenaran.Sedikit agak-agak memang Brandon sekarang. Perubahannya tak seasyik dulu, meski perubahaan tersebut Tiana anggap baik. Setidaknya Brandon t
“Adek— Kenapa nangis? Masih sakit?”Tatiana menggelengkan kepalanya. Tidak ada lagi sakit yang dirinya rasakan. Semua rasa sakit itu telah terbayar kontan seluruhnya.“Kenopo, Nduk? Ngomong ke Mbah.”Tidak hanya Khoiron, Kyai Dahlan dan semua orang yang menjaga Tatiana ikut dibuat bertanya-tanya.“Huwaaaa!!”“Oeek!”Jeritan Tatiana lalu bersaing dengan tangis anak lelaki yang dirinya lahirkan satu jam lalu.“TIANA!” Hardik Soraya. Gara-gara suara melengking Tatiana, cucu lelakinya kaget dan terbangun.Tatiana yang dimarahi kontan saja tambah kejar. Tangisnya semakin keras lagi ketika pintu ruang perawatannya terbuka, menampilkan sosok Brandon dan Zahra.“Mas Khoir, hwaaa!!”“Adek, Ya Allah. Sebenernya Adek kenapa? Bilang ke Mas, Dek.” Pinta Khoiron. Anak mereka membutuhkan ibunya, tapi bagaimana bisa mendiamkan anak lelakinya kalau Tatiana saja histeris tanpa sebab.“Kenapa baby lahirnya lebih cepat, hiks! Harusnya waktu mereka nikahan!!” Tatiana terisak-isak sembari mencengkram kemej
“Uh, gemesinnya anak Ibu. Ibu pengen gepengin kamu, Dek.”Khoiron yang baru saja memasuki kamar, kontan berlari mendekati ranjang. “Adek! Istighfar! Jangan gepengin Adnan!” Ucap, pria itu panik. Gemasnya sang istri sungguh membahayakan. Masa anak sendiri mau dibuat gepeng.“Bercanda, Mas Khoir!”“Huh!” Khoiron melepaskan napasnya. Ia pikir istrinya serius ingin menggepengkan anak mereka.“Umi gimana, Mas? Udah dipanggilin dokter belum?”“Udah sadar kok..” Khoiron mendudukan dirinya disamping Tatiana. Tangannya yang besar menggenggam telapak kecil anak lelakinya. “Nggak sampai harus manggil dokter. Umi cuman kaget aja, Dek.”Jangan kan uminya, abinya kalau berada di kamar, pasti juga akan ikut pingsan. Ia tidak mengira kalau kenakalan istrinya sampai bisa membuat heboh satu komplek.“Hehe.. Mama dulu juga pingsan, Mas.” Cengir Tatiana. Mamanya sampai dilarikan ke rumah sakit saat rumahnya di demo. Akhirnya masalah diselesaikan oleh orang tua Brandon. Mereka hanya perlu mengganti mobil
“Mas Adnan, emang Ibu salah ya?”Tatiana menyangga kepalanya menggunakan tangan. Ia tidur menyamping, menatap putranya kesayangannya.“Jawab dong, Mas. Ibu nggak salah kan, ya?”Khoiron mengulum bibirnya. Istrinya sedang mencari pembenaran, hanya saja kepada orang yang salah.Apa yang istrinya harapkan dari seorang bayi mungil tak berdosa? Pembelaan?! Jelas Adnan belum bisa melakukannya. Putranya mereka masih tak memiliki daya untuk hal itu. Tunggu usianya bertambah, nanti Adnan akan dapat diajak berkomunikasi.“Adnan, mah! Ibu hopeless nih. Ayah juga ngambek ke Ibu. Ibu jadi nggak ada temennya, Mas.”“Kok bawa-bawa Ayah, Bu? yang ngambek bukannya Ibu, ya?”“Mas diem!”Lucu sekali istrinya. Dia yang mogok bicara pada semua orang, tapi malah mengaku menjadi pihak tersakiti. Mana mengelabui anak sendiri. Sungguh nakal!“Mas dianggurin nih?! Mentang-mentang sudah punya Mas Adnan sekarang.”“Aduh! Ada yang ngomong, siapa sih! Ganggu quality time aku sama anakku aja deh!”Khoiron terkikik.
“Uh, gemesinnya anak Ibu. Ibu pengen gepengin kamu, Dek.”Khoiron yang baru saja memasuki kamar, kontan berlari mendekati ranjang. “Adek! Istighfar! Jangan gepengin Adnan!” Ucap, pria itu panik. Gemasnya sang istri sungguh membahayakan. Masa anak sendiri mau dibuat gepeng.“Bercanda, Mas Khoir!”“Huh!” Khoiron melepaskan napasnya. Ia pikir istrinya serius ingin menggepengkan anak mereka.“Umi gimana, Mas? Udah dipanggilin dokter belum?”“Udah sadar kok..” Khoiron mendudukan dirinya disamping Tatiana. Tangannya yang besar menggenggam telapak kecil anak lelakinya. “Nggak sampai harus manggil dokter. Umi cuman kaget aja, Dek.”Jangan kan uminya, abinya kalau berada di kamar, pasti juga akan ikut pingsan. Ia tidak mengira kalau kenakalan istrinya sampai bisa membuat heboh satu komplek.“Hehe.. Mama dulu juga pingsan, Mas.” Cengir Tatiana. Mamanya sampai dilarikan ke rumah sakit saat rumahnya di demo. Akhirnya masalah diselesaikan oleh orang tua Brandon. Mereka hanya perlu mengganti mobil
“Adek— Kenapa nangis? Masih sakit?”Tatiana menggelengkan kepalanya. Tidak ada lagi sakit yang dirinya rasakan. Semua rasa sakit itu telah terbayar kontan seluruhnya.“Kenopo, Nduk? Ngomong ke Mbah.”Tidak hanya Khoiron, Kyai Dahlan dan semua orang yang menjaga Tatiana ikut dibuat bertanya-tanya.“Huwaaaa!!”“Oeek!”Jeritan Tatiana lalu bersaing dengan tangis anak lelaki yang dirinya lahirkan satu jam lalu.“TIANA!” Hardik Soraya. Gara-gara suara melengking Tatiana, cucu lelakinya kaget dan terbangun.Tatiana yang dimarahi kontan saja tambah kejar. Tangisnya semakin keras lagi ketika pintu ruang perawatannya terbuka, menampilkan sosok Brandon dan Zahra.“Mas Khoir, hwaaa!!”“Adek, Ya Allah. Sebenernya Adek kenapa? Bilang ke Mas, Dek.” Pinta Khoiron. Anak mereka membutuhkan ibunya, tapi bagaimana bisa mendiamkan anak lelakinya kalau Tatiana saja histeris tanpa sebab.“Kenapa baby lahirnya lebih cepat, hiks! Harusnya waktu mereka nikahan!!” Tatiana terisak-isak sembari mencengkram kemej
“Bosen!” Berengut Tatiana.Semua orang berkegiatan di luar sedangkan dirinya menjadi makhluk mati segan, hidup tak mau. Selain tidur dan menonton drama-drama, ia tak melakukan apa pun di rumah.Mama dan papa yang biasanya menemani kesehariannya, hari ini mendadak memiliki acara bersama teman-teman mereka. Ia ditinggalkan tanpa perasaan.“Sebenernya, gue ini hamil apa lumpuh?! Masa mau ngapa-ngapain dilarang? Mau ikut juga nggak boleh! Parah mereka!”Tatiana bosan maksimal. Zahra dan Brandon masih kuliah. Sejak mempunyai hubungan signifikan dengan adik iparnya, sahabatnya itu berubah menjadi sangat rajin.Brandon hampir tidak menerima usulannya untuk membolos. Ajakannya tadi ditolak mentah-mentah, padahal ia sudah memohon agar Brandon skip kelas terakhirnya hari ini. Hasilnya malah dibalas dengan sebuah quote tidak nyambung.Inilah Jalan Kebenaran.Sedikit agak-agak memang Brandon sekarang. Perubahannya tak seasyik dulu, meski perubahaan tersebut Tiana anggap baik. Setidaknya Brandon t
Betapa senangnya Tiana. Di lingkungan pondok pesantren milik keluarga suaminya, orang-orang begitu ramah terhadapnya. Tidak hanya itu, mereka pun menghormatinya. Tak lagi memandangnya sebelah mata seperti dulu.“Sore Ning Tiana, Ning Zahra.” Sapa sekumpulan santriwati ketika melewatinya“Sore..” Tatiana melambai-lambaikan tangannya sebagai balasan. Saat ini dirinya sedang jalan-jalan sore ditemani oleh adik iparnya.“Coba aja di komplek hawanya seadem ini ya, Ra. Betah Mbak jalan kaki jauh.”“Mau disini aja Mbak, selama hamil? Umi pasti seneng loh bisa jagain Mbak Tiana.”“Nggak mau ah!” Ucap Tatiana. Ia ini tipe istri yang tidak bisa berjauhan dari suami tampannya. Ditinggal bekerja seharian saja sudah rindu, apalagi kalau harus tidak bertemu beberapa hari. Terkena mala rindu yang ada nantinya.“Pengen nggak pulang, tapi Mas Khoirnya harus kerja.”Kalau Tatiana pikir-pikir lagi, semenjak suaminya bergabung di perusahaan, intensitas mereka bertemu jadi berkurang. Di kampus mereka bisa
Tatiana menggosok kedua matanya. Ia yakin jika indera penglihatannya tidak salah. Ia melihat Zahra menyunggingkan senyuman sesaat sebelum menundukkan kepalanya.Beberapa detik yang lalu, adik iparnya itu masih menangis sesenggukkan. Tatiana jelas tahu alasan mengapa Zahra menangis. Dia tidak ingin menikah dengan orang yang tak dicintai— kata lainnya, Zahra sudah memiliki seseorang di dalam hatinya.‘Tapi kok?’ bingung Tatiana, masih belum dapat mencerna perubahaan yang terjadi pada diri sang adik ipar.“Monggo-Monggo, masuk ke dalam.” Ajak Kyai Dahlan, mempersilahkan para tamunya. Pria paruh baya itu turut membawa serta cucu perempuannya. Hari ini Zahra merupakan bintang utama yang akan duduk disampingnya. Nanti setelah lamaran selesai, barulah dirinya menyambut hangat kedatangan cucu kesayangannya.Ruang tamu Ndalem yang tak luas, kini terpenuhi oleh kerabat-kerabat dekat yang Tatiana kenali. Perempuan itu duduk ditengah-tengah mama dan ibu mertuanya.Suaminya sendiri duduk tak jauh
Tepat satu minggu telah berlalu sejak pertemuan keduanya dengan Brandon di café. Brandon mengatakan jika pemuda itu akan secepatnya bertandang, membawa orang tuanya ke pondok pesantren.Selama tujuh hari itu pula, Khoiron sebagai kakak juga menyampaikan amanat kakeknya. Memberitahukan Zahra tentang niat baik seorang pemuda terhadapnya.Seperti apa yang sudah Khoiron terangkan kepada sang istri, Zahra menerimanya. Meski pun belum mengetahui siapa gerangan yang meminang dirinya, adik Khoiron itu memasrahkan seluruhnya pada kakeknya. Hal tersebut merupakan bentuk baktinya. Zahra yakin, pilihan kakeknya tidak mungkin salah.“Mas.. Mas Khoir ngerasa nggak sih, kalau akhir-akhir ini, Zahra tuh keliatan murung banget?”Jika Tatiana tak salah menilai, keceriaan Zahra meredup sejak suaminya memberitahukan khitbah atas diri sang adik ipar. Zahra memang pendiam, tapi diamnya kali ini terasa berbeda. Tatiana dapat merasakan kesedihan dalam
“Cantiknya Mas, masih ngambek ya?!”Khoiron melakukan toelan pada lengan Tatiana. Semalam dirinya diusir dari kamar. Istrinya itu tidak mau berbagi ranjang dengan orang menyebalkan seperti dirinya. Meski tak bertahan sampai pagi, tetap saja istrinya marah. Sekarang wanitanya sedang mogok bicara. Setiap kali diajak berinteraksi, dia akan mencari cara untuk membalas perilakunya tadi malam.“Ra, kayak ada yang ngomong! Siapa sih?!” Tatiana menjauhkan lengannya. Ia lalu membersihkan jejak sentuhan Khoiron, membuat Khoiron terkekeh dengan aksi yang Tatiana lakukan.“Kamu, Ti. Nggak boleh gitu kalau ngambek. Dosa loh, Ti.” Tegur Januar.“Buat hari ini, Tiana berani dosa!”Tatiana benar-benar kesal. Semalam sudah sampai tahap pengusiran pun, suaminya bertahan dengan kebungkamannya. Kekesalan Tatiana bertambah karena dirinya tak bisa tidur tanpa laki-laki itu.Alhasil, Tatiana harus sedikit me
“Mas Khoir..” Suara lembut Tatiana mengalun, membuat Khoiron menutup berkas yang tengah dirinya baca.“Dalem, Adek.” Sahut Khoiron tak kalah lembut. Kepalanya berputar, melihat sang istri yang duduk menghadapnya di atas ranjang mereka.“Pripun, Sayang? Adek butuh sesuatu?” tanya Khoiron.“Adek mau cerita.”Senyum Tatiana yang meneduhkan hati Khoiron, menjalar pada diri laki-laki itu. Sudut bibirnya melengkung dan kepalanya mengangguk. “Nggih.. Sebentar ya. Mas simpan berkasnya dulu.” Tuturnya sebelum menyimpan kembali berkas-berkas pekerjaannya ke dalam tas.Begini saja rasa cinta Tatiana bertambah menjadi berkali-kali lipat. Suaminya selalu menyediakan banyak waktu untuknya meski dalam keadaan sibuk sekali pun. Tatiana merasa begitu dicintai karena hal sekecil itu.“Sambil Mas pijitin kakinya ya, Dek. Adeknya rebahan aja.”“Nggak