Lebaran sudah lewat beberapa hari. Atika mulai beraktivitas seperti biasa, menjahit keliling. Sepi, sama sekali tidak ada yang jahit. Atika berfikir karna ini masih lebaran, dan orang-orang sebagian juga masih sibuk dengan suasana lebaran mereka.
Saat Atika menyusuri jalan perkampungan, ada beberapa ibu-ibu sedang mnggobrol serius. "Tau, nggak. Itu, semalam. Kejadian dikampung sebelah, katanya ada ari-ari hilang," ucap salah seorang wanita."Ah, masa sih? kok aku jadi serem dengernya ya," jawab wanita yang sedang menjemur cucian."Iya, bener. Aku saja tau dari Mbok Karsem. Semalam dia itu membantu persalinan dikampung sebelah. Eh, taunya arinya hilang. Apa nggak serem tuh," ucapnya lagi meyakinkan ibu-ibu yang lainnya. Atika yang mendengar itu, wajahnya seketika berubah. Rasa takut akan ketahuan kalau sebenarnya ialah biang dari semuanya."Maaf, ibu-ibu. Mau jahit baju nggak?" Atika mencoba menawarkan jasa jahit baju keliling nya."Nggak, ada yang mau jahit baju sama kamu! mending pergi kekota. Sekalian belanja-belanja," jawab salah satu dari mereka yang bernama Yuni itu. Perutnya tampak buncit, mungkin saja ia sedang hamil tua."Lagian, hari gini jahit baju. Udah tau nggak laku, masih saja dikerjain." ketus ibu-ibu yang satunya juga."Kasihan, kamu. Suami nggak pulang-pulang, anak melarat, dan nggak sekolah. Jangan-jangan suaminya sudah kawin lagi." ketus Yuni sombong.Bukan cuma itu, Yuni juga meludahi, serta menendang gerobak jahit milik Atika."Kalau kalian nggak mau jahit, nggak usah menghina. Setidaknya kalian hargai jerih payah orang," ucap Atika sembari membenarkan gerobaknya yang tumbang akibat di tendang oleh wanita yang bernama Yuni itu."Ngapain kami menghargai? wong kami nggak menikmati hasilmu kok." dengan perut buncitnya, Yuni menantang dan mendorong Atika hingga tersungkur."Mending kamu itu jual diri, biar cepet kaya." ketus ibu yang satunya lagi."Iya, nanti Aku akan jual diri ke suami-suami kalian," jwab Atika lantang. Ia menyetabilkan gerobaknya, dan berlalu dari hadapan mereka semua."Kamu, sih! ngapain cobak tadi ngomong gitu?" ucap Yuni.Mereka semua khawatir dengan ucapanya dan malah berdebat."Sudah keliling seharian, hanya satu Orang saja, yang menjahit," gumam Atika hampir putus asa.Ia berjalan melewati rumah Ningsih, dan ternyata Ningsih belum pindah. Namun ia juga mendengar tangisan suara Bayi Ningsih."Sepertinya Anak Ningsih menangis." Atika, segera menghampiri Ningsih kedalam rumahnya."Kenapa, anak kamu Sih?" tanya Atika.Dilihatnya Ningsih menangis, dan seperti terpukul sekali jiwa dan mentalnya."Ini, Ti. Anaknya nggak berhenti-berhenti menangis. Kulitnya melepuh semua, dan pusarnya membusuk," jawab Inem ibunya Ningsih.Seketika itu juga Atika menelan ludahnya dengan sangat susah. Ia merasa semua ini ada hubungannya dengan ari- ari yang ia curi dan Ia masak."Ya allah, aku turut perihatin ya Sih. Kasihan sekali anakmu," ucap Atika merasa bersalah dan berdosa.Mata Atika tampak basah. sepertinya ia kasihan kepada Ningsih. Nggak seharusnya Ia mengambil, dan memasak ari-ari anaknya Ningsih. Apalagi Ningsih adalah sahabatnya sendiri.Belum begitu lama Atika datang. Anak Ningsih malah semakin menagis histeris, dan matanyapun melotot seperti kesakitan, teramat sakit.Ningsih memeluk erat tubuh munggil anaknya yang baru beberapa hari ia lahirkan. Airmatanya tumpah, hatinya hancur melihat buah hatinya meregang nyawa."Buk, kenapa nggak gerak lagi Anakku buk?" Ningsih panik, saat anaknya tidak lagi bersuara."Ya Allah, bayimu sudah nggak ada Sih!" jawab Inem. Ningsih terduduk dilantai rumahnya yang berlantai tanah, tubuhnya ambruk. Airmata bercucuran. Anak yang baru beberapa hari ia lahikan dengan taruhan nyawa pergi dengan cara mengenaskan.Atika duduk disamping Ningsih. Seandainya saja semua bisa ia ulangi, maka ia tidak akan pernah melakukan itu terhadap Ningsih sahabatnya sendiri."Kamu yang sabar ya Sih, anakmu sudah bahagia disana. Doakan saja untuk anakmu," ucap Atika enteng."Sebaiknya kita panggil warga. Biar segera diurus pemakamannya." saran Inem.Semua orang tidak menyangka dengan kematian teragis anak Ningsih. Dari mulai lahir kedunia, hingga meninggal bayinya terus menangis. hanya sewaktu tidur saja ia tidak menangis.Semua orang sibuk mempersiapkan makam, dan memandikan anak Ningsih. Begitu juga Atika, yang selalu setia duduk disamping Ningsih."Semalam, dikampung sebelah kehilangan ari, eh disini malah ada bayi meninggal." ketus seorang ibu-ibu."Aneh, ya? sepertinya kampung kita ini akan ada marabahaya lagi." ketus Yuni yang juga berada sana.Atika hanya menatap kearah mereka, matanya menaruh dendam terhadap Yuni. sudah lama sekali Yuni selalu menghina Atika. Namun Atika selalu mengalah, karna tidak ingin bertengkar."Ngapain matamu lihatin kami?" ketus Yuni. Di suasana yang tengah berdukapun, Yuni masih sempat mengajak Atika bertengkar.Atika pura-pura mengalihkan pandanganya dan menunduk kearah bawah. Ingin sekali ia membalas sakit hatinya karna mereka semua sekelompok yang sering menghinanya.Setelah semua pemakaman selesai, Atika kembali pulang kerumahnya. Dilihatnya Kedua anaknya sedang makan."Kalian makan?" "Iya, Buk. Ini lauk yang ibu masak masih banyak," jawab Mail."Oh, ya buk. Tadi Bapak nelpon. Tapi Dimas dengar ada suara anak-anak, seperti memanggil Ayah gitu," ucap Dimas.Deg!.. lagi-lagi jantung dan pikiran Atika resah. Semalam suara wanita, sekarang suara anak. "Dimana sebenarnya kamu Mas?" gumam Atika dalam hati."Mungkin itu suara anak orang. Nanti ibu akan hubungin Bapak kalian lagi. Ibu mau tanya kapan Bapak pulang," jawab Atika. Ia berpura-pura tenang. Padahal hatinya sangat panas, dan tidak tenang. Apalagi ia baru saja menyaksikan anak Ningsih meninggal akibat ulahnya."Buk, Dimas mau bicara. Tapi Ibu jangan marah ya," ucap Dimas."Mau bilang apa?" Atika sedikit heran."Yang waktu malam-malam Ibu kerumah Bibi Ningsih, ngapain? kok, Ibu korek-korek tanah?" tanya Dimas.Deg!..Seketika jantung Atika ingin loncat mendengar pertanyaan Dimas. Seseorang yang telah melihatnya malam itu ternyata anaknya sendiri."Kamu salah mungkin." Atika menyangkal."Nggak, Buk. Dimas ikutin Ibu kok," ucap Dimas lagi.Lagi-lagi Atika jantungan mendengar ucapan Dimas, anaknya."Kamu lihat ibu?" "Iya, Dimas ikutin Ibuk. Kan waktu itu Dimas tidak bisa tidur, terus Dimas liat Ibu keluar Rumah.""Bukan apa-apa kok. Kamu itu kebiasaan, selalu ingin tau apa yang Ibu lakukan." Suara Atika meninggi."Kan Dimas cuma penasaran Buk," jawab Dimas pelan."Nggak perlu kamu sok tau, dan penasaran. Kalau kamu itu sayang sama Ibu, kamu itu mendoakan ibu saja, dan nggak perlu kamu ikut campur." bentak Atika.Dimas, dan Mail saling bertatap. Wajahnya terlihat sedih karna bentakan Atika.Mereka berdua juga heran, belakangan ini Atika sering sekali marah dan gampang emosi. Padahal sebelumnya Atika itu disebut sebagai ibu yang penyabar.Atika meninggalkan kedua Anaknya yang masih berada di meja dapur. Wajahnya penuh sejuta beban. Masalah kemiskinan belum kelar, kini malah dihadapkan masalah suaminya yang sepertinya memang tidak beres."Awas, Kamu Mas. Kalau sampai benar kamu menghianatiku. ari-ari saja bisa kumasak, apalagi kamu." gerutu Atika. Bersambung.Hari sudah menjelang pagi, namun bayangan Atika belum juga tampak keluar dari kamarnya."Bang, aku lapar. Ibu kok nggak keluar-keluar sih?" ujar Mail. Tidak seperti biasanya Atika lama bangun."Mungkin Ibu masih tidur, Dek. Coba kita banguni saja yuk." Ajak Dimas."Buk, buk." panggil Mail, dan Dimas serentak.Atika yang mendengar suara kedua anaknya, langsung tersadar dan langsung terbangun. Dilihatnya Kedua anaknya sedang menunggunya di, depan pintu. "Kalian kenapa kok disini? maaf ya Ibu kesiangan," ucap Atika."Aku lapar buk," ucap Mail sembari memegangi perutnya."Sebentar ya. Ibu mau masak sisa tetelan semalam," ujar Atika. Sewaktu ia memasak ari semalam sengaja tidak dimasaknya semua. setengah dari ari itu di sisakannya, namun sudah direbus. Agar tidak bau."Wah, makan enak lagi!" seru Mail."Iya, Dek. Ibu memang paten." tambah Dimas.Atika tersenyum melihat kedua anaknya bahagia. Baginya kebahagian kedua anaknya, adalah yang terpenting.Setelah ari-ari selesai dimasak, Atik
Gulai Ari-Ari Untuk Anakku#9Malam ini cuacanya sangat dingin. Hujan badaipun mengguyur desa Atika. Semua Air naik keteras rumahnya. Karna memang dataran rendah."Buk, banjir. Atap rumah kita juga bocor," ucap Mail. Ia kewalahan menguras air yang naik keteras rumahnya."Ya ampun, gimana ini? Ibu mana pintar betulin atap rumah," jawab Atika panik.Sedangkan air dan lumpur mulai menggenang dan masuk kedalam rumahnya."Biar Dimas manjat ya, buk.""Nggak, usah nak. Nanti kamu jatuh." Atika ragu."Tapi buk. Kamar ibu sudah basah semua kasurnya. Kalau nggak segera dibetulin nanti makin parah. Dimas kan sudah besar buk," ucapnya yakin."Iya buk, benar. kan Bang Dimas bisa manjat," tambah Mail lagi.Atika berfikir sejenak. Dilihatnya kasur kapuknya yang sudah buluk hampir basah seluruhnya. "Tapi, kamu yakin bisa Nak?""Ibu jangan sepele, Dimas kan sering diajari Bapak kemarin. Kata Bapak, kalau nanti Dimas besar, Dimas harus bisa semuanya kan Dimas anak laki-laki," serunya."Sudahlah, jangan
Gulai Ari-Ari Untuk Anakku#10"Yang sabar ya Ti! Dimas sudah tenang disana. Suamimu kenapa nggak kamu, kabarin?" Ucap Nilam. Nilam, yang memang baru datang setelah penguburan Dimas, selesai terus menenangkan Atika."Suamiku sudah mati Nil," Jawab Atika lantang."Astagfirullah, kok kamu bilang begitu?""Dia sudah mati didalam hatiku Nil! dia sudah tega menelantarkan kami. Kamu tau dia itu bukan kerja, melainkan menikah lagi." Atika mengeluarkan semua unek-uneknya."Kamu tau dari siapa? kan kamu sendiri, yang bilang kalau Daut, bekerja," Nilam binggung."Aku tau dari seseorang Nil. Sudahlah Nil, nggak usah bahas dia lagi. Aku nggak suka ngebahas dia." Jawab Atika kesal."Dimas anak baik! Padahal cita-citanya tinggi sekali, Dan ingin sekolah. Malang sekali nasipnya," Lirih Nilam. Ia menyeka Airmatanya. Sebagai teman, sekaligus tetangga Atika, Nilam orangnya baik, dan perduli kepada Atika."Aku belum sempat mewujutkan permintaan Dimas, aku merasa berdosa, dan nggak becus jadi Ibu," Ucap A
Gulai Ari-Ari Untuk Anakku#11Setelah menunggu beberapa jam, anak Yuni tidak keluar juga. Sampai akhirnya mereka memutuskan membawa Yuni kekota, agar bisa di Oprasi."Gimana! si Yuni sudah lahiran?" Tanya Nilam."Nggak tau tuh! katanya dibawa kekota," Jawab Atika santai.Dalam hati Atika. Ia sangat gelisah, dan takut kalau Yuni lama pulang. Bisa-bisa rencananya gagal."Itulah akibat punya mulut kurang ajar," Ketus Nilam.Atika hanya tersenyum saja mendengar, perkataan Nilam. Sudah biasa bagi Atika tidak heran lagi."Ku sumpahin lahiranya anaknya sungsang, terus lengket. Biar nggak bisa diangkat," Ketus Yuni lagi."Hus! nggak boleh gitu Nil.""Habis aku kesal Ti! ingat nggak dia waktu memfitnahmu dulu. katanya kamu menggoda suaminya?" Nilam malah mengingat masa dulu. Dimana Yuni pernah memfitnah Atika menggoda, suaminya."Itukan cuma salah faham," Jawab Atika, lagi."Walaupun. Tapi perkataan dia itu seolah menggambarkan karma dia sendiri." Jawab Nilam geram.Lagi-lagi Atika terdiam, da
Gulai Ari-Ari Untuk Anakku#12"Wah, harum sekali ini! kalau ini jelas rasanya lebih enak dari Gulai," Seru Atika. Setelah selesai memasak Kari Ari-Arinya."Ternyata kamu beruntung mempunyai tetangga sepertiku ,Yun! buktinya saja aku rela capek-capek memasakkanmu kari, lezat."Atika tidak habis fikir. Ternyata dikari justru lebih menggugah selera. Saat Ia ingin mencuci tangan kearah kamar, Samar-samar ia melihat wanita berbaju putih dari dinding tepas, yang memang sudah sedikit bolong.Seketika bulu, kuduknya berdiri, dan ingin segera masuk kedalam kamar. "Apa itu tadi? Kok harum jeruk purut ya?" Gumam Atika, ngeri."Prakkk!" Suara atapnya seperti, dilempar menggunakan pasir. Begitu jelas terdengar ditelinga Atika."Berani sekali setan itu mengganguku! kalian kira aku takut? awas saja kalian muncul. Akan kugulai sekalian," Pekik Atika.Ia berusaha memejamkan matanya. Namun tidak bisa, suara aungan anjing terus terdengar. Padhal didesanya sama sekali tidak ada yang melihara anjing.Atik
Gulai Ari-Ari Untuk Anakku#13Diwan meraba gundukan tanah basah itu. sepertinya ada yang tidak beres. Karna kemarin tanah itu rapi, dan bambunya juga menjulang keatas, dan bukan Kesamping."Sepertinya ada, yang sengaja menyerak tanah ini. Bambunya juga mereng, dan ini sama sekali bekas bongkaran baru." Lirihnya curiga.Ia segera masuk kedalam. dan menanyakan itu kepada Istrinya, Yaitu Yuni. Dilihatnya Yuni Masi menyantap kari Ari-Ari itu tanpa tersisa, sedikitpun."Dekk!" "Apa Mas?" Sahutnya. Sembari mengelap mulutnya."Itu, tanah Ari-Ari siadek kok kayak ada, yang bongkar," Ucap Diwan."Bongkar gimana sih, Mas?" Sahutnya, sembari Masi menyeruput kuah Kari."Tanahnya. Seperti baru dibongkar lagi. Apa ada anak-anak tadi main kesini?""Anak siapa? disini anak-anak jarang, dan kalaupun ada ya cuma anak si miskin itu. Sama tetangga sebelah rumah kita Diah," Celetuknya."Simiskin siapa?" Diwan tidak mengerti."Itu si Atika.""Tapi mana mungkin anaknya sampai kesini! apa dibongkar kucing
Gulai Ari-Ari Untuk Anakku#14"Jait baju Buk." Atika menawarkan jasa jahitnya."Males lah! Mending jahit sendiri." Ketus Wanita tua berambut putih.Mereka sedang berbincang-bincang soal kehilangan ari-ari Yuni. " Aneh ya? kemarin dikampung sebelah. Sekarang malah dikampung kita." Ucap sipemilik warung, yang biasa dipanggil bude itu."Jangan-jangan didesa kita ini ada persugihan!" Ketus Ibu, yang satunya juga."Persugihan? Persugihan, apa?" Tanya Pemilik warung."Ya biar kaya lah. Secara dikampung kita ini masih banyak bener, yang miskin. Dan melarat. Contohnya itu Atika," Ucap Wanita rambut putih itu. Matanya melirik kearah Atika.Kalau bicara nggak usah sebut-sebut nama saya buk! saya emang miskin. Tapi untuk apa melakukan persugihan," Pekik Atika."Ya mana tau kan. Lagian bukanya menuduh bisa jadikan." Ucap Wanita berambut putih itu lagi."Kalau bicara seenaknya saja. Udah tua bukan tobat, malah menghina orang. Kalaupun saya melakukan persugihan kamu nanti, yang akan saya jadikan t
Gulai Ari-Ari Untuk Anakku#15Malam ini Atika berencana akan pergi kekampung sebelah. Ia sudah tekat sebelum Nilam mengadukan perbuatanya. Sebetulnya Nilam nggak punya bukti. Namun Atika harus tetap jaga-jaga.Mail masih duduk dipojok kamarnya. Terlihat Ia masih menangis segugukan. Sesekali Ia juga melirik kearah pintu kamarnya. "Kamu dirumah dulu. Ibu mau pergi, " Ucap Atika, dari balik pintu."Ibu mau kemana?" Tanya Mail. Suaranya masih terputus. Akibat tangisnya."Mau ada urusan sebentar. Kamu beranikan dirumah.""Mail takut buk! Inikan malam. Mail nggak berani," Jawab Mail."Ibu cuma sebentar. Kalau kamu ikut nanti, yang ada merepotkan ibu," Pekik Atika.Mail tertunduk, dan tidak berani menjawab lagi. Tangisnya meledak saat Atika melangkah keluar rumah."Hik,, hik,," takut buk! jangan tinggalin Mail." Pekikannya berubah, nejadi Pekikan sebuah tangisan.Semua harus ditanggungnya. Wajahnya menggambarkan sebuah kerinduan besar, terhadap Dimas, dan juga Daut, Bapaknya.Ia berjalan kel
"Aku kecewa sama Mama!" Pekik Yuni. Airmatanya menetes begitu derasnya."Maafkan Mama Kak. Mama terpaksa melakukan ini, karna nggak da jalan lain. Papamu pergi meninggalkan kita, mama nggak rela hidup tanpa harta Kak." Lirih Dela. Ia ingin sekali meyakinkan Yuni, agar Yuni bisa mengerti kondisinya."Sekarang aku tau, siapa dibalik pembongkaran makam Dini!" Yuni menepis tangan Dela."Maafkan Mama, Mama hanya ingin memperdaya Atika. Kamu tau, kan kalau Papamu itu lebih memilih mereka dibanding kita.""Tapi nggak harus mengorbankan Dini juga Ma!" Pekik Yuni. Ia tidak terima adiknya disakiti oleh siapapun, ia sangat menyayangi Dini adiknya."Mama tau Mama salah. Tapi Maam menyesal." Kalau Atika tidak mencari tumbal untuk Mama, maka Mama, dan kamu yang akan celaka Kak.""Maksut Mama apa sih? Yuni nggak ngerti Ma. Yuni nggak abis fikir dengan jalan pikiran Mama."Dela menunduk. Sejak awal memang ia tidak menyukai Diwan, karna Diwan itu orang yang tidak punya, dan apa adanya. "Mama nggak beg
"Sayang, sadar." Diwan mencoba membuka jemari tangan Atika yang terkepal sangat kuat. "Lepasin! lepasin saya, hahahahaa." Atika malah tertawa terpingkal-pingkal. Dan itu sangat membuat Diwan merinding, seluruh bulukuduknya naik."Siapa kamu? kenapa kamu mengusil istri saya?" Tanya Diwan lagi."Kamu tidak perlu tau siapa saya! hanya istrimulah yang tau siapa saya!" "Astaghfirullah, kamu mau saya, kasih hadiah?" Mulut Diwan mulai membacakan ayat suci Al-Quran, dan tanganya tetap memijit jari-jari Atika yang terkepal."Hahahaha," Seluruh tubuh Atika bergetar hebat, dan mengambang diatas Awang. Diwan sangat merasa panik, karna takut Atika akan terjatuh."Brukkkk," Benar saja Iblis itu menjatuhkan tubuh Atika, tepat dimeja kaca."Katakan siapa kamu? kamu jangan main-main dengan saya!" Bentak Diwan. Dilihatnya kepala Atika sedikit terluka akibat terkena sudut meja."Kasih saya tumbal yang saya mau! baru saya, akan menjawab siapa saya!" Diwan mencerna suara itu, sepertinya ia mengenali sua
"Mas, aku heran deh, siapa yang bawa Mail kesana?" Ucap Atika."Mas, juga heran. Setau kita Mail nggak pernah tau jalan kerumah Daut." Jawab Diwan."Apa sih maksut Daut? ngapain dia ambil Mail?" Ucap Atika kesal."Mungkin bukan dia yang ngambil sayang. Mungkin memang Mail kesana sendiri, atau mungkin dia selama ini tau alamat Daut.""Nggak Mas. Mail nggak akan tau itu, karna memang dia nggak pernah nanyak soal bapaknya!""Lalu apa tujuan kamu sayang? setelah ini?""Biarkan saja dulu Mas. Aku yakin Daut pasti ada maksut sesuatu, dan kita nggak boleh gegabah. "Tok, tok, tok," Suara kentongan mulai berbunyi lagi dari luar. Para warga beramai-ramai membawa obor."Mereka pasti mau cari anak Ijah Mas." "Iya. Mas, tau dari pas ngelayat tadi. Tapi masa iya mereka bilang anak Ijah diculik setan kepala." Ujar Diwan. "Mereka salah faham kayaknya Mas, soalnya mereka nggak liat langsung kok. Hanya dugaan mereka saja.""Mas masih penasaran sayang." "Penasaran apa?""Penasaran sama keberadaan Mb
"Pak kalau boleh tau siapa yang meninggal?" Tanya Atika, saat ia keluar dari rumah pagi itu."Ijah Ti. katanya komplikasi." Ucap lelaki itu."Ijah? Ijah Istrinya Anto?" Tanya Atika kaget."Iya tadi malam, selesai lahiran ninggalnya.""Gimana dengan anaknya pak?" "Anaknya baik-baik saja. Tapi," Lelaki itu menghentikan ucapanya."Tapi kenapa pak?" Atika semakin penasara."Anaknya dicuri sama setan yang hanya kepala Ti!" Ucap Lelaki itu lagi."Setan kepala? maksutnya gimana pak?" "Tadi malam kami ribut-ribut memukul kentongan itu mencari keberadaan anak Ijah, yang dicuri setan kepala, tapi Sampai pagi ini nggak ada titik terangnya."Atika semakin heran, dan sedikit bertanya-tanya. Ia menelan ludahnya dengan sangat susah. "Terimakasih Pak." Atika langsung kembali kerumahnya."Apa ini kerjaan Mbah Rondo? aku memang sudah waktunya memberikan tumbal. Tapi kenapa Mbah Rondo melakukan ini? bukan cuma ari-ari saja yang diambilnya tapi bayinya juga. Keterlaluan Mbah Rondo!" Pekik Atika kesal.
Ijah terus meringkuk kesakitan diperutnya. Keringat dingin sudah mencucuri seluruh tubuhnya, Bayinya juga tidak kunjung keluar. Mbah Karsem, beserta bidan yang dipanggil Atika tampak kebinggungan, dan kawalahan."Sakit Mbah!" Pekik Ijah. Ia sedari tadi terus menjerit kesakitan. Wajar jika sakitnya dua kali lipat dibanding lahiran normal biasanya."Masih sakit sekali ya perutmu?" Tanya Mbah Karsem."Masih Mbah, ini sakit sekali dan aku nggak kuat Mbah." Lirih Ijah."Gimana ini bayinya belum mau keluar juga." Ucap Mbah Karsem. "Ayo di ejankan pelan-pelan ya Mbak. Ini pembukaannya sudah lengkap kok." Ucap bidan itu."Saya nggak bisa Mbak. Ini sakit sekali.""Ayok dikit lagi kepalanya sudah kelihatan kok," Ucap Mbah Karsem. "Semangat Jah. Kamu harus bisa, kasian anakmu, kalau kamu lemah.""Owe, owe, owe," Alhamdulilah, akhirnya lahiran juga. Bayinya sehat, perempuan." Ucap Mbah Karsem. "Bayi Ijah sangat bersih, dan putih, walupun lahir perematur namun bayinya sepertinya kuat."Kepala s
"Jadi kamu pernah mau diperkosa?" Diwan menyusul Atika masuk kedalam kamar mereka.Dikilitnya Atika duduk didepan cermin besar kesayangannya. "Untuk apa kamu nanyak lagi Mas? kamu masih nggak percaya juga?" "Mas, percaya kok. Mas, hanya kasihan denganmu. Sudah ditinggal kawin oleh Daut, eh malah si Anto mau melakukan itu kepada kamu. Seandainya Mas, yang jadi Daut, sudah Mas, hajar itu Anto!"Atika hanya tersenyum kecil, mendengar ucapan Diwan suaminya."Kalau Ijah nggak bekerja lagi, siapa yang akan menggantikan dia Mas?"Tanya Atika. "Sebaiknya nggak usah ada lagi pekerja dirumah ini sayang. Biarkan Mas, saja yang membantu kamu.""Nggak bisa Mas! harus ada. Kamu tau kan, kalau pekerjaan dirumah ini nggak akan ada habisnya." "Terserah kamu. Mas, ngikut apa katamu Saja. Tapi Mas, minta tolong jangan pernah berbuat seperti itu lagi. Kasian Ijah dia jadi seperti itu. Seharusnya kita bertanggung jawab atas apa yang menimpa Ijah sayang.""Aku tau Mas, aku cuma menggertak Anto saja tadi.
"Gimana ini? kalau aku nggak ada biyaya, aku harus terima tawaran Yuni? Ahhhh, konyol sekali. Aku sudah cacat, mana mau Atika denganku walaupun hanya berpura-pura pun mungkin ia sangat jijik denganku." Ucap Daut.Ia segera meraih ponselnya, dan mencari nomor kontak Yuni yang masih tersimpan di hpnya."Ada apa?" Sahut Yuni dari sebrang, benar saja ia belum mengganti nomornya."Aku terima tawarnmu," Ucap Daut. "Kamu yakin? kenapa kamu nggak bilang dari semalam?""Aku sebetulnya nggak yakin kalau Atika mau kembali kepadaku, setelah apa yang aku perbuat Yun.""Gampang! kamu bisa perkarakan soal anakmu saja. Kamu kan masih ada anak, yang bisa kamu peralat." "Tapi, mana mungkin aku mengorbankan anakku." "Bisa saja. Asal kamu mau.""Aku akan coba Yun. Tapi setelah aku sembuh, dan keluar dari sini." Ucap Daut."Kamu harus berhasil merebut istrimu kembali, agar aku bisa mendapatkan suamiku kembali. Aku masih nggak rela mereka hianati." Lirih Yuni."Bukankah kamu sendiri yang bilang?" "Iya
"Mail, kamu kenapa nak?" Tanya Diwan. Matanya tertuju kearah Mail, yang sedang menangis dibelakang pintu dapur."Nggak papa Yah." Jawab Mail pelan. Ia tidak Berani mentap Diwan. "Astaghfirullah, kaki kamu kenapa nak?" Mata Diwan dikejutkan dengan luka lebam, disekujur betis Mail."Aw, sakit Yah," Lirih Mail, saat Diwan menyentuh betisnya."Ini siapa yang melakukanya?" Tanya Diwan serius. Ia memeluk tubuh munggil Mail.Mail terdiam, ia sangat takut untuk menjawabnya. Ia tidak mau ibunya bertengkar dengan Ayahnya karna pengaduannya."Mail jatuh Yah," Jawab Mail. Ia menundukan pandanganya."Bohong! jawab, siapa yang buat ini?" Tanya Diwan lagi. Ia sangat menyayangi Mail, ia tidak rela jika Mail disentuh oleh siapapun, walaupun ibu kandungnya sendiri."Mail nggak bohong Yah." Jawab Mail lagi, namun tiba-tiba airmatanya mengalir."Ibu yang melakukan ini kan? Mail, lihat ayah! Ayah selalu mengajarkan Mail agar tidak berbohong, karna berbohong itu adalah perbuatan dosa. Jadi jawab Ayah, sia
"Bagaimana Pak? apa sudah bisa dilunasi biyaya oprasinya?" Tanya Dokter itu lagi. "Sebentar ya Dok, saya mau hubungi keluarga saya dulu." Jawab Daut. Ia kebinggungan, kepada siapa ia harus meminjam uang. Sedangkan tabunganya juga nggak cukup untuk biyayanya."Nggak ada jalan lain. Aku terpaksa meminjam uang kepada Atika. Mudah-mudahan dia mau meminjamkan aku uang, lagian tanah yang ia gunakan masih tanahku, dan atas namaku juga." Gumamnya.Ia segera mengambil ponselnya, dan mengirimkan sms kepada Atika, berharap ada balasan dan Atika belum mengganti nomornya."Mas Daut?" Mata Atika membulat ketika ia melihat isi pesan, dari Daut."Siapa sayang?" Tanya Diwan. Namun tidak melihat kearah Atika, karna ia fokus menyetir."Bukan siapa-siapa sayang. Ini Rasti mau pinjam uang.""Rasti? pinjam uang lagi? kok aneh ya, dia pinjam uang terus. Kemaren juga dia minjam sama Mas," Ucap Diwan keceplosan."Dia minjam yang sama kamu Mas? kapan? kok aku nggak tau?" "Kemarin itu sekali." Jawab Diwan lag