✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
Aneh.
Aku masih saja hidup.
Terhirup bau busuk sekelilingku. Aku rupanya berada di perut ular tadi. Kenapa tidak hancur? Seharusnya aku sudah menyatu dengan darah dan akan keluar lagi dalam bentuk hina.
"Halo?"
Suaraku menggema. Tidak ada yang membalas.
Sekitarku gelap gulita. Aku hanya bisa melihat kegelapan dan meraba sambil merangkak. Dapat kurasakan perut kenyal ular itu bergesekan dengan tanah.
Aku teringat sosok berambut putih beberapa saat sebelum ditelan hidup-hidup.
Itu Mariam.
Jelas Mariam.
Rambut putih melambai di udara, kedua tangannya memegang sesuatu yang panjang seperti pedang, pakaiannya kini tampak baru dengan rok panjang. Tidak kusangka, kali ini dia memilih bertarung dengan rok alih-alih celana seperti sebelumnya.
"Halo?"
Suaraku menggema. Kuharap ada yang membalas.
"Siapa di situ?!" Suara seorang gadis menyahut. Aku tidak mengenalnya.
"Aku Kai
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aku didudukkan pada sebuah kursi empuk dekat singgasana kosong. Entah siapa yang menyuruh, aku disuruh duduk dan diam menunggu. Meski keadaan luar tampak genting, entah kenapa suasana di dalam istana tampak begitu tenang dan keributan hanya terjadi di luar. Seakan ancaman tersebut bukan apa-apanya. Aku tatap sekeliling. Istana ini didominasi warna keemasan, lengkap dengan ratna mutu manikam menghias lantai dan perabotan. Tidak tanggung, beberapa pedang yang tersusun di belakang singgasana sebelah kiriku tertata rapi dan bersinar berkat sejumlah batu mulia itu. Di antara pedang yang dijaja, ada di antaranya cukup menarik perhatianku. Sebuah pedang patah yang di bawahnya tertulis, "Hadiah dari Satria Sanjaya Purnama Tirta kepada Raja Safar al-Khidir" yang diukir dari lapisan emas pula. Kenapa pedang ini patah? Apa ini melambangkan hubungan raja itu kepada si pemberi? Di sebelah kanan singgasana raja itu, ada singg
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵«Zahra ~ Zabuz »Beberapa hari berlalu dengan sama, seorang abdi menceritakan tentang kedatangan pria itu lagi. Sosok yang senantiasa datang ke negeriku tanpa diundang maupun diizinkan. Alasannya selalu sama, menjemput rakyatnya yang tersesat di negeri Jin ini. Namun, ada pula karena alasan lain, yang menurut kami tidak masuk akal."Bagaimana bisa?" heran Umi. "Bukannya seluruh gerbang tertutup?"Abdi itu terdiam sejenak, suaranya memelan sekaligus gemetar. "Ia masuk lewat ... Celah di jendela rakyat.""Apa?!" Umi lantas menegakkan posisi duduk. "Di mana dia sekarang?""Kami mengejarnya," jawab abdi itu. "Ia ke sini untuk jemput rakyat Aibarab."Sebenarnya, kalau bukan rakyat Aibarab yang tersesat di sini, beberapa jin iseng kadang "mengajak" masuk lalu mengurung mereka. Biasanya untuk bersenang-senang atau tumbal, korban dari serangan jarak jauh–permainan klasik di Zabuz, berburu mangsa tanpa
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Selama Putri Zahra bertutur, aku habiskan malam dengan makanan beserta penutupnya. Belum pernah aku nikmati makan sebanyak ini.Zahra kembali bercerita.***Pada suatu malam, Khidir menjenguk ke kamar Zahra. Ia mengajak gadis itu mengobrol sebentar. Tepat di paviliun ini.Mereka menatap bulan purnama yang bersinar terang di tanah Aibarab. Baru kali ini Zahra melihat langit malam jernih bertabur bintang."Indah, bukan?" tanya Khidir.Zahra menatapnya lalu mengiakan. Indah nian baginya.Khidir menarik napas. "Kamu kesepian?"Zahra paham kalau pria ini merasa terlalu jauh darinya, padahal mereka bisa bertemu setiap malam sementara pagi hingga petang Khidir akan berdiam diri di tempatnya. Meski ia sesekali minta kedatangan Zahra untuk menambah aura, entah apa itu."Tidak." Zahra menjawab dengan sangat pelan, masih ada jarak antara mereka.Khidir lalu duduk dan minum. Sesekali
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Idris menepuk bahuku. "Ayo, kita pulang."Khidir menatap kami. "Ini giliranku, kalian istirahatlah."Apa maksudnya?Mariam lekas-lekas mengenggam tanganku. "Aku pengasuhnya sekarang. Tugas kalian sudah selesai, terima kasih."Dia lalu menarikku menjauh. Membiarkan Idris menatap kami dengan heran.Padahal dulu Mariam yang tampak keberatan dan bicara seakan tidak sabar menyerahkanku pada para pria ini.Idris tampak menyusul. Masih dengan wibawa para bangsawan demi menjaga martabat, meski Mariam jelas tengah menusuknya di depan seorang raja."Mariam," ucap Idris. "Kamu tidak ingin beristirahat di rumahku barang sebentar?""Kamu punya?" balas Mariam."Rumahku di Aibarab ada tiga," ujar Idris. "Silakan mau pilih yang mana."Mariam hanya menjawab. "Carikan yang paling jauh darimu.""Kalian ini." Kini Khidir yang mendekat sambil berkacak pinggang. "Tidak perlu repot-repot, aku
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵"Berdua?" Aku berbisik ketika mengekori Mariam keluar."Apa yang kaupikirkan?" balas Mariam. Dia entah kenapa tampak bingung ditanya. "Tidak aneh kalau mereka ingin berduaan untuk sementara."Aku paham kalau Idris dan Khidir lebih lama berteman sementara Mariam ibarat pendatang. Tapi, kenapa harus rahasia? Apa yang dibahas?"Kamu mau berkeliling?" tanya Mariam.Aku mengiakan."Terserah mau menjelajah sampai manapun," ujar Mariam sebelum pamit. "Tidak ada yang disembunyikan darimu.""Kamu mau ke mana?" tanyaku.Mariam berjalan, tanpa menoleh. "Makan."Kami pun berpisah.Saat itulah, pikiran malas melintas. Aku berniat ke kamar inap kami untuk berbaring.Kamar kami dipadu dengan warna biru pucat. Kasurnya luas dan empuk, bahkan ada nama Aibarab-nya di sana, Mariam. Mungkin aku akan punya kamar tersendiri nanti.Di dinding ada beberapa foto dipajang berupa gambar Mari
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵"Begitu, ya."Zahra memandang rangkaian bunga yang menghias taman istana. Aku bertemu dengannya beberapa saat setelah ucapan Khidir tadi.Sebelumnya, aku tidak bisa mengomentari keputusan Khidir.Wajar saja kalau ia menolak, aku saja sudah dianggapnya sebagai sosok penting. Terasa aneh jika seorang raja yang tunduk pada "Putri" sepertiku. Tapi, aku pun tidak bisa menyela lagi.Mariam pun hanya diam, berbeda dari biasanya. Barangkali juga tidak punya ide sanggahan.Maka, ketiganya pun berpisah dan tersisa aku yang menatap mereka dengan melonggo.Demi mengusir rasa bosan, aku pergi mencari tempat bermain. Perpustakaan bukan tempatku karena aku sendiri tidak terbiasa membaca meski ingin sekali melahap satu buku yang lebih tebal dari sebuah kitab.Langkahku kian memelan akibat kaki yang mulai sakit. Rencanaku ingin duduk sejenak di lantai dan meluruskan kaki agar tidak kesemutan.Saat itul
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Begitulah yang kulakukan seharian ini, mengikuti langkah Zahra demi mengusir rasa bosan. Meski masih penasaran dengan apa yang Mariam dan kedua temannya lakukan di sana.Sepertinya mereka terlalu sibuk sampai tidak mencari lagi. Atau tahu dan menyuruh Zahra menemaniku.Yang pasti, aku di sini sedang mengusir rasa bosan dengan bertingkah seperti anak kecil menunggu kepulangan orangtuanya."Zahra." Aku memanggilnya begitu karena dia memintanya. "Boleh bertanya soal penggalan puisi tadi?"Zahra balik bertanya. "Yang mana?"Aku pun memberitahu puisi tentang sosok yang akan bangkit tadi. Siapa tahu itu musuh yang telah lama disegel dan kemungkinan akan melawan.Entah kenapa firasatku mengatakan, ini adalah musuh akhir dari hikayat ini dan aku harus membantu mencegah setidaknya sedikit. Meski tidak tahu pasti kapan dan bagaimana.Mendengar penjelasanku, Zahra genggam tanganku. "Jangan dilepas!"Kami ber
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Aku terbangun di sebuah kasur sambil diselimuti.Menghela napas, aku pun duduk.Terdengar bunyi orang berdecak.Ketika menoleh, aku sudah menebak."Mariam?"Dia mengurai rambut, sedang duduk di sisi kasur dan membelakangiku. "Bagaimana pengalamanmu di harem?""Seru!"Mariam menatapku, entah kenapa ekspresinya tampak aneh. "Kamu tahu harem itu apa?""Tempat istirahat?" tebakku.Mariam menatapku tajam, bibirnya bergetar seakan mencoba mengatakan sesuatu. Dia seolah bimbang hendak memberitahu atau tidak."Kamu kenapa?" tanyaku.Mariam mendengkus. "Sudahlah. Khidir terkejut melihatmu tertidur di sana. Kamu kira itu tempat untuk anak-anak?""Mereka tidak menegurku." Aku membela diri. "Memangnya ada apa? Kami cuma bermain dan makan.""Untung mereka tidak memberimu minuman beracun itu!" Terdengar gumaman Mariam."Racun?" Aku jelas heran. "Benarkah? Memangnya ada
Kedatangannya Elya tidak kusangka akan sepagi ini. Aku ingat kebiasaan Robert yang bangun lebih awal, barangkali mereka biasa berjanji bertemu sepagi ini. Namun, pagi ini kulihat Robert tampak mengantuk. Saat aku dititipkan di Kapel, tidak kutanyakan langsung saat itu apa yang dia kerjakan di luar sana. Sepertinya melelahkan.“Dia sedang tidur,” jawabku, tidak ada niat membangunkan Robert. Namun, aku rasa Elya bisa menunggu. Toh, gadis itu tahu pasti jadwal kerja Robert, dia biasanya juga tidak akan lama beristirahat setelah terbangun sejenak tadi. Baru hendak kutawari untuk masuk, Elya serahkan tas kecil yang melingkari pinggangnya padaku. Dia melangkah mundur. “Baik, titip pesan padanya jika nanti malam aku akan ke sini lagi.” “Kamu tidak mau menunggu?” Aku bertanya. Ingin rasanya tahu apa yang mereka berdua lakukan, kekuatan yang katanya “mengutak-atik bagian tubuh” masih tergiang dalam pikiranku. Apa gerangan yang Robert rencanakan? Apa ada kaitannya dengan cairan yang biasa dia
Membangun peradaban baru. Belum pernah terpikir jika para Guardian ingin mencapainya, tidak pula aku menduga. Kukira tujuan kami hanya bisa bertemu kembali, memulai hidup bersama seperti keluarga lainnya hingga kembali ke pelukan alam. Jika tidak akan terlahir kembali setelahnya.Elya memandangku, matanya terpaku, menunggu aku membalas, tapi aku tidak tahu jawabannya. Jika saja seorang Guardian di sini, dia pasti bisa menjawab.“Ah, Elya.” Suara tak terduga dari Frederic menyelamatkanku dari pertanyaan tadi. “Sudah lama tidak ke sini. Di mana keluargamu?”“Sedang jalan-jalan,” jawab Elya. “Kamu datang sedikit tepat waktu, aku dan Levi baru saja membahas soal kerajaan awan karena langit-langit ini.”Frederic melayangkan pandangannya pada lukisan itu. “Benarkah? Kami memilih awan karena itu mengingatkan kami akan kehidupan setelah ini,” komentarnya. “Kamu ingat sesuatu?”“Ya, Abi pernah membahas soal kerajaan di atas awan dan mengaku ingin kembali ke sana.” Elya menatapku. “Sayng sekali
Ucapan gadis itu membuatku diam. Memang para Guardian telah menjagaku dari segala bahaya. Namun, aku dan mungkin juga kakakku, Kyara, tidak tahu mengapa kami dijaga selain karena kami pewaris takhta Kerajaan Shan selama ini. Tidak seperti mereka, kami tidak ingat apa pun, hanya ikut alur yang para Guardian tuntun untuk kami.Tidak disangka ada lagi seseorang di taman. Dia berdiri di bawah naungan pohon yang jadi pusat taman, tepatnya berseberangan denganku. Rambutnya biru dengan garis-garis hitam menghiasi beberapa helai, sementara iris mata hitam, kulitnya pun sepucat anak-anak panti. Ciri-ciri anak panti yang sangat pucat membuatku ragu pada asal usul mereka. Orang Danbia memiliki kulit putih sedikit kemerahan, tak terkecuali Robert. Sementara orang Ezilis juga putih, tapi tidak sampai tampak janggal seperti anak-anak panti itu. Namun, aku belum pernah melihat gadis itu di panti dan dia tidak juga terlihat seperti orang-orang dari negeri yang kutahu.Tanganku terangkat perlahan mesk
"Pergi saja ke Kapel. Kau tidak boleh keluar dari sana sampai aku jemput." Hanya itu ucapan Robert yang aku ingat begitu waktu sekolah berakhir. Alih-alih berdiri depan sekolah bersama teman sebaya menunggu dijemput, aku langsung melangkah menuju tempat yang dia maksud. Lokasi Kapel memang tidak jauh, hanya sekitar satu jalan dari sekolahku dan itu masih berada di antara jalanan umum. Barangkali karena ini Robert membiarkanku berjalan seorang diri. Meski beberapa kesempatan–seperti Guardian lainnya–dia tidak ingin aku menjauh darinya, untuk kali ini dia mempercayakan seseorang untuk menjagaku. Kalung ini bersinar saat berada di dekat pria itu, dia pun tahu aku tanggungjawabnya. Aku teruskan langkah dengan boneka kelinci berian Arsene, untungnya tidak ada teman sekelas yang mengambilnya. Dia bisa menemaniku jika suasana Kapel ternyata begitu sunyi.Keadaan Kapel, seperti biasanya, tidak begitu ramai. Lebih terlihat beberapa orang lewat dengan pakaian yang sama seperti Frederic kenakan
"Apa?" Aku tentu heran mendengarnya. Waktu itu juga belum paham maksud dari kata "pemusnah massal" itu sendiri. Aku mulai berpikir keras akan suatu hal yang belum kupahami. Spontan saja kutanyakan persis seperti yang kupikirkan. "Pemusnah apa? Apa itu 'massal'?""Ah, lupakan, aku hanya bergurau," Ekspresi muka Robert tidak menunjukkan apa pun yang membuatnya tampak sedang bercanda, dia terlihat serius seperti biasa."Tapi, apa itu 'massal'?" Aku bersikeras ingin tahu, hati berdebar menerka maksud yang kucari.Robert berdecak pelan. "Dalam jumlah yang banyak."Aku terdiam. Kata "senjata pemusnah massal" berarti senjata yang dapat menghancurkan sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Kalimat yang baru kupelajari tadi terdengar menakutkan. "Kenapa Robert bilang begitu?" Aku protes, tidak menutupi kalau pelindungku ini memberi kesan seram sejak awal.Robert menghela napas, menggeleng pelan. "Tidak ada."Kali ini, aku mendadak jadi penasaran. Tida
"Ya, bilang saja begitu, mentang-mentang belum ada yang terbunuh." Robert mengucapkannya dengan nada mengejek. Entah mengapa tutur kata lembut dari temannya tidak mempengaruhi reaksinya. "Thomson." Dia sebut nama temannya itu dengan lembut, meski dapat kurasakan tekanan dari suaranya, tanda teguran halus. "Frederic." Robert sebut namanya seperti mendesis, menyebut nama dari temannya sekaligus membalas ucapannya barusan. Pria di depanku, yang kini akan kusebut sebagai Frederic, mempertahankan intonasi suara lembutnya. "Aku juga bertanggung jawab atas nyawanya. Percayalah, dia tidak akan menginjakkan kaki di sini." Di balik suaranya yang tenang, sorot matanya kian tajam, terus memandang ke arah Robert. Suasana kian canggung bagiku, terlebih melihat dua orang dewasa–pelindungku sendiri, kini tengah berada dalam perdebatan. Tampaknya tidak ada salah satu yang ingin mengalah, meski ada perbedaan dari cara menuturkan kata, tapi dapat kutebak masing-masing tetap ingin mempertahankan ke
Barangkali ini kebiasaan yang aku terapkan pada setiap Guardian, saat kami melangkah bersama, kupastikan kami selalu berdampingan. Namun, karena tubuh mereka lebih besar dariku, aku merasa lebih aman bernaung di bawah bayangan mereka. Seperti itulah yang aku lakukan bersama Robert saat ini. Tangan para Guardian selalu begitu besar dibandingkan punyaku, sehingga ketika bergandengan semua jariku tetap tidak sanggup meraih seluruh tangan mereka. Selagi melangkah, pandangan Robert lurus ke depan, sesekali pandangan kami bertemu tanpa reaksi, memastikan tidak terpisah barang sesaat.Langkah kami tertuju pada kapel, tempat yang bernuansa paling tenang di kota Anamsel sejauh ini, walau hanya sedikit tempat yang aku kunjungi di kota. Jumlah orang yang keluar masuk dari kapel masih terbilang sedikit, menambah kesan keheningan yang mendukung aura ketenangan yang dipancarkan. Para petugasnya ramah, apalagi mereka yang sering menerima barang berian dari Robert tadi, semua mengenakan pakaian biru
Malam itu terasa berbeda lantaran aku kini berbaring di kasur dengan Robert di sisiku. Cahaya remang dalam kamar membuat suasana hening terasa damai, meski di saat yang sama diliputi hawa dingin menusuk hingga ke tulang, membuatku menenggelamkan diri dalam selimut selagi memandang pelindungku yang entah mengapa memilih untuk membaringkan badan di atas selimut. Robert memandang langit-langit, mata cokelatnya bergerak mengamati sekeliling kamar, tenggelam dalam pikiran sejenak sebelum akhirnya bersuara."Hal pertama yang kuingat di Shan itu, saat itu aku menghadap Raja sebagai hadiah dari sang Ratu." Robert memulai ceritanya, pandangannya masih fokus memandang langit-langit. Cahaya lampu tidur yang menjadi satu-satunya penerang memantul di matanya.Tanganku masih menggenggam erat selimut, menyimak ucapannya. "Hadiah?" Terkesan aneh karena yang kutahu, hadiah itu biasa berwujud benda mati.Robert mengiakan, masih terus memandang ke atas. "Sang Ratu memberi Raja hadiah berupa aku, dengan
Bunyi keras kembali menyentak keheningan. Bersamaan dengan lantai kayu yang menampar wajahku saat kehilangan keseimbangan. Langsung saja aku terduduk, menatap sosok yang baru saja membuatku jatuh.Tangan besar itu meraih rambutku. Aku menjerit ketika terseret lagi. Sesuatu hendak memangsaku di hari pertama musim dingin ini. Aku menendang-nendang tanah, berupaya melawan meski tiada hasil.Terdengar bunyi daging terpotong, refleks membuatku terpaku, mengira serangan itu tertuju padaku. Tangan yang mencengkeram kepalaku mulai melemah. Aku terjatuh ke lantai, begitu kaki menyentuh lantai, segera aku merangkak menjauh."Pangeran!" Di saat itu juga tubuhku terasa terangkat. Tercium bau khas yang kukenal. Kumpulan aroma wangi yang berasal dari minuman maupun racikan yang selama ini menghias rumah baruku. Dia berdiri di depan, kedua tangan terulur siap meraihku. Segera aku mendekapnya agar tidak terjatuh. Jelas sudah siapa itu, dia pasti langsung keluar begitu melihat bayangan makhluk tadi.